SPONDILITIS TB
Disusun oleh:
Pembimbing:
PENDAHULUAN
Pada tahun 2016, diperkirakan ada 10,4 juta kasus TB baru menurut World
Health Organization (WHO). Pada wilayah Eropa hanya berkontribusi sebanyak
3%, sedangkan wilayah Asia Tenggara sebanyak 46,5% dari beban TB dunia.
Kematian terkait TB tetap menjadi salah satu dari 10 penyebab utama kematian di
seluruh dunia, meskipun kematian akibat TB menurun sebesar 22% dari tahun
2000 hingga 2015.[1]
Dalam dekade terakhir ini terjadi peningkatan prevalensi TB yang cukup
signifikan. Indonesia merupakan negara dengan prevalensi TB terbesar nomor dua
setelah India. Peningkatan ini termasuk meningkatnya prevalensi manifestasi TB
ekstra paru di seluruh dunia termasuk di negara-negara Eropa. Insidensi dan
prevalensi pasti dari spondilitis tuberkulosis tidak dapat diketahui secara pasti
pada setiap negara. Insidensi spondilitis tuberkulosis meningkat pada
negara-negara berkembang dan pada negara dengan kerawanan yang tinggi akan
tuberkulosis paru. Infeksi HIV menyebabkan kebangkitan segala bentuk dari
infeksi tuberculosis. [2]
TB luar paru memiliki insidensi rendah yaitu 3%, tetapi tidak ada penurunan
yang signifikan dalam kejadian TB luar paru bila dibandingkan dengan TB paru.
TB tulang berkontribusi pada sekitar 10% TB luar paru, dan TB tulang belakang
merupakan tempat paling umum dari TB tulang, berjumlah sekitar setengah dari
TB tulang kerangka. Thoracolumbar junction menjadi daerah yang paling
terpengaruh dari TB tulang belakang kemudian diikuti oleh bagian lumbalis dan
spinalis.[1]
Tulang belakang adalah lokasi infeksi tuberkulosis tulang yang paling
sering, yakni sekitar 50% kasus tuberkulosis osteoartrikular. Apabila infeksi
bakteri Mycobacterium tuberculosis ini mengenai korpus vertebra, maka
2
kerusakan yang terjadi menimbulkan instabilitas tulang belakang dan gangguan
struktur di sekitarnya. Pasien dapat lumpuh akibat kompresi pada medula spinalis.
Kelumpuhan yang menetap (ireversibel) tidak hanya mengganggu dan membebani
penderita itu sendiri, tetapi juga keluarga dan masyarakat.[3]
Spondilitis TB dapat berasal dari infeksi langsung (primer), yaitu bakteri
langsung menginfeksi korpus, ataupun infeksi tidak langsung (sekunder), yaitu
bakteri menyebar secara hematogen atau limfogen dari lokasi infeksi di tempat
lain ke korpus tulang belakang. Kebanyakan spondilitis TB merupakan infeksi
sekunder dari paru-paru, tetapi pada beberapa kasus merupakan infeksi primer.[3]
TB tulang belakang menyumbang sekitar 50% dari kasus TB tulang. Hampir
10% dari seluruh penderita TB memiliki keterlibatan muskulo-skeletal.
Setengahnya mempunyai lesi di tulang belakang dengan disertai defisit neurologik
10–45% dari penderita. Diagnosis TB ekstra paru seringkali sulit. Pasien dengan
spondilitis TB biasanya tanpa nyeri namun tidak jarang juga pasien datang dengan
nyeri tulang belakang disertai kelemahan tungkai dan defisit neurologis. Terapi
konservatif yang diberikan pada pasien spondilitis TB sebenarnya memberikan
hasil yang baik, namun pada kasus-kasus tertentu diperlukan tindakan operatif
serta tindakan rehabilitasi yang harus dilakukan dengan baik sebelum ataupun
setelah penderita menjalani tindakan operatif. (Kusmiati, et al,. 2016) Komplikasi
yang sering terjadi pada spondilitis tuberkulosis adalah infeksi, keadaan umum
yang buruk, diseminasi, lesi multipel pada tulang belakang, abses dingin, nyeri,
instabilitas, fraktur patologis, defisit neurologis, deformitas, kifosis yang
progresif, masalah sosial, ekonomi, dan psikologis.[3]
Oleh sebab itu penulis menyusun referat mengenai spondylitis TB agar
diharapkan dapat mengetahui dan mengenali keluhan pasien dengan spondylitis
TB dan memahami pemeriksaan fisik dan penunjang yang sesuai sehingga dapat
memberikan terapi yang tepat kepada pasien agar terhindari dari komplikasi yang
terjadi.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
2.2 EPIDEMIOLOGI
TB luar paru memiliki insidensi rendah yaitu 3%, tetapi tidak ada penurunan
yang signifikan dalam kejadian TB luar paru bila dibandingkan dengan TB paru.
TB tulang berkontribusi pada sekitar 10% TB luar paru, dan TB tulang belakang
4
merupakan tempat paling umum dari TB tulang, berjumlah sekitar setengah dari
TB tulang kerangka. Thoracolumbar junction menjadi daerah yang paling
terpengaruh dari TB tulang belakang kemudian diikuti oleh bagian lumbalis dan
spinalis.[1]
Pada tahun 2016, diperkirakan ada 10,4 juta kasus TB baru menurut World
Health Organization (WHO). Pada wilayah Eropa hanya berkontribusi sebanyak
3%, sedangkan wilayah Asia Tenggara sebanyak 46,5% dari beban TB dunia.
Kematian terkait TB tetap menjadi salah satu dari 10 penyebab utama kematian di
seluruh dunia, meskipun kematian akibat TB menurun sebesar 22% dari tahun
2000 hingga 2015.[1]
Di Amerika keterlibatan tulang dan jaringan lunak terjadi sekitar 10% dari
seluruh kejadian TB ekstra paru, dan dari jumlah tersebut 40–50% merupakan
kasus pott’s disease. Penyakit ini sering terjadi pada pria dengan perbandingan
pria dengan wanita 1,5–2:1. Di Amerika dan beberapa negara berkembang, pott’s
disease dilaporkan sering terjadi pada usia dewasa, karena penderita usia muda
lebih rentan terhadap spondilitis TB daripada usia tua. Sedangkan di negara belum
berkembang, pott’s disease juga terjadi pada dewasa muda dan predominan pada
anak-anak menjelang remaja (15 tahun) (Kusmiati, et al,. 2016). Anak-anak di
bawah usia 10 tahun cenderung mengalami destruksi vertebra lebih ekstensif
sehingga risiko deformitas tulang belakangnya lebih tinggi. Vertebra segmen
torakal paling sering terlibat, disusul segmen lumbal dan servikal (Rahayussalim,
et at,. 2016). Gejala klinis TB yang tampak pada pasien dengan HIV sama dengan
yang bukan HIV, tetapi kejadian pott’s disease ini lebih sering didapatkan pada
pasien dengan HIV. Pada pasien dengan HIV positif, insiden TB bisa meningkat
500 kali lebih tinggi daripada yang HIV negative.[2]
5
(40–50%), vertebra lumbal merupakan tempat kedua terbanyak (35–45%), dan
sekitar 10% kasus melibatkan vertebra servikal (Kusmiati, et al,. 2016). Walaupun
belum ada data akurat epidemiologi spondilitis TB di Indonesia, diperkirakan
spondilitis TB menyumbang 25–50% dari seluruh kasus tuberkulosis tulang.
Berdasarkan data dari Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM),
spondilitis TB menunjukkan angka tertinggi pada populasi penderita TB ekstra
paru, yakni sekitar 71% dari populasi (Rahayussalim, et at,. 2016). Data yang
tercatat di RSUD Dr. Soetomo pada tahun 2015 didapatkan penderita tuberkulosis
berjumlah 1047 dengan kasus spondilitis tuberkulosis tercatat 74 kasus dengan 39
penderita laki-laki dan 35 orang wanita.[2]
2.3 ETIOLOGI
2.4 PATOFISIOLOGI
Patogen dapat menginfeksi tulang belakang melalui tiga jalur, yaitu secara
hematogen, inokulasi eksternal secara langsung, atau menyebar dari jarak yang
6
berdekatan dengan jaringan terinfeksi. Lokasi primer infeksi TBC dapat terjadi di
paru-paru, kelenjar getah bening, sistem pencernaan, sistem genitourinary atau
organ lainnya. Infeksi tulang belakang merupakan infeksi sekunder yang terjadi
akibat penyebaran bakteri secara hematogen dari lokasi primer. Bagian tulang
belakang yang sering terserang adalah peridiskal. Secara anatomis cakram
intervertebralis adalah struktur avascular dan arteri paradiskal terletak di kedua
sisi cakram mencapai wilayah subkondral setiap cakram.[5,6,7]
Pola paradiskal merupakan jenis yang paling umum terjadi pada 33%
kasus spondilitis TB dan dimulai dari bagian metafisis tulang, dengan penyebaran
melalui ligamentum longitudinal. Pola anterior terjadi pada sekitar 2.1% kasus
spondilitis TB. Penyakit dimulai dan menyebar dari ligamentum anterior. Pola
lainnya adalah pola sentral yang mengakibatkan hilangnya bagian vertebra, pola
posterior terjadi ketika adanya keterlibatan struktur apendikular superior. TB
menyebabkan peradangan granulomatosa yang ditandai dengan infiltrasi
limfositik dan sel epiteloid yang bergabung membentuk Langhans-type giant cells
dan berakhir dengan menyebabkan nekrosis jaringan yang terkena dengan
membentuk abses dingin. Penyakit terbatas pada bagian tengah dari badan
vertebra tunggal, sehingga dapat menyebabkan kolaps vertebra yang
menghasilkan deformitas kifosis.[5,6,7]
Inokulasi langsung paling sering terjadi setelah operasi tulang belakang,
lumbal pungsi atau prosedur epidural yang menyumbang sebanyak 25-30% kasus
spondylitis. Pada infeksi vertebra, bagian posterior paling sering terkena. Infeksi
bahan prostetik implan adalah faktor predisposisi setelah operasi. Penyebaran
melalui jaringan yang berdekatan jarang terjadi. Hal tersebut dapat terjadi pada
kasus infeksi cangkok aorta, rupture esofagus atau abses retropharyngeal.[5]
7
dan defisit neurologis.Spondilitis TB memiliki manifestasi klinis pasien TB pada
umumnya, seperti penurunan berat badan atau nafsu makan, demam, malaise,
pembesaran kelenjar limfe. Nyeri, defisit neurologis, abses dingin, dan deformitas
kifosis merupakan ciri khas spondilitis TB. Nyeri punggung atau leher merupakan
keluhan yang paling sering dijumpai, tetapi pada 15% pasien tidak merasakan
nyeri. Nyeri biasanya dirasakan secara terus menerus dan memburuk pada malam
hari. Defisit neurologis terjadi pada 47.6% kasus, pada pasien dengan lesi aktif
defisit neurologi terjadi akibat kompresi langsung tulang belakang oleh abses,
jaringan granulasi, atau sequestrum.[5,6]
Seiring dengan perkembangan penyakit, bagian vertebra yang terkena
akan mengalami kolaps sebagai deformitas kifosis terlokalisasi. Deformitas ini
dapat bermanifestasi sebagai knuckle deformity (kolapsnya satu vertebra), gibbus
deformity (kolapsnya dua atau tiga vertebra), atau global rounden kyphosis
(keterlibatan beberapa vertebra yang berdekatan. Pola deformitas berbeda antara
orang dewasa dan anak-anak. Pada orang dewasa, kifosis berkembang selama fase
aktif dan deformitas akhir terkait dengan luasnya kerusakan vertebra, sedangkan
pada anak-anak kifosis dapat memburuk selama fase pertumbuhan walaupun
penyakitnya telah disembuhkan.[5]
8
dan spasme otot. Spondilitis TB dapat diklasifikasikan berdasarkan usia penderita
yang dibedakan menjadi 6 kategori yaitu neonatus, anak, remaja, dewasa muda,
dewasa dan tua.[3,8]
9
dirasakan dirasakan dirasakan
bertahap bertahap bertahap
dalam jangka dalam jangka dalam jangka
waktu waktu waktu
tertentu > 3 tertentu > 3 tertentu > 3
bulan bulan bulan
Pemeriks ● Ditemukan tanda-tanda ● Ditemukan tanda-tanda
aan Fisik infeksi dan inflamasi infeksi dan inflamasi
● Tidak selalu disertai gizi ● Tidak selalu disertai gizi
buruk buruk
● Ada abses, gibbus, hingga ● Ada abses, gibbus,
kelumpuhan sesuai hingga kelumpuhan
tingkat keparahan dan ● Tulang yang porotik
lama kejadian
Pemeriks Rontgen, laboratorium (LED dan Rontgen, MRI, laboratorium
aan CRP), mikrobiologi, dan (LED dan CRP), mikrobiologi,
Penunjan histopatologi dan histopatologi
g
Pemeriksaan Fisik
Manifestasi klinis spondilitis TB bervariasi. Manifestasinya tergantung pada
durasi penyakit, tingkat keparahan penyakit, lokasi lesi dan komplikasi termasuk
deformitas dan defisit neurologis.[7]
● Abses Dingin
Abes ini umumnya tidak memiliki gejala inflamasi yang
biasanya terlihat pada abses. Abses dingin dapat terjadi di cervical,
tulang belakang, retropharyngeal space, anterior atau posterior
leher atau axilla. Apabila abses dingin berada di vertebra, dapat di
telusuri di area psoas muscle.[7]
● Deformitas
Gambaran klinis deformitas diklasifikasikan sebagai
knuckle (keterlibatan satu vertebra), gibbus (keterlibatan dua
vertebra) dan rounded kyphus (keterlibatan lebih dari tiga
vertebra). Seiring dengan bertambahnya keterlibatan vertebra
secara progresif akan terbentuk deformitas kifosis.[7]
10
● Defist Neurologi
Defisit neurologis dapat terjadi pada fase aktif penyakit
(kompresi sekunder akibat adanya abses, proses inflamasi,
sequestrum atau ketidakstabilan vertebra) maupun fase
penyembuhan (Umumnya terjadi akibat traksi mekanis terhadap
gibbus atau ketidakstabilan vertebra). Terdapat lima stadium defisit
neurologi: .[7]
1. Stadium 1: defisit neurologi yang hanya dikatehui setelah
pemeriksaan neurologis dilakukan
2. Stadium 2: Pasien memiliki defisit neurologis tipe UMN
dengan spastisitas, namun masih dapat dirawat jawan. Nilai
motorik tetraparesis berkisar 60-100 dan paraparesis
berkisar 80-100
3. Stadium 3: Pasien terbaring ditempat tidur dan spastic.
Nilai motorik tetraparesis berkisar 0-30 dan paraparesis
berkisar 50-80
4. Stadium 4: Pasien terbaring ditempat tidur dengan
gangguan motorik dan sensorik. Nilai motorik tetraplegia
adalah 0 dan paraplegia berkisar antara 50. Defisit sensoris
melibatkan kolom posterior dan lateral.
5. Stadium 5: mirip dengan stadium 4 terdapat keterlibatan
kandung kemih/spasme flexor/tetraplegia/paraplegia
Spondilitis TB diklasifikasikan berdasarkan Gulhane Askeri
Akademisi (GATA) yang dibuat berdasarkan kriteria klinis dan
radiologis.[2]
11
Tabel 2. Klasifikasi Berdasarkan GATA.[2]
Tipe Lesi Tatalaksana
IA Lesi vertebra dengan Biopsi perkutan,
degenarsi diskus 1 kemoterapi
segmen, tanpa kolaps,
abses maupun defisit
neurologis
1B Cold abses, Drainase abses,
degenerasi diskus 1 debridement anterior/
segmen atau lebih, posterior
tanpa kolaps ataupun
defisit neurologis
II Kolaps vertebra, cold Debridement dan fusi
abses, kifosis, anterior, dekompresi
deformitas stabil, jika terdapat defisit
dengan atau tanpa neurologis, tandur trut
defisit neurologis, kortikan untuk fusi
angulasi sagittal <20⁰
III Kolaps vertebra berat, Sesesuai tipe II
cold abses, kifosis dengan tambahan
berat, deformitas instrumentasi anterior
tidak stabil, dengan atau posterior.
atau tanpa defisit
neurologis, angulasi
sagittal >20⁰
Penilaian derajat keparahan, memantau perbaikan klinis dan memprediksi
prognosis dapat menggunakan klasifikasi American Spinal Injury Association
(ASIA).[2]
12
C. Incomplete Fungsi mtorik masih utuh
dibawah segmen lesi neurologis,
dan lebih dari separuh otot kunci
(fleksi siku, ekstensi tangan,
ekstensi siku, ekstensi jari
tangan, fleksi tungkai,
dorsofleksi kaki, ekstensi ibu jari
kaki, plantar fleksi kaki)
dibawah segmen neurologis
setidaknya memiliki kekuatan
motoric dibawah 3
D. Incomplete Sama seperti C, namun dengan
kekuatan motoric diatas 3
E. Normal Sindrom Klinis Fungsi motoric dan sensorik
normal
Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
● Laju sedimentasi eritrosi (ESR) memiliki sensitivitas
60-80% umumnya lebih dari 20 mm/jam pada TB dan menurun
apabila terdapat respon dari pengobatan. [7]
● Protein C-reaktif (CRP) memiliki sensitivitas 71% dan
lebih spesifik dari ESR. [7]
● Pemeriksaan serologis kadar antibodi IgG dan IgM
terhadap antigen TB, hal ini tidak terlalu efektif namun dapat
membedakan antara penyakit aktif atau masa penyembuhan,
infeksi TB alami atau akibat dari vaksinasi. Umumnya meningkat
pada tahap infeksi aktif dan kronis. [7]
13
● Pewarnaan basil tahan asam (BTA) dengan Teknik
pewarnaan Ziehl-Neelsen, diperlukan setidaknya 1 hingga 10
bakteri/ml untuk mendeteksi. [7]
● Kultur TB menggunakan BACTEC yang membutuhkan
waktu inkubasi selama 2 minggu, sedangkan kultur menggunakan
Lowenstein-Jenson membutuhkan waktu 6 minggu. [7]
● Molecular testing and polymerase chai reaction (PCR)
memiliki sensitivitas sebesar 75% dan spesifitas 97%. Pemeriksaan
ini sangat berguna pada kasus TB ekstra paru. [7]
● Histopatologi ditemukan nekrosis kaseosa, granuloma sel
spiteloid dan sel raksasa Langhans pada 72-97% kasus. [7]
2. Radiologi
● Foto Rontgen
Hanya 50% pasien dengan tuberkulosis tulang dan
sendi didapatkan gambaran infeksi TB pada rontgen toraks.
Foto rontgen toraks dilakukan pada seluruh pasien untuk
mencari adanya bukti TB paru ( 2/3 kasus memiliki foto
rontgen abnormal). Pada fase awal tampak lesi osteolitik
pada bagian anterior badan vertebra dan osteoporosis
regional. Penyempitan ruang diskus intervertebralis
menandakan terjadinya kerusakan diskus. Pada fase lanjut,
kerusakan gibus semakin memberat dan membentuk
angulasi kifotik (gibbus). Bayangan opak yang memanjang
paravertebral dapat terlihat yang merupakan cold abses.[2]
14
Gambar 1. Foto X-Ray Thorax Frontal dengan Abses Prevetebra
15
● CT Scan
CT scan berguna untuk memvisualisasikan regio
torakal yang sulit dilihat dengan foto polos. CT scan dapat
memperlihatkan dengan jelas sklerosis tulang, destruksi
badan vertebra, abses epidural, fragmentasi tulang, dan
penyempitan kanalis spinalis. CT myelography juga dapat
menilai kompresi medulla spinalis apabila pemeriksaan
MRI tidak tersedia. CT scan juga berguna untuk memandu
Tindakan biopsi perkutan dan menentukan luas kerusakan
jaringan tulang.[2]
● MRI
MRI merupakan modalitas terbaik untuk spondilitis
TB karena lebih sensitif dari radiografi dan lebih spesifik
dari CT. Pola anatomi akan tampak pada jaringan MRI,
terutama jaringan lunak dan keterlibatan diskus sehingga
memberikan hasil spesifitas yang lebih besar. MRI dapat
16
menampilkan diagnosis spinal TB 4-6 bulan lebih awal
sehingga memberikan keuntungan deteksi dan terapi lebih
dini. MRI memungkinkan untuk lebih cepat menentukan
adanya kompresi neurologis serta dapat membedakan
tulang dan lesi jaringan lunak (tuberculoma).[2]
17
Gambar 5. a, b Foto rotgen proyeksi anteroposterior dan lateral
memperlihatkan adanya kehancuran dan kerusakan berat (hampir 90%)
pada korpus dan vertebral lumbar L1 dan L2. Tampak kifosis regional. c, d
Foto MRI setinggi T2 (T2-W1) memperlihatkan kehancuran total tulang
belakang lumbar di L1 dan kerusakan parah pada vertebra lumbalis L2.
Terlihat gambaran abses paravertebral pada tingkat L1 dan L2 dan
menyebar ke L3 dan L4.3
Diagnosis Banding
Hal yang perlu diperhatikan pada spondilitis TB adalahnya nyeri punggung
nonspesifik, deformitas kifotik, dan kompresi medulla spinalis yang sering
menjadi alasan pasien datang berobat. Beberapa penyakit yang menyerang tulang
belakang harus dibedakan dengan spondilitis TB. Diagnosis banding yang paling
sering adalah spondylitis piogenik, spondilitis brucellar, sarcoidosis, metastase
multiple myeloma dan limfoma.[2]
18
Tabel 4. Diagnosis Banding Spondilitis TB
Pyogenic Tuberculosis Brucellar Metastasis
Durasi 2-3 3-6 2-6 <2
penyakit
(dalam bulan)
Usia Semua usiaAnak-anak Paruh baya Paruh baya
dan dewasa dan tua
muda
Lokasi Lumbal Lumbal-torak Lumbal Torakal
al
Keterlibatan Badan Badan Badan Bagian
vertebra dan vertebra dan vertebra dan vertebra dan posterior
struktur diskus, diskus, diskus, badan
lainnya keterlibatan keterlibatan keterlibatan vertebra
jaringan jaringan luas minimal (60%),
minimal (cold abses) jaringan pedikel dan
paraspinal, lamina (50%)
sarcolitis
Faktor Penyakit Paparan Konsumsi Adanya
predisposisi sistemik terhadap susu yang keganasan
seperti infeksi tidak sistemik
diabetes tuberculosis dipasteurisasi
mellitus
Manifestasi Demam, Demam, Demam, Nyeri
klinis nyeri malaise, malaise, nyeri punggung
punggung, penurunan punggung, pada malam
mielopati berat badan, penurunan hari, nyeri
nyeri berat badan punggung
punggung, diikuti nyeri
mielopati radicular,
mielopati
Laboratorium
Leukositosis Ada Tidak ada Ada Ada
Peningkatan Meningkat Meningkat Meningkat Tidak
ESR meningkat
CRP Meningkat Dapat Meningkat Tidak
meningkat meningkat
Radiologi Destruksi Destruksi Badan Penurunan
badan badan vertebra utuh intensitas
vertebra, disc vertebra, disc walaupun sinyal di T1
space, space, massa terjadi dan
peningkatan jaringan lunak osteomielitis peningkatan
lesi, abses vertebra intensitas
epidural sinyal di T2
19
2.7. TATALAKSANA
20
Tabel 5. Dosis panduan OAT KDT (kombinasi dosis tetap) [11]
21
[3]
penanganan MDR-TB, yaitu dengan kombinasi 5 obat, antara lain:
1. Salah satu dari OAT lini pertama yang diketahui sensitif melalui hasil
kultur resistensi
2. OAT injeksi periode minimal selama 6 bulan
3. Kuinolon
4. Sikloserin atau etionamid
5. Antibiotik lainnya seperti amoksisilin klavulanat dan klofazimin.
Edukasi
1. Penjelasan Sebelum MRS (rencana rawat, biaya, pengobatan, prosedur,
masa dan tindakan pemulihan dan latihan, manajemen nyeri, risiko dan
komplikasi)
2. Penjelasan mengenai Spondilitis Tuberkulosa, risiko dan komplikasi
selama perawatan
3. Penjelasan mengenai faktor risiko dan pencegahan rekurensi
4. Penjelasan program pemulangan pasien (Discharge Planning)
5. Penjelasan mengenai gejala Spondilitis Tuberkulosa, dan apa yang harus
[8]
dilakukan sebelum dibawa ke RS.
Terapi Operatif
Indikasi tindakan operasi pada Pott’s disease yaitu kasus dengan deficit
neurologis, abses paravertebral, tulang belakang yang tidak stabil akibat
deformits kifotik (terutama pada kifosis dengan sudut >50-60o dan progresif),
resisten terhadap OAT dan untuk mencegah/mengatasi komplikasi seperti
paraplegia. Jika sudah terindikasi, keterlambatan penanganan dapat
menyebabkan kifosis berat, disfungsi system respiratorik, gangguan pada
[10]
costopelvic, dan paraplegia.
1. Debridement
Suatu tindakan membuang jaringan mati berupa jaringan lunak, nanah dan
sekuester. Tindakan dapat dilakukan dengan cara kuretase, pencucian,
22
osteotomy, dan nekrotomi. Pendekatan yang dapat dilakukan antara lain,
pendekatan transpedikular, anterior, posterior, dan kostotransverektomi. [3]
2. Refreshing (refresh tepi defek)
Dilakukan dengan tujuan mencapai bagian tulang dan jaringan sehat. Tindakan
ini dapat dicapai dengan melakukan osteotomy, nekrotomi, kuretase, dan
sequeterektomi. [3]
3. Stabilisasi
Stabilisasi dicapai dengan menambahkan dan menempatkan benda kaku untuk
menyangga struktur tulang yang tidak stabil. Alat yang digunakan berupa
[3,6,8,10]
system sekrup dan rod yang pada umumnya terbuat dari titanium.
4. Koreksi Tulang
Costrotransversectomi, dekompresi anterolateral dan laminektomi.
Laminektomi, tujuan dilakukan untuk menghilangkan tekanan pada saraf,
direkomendasikan untuk pasien dengan penyakit kompleks dan sindrom tumor
spinal. [3,6,8,10]
2.8. KOMPLIKASI
Komplikasi pada spondylitis TB yaitu kifosis berat, terjadi karna kerusakan tulang
yang sangat hebat sehingga terjadi destruksi. Hal ini juga akan mempermudah
terjadinya paraplegia pada ekstremitas inferior yang dikenal dengan istilah Pott’s
paraplegia. [6]
2.9 PROGNOSIS
Prognosis spondylitis TB bervariasi, tergantung dari gejala yang timbul. Prognosis
yang buruk berhubungan dengan TB milier dan meningitis TB. Hal ini dapat
menyebabkan gangguan antara lain tuli, buta, paraplegi, retardasi mental,
gangguan gerak dan lain-lain. Prognosis bertambah baik jika penanganan cepat
dan terapi adekuat. Mortalitas yang tinggi terjadi pada anak dengan usia <5 tahun
sampai 30%. [6]
23
BAB III
KESIMPULAN
24
DAFTAR PUSTAKA
25
https://doi.org/10.4184/asj.2012.6.4.294
11. Depkes. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
364/MENKES/SK/V/2009. Jakarta: Menteri Kesehatan Republik
Indonesia; 2009.
26