SINOPSIS
''Begitulah rumus kehidupan. Dalam perkara shalat ini, terlepas dari apakah
seseorang itu pendusta, pembunuh, penjahat, dia tetap harus shalat, kewajiban
itu tidak luntur. Maka semoga entah di shalat yang ke-berapa, dia akhirnya
benar-benar berubah. Shalat itu berhasil mengubahnya. Midah pasti pernah
bilang itu kepadamu''(Hlm. 86)
''Situasi ini rumit sekali. Seharusnya jarak akan menikam perasaan itu. Kota
Madrid-Pulau Sumatera, itu jarak yang amat jauh. Tapi tidak, perasaan itu justru
tumbuh subur di hati Mama. Seharusnya juga waktu menghabisi kecambah
cinta itu. Enam bulan bukan waktu sebentar, total jenderal dua belas bulan sejak
kecambahnya terlihat. Malang, cinta itu malah sebaliknya, tumbuh besar,
batangnya kokoh, daunnya lebat, akarnya mencengkeram dalam. Setiap kali
Mama tampil disebuah acara, menyanyi, wajah Padre yang sedang memetik
gitar muncul dikepala. Setiap kali Mama menyibukkan diri dengan pekerjaan
lain, wajah pemuda menyebalkan itu berputar-putar di sudut ingatan''(Hlm. 269)
Novel karangan Tere Liye adalah novel incaran saya saat memasuki toko buku.
Beberapa hari yang lalu, saat mengunjungi toko buku, saya jatuh hati pada
novel Tere Liye yang berjudul 'Pergi', novel terbaru Tere Liye yang diterbitkan
bulan April 2018 lalu dan merupakan sekuel novel 'Pulang' yang diterbitkan
pada tahun 2015.
Tere Liye melalui tulisannya selalu berhasil memikat pembaca untuk terus-
menerus mencintai karya-karyanya. Seperti novel-novel Tere Liye sebelumnya,
novel yang berjudul 'Pergi' ini juga berhasil membuat saya jatuh cinta.
Perbatasan Meksiko dan Amerika Serikat adalah tempat pertama yang kita
kunjungi di dalam novel ini. Bujang, Salonga, White, Yuki dan Kiko tengah
berada di dalam sebuah misi menyelamatkan salah satu hasil riset teknologi
yang di danai oleh keluarga Tong yang dicuri oleh El Pacho, sindikat
penyeludup narkoba terbesar di Amerika Selatan, benda itu akan segera dibawa
ke Los Angeles, Amerika serikat, pusat kerajaan narkoba mereka. Teknologi itu
adalah hasil riset yang sangat penting dan mempunyai kemampuan untuk
mendeteksi serangan siber, El Pacho membutuhkan teknologi itu untuk
melindungi rekening uang haram mereka. Di dalam misi tersebut, Bujang dan
anggota yang ia bawa harus berhadapan dengan puluhan tukang pukul bayaran
alias sicario El Pacho.
Seseorang misterius itu memetik gitar klasik dan menyanyikan lagu dengan
suara serak sambil kemudian berusaha menembaki Bujang dan anggotanya. Dia
adalah Diego, kakak lelaki Bujang. Diego dan Bujang adalah saudara sebapak,
Bujang tak pernah mengetahui itu sebelumnya.
Bujang sebagai Tauke Besar keluarga Tong memiliki andil besar dalam
menentukan masa depan keluarga Tong. Dia bertanggung jawab dalam
menentukan arah pergi keluarga Tong yang telah membesarkannya. Bujang di
dalam novel ini diibaratkan sedang berada dalam sebuah perjalanan, dia
melangkah dengan kepala yang berkecamuk, kebingungan dan kegamangan
mengiringi langkahnya. Bujang memiliki darah keturunan ulama ternama di
dalam tubuhnya, ibunya adalah keturunan ulama ternama di Sumatera.
Kenyataan itu membuat Bujang terus-terusan dihantui pertanyaan, kemana ia
akan pergi? Kemana dia akan membawa Keluarga Tong? Apakah dia akan
terus-terusan menjadi pembunuh karena memperjuangkan kedudukan keluarga
Tong?.
Diego menjadi saksi betapa terlukanya ibunya, Catrina, setelah berpisah dengan
Samad bahkan sebelum Diego lahir. Dia tahu betul seberapa besar cinta Catrina
pada Samad. Diego mengetahui semuanya dari Catrina, dia menikmati kisah
romantis pertemuan demi pertemuan Catrina dan Samad, dengan membayar
mahal sebelumnya. Tapi siapa sangka, mendengar kelanjutan kisah demi kisah
yang keluar dari mulut ibunya, menimbulkan kebencian di hati Diego untuk
bapaknya, terlebih lagi pada Shadow Economy yang ia ketahui adalah bagian
dari diri bapaknya, Samad. Samad pernah menjadi bagian dari keluarga Tong,
dan keluarga Tong adalah bagian dari Shadow Economy. Setelah Samad
meninggal dan setelah mengetahui bahwa adiknya Bujang juga merupakan
petinggi Keluarga Tong, tekad Diego untuk menghancurkan Shadow
Economy masih membara.
Bagaimana Bujang akan menghadapi Diego yang baru saja ia ketahui sebagai
kakak kandungnya?
Banyak kelebihan dari novel 'Pergi'. Selain tema cerita yang menarik, Tere Liye
berhasil membawa pembaca ikut merasakan ketegangan yang terjadi antara
keluarga penguasa Shadow Economy, merasakan keromantisan cerita cinta
antara Samad dan Catrina, mulai dari rindu yang menggebu, kekecewaan dan
kemarahan karena perpisahan tanpa alasan yang jelas.
Pembaca ikut merasakan dengan jelas kemarahan Diego pada bapaknya karena
telah meninggalkannya dan ibunya, pembaca juga dapat memetik banyak
pelajaran dari kalimat demi kalimat yang Tere Liye tulis dalam novelnya ini.
Novel ini berusaha menyadarkan pembaca bahwa kita sejatinya sedang dalam
perjalanan, lalu pertanyaannya, kemana kita akan berjalan? Kemana kita akan
pergi? Dengan siapa kita akan pergi?.
Membaca novel 'Pergi' seperti menonton film action, namun dibumbui dengan
kisah romantis, dihiasi dengan pesan-pesan moral dan nasehat-nasehat religius.
Novel ini sangat unik dan berbeda dengan kebanyakan novel yang tersebar di
toko buku tanah air. Di dalamnya tidak melulu tentang peperangan antar
keluarga Shadow Economy, tetapi disisipi dengan cerita cinta, nasehat-nasehat
hidup dan nilai-nilai religi yang mengena di hati.
Keberadaan Shadow Economy yang diceritakan dengan rinci, terasa sangat
nyata dan berhasil membuat pembaca menimbang-nimbang fakta
keberadaan Shadow Economy di dunia nyata, apakah Shadow Economy benar-
benar ada di dunia nyata atau fiktif belaka?, setelah membaca novel ini,
pertanyaan seperti itu akan menggelitik pembaca.
Selain kelebihan, sebuah karya tentu memiliki kekurangan. Begitu juga dengan
novel ini, salah satu kekurangan yang saya temukan adalah ketidaksinkronan
pernyataan Bujang di halaman 12 dengan pernyataan di halaman 309. Di
halaman 12 Bujang menyatakan bahwa sedikit sekali orang yang mengetahui
nama aslinya, Agam. Hanya tujuh orang, lima diantaranya telah meninggal;
Bapak, Mamak, Kopong, Guru Bushi , dan Tauke Besar. Menyisakan Tuanku
Imam dan Salonga. Namun di halaman 309 pernyataan yang di kemukakan
Maria berbeda dengan pernyataan Bujang sebelumnya, Maria mengenali Bujang
dari foto Bujang yang ada di kampusnya, kampus yang juga merupakan tempat
Bujang berkuliah dulunya. Di sana diceritakan tentang kisah seorang Agam
yang mengikuti lomba lari melawan pemegang rekor dunia, sering berdebat
dengan dosen dan karya ilmiah yang di muat di berbagai jurnal dunia. Berarti,
nama asli Bujang diketahui banyak orang, bukan hanya di kampusnya dulu,
bahkan di berbagai belahan dunia.
Proses dan hasil Interogasi di halaman 71, yang dilakukan Bujang pada Chen
sangat janggal dan kurang masuk akal. Di dalam interogasinya Bujang
menanyakan tujuh pertanyaan yang kesemuanya di jawab oleh Chen dengan
mendengus, menggeram dan sesekali meludah. Mendengus, menggeram
diartikan Bujang sebagai jawaban 'iya', sedangkan meludah diartikan sebagai
jawaban 'tidak'. Sebagian orang mungkin menganggap bahwa itu adalah
kelebihan dan kehebatan Bujang dalam membaca reaksi Chen, namun saya
menganggap itu adalah sesuatu yang tidak masuk akal dan janggal. Betapa
sebuah jawaban yang terencana jika Chen menjawab semua pertanyaan yang
diajukan dengan Bujang dengan menggeram dan meludah. Kalau satu atau dua
pertanyaan masih dapat diterima, namun dalam kasus ini Chen menjawab tujuh
pertanyaan Bujang dengan pola yang sama. Seharusnya sebagai seseorang yang
ingin tutup mulut dan tidak ingin berpihak pada keluarga Tong, Chen lebih
masuk akal jika bertahan diam dengan keras kepala. Bujang entah atas dasar apa
mengartikan geraman Chen adalah jawaban 'iya' dan meludah adalah jawaban
'tidak'. Semua itu membuat saya merasa janggal saat membacanya.
Ending novel 'Pergi' tidak seperti yang saya harapkan sebelumnya. Saya pikir
Bujang akan berhasil atau setidaknya lebih berusaha membawa keluarga Tong
atau bahkan Shadow Economy pergi dan memiliki kehidupan yang lebih terang,
jauh dari hidup yang kelam dan jahat. Namun di akhir cerita, Bujang malah
pergi membawa dirinya sendiri. Dia keluar dan melepaskan diri dari keluarga
Tong. Namun meskipun demikian, menurut hemat saya, setelah membaca akhir
cerita, Bujang belum benar-benar pergi untuk menemukan tujuan hidupnya, bisa
jadi Tere Liye akan membuat novel baru yang berhubungan dengan novel ini
dan akan menjelaskan arah pergi dan tujuan Bujang yang sebenarnya.
Terlepas dari kekurangan yang saya kemukakan sebelumnya, saya tetap sangat
menyukai novel ini, beberapa kalimat yang Tere Liye tulis bahkan mampu
membuat pembaca meneteskan air mata. Saya sendiri membacanya sambil
memegang dada yang terasa sesak. Kesedihan, ketegangan dan kemarahan
terasa sangat nyata.
Nasehat-nasehat yang ada di dalamnya sampai ke hati, itulah yang sejak dulu
tidak pernah lepas dari karya-karya Tere Liye. Maka tidak salah jika sedari dulu
saya sangat menyukai karya-karyanya. Bagaimanapun, novel yang berjudul
'Pergi' ini tetap berhasil membuat saya berkali-kali jatuh cinta.