Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Seiring berkembangnya zaman kebutuhan hidup manusia pun menjadi bertambah. Kebutuhan
hidup yang awalnya hanya dilakukan untuk memenuhi apa yang dibutuhkan saja kini mulai bergeser
kepada keinginan yang harus dipenuhi. Akibatnya kebutuhan untuk hasrat keinginan tersebut menjadi
semakin meningkat. Peningkatan kebutuhan tersebut menjadikan manusia makin konsumtif. Memang
tidak ada yang salah dengan memenuhi kebutuhan hidup, namun jika kebutuhan tersebut membuat
manusianya menjadi kewalahan dalam memenuhinya maka itu lah yang menjadi berbahaya. Untuk
memenuhi kebutuhan tersebut maka manusia melakukan berbagai cara dan salah satunya yaitu dengan
melakukan pembelian atau berbelanja. Kegiatan berbelanja memang sah-sah saja dilakukan, apalagi
dilakukannya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Namun jika dilakukan berlebihan maka
itulah yang menjadi kurang tepat. Ketika berbelanja kita terkadang menjadi pribadi yang kehilangan
kontrol dalam melakukannya. Segala hal yang pada dasarnya kita tidak terlalu butuhkan namun secara
tidak sadar kita malah membelinya, dan setelah selesai berbelanja kita baru sadar bahwa barang yang
dibeli tersebut ternyata tidak terlalu dibutuhkan. Kegiatan berbelanja memang mengasikan, bahkan
saking mengasikannya terkadang membuat kita lupa diri, lupa waktu bahkan lupa budget yang
dipunya. Semakin hari kegiatan berbelanja kini sudah menjadi gaya hidup bahkan hobi baru bagi
sebagian orang. Konsep belanja yang awalnya hanya suatu sikap untuk mendapatkan barang yang
menjadi keperluan untuk sehari-hari dengan jalan menukarkankan sejumlah uang sebagai pengganti
barang tersebut. Akan tetapi, pada saat ini konsep belanja itu mulai bergeser menjadi sebuah cerminan
gaya hidup dan rekreasi dikalangan masyarakat. Menurut Tambunan (2005) Belanja adalah suatu gaya
hidup tersendiri, bahkan telah menjadi suatu kegemaran bagi sejumlah orang. Hal tersebut didukung
dengan pernyataan Fitri (dalam Wathani, 2009:2) bahwa sebagian masyarakat melakukan pembelian
bukan berdasarkan kebutuhannya lagi, tetapi karena ingin memenuhi hasrat yang timbul dalam
dirinya. Jika kegiatan berbelanja tersebut sudah tidak terkendali lagi, bahkan segala hal yang tidak
dibutuhkan kita beli seenaknya atau tanpa pertimbangan, tidak terencana dan sekedar hanya untuk
memenuhi sisi emosional kita saja maka kegiatan tersebut sudah masuk kepada pembelian impulsif
atau impulsive buying.

Pembelian impulsif merupakan perilaku pembelian yang di sebabkan oleh adanya dorongan
yang sangat kuat, tiba-tiba, dan terus-menerus yang berupaya mendorong konsumen untuk membeli
suatu benda (Rook, 1987). Pembelian impulsif cenderung dilakukan dengan mengabaikan
pertimbangan atas konsekuensi. Hal ini sejalan dengan pernyataan dari Susanta (dalam Luthfiana,
2014) yang menyatakan bahwa sebagian besar konsumen Indonesia memiliki karakter tanpa
perencanaan, konsumen biasanya suka bertindak di menit terakhir dan jika berbelanja sering menjadi
pembeli yang impulsif. Menurut Kasumaningrum (2015), masyarakat Indonesia memiliki tingkat
Marginal Propensity to Save (MPS) yang menurun dan Marginal Propensity to Consumption (MPC)
yang semakin meningkat selama tiga tahun ini. Mouton (dalam Wathani, 2009:6) menemukan fakta
menarik di Perancis bahwa sebanyak 4% penduduknya mengalami suatu keadaan pembelian yang
tiba-tiba dan tanpa direncanakan. Pembelian impulsif ini bisa terjadi kepada siapa saja baik pria
maupun wanita, namun lebih banyak terjadi kepada wanita. Karena, jika dibandingkan dengan pria,
wanita masih dipandang lebih mengutamakan sisi emosionalitas daripada rasionalitas. Emosionalitas
ini sangat relevan dengan konsep pembelian impulsif. Dittmar (1995) mengatakan bahwa secara
umum wanita lebih sering membeli secara impulsif dibandingkan pria. Wanita cenderung menghargai
produk secara simbolis dan emosional, sedangkan pria menghargai produk secara fungsional dan
berdasarkan kesenangan. Hal ini didukung oleh pernyataan Moussa (dalam Ceballos, 2010:88) bahwa
penyebab meningkatnya jumlah shopaholics di Inggris, ialah makin banyaknya perempuan yang
menjadi penggemar setia pakaian. Berdasarkan pernyataan tersebut memang sudah jelas bahwa
perilaku berbelanja memang identik dengan wanita dan sudah menajdi ciri khas dari wanita.

Hasil riset yang dilakukan oleh MasterCard Asia Pasifik pada tahun 2015 (Primadhyta, 2015)
menunjukkan bahwa 47% responden yang memiliki usia produktif (18-29 tahun) berniat membeli
barang mewah pada tahun 2016. Dalam riset ini juga menunjukkan 26% dari 50% responden yang
berasal dari Indonesia melakukan pembelian secara impulsif. Karakteristik usia produktif tersebut
berada pada tahap perkembangan remaja akhir menuju dewasa awal dimana usia tersebut sama
dengan usia yang dimiliki mahasiswi. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Yusuf (2011)
yang menyatakan bahwa Mahasiswi sebagai individu yang berada pada tahap perkembangan dari
masa remaja akhir sampai dewasa awal dengan kisaran usia sekitar 18 sampai 25 tahun. Mahasiswi
memang menjadi target dari produsen untuk menciptakan impulsive buying pada diri mereka, karena
mereka masih memiliki emosi yang labil dan mudah terpengaruh. Hal ini sejalan dengan apa yang
diungkapkan oleh Mangkunegara, ia (dalam Larasati & Budiani, 2014) mengatakan bahwa mahasiswi
diasumsikan sebagai remaja tingkat akhir memiliki karakteristik yaitu tidak berfikir hemat, mudah
terpengaruh oleh rayuan penjual, kurang realistis, romantis, dan mudah terbujuk (impulsif).
Mahasiswi Psikologi UIN Bandung bisa tergolong kepada mahasiswi yang loyal. Mengapa mahasiswi
Psikologi terbilang loyal? Karena hampir tiap semester mereka mengeluarkan sedikit uang jajannya
untuk memberi reward kepada orang yang di jadikan objek praktikumnya, hal itu pun terjadi pada
mahasiswanya. Bahkan peneliti melihat ketika mahasiswi psikologi melakukan pembelian reward
untuk OP, mereka cenderung impuslif dalam berbelanja. Mereka tidak tanggung-tanggung dalam
memberikan reward kepada OP yang telah membantu jalannya praktikum. Selain itu tuntutan dan
tekanan tugas yang dihadapi mahasiswi Psikologi membuat mereka mau tidak mau untuk self-reward
terhadap dirinya yang sudah berusaha dalam belajar atau pun praktikum-praktikumnya. Dengan self-
reward tersebut sebagai bentuk katarsis yang mereka lakukan. Hal yang peneliti jumpai dari self-
reward yang mereka lakukan diantaranya: jalan-jalan, belanja, nonton bahkan sampai wisata kuliner
yang tentunya dapat menguras pengeluaran lebih. Selain itu mahasiswi psikologi juga dituntut untuk
menjaga penampilan agar tetap elok untuk dilihat. Sehingga banyak yang mengatakan bahwa
mahasisiwi psikologi tergolong cantik-cantik dan menarik. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan
oleh peneliti, hampir kebanyakan mahasiswi psikologi berpenampilan kekinian dan modis bahkan
pakaian yang dikenakannya pun selalu berganti-ganti dan macam-macam rupanya. Bahkan makanan
yang dibeli ketika istirahat pun cenderung impulsif, dengan segala macam makanan dibeli. Mahasiswi
biasanya berbelanja demi untuk memenuhi eksistensi mereka agar tidak ketinggalan dibandingkan
dengan yang lain. mereka mudah tergiur untuk berbelanja suatu barang yang kurang bermanfaat.
Berdasarkan sebuah penelitian yang dilakukan oleh Mastercard mengungkapkan bahwa separuh dari
generasi millennial di Indonesia 50% dan di Thailand 60% adalah pelanggan paling impulsif di Asia
Pasifik, di mana setidaknya separuh dari pembelian barang-barang mewah dilakukan dengan spontan,
di atas rata-rata regional yaitu 26%. Setengah responden yang berasal dari Indonesia 50% lebih
memilih belanja barang-barang mewah di outlet lokal dengan harga yang wajar, sedangkan sisanya
belanja barang branded ketika sedang liburan ke luar negeri. (Primadhyta, CNN Indonesia, 2015).
Kegiatan berbelanja yang dilakukan oleh mahasiswi ini tidak hanya dilakukan secara offline tetapi
juga online, hal ini senada dengan yang di ungkapkan oleh salah satu mahasiswi psikologi bahwa
ketika ia berbelanja pakaian ia lebih suka secara langsung, sedangkan menurut beberapa mahasisiwi
lainnya mereka melakukan belanja online untuk membeli skincare, kosmetik, tas dll. Penelitian yang
dilakukan oleh Ying-Ping Liang (2008) menemukan bahwa 39 persen dari semua pembelian di
department store dan 67 persen dari semua pembelian di toko umum adalah impulse buying.
Sedangkan berdasarkan riset yang dilakukan oleh BMI Research kelompok yang sering berbelanja
online pada usia 18-23 tahun adalah sebanyak 23%. Lalu hasil riset yang dilakukan oleh Snapcart
(dalam Badan Penelitian dan Pengembangan Kementrian Dalam Negeri, 2018) menunjukkan bahwa
pelaku belanja online didominasi oleh generasi milenial yang berusia 24-35 tahun yaitu sebanyak
50%, Setelah itu kelompok umur lainnya yaitu generasi Z (15-24 tahun) sebanyak 31% dan sisanya
oleh generasi lanjut.

Impulsive buying dipengaruhi oleh beberapa faktor yang diantaranya yaitu self control dan
money availability. Menurut Chaplin (2002) self control adalah kemampuan individu untuk
mengarahkan tingkah lakunya sendiri dan kemampuan untuk menekan atau menghambat dorongan
yang ada. Selain itu Ghufron & Risnawati (2010:21) mendefinisikan self control sebagai suatu
kemampuan individu untuk membaca kondisi diri dengan lingkungannya. Faktor-faktor dari self
control meliputi lingkungan internal serta eksternal, lingkungan internal mencakup usia individu
tersebut, sedangkan lingkungan eksternal meliputi peraturan yang dibuat oleh keluarga tersebut agar
indidividu tidak melakukan perilaku menyimpang. Dalam beberapa penelitian yang sudah dilakukan
sebelumnya menyatakan bahwa self control ini memberi pengaruh terhadap perilaku impulsive
buying. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Lioni Aprilia dan Suci Rahma Nio (2019)
dengan judul penelitian HUBUNGAN ANTARA KONTROL DIRI DENGAN KECENDERUNGAN
IMPULSIVE BUYING PADA MAHASISWI menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif yang
signifikan antara kontrol diri dengan kecenderungan impulsive buying pada mahasiswi, temuan ini
berarti ketika kontrol diri tinggi maka perilaku impulsive buying rendah dan ketika kontrol diri rendah
maka perilaku impulsive buying tinggi. Penelitian tersebut sejalan dengan apa yang dilakukan oleh
Zahrah Aulia Pratiwi (2019) bahwa variable self control memiliki proporsi varians sebesar 5,8 %
terhadap impulsive buying dalam penelitian yang dilakukannya. Selain itu pada penelitian yang
dilakukan oleh Arfian Hatta Istiqlal (2019) pun menunjukan hasil yang serupa bahwa terdapat
hubungan negatif antara kontrol diri dengan impulsive buying pada mahasiswa. Yang artinya semakin
rendah kontrol diri individu maka akan semakin tinggi impulsive buying pada individu tersebut,
begitupun sebaliknya semakin tinggi kontrol diri maka akan semakin rendah tingkat impulse buying
individu tersebut. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Rina Tri Rochani (2018) dengan
judul penelitian HUBUNGAN KONTROL DIRI DENGAN PERILAKU KONSUMTIF ONLINE
SHOPPING DI INSTAGRAM PADA REMAJA menunjukkan bahwa Sumbangan efektif kontrol diri
terhadap perilaku konsumtif online shopping sebesar 28,6% yang artinya semakin tinggi kontrol diri
yang dimiliki, maka semakin rendah perilaku konsumtif online shopping di instagram pada remaja,
begitu sebaliknya semakin rendah kontrol diri yang dimiliki, maka semakin tinggi perilaku konsumtif
online shopping di instagram pada remaja. Penelitian-penelitian tersebut pun diperkuat oleh penelitian
yang dilakukan oleh Desy Arisandy (2017) dengan judul penelitian KONTROL DIRI DITINJAU
DARI IMPULSIVE BUYYING PADA BELANJA ONLINE menunjukkan bahwa terdapat hubungan
antara kontrol diri dengan perilaku impulsive buying pada mahasiswi fakultas psikologi perguruan
tinggi wilayah Palembang yang melakukan belanja online. Lalu pada penelitain yang dilakukan oleh
Ardian Rahman Afandi dan Sri Hartati (2017) dengan judul penelitian Pembelian Impulsif pada
Remaja Akhir Ditinjau dari Kontrol Diri menunjukkan bahwa terdapat peran negatif kontrol diri
terhadap pembelian impulsif pada remaja akhir. Semakin tinggi kemampuan kontrol diri seseorang,
maka kecenderungan pembelian impulsif akan semakin rendah dan sebaliknya, bila kemampuan
kontrol diri seseorang rendah maka kecenderungan pembelian impulsif akan semakin tinggi.
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Amelia Putri Aprilawati (2017) menunjukkan pegaruh
yang lebih besar yaitu sebesar 40%. Berdasarkan penelitian-penelitian di atas memang tidak bisa
dipungkiri bahwa self control ini memang berpengaruh terhadap perilaku impulsive buying. Dengan
adanya kontrol diri ini menjadikan kita lebih bijak dalam membelanjakan uang yang kita miliki.

Ketersediaan uang atau money availability juga merupakan salah satu faktor yang dapat
memengaruhi perilaku impulsive buying, terutama pada mahasiswi yang kita tahu masih belum
produktif dalam menghasilkan uang atau bisa dibilang masih mengandalkan pemberian dari orangtua.
Uang memainkan bagian yang penting terhadap kehidupan sehari-hari semua orang di dunia dan
mempengaruhi perilaku dan sikap seseorang (Roberts & Roberts, 2012). Ketersediaan uang (money
availability) adalah variabel yang tergabung di dalam faktor situasional (Beatty & Ferrell, 1998).
Berdasarkan beberapa penelitian menujukkan bahwa money availability ini berpengaruh terhadap
perilaku impulsive buying. Pada penelitian yang dilakukan oleh Hendra dan Thomas Stefanus Kaihatu
(2019) dengan judul penelitian HOW DOES THE STORE (MALL) ENVIRONMENT AND
MONEY AVAILABILITY AFFECT CONSUMER IMPULSE BUYING BEHAVIOR AT
SURABAYA CITY OF TOMORROW SHOPPING CENTER? Menunjukkan bahwa ketersediaan
uang berpengaruh positif dan signifikan terhadap pembelian impuls konsumen di City of Tomorrow
(Cito) Surabaya. Penelitian tersebut sejalan dengan yang dilakukan oleh Faizal Ardiyanto (2017)
dengan judul penelitian PENGARUH POSITIVE EMOTION, TIME AVAILABILITY, DAN
MONEY AVAILABILITY TERHADAP IMPULSIVE BUYING BEHAVIOR KONSUMEN
MAHASISWA PADA DEPARTMENT STORE DI KOTA YOGYAKARTA menunjukkan hasil
bahwa variabel-variabel bebas yang diteliti berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap
variabel dependen (impulsive buying behavior) karena setiap variabel-variabel independen tersebut
memiliki Sig. atau p-value kurang dari α sebesar 0,05 dan beta (β) positif. Ini berarti bahwa money
availability pun berpengaruh terhadap perilaku impulsive buying. Lalu pada penelitian yang dilakukan
oleh Muhammad Iqbal Fattrah (2017) menunjukkan hasil yang serupa bahwa Availability of money
and time berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku impulsive buying pelanggan Transmart
Carrefour Cilandak. Begitupun dengan penelitian yang dilakukan oleh I Gede Made Ray Anom
Dananjaya dan Gede Suparna (2016) dengan judul penelitian HEDONIC CONSUMPTION
TENDENCY DAN IMPULSE BUYING PELANGGAN PRODUK FASHION DI MALL BALI
GALERIA menunjukkan bahwa availability of money memiliki pengaruh signifikan dan positif
terhadap impulsive buying pelanggan produk fashion di Mall Bali Galeria. Dengan adanya uang
membuat mahasiswi lebih leluasa dalam melakukan pembelian, bahkan pembelian yang dilakukan
tersebut bisa mengarah ke pembelian impulsif.

Berdasarkan penjelasan di atas maka peneliti tertarik untuk meneliti Pengaruh self control dan
money availability terhadap impulsive buying pada mahasiswi Fakultas Psikologi UIN Bandung.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Apakah terdapat pengaruh dari self control dan money availability terhadap impulsive buying
pada mahasiswi Fakultas Psikologi UIN Bandung?
2. Apakah terdapat pengaruh self control terhadap impulsive buying pada mahasiswi Fakultas
Psikologi UIN Bandung?
3. Apakah terdapat pengaruh money availability terhadap impulsive buying pada mahasiswi
Fakultas Psikologi UIN Bandung?
C. TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui pengaruh dari self control dan money availability terhadap impulsive
buying pada mahasiswi Fakultas Psikologi UIN Bandung?
2. Untuk mengetahui pengaruh self control terhadap terhadap impulsive buying pada
mahasiswi Fakultas Psikologi UIN Bandung?
3. Untuk mengetahui pengaruh money availability terhadap impulsive buying pada
mahasiswi Fakultas Psikologi UIN Bandung?

D. MANFAAT PENELITIAN
Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka manfaat penelitian yang dapat diperoleh adalah
sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang faktror-faktor yang
secara potensial dapat menyebabkan konsumen melakukan impulsive buying. Selain itu
penelitian ini di harapkan dapat menjadi referensi untuk penelitian selanjutnya lebih
lanjut mengenai faktor-faktor lain yang dapat memengaruhi impulsive buying.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menemukan hasil yang bermanfaat bagi para mahasiswi
dalam mengelola keuangan dan mengontrol diri agar tidak berperilaku impulsive buying.
DAFTAR PUSTAKA

Afandi, A. R., & Hartati, S. (2017). Pembelian Impulsif pada Remaja Akhir Ditinjau dari Kontrol
Diri. Gadjah Mada Journal of Psychology, 3(3), 123–130.
Aini, A. N., & Mahardayani, I. H. (2019). HUBUNGAN ANTARA KONTROL DIRI DENGAN
KECENDERUNGAN IMPULSIVE BUYING PADA MAHASISWI. Jurnal Psikologi Pitutur,
I(2), 65–71.
Aprilawati, A. P. (2017). HUBUNGAN ANTARA KONTROL DIRI DENGAN PEMBELIAN
IMPULSIF PRODUK FASHION ONLINE PADA MAHASISWI. Skripsi.
https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Ardiyanto, F. (2017). Pengaruh Positive Emotion, Time Availability, dan Money Availability
terhadap Impulsive Buying Behavior Konsumen Mahasiswa pada Department Store di Kota
Yogyakarta. Akmenika: Jurnal Akuntansi Dan Manajemen, 14(1), 850–862.
Arisandy, D. (2017). KONTROL DIRI DITINJAU DARI IMPULSIVE BUYYING PADA BELANJA
ONLINE. (3), 63–74.
Haryani, I., & Herwanto, J. (2015). Hubungan Konformitas dan Kontrol Diri Dengan Perilaku
Konsumtif Terhadap Produk Kosmetik pada Mahasiswi. Jurnal Psikologi, 5–11.
Hendra, T. S. K. (2019). HOW DOES THE STORE (MALL) ENVIRONMENT AND MONEY
AVAILABILITY AFFECT CONSUMER IMPULSE BUYING BEHAVIOR AT SURABAYA
CITY OF TOMORROW SHOPPING CENTER? Jurnal Riset Manajemen Dan Bisnis, 4(2),
215–224.
Iqbal, M. (2017). PENGARUH AVAILABILITY OF MONEY AND TIME, HEDONIC SHOPPING
VALUE, DAN STORE ATMOSPHERE TERHADAP PERILAKU IMPULSE BUYING
PELANGGAN TRANSMART CARREFOUR CILANDAK. Skripsi, 4(1), 9–15.
Istiqal, A. H. (2019). Hubungan Kontrol Diri dengan Impulse Buying pada Mahasiswa. Skripsi.
Manggi Asih Larasati, M. S. B. (2014). HUBUNGAN ANTARA KONTROL DIRI DENGAN
PEMBELIAN IMPULSIF PAKAIAN PADA MAHASISWI PSIKOLOGI UNIVERSITAS
NEGERI SURABAYA YANG MELAKUKAN PEMBELIAN SECARA ONLINE. Jurnal
Character, 2(3), 1–8.
Pratiwi, zahrah aprilia. (2019). PENGARUH SELF-CONTROL, BIG FIVE PERSONALITY DAN
DEMOGRAFI TERHADAP IMPULSIVE BUYING PADA PENGGUNA E-COMMERCE
TOKOPEDIA. Skripsi.
Rochani, R. T. (2018). HUBUNGAN KONTROL DIRI DENGAN PERILAKU KONSUMTIF
ONLINE SHOPPING DI INSTAGRAM PADA REMAJA. Skripsi.
https://doi.org/10.1016/j.worlddev.2018.08.012
SULTANA, A. (2016). HUBUNGAN SELF CONTROL DENGAN FASHION INVOLVEMENT
PADA MAHASISWA FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS BRAWIJAYA.
SKRIPSI, 1–10.

Anda mungkin juga menyukai