Anda di halaman 1dari 23

BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang
Beberapa orang dapat mengalami rasa cemas saat berbicara dengan
orang baru, berdiri di depan umum dan lain sebagainya. Hal tersebut dapat
mengganggu aktivitas individu tersebut.
Kecemasan menrupakan suatu keadaan khawatir yang
mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Banyak hal yang
harus dicemaskan misalnya, kesehatan, relasi sosial, ujian, karir dan
kondisi lingkungan. Hal tersebut merupakan salah satu faktor-faktor yang
menimbulkan kecemasan. Kecemasan merupakan sesuatu hal yang normal
bahkan kita memerlukan perasaan cemas karena dengan adanya
kecemasan maka kita akan lebih adaptif. Kecemasan mempunyai manfaat
apabila kecemasan tersebut dapat memotivasi kita, misalnya untuk belajar
lebih giat ketika ada ujian. Namun kecemasan bisa menjadi abnormal
apabila tingkatannya tidak sesuai dengan proporsi ancaman ataupun
kecemasan tersebut datang tanpa ada sesuatu penyebab.
Ada factor-faktor tertentu yang dapat menyebabkan perasaan
cemas muncul pada diri seseorang. Bila perasaan cemas terhadap suatu hal
berlangsung terus-menerus dan sulit untuk ditangani, maka lebih baik
dilakukan terapi untuk mengurangi gangguan cemas tersebut. Karena,
seorang individu dapat terganggu bila kehidupannya selalu dilingkupi oleh
perasaan cemas terhadap sesuatu hal.
Oleh karena itu dalam makalah ini akan dibahas tentang definisi
gangguan cemas, etiologidari gangguan cemas dan bagaimana terapi untuk
gangguan cemas.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari ganguman cemas, fobia spesifik, gangguan
kecemasan sosial. Gangguan pani, agoraphobia, dan GAD
2. Apa saja etiologi gangguan cemas?

1
3. Bagaimana terapi gangguan cemas?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang definisi Gangguan Cemas, fobia spesifik,
gangguan kecemasan sosial, gangguan panik, agoraphobia,dan GAD
2. Untuk mengetahui tentang etiologi gangguan cemas
3. Terapi gangguan cemas

2
BAB II

Pembahasan

A. Definisi Gangguan Cemas: Fobia Spesifik, Gangguan Kecemasan


Sosial, Gangguan Panik, Agoraphobia, GAD
Kecemasan adalah suatu perasaan takut dan khawatir yang
tidak menyenangkan. Berbagai gangguan yang dibahas dalam
kecemasan dianggap sebagai bentuk-bentuk neurosis. Menurut Teori
Psikoanalisa tentang kondisi neurotic diasumsikan mencerminkan
masalah yang terpendam dan berkaitan dengan impuls-impuls id yang
ditekan.
Ada lima kategori utama gangguan anxietas dalam DSM-V,
yiatu fobia spesifik, gangguan kecemasan social, gangguan panic,
agoraphobia, dan gangguan kecemasan menyeluruh (generalized
anxiety disorder/GAD). Berbeda dengan DSM-IV TR, yang masih
terdapat gangguan obsesif-kompulsive, gangguan stress pasca trauma,
dan gangguan stress akut. Kemudian fobia yang dibagi menjadi dua,
yaitu fobia spesifik dan fobia sosial.
Namun, terkadang individu yang mengalami satu gangguan
anxietas juga dapat memenuhi diagnostik gangguan lain, situasi
tersebut disebut dengan komorbiditas. Komorbiditas dalam gangguan
anxietas terjadi karena dua hal, yaitu:
1. Simtom yang ada pada gangguan anxietas tidak seluruhnya spesifik
bagi gangguan tertentu. Misal, gejala-gejala somatic kecemasan
seperti keringat dan denyut jantung yang cepat merupakan beberapa
kriteria diagnostik bagi gangguan panik, fobia, dan gangguan stress
pascatrauma.
2. Factor-faktor etiologis yang memicu timbulnya berbagai gangguan
anxietas memiliki kemungkinan dapat diterapkan bagi lebih dari satu
gangguan. Misalnya, keyakinan bahwa kita dapat mengontrol
berbagai stressor yang kita temui dianggap relevan bagi fobia dan

3
gangguan anxietas menyeluruh. Selain itu, penyiksaan fisik atau
seksual di masa kanak-kanak dapat meningkatkan risiko seseorang
untuk mengalami beberapa gangguan.
Kategori utama gangguan kecemasan dalam DSM-5, yaitu:
1. Fobia Spesifik ( Specific Phobia)

Fobia berasal dari bahasa Yunanai. Kata fobia diambil dari


nama dewa Yunanai Phobos, yang takut pada musuh-musuhnya.
Fobia spesifik adalah ketakutan yang beralasan yang disebabkan oleh
kehadiran atau antisipasi suatu objek atau situasi spesifik serti
ketakutan terhadap serangga, ular, dan ketinggian.

Ada beberapa istilah yang terkenal dalam fobia, yaitu:

1. Clautrophobia, yaitu ketakutan pada ruang tertutup


2. Acrophobia, yaitu ketakutan pada ketinggian.

Perbedaan pandangan antara psikoanalis dan behavioris.

Psikoanalis Behavioris
Para psikoanalisi berfokus Para behaviors cenderung
pada isi fobia. Mereka melihat mengabaikan isi fobia
signifikansi yang besar dalam dibanding memfokuskan pada
objek yang ditakuti sebagai fungsinya. Misalnya, ketakutan
suatu symbol ketakutan bawah pada ular dan ketinggian
sadar yang penting. memiliki kesamaan dalam
kaitan bagaimana terjadinya,
bagaimana ketakutan tersebut
dapat dikurangi.
Dalam pobia spesifik terdapat kriteria diagnostic, antara lain adalah:

1. Ditandai dengan ketakutan dari kecemasan tentang objek atau


situasi spesifik ( contoh: serangga, ketinggian, binatang, disuntuk,
elihat darah)

4
2. Objek atau situasi pobia hampir selalu menimbulkan ketakutan
atau kecemasan dengan cepat.
3. Objek atau situasi dihindari atau ditahan dengan rasa takut dan
kecemasan
4. Simptom setidaknya berlangsung 6 bulan

Hal yang ditakuti pada fobia dapat bervariasi dalam berbagai


budaya, misalnya di Cina, Pa-Leng adalah ketakutan pada dingin
dimana seseorang khawatir akan hilangnya panas tubuh dapat
menyebabkan nyawa terancam. Ketakutan tersebut berkaitan dengan
folosofi masyarakat Cina tentang yin dan yan. Yin merujuk pada
aspek-aspek kehidupan berupa pencairan energy yang dingin dan
berair.

2. Gangguan Kecemasan Sosial ( Social Anxiety Disorder)


Gangguan kecemasan social adalah rasa takut yang intens
pada situasi social yang berkaitan dengan keberadaan orang lain yang
tidak dikenal. Dalam DSM –IV-TR, gangguan ini dikenal dengan
fobia social. Sedangkan gangguan kecemasan social diusulkan oleh
DSM- V karena masalah yang disebabkan oleh hal ini cenderung
lebih dalam dan mengganggu banyak kegiatan normal daripada
masalah yang disebabkan oleh fobia.
Meskipun terlihat seperti individu dengan perasaan malu,
individu dengan kecemasan sosial lebih menghindari situasi sosial,
lebih merasakan ketidaknyamanan sosial dan gejalanya memiliki
periode yang lebih lama dari pada dengan orang yang pemalu
(Turner, Beeidel, & Townsley, 1990). Individu yang menderita
gangguan kecemasan social juga biasanya mencoba untuk mengindari
situasi yang dinilai dan menujukkan tanda-tanda kecemasan atau
berprilaku secara memalukan. Ketakutan atau kecemasan yang
ditunjukkan dengan keringat berlebihan atau memerahnya wajah.

5
Berbicara atau melakukan sesuatu di depan publik, makan di
tempat umum, menggunakan toilet umum atau hamper semua
aktivitas yang dilakukan di tempat yang terdapat orarng lain dapat
menimbulkan kecemasan yang ekstrem, hal parahnya dapat
menyebabkan serangan panik.
Gangguan kecemasan social ini banyak terjadi di masyarakat,
dengan jumlah populasi individu yang mengalami sepanjang hidup
pada laki-laki adalah 11 persen dan 15 persen pada perempuan
(Kessler dkk., 1994; Magee dkk., 1996).
Gangguan ini memiliki tingkat komorbiditas yang tinggi
dengan berbagai gangguan lain dan sering kali terjadi bersamaan
dengan gangguan menghindar, gangguan mood dan penyalahgunaan
alkohol (Crum & Pratt, 2001; Jansen dkk., 1994;Kessler dkk., 1999;
Lecrubier & Weiler, 1997).

Dalam gangguan kecemasan sosial terdapat beberapa kriteria


diagnostik, antara lain adalah:

1. Ditandai rasa takut yang konsisten dipicu oleh paparan potensi


pengawasan sosial.
2. Rasa takut individu bahwa laki-laki atau perempuan akan bersikap atau
menunjukkan gejala kecemasan yang akan di evaluasi negative, yaitu,
penghinaan dan memalukan; akan ditolak atau menyinggung perasaan
orang lain)
3. Kecemasan yang intens akan menghindari situasi yang memicu
kecemasan.
4. Symptom bertahan setidaknya selama 6 bulan.

Gangguan kecemasan sosial cukup bervariasi dalam berbagai


budaya. Misalnya, di negara Jepang ketakutan menyakiti orang lain
merupakan hal yang penting, sedangkan di negara Amerika Serikat,
ketakutan lebih banyak dinilai secara negative oleh orang lain.

6
3. Gangguan Panik ( Panic Disorder )
Gangguan panik adalah serangan panic berulang yang mencakup
timbulnya symptom symptom fisiologis secara mendadak seperti pusing,
denyut nadi yang cepat dan gemetar disertai dengan perasaan dalam
bencana. Symptom lainnya yang mungkin terjadi selama serangan panik
menyertakan depersonalization, yaitu perasaan seolah berada di luar
tubuh, dan derelization, yaitu suatu perasaan bahwa dunia tidak nyata dan
juga ketakutan untuk kehilangan kendali. Serangan panic tersebut dapat
sering terjadi, misal sekali dalam seminggu atau bahkan lebih yang
berlangsung selama 10 menit.
Serangan panic yang terjadi tanpa diduga disebut dengan serangan
tanpa isyarat (uncued attack) seperti dalam keadaan tidur dan relaksasi.
Serangan panic yang dipicu oleh situasi spesifik disebut dengan serangan
berisyarat (cued attack), yaitu serangan panik yang dicetuskan oleh situasi
spesifik misalnya melihat ular, yang merujuk pada serangan panic
berisyarat. Individu yang mempunyai serangan berisyarat kemungkinan
besar mengalami phobia.

Dalam gangguan panic terdapat beberapa kriteria, yaitu:

1. Serangan panic berisyat yang berulang


2. Setidaknya dalam 1 bulan kekhawatiran tentang kemungkinan
serangan yang lebih banyak, khawatir tentang akibat dari serangan,
atau perubahan perilaku maladaptive karena serangan.

Individu yang mengalami gangguan panic sepanjang hidup sekitar


2 persen pada laki-lakidan lebih dari 5 persen pada perempuan (Kessler
dkk., 1994). Umumnya gangguan panik dapat muncul karena pengalaman
hidup yang penuh stress pada masa remaja ( Pollard, Pollard, dan Corn,
1989).

Simptom-simptom pada gangguan panik diantaranya adalah:

1. Debar, hentakan jantung atau tingkat kecepatan jantung.

7
2. Berkeringat
3. Gemetar
4. Sensai napas pendek atau seperti dicekik
5. Merasa sesenggukan
6. Dada tidak nyaman
7. Sakit perut
8. Mual atau abdominal distress
9. Merasa pusing,
10. Sensasi panas
11. Mati rasa (paresthesias)
12. Merasa bahwa dunia tidak nyata (derealization) atau perasaan seolah
berada di luar tubuh ( depersonalization)
13. Merasa takut kehilangan control
14. Perasaan takut mati
4. Agoraphobia
Agoraphobia adalah rasa takut pada tempat-tempat umum dan
ketidakmampuan melarika diri atau mendapatkan pertolongan bila menjadi
lemah oleh kecemasan. Dalam DSM-IV-TR, agrophobia menjadi sub
subtype dari gangguan panic. Mengapa agoraphobia terpisah dari
gangguan panic adalah karena lebih dari 3000 partisipan, lebih dari
setengah partisipan yang mempunyai simptom agoraphobia tidak memiliki
symptom gangguan panic (Wittchen, Nocon, Beesdo, et al., 2008)
Dalam agoraphobia terdapat kriteria diagnostik, antara lain adalah:
1. Bersifat atau ditandai dengan ketakutan atau kecemasan setidaknya
dalam dua situasi dimana hal tersebut sulit untuk dihindari atau
menerima pertolongan atas ketidakmampuanya, seperti berada di luar
rumah sendiriain; traveling dengan transportasi umum; berada di ruang
terbuka seperti tempat parking dan pasar; temapt belanja, teater atau
cinema; atau berdiri di keramaian.
2. Situasi ini secara konsisten menimbulkan perasaan takut atau cemas.

8
3. Situasi ini dihindari, membutuhkan kehadiran pendamping atau
ditahan dengan perasan takut dan cemas yang intense.
4. Gejala berlangsung setidaknya 6 bulan
5. Gangguan Anxietas Menyeluruh (Generalized Anxiety Disorder)
Individu yang menderita Gangguan Anxietas Menyeluruh sering
merasa cemas dengan hal-hal kecil. Manusia memang biasanya memiliki
kekhawatiran. Namun, pada penderita GAD , mereka menghabiskan waktu
mereka dengan mengkhawatirkan secara berlebihan, tidak dapat dikontrol,
berlangsung lama. Kekhawatiran orang dengan GAD memiliki
kekawatiran yang sama dengan orang lain seperti hubungan, kesehatan,
keuangan dan perkelahian. ( Roemer, Molina & Borkovec, 1997), tetapi
kekhawatiran penderita GAD tentang hal tersebut terus-menerus
mengganggu kehidupan mereka.
Simptom-simptom dari Gangguan Anxietas Menyeluruh antara lain
adalah:
1. Sulit berkonsentrasi
2. Mudah lelah
3. Gelisah
4. Mudah marah
5. Otot tegang

GAD biasanya dialami pada saat pertengan remaja, meskipun


banyak orang yang mengalami GAD bahwa mereka mengalaminya
sepanjang hidup mereka ( Barlow .dkk., 1986). Gangguan ini terjadi lebih
banyak dua kali pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki, dan juga
memiliki komorbiditas dengan gangguan mood (Brown dkk., 2001)

Dalam kriteria DSM -5 dijelaskan bahwa gejala GAD berlangsung


setidaknya 3 bulan. Hal tersebut berbeda dari kriteria DSM-IV-TR,
dimana simptom berlangsung selama 6 bulan.

Dalam Gangguan Anxietas Menyeluruh terdapat kriteria diagnosis,


antara lain adalah:

9
1. Kecemasan berlebihan dan kekhawatiran setidaknya 50 persen
dalam sehari tentang dua ranah kehidupan (seperti keluarga,
kesehatan, keuangan, pekerjaan dan sekolah)
2. Mengalami kekhawatiran setidaknya selama 3 bulan
3. Kecemasan dan kekhawatiran dihubungkan setidaknya sebagai
berikut:
- Gelisah
- Mudah lelah
- Sulit berkonsentrasi atau pikiran akan kosong
- Mudah marah
- Otot tegang
- Gangguan tidur.
4. Kecemasan dan kekhawatiran dihubungkan dengan tanda
menghindari situasi yang hal buruk nantinya bias terjadi,
ditandai waktu dan upaya mempersiapkan situasi yang
mungkin menghasilkan hal yang tidak negative, ditandai
dengan penundaan, sulit menentukan keputusan karena merasa
khawatir, atau sering kali mencari kepastian karena merasa
khawatir.
B. Etiologi
Faktor Gender dan Sosiokultural dalam Gangguan Kecemasan
Diketahui bahwa jenis kelamin dan budaya terkait erat dengan
risiko gangguan kecemasan dan jenis gejala spesifik yang berkembang.
a. Gender
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa wanita setidaknya dua kali
lebih mungkin daripada pria untuk didiagnosis dengan gangguan
kecemasan (de Graaf, Bijl, Ravelli, et al., 2002). Ada banyak teori
yang berbeda tentang mengapa wanita mungkin mengembangkan
gangguan kecemasan dibandingkan dengan pria. Selain itu juga, faktor
sosial seperti peran gender juga cenderung berperan. Misalnya, pria
mungkin banyak mengalami tekanan sosial dibandingkan wanita

10
dalam mengahadapi ketakutan, hal ini mungkin menjadi treatment
paling efektif dalam mengontrol kecemasan.
b. Culture
Orang-orang di berbagai budaya tampaknya mengalami masalah
dengan gangguan kecemasan. Beberapa sindrom spesifik budaya
lainnya juga memberikan contoh bagaimana budaya dan lingkungan
dapat membentuk fokus pada gangguan kecemasan. Sebagai contoh, di
Jepang suatu sindrom yang disebut taijin kyofusho melibatkan rasa
takut membuat orang lain tidak senang atau merasa malu; orang
dengan sindrom ini biasanya takut akan hal-hal seperti melakukan
kontak mata langsung, memiliki bau badan, atau memiliki kelainan
bentuk tubuh. Gejala-gejala gangguan ini tumpang tindih dengan
gejala-gejala gangguan kecemasan sosial, tetapi berfokus pada
perasaan takut akan merasa berbeda dengan oranglain. Mungkin fokus
ini terkait dengan karakteristik budaya tradisional Jepang yang
mendorong kepedulian ekstrem terhadap perasaan orang lain
(McNally, 1997).

Faktor Risiko Umum Pada Gangguan Kecemasan

a. Pengkondisian Takut
Teori perilaku gangguan kecemasan berfokus pada pengkondisian.
Model dua faktor gangguan kecemasan Mowrer, yang diterbitkan pada
tahun 1947. Model Mowrer menyarankan dua langkah dalam
pengembangan gangguan kecemasan (Mowrer, 1947):
1. Melalui pengondisian klasik, seseorang belajar untuk takut akan
stimulus netral (CS) yang dipasangkan dengan stimulus yang
secara intrinsik tidak disukai (UCS).
2. Melalui pengkondisian operan, seseorang mendapatkan bantuan
dengan menghindari CS. Respons penghindaran ini dipertahankan
karena memperkuat (mengurangi rasa takut).

11
Sebagai contoh seorang pria digigit anjing dan kemudian menjadi
fobia anjing. Melalui pengkondisian klasik, ia telah belajar
mengasosiasikan anjing (CS) dengan gigitan yang menyakitkan (UCS).
Pada langkah 2, pria itu mengurangi rasa takutnya dengan menghindari
anjing sebanyak mungkin; perilaku menghindar diperkuat oleh
berkurangnya rasa takut.

Dibawah ini merupakan berbagai cara di mana pengkondisian klasik


dapat terjadi (Rachman, 1977):

1. Dapat terjadi dengan pengalaman langsung


2. Dapat terjadi dengan melihat orang lain dilukai atau ditakuti oleh
sebuah stimulus
3. Dapat terjadi dengan instruksi verbal
a. Faktor Genetik
Sebuah studi menunjukkan heritabilitas 20-40 persen untuk fobia
spesifik, gangguan kecemasan sosial, GAD dan PTSD, dan sekitar 50
persen untuk gangguan panik (Hettema, Neale, & Kendler, 2001; True,
Rice, Eisen, et al., 1993 ). Beberapa gen dapat meningkatkan risiko
untuk beberapa jenis gangguan kecemasan, sementara yang lain
mungkin meningkatkan risiko untuk jenis gangguan kecemasan
tertentu (Hettema, Prescott, Myers, et al., 2005). Misalnya, memiliki
anggota keluarga dengan fobia meningkatkan risiko tidak hanya fobia
tetapi juga gangguan kecemasan lainnya (Kendler, et al., 2001).
b. Faktor Neurobiologis
Salah satu bagian otak yang diaktifkan ketika seseorang mengalami
gangguan kecemasan yaitu amigdala. Amigdala merupakan struktur
kecil sebesar kacang almond pada lobus temporal yang berperan aktif
dalam reaksi emosi. Amigdala mengirimkan sinyal ke berbagai
struktur otak yang berbeda terkait dengan gangguan kecemasan. Studi
menunjukkan bahwa ketika ditunjukkan gambar wajah orang yang
sedang marah (satu sinyal ancaman), orang dengan beberapa gangguan

12
kecemasan merespons berbeda dengan aktivitas yang lebih besar pada
bagian amigdala daripada orang yang tidak mempunyai gangguan
kecemasan (Blair, Shaywitz, Smith, et al., 2008; Monk, Nelson,
McClun, et al., 2006).
c. Kepribadian
Dalam sampel 7.076 orang dewasa, neuroticism meramalkan
timbulnya gangguan kecemasan dan depresi (de Graaf et al., 2002).
Orang dengan neurotisme tingkat tinggi dua kali lebih mungkin untuk
mengembangkan gangguan kecemasan dibandingkan dengan orang
yang mempunyai gangguan kecemasan tingkat rendah. Dalam
penelitian lain terhadap 606 orang dewasa yang diikuti selama 2 tahun,
neuroticism mempunyai korelasi utama dan prediktor kecemasan dan
depresi (Brown, 2007)
d. Faktor Kognitif
Fokus dari perspektif kognitif adalah pada peran dari cara berfikir yang
terdistorsi dan disfungsional yang mungkin memegang peran pada
pengembangan gangguan-gangguan kecemasan.
1. Keyakinan Negatif yang Berkelanjutan
Orang dengan gangguan kecemasan sering meyakini bahwa hal-hal
buruk kemungkinan akan terjadi. Misalnya, orang dengan
gangguan panik mungkin percaya bahwa mereka akan mati ketika
jantung mereka mulai berdebar, sedangkan orang dengan gangguan
kecemasan sosial mungkin percaya bahwa mereka akan menderita
penolakan memalukan ketika wajah mereka memerah. (Clark,
Salkovskis, Hackmann, et al., 1999),
2. Kontrol Persepsi
Orang-orang yang berpikir bahwa mereka tidak memiliki kontrol
atas lingkungan mereka tampaknya berisiko lebih besar untuk
berbagai gangguan kecemasan daripada orang-orang yang tidak
mempunyai keyakinan tersebut. Sebagai contoh, orang dengan
gangguan kecemasan menjelaskan bahwa mereka mempunyai

13
kontrol yang sedikit atas lingkungan mereka (Mineka & Zinbarg,
1998).
3. Perhatian terhadap Ancaman
Orang dengan gangguan kecemasan ditemukan lebih
memperhatikan isyarat negatif di lingkungan mereka daripada
orang tanpa gangguan kecemasan (Williams, Watts, MacLeod et
al., 1997). Sebagai contoh, orang dengan fobia ular secara selektif
memperhatikan isyarat terkait dengan ular (McNally, Caspi,
Riemann, et al., 1990; Öhman, Flykt, & Esteves, 2001).

Etiologi Fobia Spesifik

Faktor yang paling dominan dalam fobia spesifik ialah model dua faktor
pengondisian perilaku. Dalam model perilaku, fobia dipandang sebagai
respons terkondisi yang berkembang setelah pengalaman yang
mengancam didukung dengan perilaku menghindari ancaman tersebut.
Dalam salah satu ilustrasi pada model ini, JB Watson dan Rosalie Rayner
seorang mahasiswa pascasarjana menerbitkan laporan kasus pada tahun
1920 dimana mereka menciptakan rasa takut yang kuat (fobia) terhadap
tikus putih pada Little Albert dengan menggunakan pengondisian klasik.
Pada awalnya Lillte Albert tidak mempunyai rasa takut terhadap seekor
tikus putih, tetapi setelah berulangkali melihat tikus putih disertai dengan
suara keras yang dibuat ketika melihat seekor tikus putih, kemudian ia
mulai menangis ketika melihat seekor tikus putih.

Seperti yang telah dijelaskan bahwa teori behavior dapat dikondisikan oleh
trauma langsung, social learning atau instruksi verbal. Namun faktor-
faktor risiko yang telah dijelaskan seperti faktor genetic, neurotism,
kognisi negative, dan kecenderungan terhadap pengondisian rasa takut
menjadi salah satu faktor kerentanan yang membentuk apakah fobia akan
berkembang (Mineka & Sutton, 2006).

14
Etiologi Gangguan Kecemasan Sosial

a. Faktor behavior
Perspektif perilaku tentang penyebab gangguan kecemasan sosial
mirip dengan pada fobia spesifik yang didasarkan pada model dua
faktor pengondisian klasik. Artinya seseorang dapat memiliki
pengalaman sosial negative (langsung, social learning, atau melalui
instruksi verbal) menjadi pengondisian klasik untuk takut terhadap
situasi yang sama dan kemudian melakukan pengondisian operan
untuk menghindari perilaku yang ditakuti dan dapat mengurangi rasa
takut yang dialami oleh orang tersebut.
b. Faktor Kognitif
Teori ini berfokus pada beberapa cara yang berbeda dimana proses
kognitif memperkuat kecemasan sosial (D. M. Clark & Wells, 1995).
Orang dengan gangguan kecemasan sosial memiliki keyakinan
negative yang tidak realistis tentang konsekuensi dari perilaku sosial
mereka. Misalnya orang dengan gangguan kecemasan sosial percaya
bahwa orang lain akan menolak mereka, jika mereka berhenti ketika
berbicara atau wajah mereka memerah. Orang dengan gangguan
kecemasan sosial sering menggambarkan visual negative yang kuat
tentang bagaimana orang akan bereaksi terhadap mereka (Hirsch &
Clark, 2004).

Etiologi Gangguan Panik

a. Faktor Neurobilogis
Gangguan panic mencerminkan terhambatnya di area rasa takut dan
pada saat yang bersamaan terjadi lonjakan aktivitas di sistem saraf
simpatik. Bagian tertentu dalam area rasa takut dinamakan locus
ceruleus. Locus ceruleus merupakan sumber utama neurotransmitter
nonepinefrin di otak, dan nonepinefrin memainkan peran utama dalam
memicu aktivitas pada sistem saraf simpatetik. Pada manusia, obat
yang meningkatkan aktivitas di locus ceruleus dapat memicu serangan

15
panic dan obat yang mengurangi aktivitas di locus ceruleus yaitu
clodine dan beberapa antidepresan.
b. Faktor Behavior
Perspektif perilaku etiologi berfokus pada pengondisian klasik. Dalam
model ini, serangan panic sering dipicu oleh rangsangan internal tubuh
(Kenardy & taylor, 1999). Teori ini menunjukkan bahwa serangan
panic adalah respon terkondisi klasik untuk situasi yang memicu
kecemasan atau rangsangan internal tubuh (Bouton, Mineka & Barlow,
2001). Pengondisian serangan panic yaitu sebagai respon terhadap
tubuh yang disebut pengondisian interokeptif; yaitu seseorang
mengalami tanda-tanda kecemasan somatic yang diikuti oleh serangan
panic, serangan panic merupakan respons terkondisi terhadap
perubahan somatic.
c. Faktor Kognitif
Perspektif kognitif berfokus pada misinterpretasi katastropik dari
perubahan somatic (D. M. Clark, 1996). Menurut pandangan ini,
serangan panic berkembang ketika seseorang menafsirkan rangsangan
dari tubuh sebagai tanda-tanda malapetaka. Misalnya seseorang
menafsirkan sensari dari peningkatan detak jantung sebagai tanda dari
serangan jantung yang akan datang.

Etiologi Agoraphobia

Perspektif kognitif menunjukkan bahwa agoraphobia didorong oleh


pemikiran negative tentang konsekuensi mengalami kecemasan di depan
umum. Terdapat bukti bahwa orang yang mempunyai agoraphobia
berpikir tentang konsekuensi dari publik akan menyeramkan (D. A. Clark,
1997). Seseorang dengan agoraphobia memiliki keyakinan bahwa
kecemsan mereka akan mengarah pada konsekuensi yang tidak dapat
diterima secara sosial, misalnya “saya akan menjadi gila” (Chambless,
Caputo, Bright, & Gallagher, 1984)

16
Etiologi GAD

Generality Anxiety Disorder cenderung terjadi dengan gangguan


kecemasan yang lainnya. Borkovec dan rekannya menyebutkan bahwa
orang-orang yang mempunyai GAD mungkin menghindari emosi yang
tidak menyenangkan yang lebih kuat dibandingkan kekhawatiran tetapi
dikarenakan menghindari hal tersebut, maka kecemasan-kecemasan
mendasar tidak akan hilang.

C. Terapi Gangguan Cemas


Kebanyakan orang dengan gangguan kecemasan tidak menyadari
bahwa dirinya mengalami gangguan tersebut. Berpikir seolah hal-hal yang
tergolong dalam gangguan kecemasan merupakan rasa cemas yang wajar
dan tidak memerlukan pengobatan. Secara umum, untuk mengatasi
gangguan ini digunakan exposure therapy. Dalam terapi ini, klien pertama
kali diajarkan keterampilan relaksasi. Kemudian klien menggunakan
keterampilan ini untuk bersantai sambil menjalani paparan daftar situasi
yang ditakuti dikembangkan oleh terapis, mulai dengan yang paling tidak
ditakuti sampai yang paling ditakuti. Meskipun teknik ini dianggap ampuh
tetapi terapi yang digunakan pun berbeda-beda disesuaikan pada
gangguan kecemasannya. Berikut merupakan beberapa terapi kecemasan:
1. Terapi Fobia
Terapi exposure yang digunakan untuk mengatasi fobia adalah
terapi in vivo. Terapi ini melibatkan objek yang menjadi fobia secara
nyata dihadapkan langsung pada klien namun tetap didampingi oleh
terapis. Umumnya terapi ini keberhasilannya dapat terlihat dalam
selang waktu 1 tahun. Untuk fobia yang melibatkan rasa takut terhadap
binatang, suntikan, atau alat-alat medis lainnya, terapi ini terbukti
sangat efektif bahkan kesembuhannya dapat terjadi satu minggu
setelah terapi dilaksanakan.

17
2. Terapi Gangguan Kecemasan Sosial
Untuk gangguan ini terapi exposure juga tampaknya menjadi
pengobatan yang efektif. Perawatan seperti itu sering dimulai dengan
bermain peran atau berlatih dengan terapis atau dalam kelompok terapi
kecil sebelum menjalani paparan lebih banyak situasi sosial publik
(Marks, 1995). Dengan pajanan yang lama, kecemasan biasanya
padam (Hope, Heimberg, & Bruch, 1995). Pelatihan keterampilan
sosial, di mana seorang terapis dapat memberikan pelatihan yang luas
pemodelan perilaku, dapat membantu orang dengan gangguan
kecemasan sosial yang mungkin tidak tahu apa yang harus dilakukan
atau katakan dalam situasi sosial. Ingatlah bahwa perilaku aman,
seperti menghindari kontak mata, diyakini mengganggu kepunahan
kecemasan sosial (Clark & Wells, 1995). Konsisten dengan ide ini,
efek dari terapi exposure tampaknya ditingkatkan ketika orang-orang
dengan gangguan kecemasan sosial diajarkan untuk berhenti
menggunakan perilaku aman (Kim, 2005). Artinya, tidak hanya orang
itu diminta untuk terlibat dalam kegiatan sosial tetapi, saat
melakukannya, mereka diminta untuk mengarahkan kontak mata,
untuk terlibat dalam percakapan, dan hadir sepenuhnya.
Ada juga David Clark (1997) yang telah mengembangkan versi
terapi kognitif untuk gangguan kecemasan sosial yang memperluas
perawatan lain dalam beberapa cara. Terapis membantu orang belajar
untuk tidak melakukannya fokuskan perhatian mereka secara internal.
Terapis juga membantu mereka memerangi citra mereka yang sangat
negatif tentang bagaimana orang lain akan bereaksi terhadap mereka.
Terapi kognitif ini telah terbukti lebih efektif dari pengobatan exposure
ditambah relaksasi (Clark et al., 2006).
3. Terapi Gangguan Panik
Sebuah perawatan psikodinamik untuk gangguan panik telah
dikembangkan. Perawatan ini melibatkan 24 sesi yang berfokus pada
mengidentifikasi emosi dan makna seputar serangan panik.

18
Prosedurnya diawali dengan pemberian wawasan untuk meyakinkan
klien terkait dengan serangan panik, seperti masalah yang melibatkan
pemisahan, kemarahan, dan otonomi. Dalam satu uji coba terkontrol
secara acak, klien yang ditugaskan untuk menerima perawatan
psikodinamik mencapai pengurangan gejala lebih dari mereka yang
ditugaskan untuk kondisi kontrol pelatihan relaksasi (Milrod, Leon,
Busch, et al., 2007). Dalam uji coba terpisah, perawatan psikodinamik
untuk gangguan panik terkait dengan berkurangnya tingkat
kekambuhan ketika ditambahkan sebagai suplemen untuk pengobatan
antidepresan (Wiborg & Dahl, 1996).
Terapi kognitif lainnya adalah Panic Control Therapy (PCT).
Dalam PCT, terapis menggunakan teknik paparan — yaitu, ia
membujuk klien untuk secara sengaja memperoleh sensasi yang terkait
dengan kepanikan. Misalnya, seseorang yang serangan paniknya
dimulai dengan hiperventilasi diminta bernapas cepat selama 3 menit,
atau seseorang yang serangan panik dikaitkan dengan rasa pusing
diminta untuk memutar kursi selama beberapa menit. Saat sensasi
seperti pusing, keringkan mulut, sakit kepala ringan, peningkatan
denyut jantung, dan tanda-tanda lain mulai panik, orang tersebut
mengalaminya dalam kondisi aman; selain itu, orang tersebut
mempraktikkan taktik koping berurusan dengan gejala somatik
(misalnya, bernapas dari diafragma untuk menghindari hiperventilasi).
Dengan latihan dan dorongan dari terapis, orang tersebut belajar untuk
berhenti melihat sensasi internal sebagai sinyal hilangnya kontrol dan
melihatnya secara intrinsik tidak berbahaya sensasi yang bisa
dikontrol. Kemampuan seseorang untuk menciptakan sensasi fisik ini
dan kemudian mengatasinya membuat mereka tampak lebih dapat
diprediksi dan tidak terlalu menakutkan (Craske, Maidenberg, &
Bystritsky, 1995).

19
4. Terapi Agoraphobia
Terapi untuk agoraphobia juga fokus pada exposure, khususnya
pada paparan sistematis terhadap situasi yang ditakuti. Paparan
pengobatan agorafobia lebih efektif ketika pasangan terlibat (Cerny,
Barlow, Craske, & Himadi, 1987). Pasangan tanpa agorafobia
didorong untuk berhenti melayani menghindari pasangan
meninggalkan rumah. Ada juga prosedur perawatan mandiri, di mana
mereka pengidap agorafobia melakukan paparan langkah demi langkah
mereka sendiri pengobatan (Ghosh & Marks, 1987).
5. Terapi Generalized Anxiety Disorder (GAD)
Hampir semua diuji perawatan untuk GAD termasuk beberapa
komponen kognitif atau perilaku (Roemer, Orsillo, & Barlow, 2004).
Teknik perilaku yang paling banyak digunakan melibatkan pelatihan
relaksasi untuk mempromosikan ketenangan (DeRubeis & Crits-
Christoph, 1998). Teknik relaksasi bisa melibatkan kelompok otot
yang rileks satu demi satu atau menghasilkan gambar mental yang
menenangkan. Dengan berlatih, klien biasanya belajar rileks dengan
cepat. Studi menunjukkan bahwa pelatihan relaksasi lebih efektif
daripada perawatan tidak langsung atau tanpa perawatan. Salah satu
bentuk terapi kognitif termasuk strategi untuk membantu orang
mentolerir ketidakpastian, karena orang dengan GAD tampaknya lebih
tertekan oleh ketidakpastian daripada mereka yang tidak GAD
(Ladoceur, Dugas, Freeston, et al., 2000). Perawatan ini tampaknya
lebih bermanfaat daripada terapi relaksasi saja (Dugas, Brillon, Savard,
et al., 2010).

Menggabungkan Terapi dengan Obat-obatan


Secara umum, mengkonsumsi obat penenang kecemasan benar-
benar mengarah pada hasil jangka panjang yang lebih buruk daripada
pengobatan yang hanya menggunakan terapi psikologis saja, hal tersebut
dikarenakan orang tidak mendapatkan kesempatan yang sama untuk

20
menghadapi ketakutan mereka jika dibantu dengan obat-obatan (Hollon
et al., 2006). Satu pengecualian yang mungkin untuk ini adalah
pengobatan gangguan kecemasan sosial, di mana satu studi yang
dilakukan dengan hati-hati menyarankan bahwa pengobatan kombinasi
terpapi psikologis dan konsumsi obat-obatan mencapai hasil yang lebih
kuat daripada pengobatan dengan terapi saja (Blanco, Heimberg,
Schneier, et al. 2010).

21
BAB III

Kesimpulan

A. Kesimpulan

Kecemasan adalah suatu perasaan takut dan khawatir yang tidak


menyenangkan. Berbagai gangguan yang dibahas dalam kecemasan
dianggap sebagai bentuk-bentuk neurosis. Ada lima kategori utama
gangguan anxietas dalam DSM-V, yiatu fobia spesifik, gangguan
kecemasan social, gangguan panic, agoraphobia, dan gangguan kecemasan
menyeluruh (generalized anxiety disorder/GAD). Berbeda dengan DSM-
IV TR, yang masih terdapat gangguan obsesif-kompulsive, gangguan
stress pasca trauma, dan gangguan stress akut. Kemudian fobia yang
dibagi menjadi dua, yaitu fobia spesifik dan fobia sosial.

Etiologi kecemasan, antara lain Faktor Gender dan Sosiokultural


dalam Gangguan Kecemasan dan Faktor Risiko Umum Pada Gangguan
Kecemasan.

Secara umum, untuk mengatasi gangguan ini digunakan exposure


therapy. Dalam terapi ini, klien pertama kali diajarkan keterampilan
relaksasi. Kemudian klien menggunakan keterampilan ini untuk bersantai
sambil menjalani paparan daftar situasi yang ditakuti dikembangkan oleh
terapis, mulai dengan yang paling tidak ditakuti sampai yang paling
ditakuti. Meskipun teknik ini dianggap ampuh tetapi terapi yang
digunakan pun berbeda-beda disesuaikan pada gangguan kecemasannya.

22
DAFTAR PUSTAKA

Davidson, G. C. (2006). Psikologi Abnormal. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Davidson, G. C., Neale, J. M., & Kring, A. M. (2018). Psikologi Abnormal (9th
ed.). Depok: Rajawali Pers.

Maslim, R. (2013). Diagnosisi Gangguan Jiwa (Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III


dan DSM-5. Jakarta: PT. Nuh Jaya.

Nevid, J. S., & dkk. (2003). Psikologi Abnormal. Jakarta: Erlangga.

23

Anda mungkin juga menyukai