Anda di halaman 1dari 7

LAPORAN MINGGUAN

Judul : Teori Kepribadian Erik Erikson


Nama Penulis : Rofi Zulfan
NIM : 190103040171
Mata Kuliah : Teori-Teori Kepribadian

TEORI KEPRIBADIAN ERIK ERIKSON


A. Biografi Singkat
Erik Erikson dilahirkan di Danish sebuah kota di Jerman pada 15 Juni 1902, sewaktu
kecil ia tidak menyelesaikan sekolah dengan baik karena ia lebih tertarik pada berbagai
bidang lain khususnya seni dan pengetahuan. Pada tahun 1927-1933 ia bergabung dengan
Lembaga Pendidikan Psikonalasis Sigmund Freud, dan ia mengenal psikoanalisa Freud
ketika ia berkenalan dengan Ana Freud. Karena ketertarikannya dengan dunia anak dan
pendidikan, ia pun melanjutkan pendidikan non-formal hingga ia menjadi professor dan
mengajar tetap di California sejak tahun 1939. Dari sana ia telah ada mendirikan klikik
analisis anak, menekuni dunia pendidikan dan bahkan menuliskan banyak buku-buku, hingga
pada akhir hidupnya ia meinggal di tahun 1994.1
B. Pandangan Erikson Terkait Perkembangan Kepribadian Manusi
Meski ia pernah bergabung dengan Lembaga Pendidikan Psikoanalisis Psikoanalisis
Sigmund Freud, Erikson memiliki sedikit pandangan berbeda terkait perkembangan
kepribadian pada manusia, dimana ia memberikan penjelasan lebih detail terkait proses yang
mempengaruhi perkembangan kepribadian yang terjadi, sebut saja pengaruh tersebut seperi
pengaruh sosial dan budaya. Erikson lebih memfokuskan pendapatnya terhadapa Ego,
dimana menurutnya masyarakat merupakan sumber utama yang berpengaruh dalam
perkembangan kepribadian manusia. Dalam pengembangan teorinya, Erikson membagikan
tiga fondasi terkait perkembangannya, yaitu2 ;
1. Prinsip Epigenetik

1
Yeni Krismawati. “Toeri Psikologi Perkembangan Erik H.Erikson dan Manfaatnya Bagi Tugas Pendidikan
Kristen Dewasa Ini. (Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen, Volume 2, Nomor 1, Oktober 2014). Hlm 47
2
Julianto Oli’I, Tesis : Perbandingan Konsep Perkembanhan Kepribadian Manusia Dalam Psikososial Antara
Teori Erik H. Erikson dan Ibn Khaldun, (Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2016). Hlm 53-58.
Dari urutan delapan urutan perkembangan manusia, diyakini bahwa kedepalan
tahapan ini merupakan hal yang telah ditentukan secara genetic dan tidak dapat
diubah lagi, urutan ini ditentukan secara genetic yang kemudian disebut dengan
prinsip genetik yang dipinjam oleh Erikson dari bidang biologi. Menurut Erikson
disaat karaktersitik baru terlahir, sebenarnya karakteristik tersebut dibagun atas
karakteristik terdahulu dan menjadi dasar bagi karakteristik yang akan terlahir
nantinya.
2. Krisis
Setiap tahapan perkembangan dicirikan oleh krisis, dimana krisis tersebut akan
menciptakan suatu resolusi yang positif yang akan membantu menguatkan ego dan
memperbesar kemampuan adaptasi manusia atau jika hal tersebut maka akan
menciptakan resolusi yang negatif yang akan menghasilkan hal sebaliknya. Meski
demikian Erikson berpendapat bahwa didalam krisis yang ada pada setiap tahap
mengandung element positif dan negative, dimana jika rasio dari resolusi lebih besar
positifnya maka bisa dikatakan sebagai hal positif dan begitu pula sebaliknya. Dan
berdasarkan prinsip epigenetic, setiap krisis memliki tiga fase yaitu: Immature, disaat
krisis tidak menjadi titik fokus dalam perkembanhan kepribadian. Kritis, ketika
adanya alasan biologis, prikologis, dan sosial yang tidak menjadi titik fokus
perkembangan kepribadian. Dan Resolusi, yang mempengaruhi perkembangan
kepribadian ditahap berikutnya. Disini jika krisis yang terkait dengan delapan tahapan
diselesaikan secara positif maka kepribadian yang normal akan muncul dan begitu
pula sebaliknya.
3. Ritualisasi dan Ritualisme
Menurut Erikson, perkembangan kepribadian muncul dari sebuah setting budaya
dimana manusia terjebak dalam budaya sendiri. Disini Erikson menekankan bahwa
adanya keseseuaian antara individu dengan budayanya.
C. Teori Psikososial Erik H.Erikson
Dalam pembahasan terkait perkembangan manusia yang dipandang dari pendapat Erik
H.Erikson disebut dengan Teori Psikososial, dimana pada teori ini dijelaskan bahwa
perkembangan kepribadian manusia dipengaruhi oleh pengaruh sosial yang nanti akan
membentuk individu menjadi matang secara fisik dan psikologis. Dan pada teori ini terdapat
delapan tahapan dalam perkembangan manusia sendiri, dimana empat tahapan pertama pada
masa bayi dan kanak-kanak, kemudian pada tahapan kelima pada masa remaja, dan
dilanjutkan pada tiga tahapan terakhir yang dimana merupakan tahapan dewasa dan usia tua. 3
Dan berikut ini delapan tahapan yang dimaksud pada teori psikososial Erikson yang akan
dibahas secara ringkas4 :
1. Masa Bayi: Rasa Percaya dan Rasa Tidak Percaya
Tahapan ini dimulai dari lahit hingga pada tahun pertama, dimana pada waktu ini
anak bergantung pada orang dewasa untuk memenuhi tahapan oralnya. Dalam tahapan ini
pula bayi berusaha untuk mendapatkan pengasuhan dan kehangatan, diamana jika hal
tersebut terpenhi maka anak akan mengembangan kemapuan untuk mempercayai dan asa
(hope) namun jika hal tersebut tidak terpenuhi maka anak tersebut akan kesulitan dalam
membentuk rasa kepercyaan terdahap orang lain dan akan selalu berpikir bahwa orang
lain berusaha memanfaatkan dirinya saja. Disini Erikson mempercayai bahwa saat krisis
terpehuhi secara positif maka kebajikan akan muncul dan akan menjadi kekuatan bagi
Egonya, dimana anak akan memiliki rasa percaya yang lebih mendominasi daripada rasa
tidak percaya. Kemudian ritulisasi pada tahapan ini akan menjadi rasa simpati yang mana
rasa ini muncul jika ibunya memperhatikan kebutuhan anak sesuai dengan budaya,
namun jika rasa penghargaan dan saying yang diberikan berlebihan maka ritualisme
idolisme akan muncul dimana ia akan mengarahkan anak kearah pemjuaan pahlawan
secara berlebihan.
2. Kanak-Kanak: Otonomi dan Rasa Malu
Tahapan ini dimulai pada akhit tahun pertama hingga akhit tahun ketigam dimana
pada tahapan ini anak akan cepat dalam mempelajari keterampilan, seperti berjalan,
memanjat, menarik, mendorong, berbicara, menahan ataupun melepaskan sesauatu dan
hal ini juga terkait dengan feses dan urin. Dimana pada fase ini anak akan meentukan dari
dirinya sendiri untuk memutuskan suatu hal, disini orangtua memiliki tugas yang cukup
berat dimana mereka harus cukup toleran atas perilaku anak namun juga harus
memperhatikan perilakuknya apakah disetujui secara sosial. Jika orang tua terlalu
3
Tiara Emiliza. Skripsi : Konsep Psikososial Menurut Teori Erik H.Erikson Terhadap Pendidikan Anak Usia Dini
Dalam Tinjauan Pendidikan Islam.(Bengkulu, Institut Agama Islam Negeri Bengkulu, 2019) Hlm 58.
4
Julianto Oli’I, Tesis : Perbandingan Konsep Perkembanhan Kepribadian Manusia Dalam Psikososial Antara
Teori Erik H. Erikson dan Ibn Khaldun. (Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2016). Hlm 59-79.
protektif maka anak bisa menjadi ragu atas dirinya dan mengalami perasaan malu. Disini
perlu diperhatikan bahwa resolusi positif yang akan berperan dan membentuk anak tidak
merasa ragu dan malu, hal ini akan berbanding terbalik jika anak tersebut ada pada
resolusi negatif. Otonomi yang baik adalah saat kehendak yang digunakan secara bebas
namun juga dibatasi dengan sejumlah perilaku, diaman anak akan belajar untuk memilah
apakah yang dilakukannya serta tidak luput juga peranan orangtua dalam memandu
perilaku anak. adalah hal yang benar atau tidak dan dapat diterima atau tidak dan hal
inilah yang disebut oleh Erikson dengan bijaksana. Penyimpangan yang terjadi dari
bijaksana disebut Erikson sebagai legalisme dimana ia akan sangat meninggikan
kebanaran, mengalami rasa bersalah secara mendalam, atau bahkan mengisolai orang
yang melakukan kejahatan dengan cara yang tidak tepat tanpa memperdulikan nilai dati
tindakannya.
3. Usia Prasekolah: Insitaif dan Rasa Bersalah
Tahapan selanjutnya muncul pada tahun keempat sampai tahun kelima dimana pada
tahapan ini, kemampuan dalam motorik, bahasa, dan imajinasi berkembang menjadi lebih
baik. Menurut Erikson pada tahap ini anak siap untuk mengembangkan rasa ingin tahu ,
dan ia akan belajar lebih aktif dimana akan membawanya menjauhi Batasan dirinya dan
menjuju kemungkinan yang ada dimasa depan. Ditahap sebelumnya mereka belajara
bahwa mereka adalah manusia, dan ditahapan ini mereka akan mengeksplorasi
bagaimana manusia dan dapat seperti apa nantinya. Tentu saja pada tahapan ini orangtau
juga berperan penting, dimana jika perilaku dan fantasi anak didukung oleh orangtuanya
maka akan meninggalkan tahap ini dengan rasa inisiatif yang sehat, namun jika orang tua
malah m mengejak atau tidak memperdulikannya, anak malah akan lebih merasa bersalah
ketika berperilaku. Pada tahapan ini menurut Erikson jika anak lebih mengembangkan
insiatif daripada rasa bersalah maka ia akan mendapatkan kebajikan tujuan. Kemudian
auntentitas dan impersonalisasi, dimana selama bermain anak terlibat dalam peran,
meniru perilaku, mengenakan kostum bahkan berpura-pura menjadi hewan tertentu.
Namun apabila ritualisasi autentitas malah menghasilkan ritualisme impersonalisasi,
dimana hal tersebut anak akan merasa bingung antara dirinya dan peran yang dimainkan.
4. Usia Sekolas: Kegigihan dan Inverioritas
Tahapan selanjutnya berlangsung pada usia enam sampai sekitar sebelas tahun,
dimana umumnya Sebagian anak sibuk bersekolah dan pada tahapan ini anak banyak
akan mempelajari keterampilan untuk keberlangsungan ekonomi yang nanti akan
menentukan mereka apakah bisa menjadi bagian anggota yang produkti dalam budaya
mereka. Sekolah merupakan tempat dimana anak dilatih untuk perkerjaan dimasa depan
dan penyesuaian dengan budaya karena dalam kehidupan mengharuskan adanya
kemampuan untuk berkeja sama dengan orang lain. Namun yang menjadi hal penting
adalah dimana anak merasakan kesenangan dalam menyesuaikan tugas melalui pelatihan
yang terus-meneurs dan memelihara kerajinan. Disini jika anak tidak mengembangkan
rasa kegigihan meraka akan kehilagan keyakinan atas kemampuan diri mereka sendiri
dan akan cenderung akan membuat dirinya menjadi indentitas negatif. Pada tahap ini jika
rasa kegigihan anak lebih mendominasi daripada inferioritasya maka mereka akan
meninggalkan tahap ini dengan kebajikan berupa kompetensi. Kemudian menurut
Erikson pada tahapan ini anak belajar untuk menjadi anggota yang produktif dimana
formalitas harus dimiliki oleh mereka, namun ketika mereka malah mencapai formalisme
mereka akan hanya memperjuangkan nilai tinggi pada sebuah tugas.
5. Remaja: Identitas dan Kebinungan Peran
Menuju tahapan berikutnya pada usia 12 hingga 20 tahun, dimana pada tahap ini
Erikson menyakini bahwa tahapan ini menunjukan transisi antara masa kanak-kanak dan
dewasa. Pada tahap sebelumnya, anak-anak belajar tentang siapa dirinnya dan apa yang
dapat mereka lakukan, pada tahap ini anak lebih berhati-hati dalam menerima informasi
terkait dirinya dari pandangan masyarakat, dimana ia akan mempertimbangkan apa yang
mereka dapat dan mengingatkan diri mereka komitmen pada sejumlah strategi untuk
menjalani kehidupan. Setelah mereka hal tersebut maka akan didapatkan sebuah identitas
dan kemudian menjadi dewasa. Disini jika seseorang dewasa muda meninggalkan
identitas ini tanpa identitas maka mereka akan mengalami kebingungan peran, namun
jika pada tahap ini anak mendapatkan identitas positif maka kebajikan yang disebut
denga kesetiaan akan muncul, dimana hal tersebut didefiniskan oleh Erikson sebagai
sebuah kemampuan mempertahakan loyalitas dengan janji yang diberikan. Kemudian
menurut Erikson, pada remaja menjcari sebuah ideologi untuk mereprentasikan
perkembangan ego yang ada pada tahap-tahap sebelumnya, selain itu ideologi juga
menjadi rancangan hidup bagi mereka dan akan memberikan makna pada kehidupannya.
Akan tetapi jika ritualisasi yang berlebihan muncul malah akan menghasilkan rituaslisme
totalisme, dimana hal tersebut melibatkan sebuah komitmen yang mutlak terhadap
ideologi—ideologi yang terlalu simplitik.

6. Dewasa Muda: Keintiman dan Isolasi


Setelah lima tahapan sebelumnya, tahapan berikut ini merupakan tahap yang
berlangsung pada usia 20 sampai 24 tahun. Disini Erikson berpendapat bahwa dewasa
muda “yang normal” terdiri dari sanggup mencintai dan bekerja secara efektif, Erikson
meyakini bahwa hanya individu yang memiliki identitas aman yang berani untuk
menapak di sebuah hubungan cinta. Seorang individu yang tidak mengembangkan kerja
produkti, keintiman dan menghindari kontak-kontak dekat maka akan mengembangkan
sebuah rasa yang disebut dengan isolasi. Kemudian alifasi yang merupakan beragama
cara yang diatur oleh budaya mengenai sanksi perawatan dan produktif diantara orang
dewasa. Kemudian kebalikan dari alifasi yaitu elitisme dimana hal ini merupakan sebuah
hal ketia individu yang memiliki perasaan isolasi lebih dari keintiman, mereka lebih
cenderung dicirikan dengan kebanggan diri, dan simbol status karena sebenaranya
hubungan tersebut tidak benar-benar intim mereka sebenarnya hanya melajutkan
perasaan terisolasi diri dari budayanya.
7. Dewasa: Generativasi dan Stagnasi
Tahap berikutnya berada pada usia 25 sampai pada 64 tahun, jika pada tahapan ini
seorang individu mengembangkan identitas yang positif dia akan berusaha melanjutkan
situasi tersebut dan akan diteruskan kepada generasi berikutnya dan hal yang sebaliknya
akan terjadi jika individu tersebut tiak mengembangkan genetivitas. Kemudian apabila
generalisme lebih mendominasi daripada otoritasme maka orang dewasa akan lebih
mentransmisikan nilai budaya ke generasi berikutnya. Berbeda apabila otoritasme yang
lebih mendominasi, tokoh otoritas pada sebuah budaya menggunakan kuasanya lebih
untuk tujuan pribadinya dibandingkan untuk memberikan perhatian bagi anak muda.
8. Usia Senja: Intergritas Ego dan Rasa Putus Asa
Tahapan terakhir ada pada usia 65 sampai akhir kehidupan individu, yang disebut
juga sebagai tahapan dewasa akhir dan menurut Erikson intergritas Ego merupakan solusi
dari krisis pada tahap ini. Disini Erikson berpendapat bahwa jika individu melihat ke
masa lalu yang telah terjadi dan tidak merasa takut pada kematian maka perasaan tersebut
dikatakan dengan “lengkap/utuh” dan “penuh”, berbanding terbalik jika individu tersebu
melihat masa lalu dengan rasa putus asa dan tidak sanggup menghadapi kematian karena
merasa dirinya belum meraih tujuan utama dalam kehidupannya dan tentunya semua
tahapan tersebut berkaitan dengan semua tahapan. Kemudian Intergralisme yang dimana
ketika ia berhasil meraih sebuah hal dimana saat itu hal tersebut bisa tersebar dan
dilestarikan, dengan kata lain seperti ada sebuah pencapaian yang dimana pencapaian
tersebut seakan menjadi hal yang terlestarikan. Dan menurut Erikson kebalikan dari
intergralisme adalah sapientisme dimana mereka mengalami keputsasaan lebih besar dari
intergritas ego dan seakan makna dari kehidupaannya sedikit saja.

DAFTAR PUSTAKA

Krismawati. Yeni, (2014) “Toeri Psikologi Perkembangan Erik H.Erikson dan Manfaatnya Bagi
Tugas Pendidikan Kristen Dewasa Ini. (Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen,
Volume 2, Nomor 1.
Oli’I, Julianto, (2016) Tesis : Perbandingan Konsep Perkembanhan Kepribadian Manusia
Dalam Psikososial Antara Teori Erik H. Erikson dan Ibn Khaldun. Yogyakarta:
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Emiliza, Tiara, (2019). Skripsi : Konsep Psikososial Menurut Teori Erik H.Erikson Terhadap
Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Tinjauan Pendidikan Islam. Bengkulu, Institut Agama
Islam Negeri Bengkulu.

Anda mungkin juga menyukai