Anda di halaman 1dari 16

SEJARAH BANTUAN HUKUM DI INDONESIA

Makalah disusun untuk memenuhi mata kuliah


“ADVOKASI ”
Dosen Pengampu :
Choirul Munif S.Ag.,SH.,MH

Disusun Oleh :
Dinda Dyah Ayu K.S (931208418)
Muntiana Puspitarini (931205118)
Ervina Rohmatul Nehaya (931204518)
Rizqiyah Ainun A (931208918)
Nizar Sabila Rosyd (931204218)
Rizky Ahmad Ramadhoni (931203918)
Mohammad Yoga Pratama (931209017)
Muhamad Miftahul Huda (931206219)

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KEDIRI
2021
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNya sehingga makalah ini
dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa saya juga mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan
dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun
pikirannya.

Dan harapan saya semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar
menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin masih banyak
kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Kediri ,10 maret 2021

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................................................ 2

Daftar Isi ..........................................................................................................................................3

BAB I .............................................................................................................................................. 4

A. Latar Belakang ..................................................................................................................... 4

B. Rumusan Masalah.................................................................................................................. 5

C. Tujuan .................................................................................................................................... 5

BAB II............................................................................................................................................. 6

A. Pengertian Bantuan Hukum ................................................................................................. 6

B. Sejarah Bantuan Hukum Di Indonesia .................................................................................. 6

C. Subjek Dan Unsur Bantuan Hukum .................................................................................... 11

Bab III ........................................................................................................................................... 14

A. Kesimpulan ........................................................................................................................ 14

B. Saran .................................................................................................................................. 15

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 16

3
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bantuan hukum di Indonesia dari zaman ke zaman telah mengalami banyak perubahan,
mulai dari zaman penjajahan, zaman kemerdekaan hingga zaman Reformasi. Bahkan bantuan
hukum sebenarnya sudah dilaksanakan pada masyarakat Barat sejak zaman Romawi, dimana pada
waktu itu bantuan hukum berada dalam bidang moral dan lebih dianggap sebagai pekerjaan yang
mulia khususnya untuk menolong orang-orang tanpa mengharapkan imbalan atau honorarium.1

Bantuan hukum khususnya rakyat kecil yang tidak mampu dan buta hukum tanpaknya
merupakan hal yang dapat kita katakan relatif baru di negara-negara berkembang, demikian juga
di Indonesia. Bantuan hukum sebagai legal institutnion (lembaga hukum) semula tidak dikenal
dalam sistem hukum tradisional, dia baru dikenal di Indonesia sejak masuknya atau
diperlakukannya sistem hukum barat di Indonesia. Namun demikian, bantuan Hokum sebagai
kegiatan pelayanan hokum secara cuma-Cuma kepada Masyarakat miskin dan buta hokum dalam
decade terakhir ini tanpak menunjukkan perkembangan yang amat pesat di Indonesia.

Lebih tegas lagi dalam hukum positif Indonesia masalah bantuan hukum ini diatur dalam
pasal 250 ayat (5) dan (6) Het Herziene Indonesische Reglemen (HIR/Hukum acara perdata lama)
dengan cakupan yang terbatas, artinya pasal ini dalam perakteknya hanya lebih mengutamakan
bangsa Belanda daripada bangsa Indonesia yang waktu itu lebih populer disebut Inlanders.
Di samping itu, daya laku pasal ini hanya terbatas apabila para advokat yang bersedia membela
mereka yang dituduh dan diancam hakuman mati dan atau hukuman seumur hidup.2

Ada kesan bahwa pemerintah juga menyadari hal ini dan ini bisa dibuktikan dengan
adanya pertemuan penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, dan Kehakiman) yang
menghasilkan kesepakatan Cibogo yang pada prinsipnya menegaskan kembali tekad
Pemerintah untuk memberikan terdakwa hak untuk mendapatkan bantuan hukum semaksimal
mungkin. Kalangan advokat Indonesia menyambut baik kesepakatan ini, sayangnya

1
Bambang Sunggono, dan Aries Harianto, 1994. Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, Bandung:
Mandar Maju. Hal.11
2
Ibid, hal 12

4
3
kesepakatan ini tinggal sebagai kesepakatan. Karena menurut hemat penulis dengan tidak
dicantumkan peraturan pelaksana, maka kesepakatan tersebut tidak mempunya kekuatan hukum
yang pasti dan mengikat.

Dalam menghadapi kekosongan peraturan pelaksana tersebut sudah banyak langkah-


langkah yang ditempuh oleh pemerintah berupa pernyataan bersama penegak hukum tertinggi
Instruksi dan keputusan Menteri. Tetapi semua itu tidak memmenuhi harapan masyarakat
pencari keadilan mengenai pelaksanaan bantuan hukum. Undang-undang pelaksanaan bantuan
hukum belum juga muncul meskipun sudah didambahkan masyarakat hingga lahirlah Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada akhir tahun 1981 yang lalu.4

B. Rumusan Masalah
1. Apa Definisi Bantuan Hukum ?
2. Bagaimana Sejarah Bantuan Hukum Di Indonesia ?
3. Apa Saja Subyek Dan Unsur Bantuan Hukum ?

C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Definisi Bantuan Hukum.
2. Untuk Mengetahui Sejarah Bantuan Hukum Di Indonesia.
3. Untuk Mengetahui Subjek Dan Unsur Bantuan Hukum.

3
Ibid. Hal. 6
4
Bambang dan Aries Harianto. Op.Cit., hal. 42

5
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Bantuan Hukum
5
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, bantuan adalah pertolongan. Menurut
kamus hukum, bantuan hukum adalah bantuan yang diberikan seorang ahli atau penasihat
hukum kepada seorang terdakwa di Pengadilan.6
Bantuan hukum adalah jasa atau profesi hukum untuk membantu setiap individu untuk
memperoleh keadilan, memperoleh hak asasi dalam harkat dan martabatnya sesuai dengan
prinsip semua orang memiliki hak dan martabat. Pemberi bantuan hukum diidentikkan
dengan “Orator” yang dalam tindakan diakui sebagai golongan yang memiliki pengetahuan
luas di bidang hukum, berpendidikan dan berjuang untuk membela sesuatu yang hak di
depan hukum dan kekuasaan bagi masyarakat pencari keadilan yaitu orang-orang yang
lemah dan miskin didepan hukum dan pengadilan.7
Menurut SEMA No. 10 tahun 2010 tentang Pedoman Umum Bantuan Hukum
definisi bantuan hukum adalah pemberian jasa hukum yang difasilitasi oleh negara melalui
Peradilan Agama, baik dalam perkara perdata gugatan dan permohonan maupun perkara
jinayat.

B. Sejarah Bantuan Hukum Di Indonesia


Bantuan hukum di Indonesia dari zaman ke zaman telah mengalami banyak
perubahan, mulai dari zaman penjajahan, zaman kemerdekaan hingga zaman Reformasi.
Bahkan bantuan hukum sebenarnya sudah dilaksnakan pada masyarakat Barat sejak zaman
Romawi, dimana pada waktu itu bantuan hukum berada dalam.bidang moral dan lebih
dianggap sebagai pekerjaan yang mulia khusunya untuk menolong orang-orang tanpa
mengharapkan imbalan atau honorium 8

5
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama,
eds keempat, 2008, hlm 137.
6 M. Marwan dan Jimmy, kamus Hukum, Gema Press, 2009, hlm 91.

8 Bambang Sunggono, dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, (Bandung : Mandar Maju, 1994), 11.

6
Setelah meletus Revolusi Prancis yang monumental itu, bantuan hukum kemudian
mulai menjadi bagian dari kegiatan hukum atau kegiatan yuridik, dengn lebih menekankan
pada hak yang sama bagi warga masyarakat untuk mempertahankan kepentingan-
kepentingan di muka pengadilan. Hingga awal abad ke 20 kiranya bantuan hukum ini lebih
banyak dianggap sebagai pekerjaan memberi jasa dibidang hukum tanpa imbalan.9

Bantuan hukum khusunya rakyat kecil yang tidak mampu buta hukum tanpaknya
merupakan hal yang dapat kita katakan relatif baru di negara-negara berkembang, demikian
juga di Indonesia Bantuan hukum sebagai legal institutnion (lembaga hukum) semua tidak
dikenal dalam sistem hukum tradisional, dia baru dikenal di Indonesia sejak masuknya atau
diperlakukannya sistem hukum barat di Indonesia. Namun demikian, bantuan hukum
sebagai kegiatan pelayanan hukum secara cuma-cuma kepada masyarakat miskin dan buta
hukum dalam dekade terakhir ini tanpak menunjukkan perkembangan yang amat pesat di
Indonesia.

Bermula pada tahun 1848 ketika di negari Belanda terjadi perubahan besar dalam
sejarah hukumnya. Berdasarkan asas konkordansi, maka dengn Firman Raja tanggal 16
Mei 1848 No.1, perundang-undangan baru di negwri Belanda tersebut juga diberlakukan
di Indonesia, antara lain peraturan tentang susunan kehakiman dan kebijaksanaan peradilan
(Regiement of de Regterlijkr Organisatic en het beleid der Justitie), yang lazim disingkat
dengan R.O.10

Dalam peraturan hukum inilah diatur untuk pertama kalinya "Lembaga Advokat"
sehingga dapat dipertahankan bahwa bantuan hukum dalam arti yang formal baru mulai di
11
Indonesia sekitar pada waktu-waktu tersebut. Pada masa ity, penduduk Indonesia
dibedakam atas 3 golongan berdasarkan Pasal 163 ayat (1) Indische Staatsregeling (IS),
antara lain :

1. Golongan Eropa

9 Ibid, 12.

10 Ibid, 40.

11 Frans Hendra Winata, Bantuan Hukum - Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan, (Jakarta : PT. Elex Media Komputindo,

2000), 2.

7
Yang termasuk golongan ini adalah orang Belanda, semua orang yang
bukan Belanda tetapi berasal dari Eropa, orang Jepang, dan anak sah dari golongan
Eropa yang diakui undang-undang.

2. Golongan Timur Asing

Yang termasuk dalam golongan Timur Asing adalah golongan yang bukan
termasuk dalam golongan Eropa maupun golongan Bumiputera.

3. Golongan Bumiputera

Yang termasuk golongan ini adalah orang-orang Indonesia asli (pribumi).

Adanya penggolong terhadap penduduk Indonesia pada masa itu menyebabkan


adanya perbedaan antara golongan yang satu dengan golongan yang lain dalam banyak
bidang kehidupan, seperti bidang ekonomi, sosial dan politik kolonial, dimana dalam
semua bidang tersebut golongan Bumipeutera menempati derajat yang lebih rendah dari
pada golongan Eropa dan Timur Asing.

Pemerintah kolonial tidak menjamin hak fakir miskin Bumiputera untuk dibela
advokast dan mendapatkan bantuan hukum. Kemungkinan untuk mendapatkan pembela
atas permohonan terdakwa di muka pengadilan terbatas kepada perkara yang menyebabkan
hukuman mati saja sepanjang ada advokat atau pembela lain yang tersedia.12

Pada saat ini Bantuan hukum merupakan siatu, keharusan bagi setiap Negara dalam
menjamin hak Konatitusional masyarakatnya, sesuai pasal 28 d ayat (1) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesi tahun 1945 : " Negara menjamin setiap orang dianggap
sana dihadapan hukum (supremasi hukum) dan setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
dihadapan hukum".

Aturan hukum diatas menyatakan bahwa negara menjamin bahwa setiap warga
negara mempunyai hak yang sama dalam mengakses hukum tanpa terkecuali dan tanpa
pandang bulu. Serta mendapat perlakuan yang sama di mata hukum tanpa melihat strata

12 Ibid, 21.

8
sosialnya. Bahkan dalam Islam juga ad bantuan hukum Islam dari zman nabii Muhammad
SAW sampai Zaman Khulafatul Rasyidin bantuan hukum sudah dikenal dan dilaksanakan,
bantuan hukum terjadi pada aeal masa Islam yang meliputi dua bidang yaitu bantuan
hukum terjadi pada awal masa Islam yang meliputi dua bidang yaitu bantuan hukum dalam
kasus pidana dan kasus perdata, dimana orang yang berselisih dengan istrinya (kasus
syiqaq) dibutuhkan bantuan hukum yang melaksanakan yuridisnya disebut dengan hakam.

Sejalan dengan perkembangan bantuan hukum, berkembanglah suatu ide untuk


mendirikan semacam biro konsultasi hukum sebagaimana yang pernah didirikan di
Sekolah Tinggi Hukum (Rechtshogeschool) Jakarta pada tahun 1940 oleh Prof.
Zeylemaker, seorang Guru Besar Hukum Dagang dan Hukum Acara Perdata, yang
melakukan kegiatannya berupa pemberian nasihat hukum kepada rakyat yang tidak
mampu, di samping juga untuk memajukan kegiatan klinik hukum.

Diawali pada tahun 1954, didirikan Biro Tjandra Naya yang dipimpin oleh Prof.
Ting Swan Tiong yang mana pada waktu itu lebih mengutamakan konsultasi hukum bagi
orang-orang Cina. Selanjutnya, atas usulan Prof. Ting Swan Tiong yang disetujui oleh Prof.
Sujono Hadibroto (Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia), pada tanggal 2 Mei
1963 didirikan Biro Konsultasi Hukum di Universitas Indonesia dengan Prof. Ting Swan
Tiong sebagai ketuanya. Kemudian pada tahun 1968, biro ini berganti nama menjadi
Lembaga Konsultasi Hukum, dan pada tahun 1974, menjadi Lembaga Konsultasi dan
Bantuan Hukum Selain itu, pada tahun 1967, Biro Konsultasi Hukum juga didirikan di
Fakultas Hukum Universitas Padjajaran. Bersamaan dengan itu, berkembang pula ide
untuk mendirikan suatu organisasi atau perkumpulan bagi para advokat, namun awalnya
perkumpulanperkumpulan advokat yang ada belum dalam bentuk satu wadah kesatuan
organisasi advokat nasional.

Dimulai sekitar tahun 1959-1960 dimana para advokat yang berasal dari Jawa
Tengah berkumpul di Semarang dan sepakat untuk mendirikan organisasi advokat yang
dinamakan BALIE di Jawa Tengah. Selanjutnya, perkumpulan advokat berkembang dan
bermunculan di daerah-daerah lain, seperti Balai Advokat di Jakarta, Bandung, Medan, dan
Surabaya. Usaha pembentukan wadah kesatuan yang sesungguhnya bagi advokat sudah
lama direncanakan sejak Kongres I PERSAHI (Persatuan Sarjana Hukum Indonesia) pada

9
tahun 1961 di Yogyakarta dimana pada waktu itu hadir para ahli hukum dan advokat
sebagai peserta kongres. Lalu bertepatan dengan saat berlangsungnya Seminar Hukum
Nasional I pada tanggal 14 Maret 1963 di Jakarta, tokoh-tokoh advokat sebanyak 14 orang
mencetuskan berdirinya suatu organisasi advokat yang kemudian dikenal dengan nama
Persatuan Advokat Indonesia (PAI) dengan ketuanya Mr. Loekman Wiriadinata yang
bertugas menyelenggarakan dan mempersiapkan suatu kongres nasional para advokat
Indonesia.

Berdirinya PAI tersebut mendapat perhatian dari Pemerintah Republik Indonesia


pada masa itu yang kemudian mengundang para pengurus PAI untuk ikut berperan serta
dalam penyusunan rancangan undang-undang yang berhubungan dengan lembaga
pengadilan dan pelaksanaan peradilan Indonesia. Selanjutnya pada tanggal 29 Agustus
1964 diselenggarakan Kongres I/Musyawarah Advokat yang berlangsung di Hotel Danau
Solo yang dihadiri oleh perwakilan-perwakilan advokat se-Indonesia dan kemudian pada
tanggal 30 Agustus 1964 diresmikan berdirinya Persatuan Advokat Indonesia
(PERADIN)13.

Salah satu proyek PERADIN adalah pendirian suatu Lembaga Bantuan Hukum.
Hal ini terealisasi dengan didirikannya Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di Jakarta pada
tanggal 26 Oktober 1970 di bawah pimpinan Adnan Buyung Nasution, yang dibentuk
berdasarkan Surat Keputusan Pimpinan PERADIN tanggal 26 Oktober 1970 No.
001/Kep/DPP/10/1970, dan mulai berlaku pada tanggal 28 Oktober 1970. Pada tahun 1980,
Lembaga Bantuan Hukum ini berubah nama menjadi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia (YLBHI). Delapan bulan setelah berdirinya LBH di Jakarta, pengembangan
LBH di daerah lainnya meningkat, yakni dengan lahirnya Lembaga-Lembaga Bantuan
Hukum di Medan, Yogyakarta, Solo, dan Palembang. Di samping itu, beberapa kota
lainnya di daerah-daerah juga mengirimkan utusannya ke LBH di Jakarta untuk meninjau
dan mempelajari segala sesuatu mengenai LBH di Jakarta dengan maksud hendak
mendirikan Lembaga Bantuan Hukum di daerahnya.

13 Frans Hendra Winata, Bantuan Hukum – Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan, Op. cit., hlm. 26, et seq.

10
C. Subjek Dan Unsur Bantuan Hukum
Bantuan hukum di dalam negara hukum merupakan sebagian sarana menegakkan
hukum itu sendiri, terutama untuk memperoleh kebenaran dan keadilan, dimana
justisiabelen akan mendapat perlindungan dan kepastian hukum dalam beracara di
Pengadilan. Masalah bantuan hukum tentu tidak bisa dilepaskan dengan lembaga
peradilan, karena proses peradilanlah yang menyebabkan dapat berperannya bantuan
hukum secara nyata. Proses peradilan ini berjalan dengan dan dilakukan oleh pengadilan
dengan segala perangkatnya, proses ini diatur dalam suatu peraturan hukum yang lazim
disebut hukum acara.

Sehubungan dengan bantuan hukum, maka ada empat subjek yang dapat menerima
kuasa untuk beracara dalam persidangan, yaitu:

1. Advokat atau Procureur adalah penasehat hukum yang bergelar sarjana hukum,
diangkat secara resmi berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia dengan persetujuan Mahkamah Agung dan bukan pegawai negeri, dengan
wilayah praktik beracaranya sebagai berikut:
a) Berdasarkan SK Menteri Kehakiman dan HAM tersebut, telah ditetapkan tempat
kedudukannya dan domisilinya pada suatu kota tertentu di dalam wilayah
Pengadilan Negeri.
b) Peran advokat tersebut ijin operasionalnya di semua lingkungan pengadilan di
seluruh wilayah Indonesia.
c) Upaya penerbitan administrasi pengawasan dan pembinaan terhadap advokat, maka
ketika beracara di muka pengadilan diluar daerah hukum Pengadilan Tinggi dimana
ia berdoisili, maka advokat tersebut wajib melaporkan kepada ketua Pengadilan
Tinggi secara tertulis dengan menyampaikan tembusan kepada: a) Mahkamah
Agung RI, b) Ketua Pengadilan Tinggi/Agama/Tata Usaha Negara yang dituju, c)
Pengadilan Tinggi Negeri tempat domisili, dan d) pengadilan Agama /Pengadilan
Tata Usaha Negara yang dituju.
2. Pengacara praktik adalah penasihat hukum resmi atau pembela umum (public
defender) dengan gelar sarjana hukum yang diangkat berdasarkan Surat Keputusan
Ketua Pengadilan Tinggi berdasarkan Peraturan Menteri Kehakiman No. 1 Tahun

11
1975, setelah dinyatakan lulus ujian, dengan wilayah praktik beracaranya sebagai
berikut:
a) Berdasarkan SK Ketua Pengadilan Tinggi tersebut, mereka dapat membuka kantor
atas nama mereka sendiri di wilayah Pengadilan Tinggi tempat mereka diberi ijin
melakukan pekerjaan sebagai pengacara atau penasihat hukum.
b) Pengacara praktik tersebut dapat melakukan beracara di semua lingkungan
peradilan, baik peradilan umum, agama tata usaha negara, maupun lainnya di
wilayah kekuasaan Pengadilan Tinggi tersebut.
c) Untuk penertiban administrasi pengawasan dan pembinaan, ketika pengacara
praktik tersebut beracara di muka pengadilan di luar daerah hukum Pengadilan
Negeri tempat domisilinya, maka ia wajib melaporkan secara tertulis dan
menyampaikan tembusannya kepada: a) Mahkamah Agung RI, b) Ketua
Pengadilan Tinggi tempat domisilinya, c) Ketua Pengadilan Negeri tempat
domisilinya, dan d) Ketua Pengadilan di luar Pengadilan Negeri yang dituju.
3. Perwira Hukum TNI-POLRI. Dapat melakukan praktik di muka pengadilan di
seluruh wilayah KODAM, POLDA dan sebagainya atas ijin Ketua Pengadilan Tinggi
atau Ketua Pengadilan Negeri.
4. Kuasa Insidentil adalah kuasa hukum yang diminta oleh seseorang yang berperkara
untuk memberikan bantuan atau nasihat hukum selama perkara berjalan, dengan
berpedoman pada hal-hal sebagai berikut:
a) Tidak harus sarjana hukum/sayari’ah, sekaligus dalam melakukan bantuan hukum
atau jasa hukum tersebut tidak sebagai profesi.
b) Cukup memperoleh ijin Ketua Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri atau
Pengadilan Tata Usaha Negara di wilayah hukum dimana yang bersangkutan
diminta untuk memberikan bantuan hukum, untuk satu tahun satu perkara saja.
c) Tidak diperlukan memiliki ijin praktik dari Ketua Pengadilan Tinggi, akan tetapi
wajib melaporkan ijin dari Ketua Pengadilan Agama tersebut secara tertulis kepada
Ketua Pengadilan Tinggi tersebut, dan tembusannya dikirimkan kepada: a) Ketua

12
Penagilan Tinggi yang dituju di luar Pengadilan Tinggi Umum, b) Ketua
Pengadilan Negeri, dan c) Ketua Pengadilan yang dituju.14
d) Unsur-unsurnya adalah adanya jasa hukum, tindakan pembela artinya orang yang
berwenang bertindak membela suatu perkara pidana maupun sebagai kuasa dalam
perkara perdata atau tata usaha negara dimuka pengadilan dan atau memberi
nasehat hukum di luar pengadilan.15

14
Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syari’ah di
Indonesia, Jakarta Pusat: Ikatan Hakim Indonesia(IKAHI), 2008, hlm 99-103.
15
Lasdin Wlas, Cakrawala Advokat Indonesia, Yokyakarta: Liberty, 1989. hlm 199.

13
Bab III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut SEMA No. 10 tahun 2010 tentang Pedoman Umum Bantuan Hukum
definisi bantuan hukum adalah pemberian jasa hukum yang difasilitasi oleh negara melalui
Peradilan Agama, baik dalam perkara perdata gugatan dan permohonan maupun perkara
jinayat. Bantuan hukum di Indonesia dari zaman ke zaman telah mengalami banyak
perubahan, mulai dari zaman penjajahan, zaman kemerdekaan hingga zaman Reformasi.
Bantuan hukum khusunya rakyat kecil yang tidak mampu buta hukum tanpaknya
merupakan hal yang dapat kita katakan relatif baru di negara-negara berkembang, demikian
juga di Indonesia.

Adanya penggolong terhadap penduduk Indonesia pada masa penjajahan


menyebabkan adanya perbedaan antara golongan yang satu dengan golongan yang lain
dalam banyak bidang kehidupan, seperti bidang ekonomi, sosial dan politik kolonial,
dimana dalam semua bidang tersebut golongan Bumipeutera menempati derajat yang lebih
rendah dari pada golongan Eropa dan Timur Asing.

Pemerintah kolonial tidak menjamin hak fakir miskin Bumiputera untuk dibela
advokast dan mendapatkan bantuan hukum. Pada saat ini Bantuan hukum merupakan siatu,
keharusan bagi setiap Negara dalam menjamin hak Konatitusional masyarakatnya, sesuai
pasal 28 d ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesi tahun 1945 : " Negara
menjamin setiap orang dianggap sana dihadapan hukum (supremasi hukum) dan setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama dihadapan hukum".

perkumpulan advokat berkembang dan bermunculan di daerah-daerah lain, seperti


Balai Advokat di Jakarta, Bandung, Medan, dan Surabaya. Usaha pembentukan wadah
kesatuan yang sesungguhnya bagi advokat sudah lama direncanakan sejak Kongres I
PERSAHI (Persatuan Sarjana Hukum Indonesia) pada tahun 1961 di Yogyakarta dimana
pada waktu itu hadir para ahli hukum dan advokat sebagai peserta kongres. Lalu bertepatan
dengan saat berlangsungnya Seminar Hukum Nasional I pada tanggal 14 Maret 1963 di

14
Jakarta, tokoh-tokoh advokat sebanyak 14 orang mencetuskan berdirinya suatu organisasi
advokat yang kemudian dikenal dengan nama Persatuan Advokat Indonesia (PAI) dengan
ketuanya Mr. Loekman Wiriadinata yang bertugas menyelenggarakan dan mempersiapkan
suatu kongres nasional para advokat Indonesia.

Berdirinya PAI tersebut mendapat perhatian dari Pemerintah Republik Indonesia


pada masa itu yang kemudian mengundang para pengurus PAI untuk ikut berperan serta
dalam penyusunan rancangan undang-undang yang berhubungan dengan lembaga
pengadilan dan pelaksanaan peradilan Indonesia. Selanjutnya pada tanggal 29 Agustus
1964 diselenggarakan Kongres I/Musyawarah Advokat yang berlangsung di Hotel Danau
Solo yang dihadiri oleh perwakilan-perwakilan advokat se-Indonesia dan kemudian pada
tanggal 30 Agustus 1964 diresmikan berdirinya Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN)

B. Saran
Dalam penyusunan makalah ini kami menyadari bahwa di dalam makalah ini masih
jauh dari kata kesempurnaan dan masih banyak kekurangan. Untuk itu kami mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca, sehingga kedepannya makalah ini akan menjadi lebih baik
dari sebelumnya. Dan semoga makalah ini dapat bermanfaat, memberikan wawasan dan
informasi yang lebih luas mengenai materi Advokasi “sejarah bantuan hukum di Indonesia.

15
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan


Mahkamah Syari’ah di Indonesia, Jakarta Pusat: Ikatan Hakim Indonesia(IKAHI),

Bambang Sunggono, dan Aries Harianto, 1994. Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia,
Bandung : Mandar Maju,

Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : PT


Gramedia Pustaka Utama, eds keempat,

Frans Hendra Winata, Bantuan Hukum – Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan, Op. cit.,
Lasdin Wlas, 1989. Cakrawala Advokat Indonesia, Yokyakarta: Liberty,.
Mulya Lubis, 1986. Bantuan Hukum dan Kemiskinan Stuktural, Jakarta: LP3ES

M. Marwan dan Jimmy, 2009. kamus Hukum, Gema Press,

16

Anda mungkin juga menyukai