Anda di halaman 1dari 20

Rangkuman Hukum Tata Usaha Negara

(Materiil)

Ibnu Yuliantoro, S.H.


BAB 1 : PENGERTIAN HTUN
1. Administrasi dan Tata Usaha
Dr. S.P. Siagian M.P.A. (1973:13) mendefinisikan administrasi sebagai keseluruhan proses kerja
sama antara dua orang manusia atau lebih yang didasarkan atas rasionalitas tertentu untuk
mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa
dalam administrasi itu terkandung berbagai unsur, yaitu:
1. Unsur dua manusia atau lebih
2. Tujuan yang akan dicapai
3. Tugas-tugas yang harus dilaksanakan serta
4. Adanya peralatan dan perlengkapan

2. Istilah Hukum TUN


Berpatokan pada bunyi Undang-undang Republik Indonesia No 5 Tahun 1986 Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, Bab VII mengenai Ketentuan Penutup Pasal 144 menyatakan
bahwa: Undang-undang ini dapat disebut Undang-undang Peradilan Administrasi Negara. Dari
bunyi pasal ini jelas pada kita bahwa Hukum Tata Usaha Negara itu sama dengan Hukum
Administrasi Negara. Karena lapangan Hukum Tata Usaha Negara itu sama dengan lapangan
Hukum Tata Pemerintahan maka Hukum Tata Pemerintahan itu sama pula dengan Hukum
Administrasi Negara. Kalaupun ada perbedaan, perbedaan tersebut hanya mengenai istilah
atau namanya saja. Di negara-negara lain dalam ilmu pengetahuan ini dikenal istilah sebagai
berikut:

1. Di Inggris disebut dengan administrative Law.


2. Di Perancis disebut dengan droit administratif.
3. Di Jerman disebut dengan Verwaltungsrecht.
4. Di Belanda disebut dengan Administratiefrecht.

3. Definisi Hukum TUN


Menurut De La Bassecour Caan (E. Utrecht;1960:9), yang dimaksud dengan Hukum Tata
Usaha Negara ialah Himpunan peraturan-peraturan tertentu yang menjadi sebab maka
negara berfungsi (beraksi), peraturan-peraturan itu mengatur hubungan-hubungan antara
tiap-tiap warga negara dengan pemerintahnya. Jika kita simpulkan definisi dari De La
Bassecour Caan ini dapat ditarik pengertian:

1. Hukum Tata Usaha Negara menjadi sebab maka negara berfungsi dan beraksi.
2. Hukum Tata Usaha Negara mengatur hubungan antara warga negara dengan pemerintah.
Hukum Tata Usaha Negara ini menjadi dasar dari segala perbuatan pemerintah atau badan
administrasi negara. Bagian kedua menunjukkan bahwa Hukum Tata Usaha Negara itu
termasuk hukum publik, karena mengatur hubungan antara warga negara dengan
pemerintahnya. Dengan perkataan lain hubungan yang diatur oleh Hukum Tata Usaha Negara
adalah hubungan yang bersifat Publiek Rechtelijk, yaitu suatu hubungan hukum, di mana yang
diutamakan adalah kepentingan umum (publik) dan hubungan ini berbeda dengan hubungan
perdata.

Dari berbagai definisi di atas dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa Hukum Tata Usaha Negara
adalah serangkaian peraturan yang mengatur dan menentukan cara-cara pemerintah atau
aparat administrasi negara menjalankan tugasnya.
BAB 2 : LAPANGAN HTUN DALAM BERBAGAI NEGARA
1. Negara Monarki Absolut
Dalam negara yang berbentuk Monarki Absolut ini sistem pemerintahan yang dipakai adalah
sistem pemerintahan sentralisasi dan konsentrasi. Pada sistem pemerintahan yang sentralisasi
ini semua kekuasaan terpusat pada tangan raja, sedangkan sistem konsentrasi berarti bahwa
aparat negara yang lain hanyalah sebagai pembantu raja.
Dalam sistem pemerintahan sentralisasi dan konsentrasi ini, raja sekaligus menjadi
pembuat undang-undang, menjalankan dan mempertahankan undang-undang. Biasanya
dalam melaksanakan tugas, raja dibantu oleh para pembantunya yang bersifat birokratis. Akan
tetapi dalam pemerintahan yang bersifat birokratis ini belum dikenal sistem pembagian kekuasaan,
seperti yang kita kenal sekarang ini yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif, sehingga
aparat pemerintah tersebut merupakan pegawai raja yang berbuat dan bertindak selalu atas nama
raja. Untuk melaksanakan tugasnya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi maka raja
mengeluarkan peraturan-peraturan/keputusan-keputusan yang harus dilaksanakan oleh aparat
pembantu raja tersebut.

2. Negara Monarki Konstitusional


Pada abad ke-17 sampai dengan abad ke-18 muncullah beberapa ahli negara dan hukum
dengan ajaran-ajarannya, yang pada dasarnya menghendaki perombakan sistem pemerintahan
monarki absolut menjadi monarki konstitusional. Ajaran-ajaran tersebut antara lain berasal dari:

a. John Locke (1632-1704)


Dalam buku karangannya yang berjudul Two Treatises on Civil Government, yang
mengajarkan ajaran tentang pembagian kekuasaan:
a). Kekuasaan Legislatif, adalah kekuasaan untuk membuat peraturan perundang-undangan.
b). Kekuasaan Eksekutif, adalah kekuasaan untuk melaksanakan peraturan perundang-
undangan, termasuk pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan yakni
kekuasaan pengadilan (yudikatif).
c). Kekuasaan Federatif, adalah kekuasaan yang tidak termasuk kekuasaan mengadakan
hubungan antara alat-alat aparat negara baik intern maupun ekstern.
b. CH De Montesquieu (1689-1755)
Montesquieu mengemukakan teorinya, bahwa untuk membatasi kewenangan raja yang
absolut, hendaknya dalam suatu negara diadakan suatu pemisahan kekuasaan (fungsi) ke dalam
tugas kekuasaan yang masing-masing mempunyai lapangan pekerjaan sendiri-sendiri yang
terpisah-pisah satu sama lain.

Kekuasaan tersebut adalah sebagai berikut.


a. Kekuasaan Legislatif (La puissance legislative), yaitu kekuasaan untuk membuat peraturan
perundangan. (dijalankan oleh Parlemen)
b. Kekuasaan Eksekutif (La puissance executive), yaitu kekuasaan menjalankan peraturan
perundangan. (dijalankan oleh Raja)
c. Kekuasaan Yudikatif (La puissance de juger), yaitu kekuasaan untuk mempertahankan
peraturan perundangan. (dilaksanakan oleh Hakim)

Dengan adanya desentralisasi kekuasaan pada tiga lembaga yang terpisah-pisah ini maka
kemerdekaan individu akan terjamin dari tindakan raja yang sewenang-wenang. Ajaran
Montesquieu ini dikenal dengan istilah Trias Politica yang berasal dari Immanuel Kant.

3. Negara Monarki Parlementer/Republik


Dalam teori ini dituntut kepada pemerintah untuk mencampuri segala aspek kehidupan dan
penghidupan masyarakat. Hal ini menimbulkan konsekuensi yuridis, di mana fungsi Hukum
Tata Usaha Negara bertambah, karena justru hukum inilah yang sangat erat dan peka sekali
terhadap keadaan politik. Dengan berkembangnya sosialisme ini terciptalah suatu tipe negara barn
yang disebut welfare state (negara kesejahteraan). Konsep negara kesejahteraan mengandung
suatu program sosial dengan perincian antara lain tentang:

a. Meratakan pendapatan masyarakat.


b. Usaha kesejahteraan sosial sejak manusia lahir sampai meninggal.
c. Mengusahakan lapangan kerja yang seluas-luasnya.
d. Pengawasan atas upah oleh pemerintah.
e. Usaha dalam bidang pendidikan di sekolah-sekolah, pendidikan lanjutan/latihan kerja

Setelah Perang Dunia II, konsep Welfare State dapat diterima secara luas. Indonesia bisa
digolongkan pada negara yang menggunakan tipe welfare state ini. Hal ini dapat dibuktikan dari:

a. Salah satu sila dari Pancasila sebagai dasar falsafah negara, yaitu sila Keadilan Sosial.
b. Dalam pembukaan UUD 1945, alinea ke empat dikatakan bahwa tujuan pembentukan negara
Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
BAB 3 : HTUN SEBAGAI HIMPUNAN PERATURAN ISTIMEWA
1. Pengertian Administrasi Negara
Administrasi Negara itu adalah gabungan jabatan, aparat (alat) administrasi di bawah
pimpinan pemerintah melakukan sebagian tugas pemerintah, yang tidak ditugaskan kepada badan
legislatif dan yudikatif.
Administrasi negara memerlukan kekuasaan istimewa, oleh karena dalam hal dijalankannya
hukum biasa maka belum tentu semua penduduk wilayah negara akan tunduk pada
perintahnya, karena tidak semua penduduk di wilayah negara cenderung atau dengan suka rela
mau tunduk pada peraturan hukum biasa.

2. Sistem Administrasi Negara Indonesia


Sistem administrasi negara Indonesia menganut asas kebebasan atau freies ermessen. Asas
ini juga menggambarkan bahwa Hukum Tata Usaha Negara merupakan himpunan peraturan
istimewa, karena dengan adanya kemerdekaan yang dimiliki administrasi negara seakan-akan
adanya kekuasaan eksekutif di bidang legislatif dan yudikatif.
Selanjutnya pemerintah (administrasi negara) berdasarkan kekuasaan istimewa dapat
melakukan perbuatan-perbuatan hukum publik bersegi satu yang diberi nama beschikking
atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan ketetapan. Perbuatan yang mengadakan suatu
ketetapan dapat disebut perbuatan penetapan (beschikkings handeling).

Dari penjelasan di atas dapatlah disimpulkan bahwa Hukum Tata Usaha Negara atau Hukum
Administrasi Negara merupakan himpunan peraturan istimewa, sebab memiliki berbagai
keistimewaan, di antaranya:
1. Memberikan kebebasan (freies ermessen) kepada badan administrasi negara dalam bertindak.
2. Mempunyai kekuatan memaksa yang tidak dipunyai oleh hukum-hukum lainnya, kecuali
hukum pidana.
3. Peraturan-peraturan administrasi negara dipertahankan oleh sanksi biasa maupun sanksi
istimewa
BAB 4 : ASAS-ASAS HTUN DAN SUMBER HTUN
1. Asas-Asas Hukum TUN
HTUN merupakan kaidah-kaidah atau norma yang menentukan bagaimana seharusnya alat
perlengkapan tata usaha negara bertingkah laku dalam melaksanakan tugas-tugas. Norma atau
kaidah-kaidah ini berkaitan sekali dengan asas. Menurut Bachsan Mustafa (1982;42-43) asas-asas
HTUN tersebut terdiri dari:
1. Asas legalitas, bahwa setiap perbuatan administrasi berdasarkan hukum.
2. Asas tidak boleh menyalahgunakan kekuasaan atau asas detournement de pouvoir.
3. Asas tidak boleh menyerobot wewenang badan administrasi negara yang satu oleh yang
lainnya atau asas exes de pouvoiur.
4. Asas kesamaan hak bagi setiap penduduk negara atau asas non diskriminatif.
5. Asas upaya pemaksa atau bersanksi sebagai jaminan penaatan kepada hukum administrasi
negara
Asas-asas hukum ini juga terdapat dalam peraturan perundangan. Untuk lebih jelasnya:
a. Asas-asas Peraturan Perundang-undangan
Menurut Prof. Purnadi Purbacaraka S.H. dalam bukunya yang berjudul Perundang-undangan
dan Yurisprudensi (Drs. C.S.T. Kansil SH;1992;79-83) bahwa Tentang berlakunya suatu undang-
undang dalam arti materiil, dikenal beberapa asas. Asas peraturan perundangan tersebut adalah
sebagai berikut.
1. Undang-undang tidak berlaku surut, ini berarti bahwa undang-undang hanya boleh
dipergunakan terhadap peristiwa yang disebut dalam undang-undang tersebut, dan terjadi setelah
undang-undang itu dinyatakan berlaku.
2. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat
umum jika pembuatnya sama (Lex Specialis Derogat Lex Generalis).
3. Undang-undang yang berlaku belakangan membatalkan undang-undang yang berlaku
terdahulu (Lex Posteriore derogat Lex Periore).
4. Undang-undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan
spiritual dan material bagi masyarakat maupun individu melalui pembaharuan atau pelestarian.
5. Asas presumption of innosence yang berarti bahwa orang harus dianggap tidak bersalah
selama pengadilan tidak membuktikan dan menyatakan ia bersalah dalam satu putusan yang
menyebabkannya dihukum.
b. Fungsi Asas-Asas Hukum TUN
Semua asas HTUN tersebut di atas mempunyai fungsi sebagai berikut.

a. Sebagai dasar dalam pembentukan hukum administrasi negara (HTUN).


b. Sebagai pedoman bagi para pejabat administrasi negara dalam menjalankan tugas-tugasnya.
c. Memulihkan suatu kerja sama dan koordinasi rasional di antara para pejabat administrasi
negara tersebut.
d. Memelihara kewibawaan dari administrasi negara dan memelihara kepercayaan masyarakat
terhadap administrasi negara.

Agar lebih memahami maksud dari asas-asas umum pemerintahan yang baik di atas, coba
Anda ikuti penjelasan-penjelasan sebagai berikut.

a. Asas Kepastian hukum (principle of legal security)


Asas kepastian hukum dapat dipegang teguh dengan syarat bahwa keputusan pemerintah sudah
memenuhi syarat-syarat formal dan materiil
b. Asas Keseimbangan (principle of proportionality)
Asas ini menghendaki adanya keseimbangan antara hukuman jabatan dan kelalaian atau
kealpaan seorang pegawai.
c. Asas Kesamaan dalam Mengambil Keputusan (principle of equality)
Asas ini menghendaki agar badan-badan pemerintah harus mengambil tindakan yang sama
dalam arti tidak bertentangan atas kasus-kasus yang faktanya sama.
d. Asas Bertindak Cermat (principle of carefulness)
Andaikata dalam hal ada jalan yang rusak dan di situ tidak terpancang papan peringatan dan
terjadi kecelakaan, maka adalah kewajiban walikota/pemerintah untuk mengganti kerugian akibat
daripada kecelakaan itu
e. Asas Motivasi untuk setiap keputusan Pangreh (principle of motivation)
Asas ini menghendaki bahwa keputusan badan-badan pemerintahan harus didasari alasan atau
motivasi yang cukup.
f. Asas Jangan Mencampuradukkan Kewenangan (principle of non misuse of competence)
Badan-badan Pemerintahan yang mempunyai kewenangan untuk mengambil suatu keputusan
menurut hukum, tidak boleh menggunakan kewenangan itu untuk lain tujuan selain daripada
tujuan yang telah ditetapkan untuk kewenangan itu.
g. Asas Permainan Yang Layak (principle of fair play)
Asas ini berprinsip bahwa badan-badan pemerintahan harus memberikan kesempatan yang
seluas-luasnya kepada warga negara untuk mencari kebenaran dan keadilan.
h. Asas Keadilan dan Kewajaran (principle of reasonableness or prohibition of arbitrariness)
Asas ini menyatakan bahwa badan pemerintahan dalam melakukan tindakan hares adil dan
wajar.
g. Asas Menanggapi Pengharapan Yang Wajar (principle of meeting raised expectation)
Agar adanya suatu kepastian hukum maka pemerintah harus memberikan gaji yang sudah
dijanjikannya. Dalam hal ini pemerintah harus menanggapi pengharapan-pengharapan dari
pegawai untuk keluarnya gaji yang ketiga belas
h. Asas Meniadakan Akibat Suatu Keputusan Yang Batal (principle of undoing the
consequences of an annulled decision)
Kadang-kadang keputusan tentang pemecatan seorang pegawai dibatalkan oleh peradilan tata
usaha negara, karena keputusan tersebut mengandung kekurangan yuridis. Dalam hal demikian
badan pemerintahan yang bersangkutan tidak hanya menerima kembali pegawai yang dipecatnya
tersebut akan tetapi harus membayarkan segala kerugian yang disebabkan oleh keputusan tentang
pemecatan yang tidak berdasarkan hukum atau mengandung kekurangan yuridis.

i. Asas perlindungan atas pandangan hidup (cara hidup) pribadi (principle of protecting the
personal way of life)
Badan pemerintah harus memberikan perlindungan atas pandangan atau cara hidup seorang
pegawai.

j. Asas kebijaksanaan (sapientia)


Dalam tugas mengabdi kepada kepentingan umum, badan-badan pemerintah tidak perlu
menunggu instruksi, tetapi langsung harus dapat bertindak dengan bijak pada asas kebijaksanaan.

k. Asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of public service)


Tugas penyelenggaraan kepentingan umum itu merupakan tugas daripada semua aparat
pemerintahan termasuk para pegawai negeri sebagai alat pemerintahan.

2. Sumber-Sumber Hukum TUN


a. Pengertian Sumber Hukum dan Berbagai Pandangan Mengenai Sumber Hukum
Adapun yang dimaksud dengan sumber hukum ialah segala apa saja yang menimbulkan
aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang kalau
dilanggar mengakibatkan sanksi-sanksi yang tegas dan nyata.

b. Sumber Hukum Formil dan Sumber Hukum Materiil


Sumber hukum dalam arti formil adalah sumber hukum yang dikenal dari bentuknya.
Karena bentuknya itu menyebabkan hukum berlaku umum, diketahui dan ditaati. Sedangkan
Sumber hukum dalam arti materiil adalah sumber hukum yang menentukan isi hukum.

c. Sumber-sumber Faktual Hukum Tata Usaha Negara


Sumber-sumber faktual Hukum Tata Usaha Negara menurut E. Utrecht (Muchsan
SH;1982:23-50), terdiri dari:

a. Undang-Undang (HAN tertulis).


b. Praktik administrasi negara (HAN yang merupakan hukum kebiasaan).
c. Yurisprudensi.
d. Anggapan para ahli HAN
Untuk lebih jelasnya coba ikuti penjelasan-penjelasan berikut ini.
a. Undang-Undang (HAN yang tertulis)
Hukum Tata Usaha Negara (Hukum Administrasi Negara) sampai sekarang belum mempunyai
suatu kodifikasi, sehingga Hukum Tata Usaha Negara tersebut tersebar dalam berbagai ragam
peraturan perundang-undangan.
Menurut Donner kesulitan untuk membuat kodifikasi hukum Tata Usaha Negara (Hukum
Administrasi Negara) tersebut disebabkan oleh:

1) Peraturan-peraturan Hukum Administrasi Negara berubah lebih cepat dan Bering secara
mendadak.
2) Pembuatan peraturan-peraturan Hukum Administrasi Negara tidak berada dalam satu tangan.
Hampir semua Departemen dan semua pemerintah daerah swatantra membuat juga peraturan-
peraturan Hukum Administrasi Negara.

Peraturan Perundangan yang dapat menjadi sumber Hukum Administrasi) Negara (HAN)
Indonesia, ada yang berasal dari zaman penjajahan Belanda, ada yang diatur dalam UUD 1945.
Peraturan perundang-undangan berdasarkan UUD 1945, terdiri dari:

1. Undang-undang
2) Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-undang
3) Peraturan Pemerintah
b. Praktik administrasi negara (HAN yang merupakan hukum kebiasaan).
Dalam melaksanakan fungsinya ini maka alat administrasi memprodusir keputusan-
keputusan guna menyelesaikan suatu masalah konkret yang terjadi berdasarkan peraturan
hukum yang abstrak sifatnya. Dalam memprodusir keputusan-keputusan inilah timbul praktik
administrasi negara yang membentuk hukum administrasi negara kebiasaan (HAN yang tidak
tertulis).
c. Yurisprudensi.
Jurisprudensi adalah keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Keputusan hakim ini pun merupakan sumber hukum yang faktual, oleh karena mengikat para pihak
yang bersengketa. Dengan adanya keputusan hakim tersebut dapat menimbulkan hukum positif
pada mereka yang bersangkutan, yakni timbulnya, berubahnya atau hapusnya hak dan kewajiban
baru bagi masing-masing pihak.
d. Anggapan Para Ahli Hukum Administrasi Negara
Anggapan atau pendapat para ahli Hukum Administrasi Negara dapat merupakan sumber
faktual dari HAN. Hal ini karena anggapan tersebut dapat melahirkan teori-teori baru dalam
HAN itu sendiri;
BAB 5 : WARGA NEGARA DAN KEWARGANEGARAAN
1. Warga Negara dan Penduduk
Syarat berdirinya sebuah negara yang merdeka adalah adanya wilayah, adanya pemerintahan
yang berdaulat, serta adanya rakyat. Rakyat yang menetap di suatu wilayah negara tertentu
disebut warga negara
Warga negara adalah anggota penuh dari suatu negara, serta mempunyai kedudukan
penting dan khusus terhadap negara, yaitu ada hak dan kewajiban yang bersifat timbal balik
antara warga negara dengan negara.
2. Prinsip Dasar Kewarganegaraan
Secara universal dikenal dua prinsip atau asas dasar dalam penentuan kewarganegaraan
seseorang. Kedua prinsip atau asas dasar tersebut adalah sebagai berikut:
a. Asas ius soli (law of the soil atau asas daerah kelahiran)
kewarganegaraan seseorang ditentukan berdasarkan tempat kelahiran. Seseorang menjadi
warga negara dari suatu negara karena ia dilahirkan di negara tersebut

b. Asas ius sanguinis (law of the blood atau asas keturunan atau asas darah)
kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh garis keturunan orang yang bersangkutan.
Seseorang menjadi warga negara dari suatu negara karena orang tuanya adalah warga negara dari
negara tersebut

Akibatnya dapat muncul bipatride (kewarganegaraan ganda), dan apatride (tanpa


kewarganegaraan). Seorang anak yang terlahir dari orang tua yang negaranya menganut asas ius
soli tetapi dilahirkan di suatu negara yang menganut asas ius sanguinis akan berstatus apatride
(tanpa kewarganegaraan). Sebaliknya seorang anak yang orang tuanya berasal dari negara yang
menganut asas ius sanguinis tetapi dilahirkan di suatu negara yang menganut asas ius soli maka ia
akan berstatus bipatride (kewarganegaraan ganda)

3. Perolehan dan Kehilangan Kewarganegaraan


Secara teoretik dikenal lima macam cara untuk memperoleh kewarganegaraan yaitu:
a. Pewarganegaraan berdasarkan kelahiran
b. Pewarganegaraan berdasarkan keturunan/hub darah
c. Pewarganegaraan orang asing yg mengajukan permohonan
d. Pewargabegaraan yg memenuhi syarat tertentu
e. Pewarganegaraan karena perluasan wil. Negara
dan tiga macam cara yang menyebabkan seseorang kehilangan kewarganegaraan yaitu:
a. Menanggalkan salah satu dari kewarganegaraan yang dimilikinya
b. Memperoleh kewarganegaraan negara lain
c. Penghentian paksa karena terbukti tidak setia atau berkhianat kepada negara dan konstitusi
BAB 6 : BENTUK NEGARA, SUSUNAN NEGARA, DAN SISTEM PEMERINTAHAN
1. Bentuk Negara
Secara universal dikenal dua macam bentuk negara yaitu kerajaan (monarki) dan republik.
Negara kerajaan (monarki) dikepalai oleh seorang raja/ratu/sultan/kaisar yang pengangkatannya
dilakukan berdasarkan garis keturunan atau hubungan darah. Kepala negara (raja/ratu/sulta/
kaisar) menjabat secara turun temurun, dan menjabat seumur hidup. Sedangkan negara
republik adalah negara yang dikepalai oleh presiden
Warga negara adalah anggota penuh dari suatu negara, serta mempunyai kedudukan
penting dan khusus terhadap negara, yaitu ada hak dan kewajiban yang bersifat timbal balik
antara warga negara dengan negara.
2. Susunan Negara
a. Negara Kesatuan
Negara kesatuan adalah negara yang bersusunan tunggal karena hanya terdiri dari satu
negara, dan hanya ada satu pemerintah yaitu pemerintah pusat yang mempunyai kekuasaan dan
wewenang tertinggi dalam bidang pemerintahan negara. kekuasaan negara terbagi antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah. ex: Indonesia

b. Negara Federasi
Negara federasi adalah negara yang bersusunan jamak karena tersusun dari beberapa negara
yang semula telah berdiri sendiri sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, mempunyai undang-
undang dasar sendiri serta pemerintahan sendiri tetapi karena suatu kepentingan (baik kepentingan
politik, ekonomi atau kepentingan lainnya) negara-negara tersebut kemudian menggabungkan diri
untuk membentuk suatu ikatan kerja sama yang efektif. ex: Malaysia

c. Negara Konfederasi
Negara konfederasi adalah persekutuan antar negara-negara yang berdaulat dan independen
yang karena kebutuhan tertentu mempersekutukan diri dalam organisasi kerja sama yang longgar/

d. Negara Superstruktural
Gabungan negara-negara yang ada di Eropa yg sifatnya sangat kuat

3. Sistem Pemerintahan
a. Sistem Pemerintahan Presidensial
Sistem pemerintahan presidensial adalah sistem pemerintahan yang menempatkan presiden
sebagai kepala negara (head of state) sekaligus kepala pemerintahan (head of government).
Dengan demikian kedudukan presiden menjadi sangat kuat. Negara yang menerapkan sistem
pemerintahan presidensial tidak mengenal jabatan kepala eksekutif di luar presiden.

Dalam sistem pemerintahan presidensial ada pemisahan yang tegas antara lembaga legislatif
(parlemen) dengan lembaga eksekutif dan lembaga yudikatif. Presiden adalah kepala negara yang
sekaligus kepala eksekutif. Presiden tidak dipilih oleh parlemen. Presiden dan parlemen sama-
sama dipilih langsung oleh rakyat melalui suatu pemilihan umum, oleh karena itu presiden tidak
bertanggung jawab kepada parlemen, dan dengan demikian presiden beserta kabinetnya
tidak dapat dijatuhkan oleh parlemen. Sebaliknya Presiden juga tidak dapat membubarkan
parlemen.

b. Sistem Pemerintahan Parlementer


Sistem pemerintahan parlementer adalah sistem pemerintahan dengan jabatan kepala negara
(head of state) dan kepala pemerintahan (head of government) –yang pada hakikatnya sama-
sama merupakan cabang kekuasaan eksekutif dibedakan dan dipisahkan. Jabatan kepala
pemerintahan diduduki oleh perdana menteri sedangkan jabatan kepala negara diduduki
oleh raja (hanya sebagai smbol saja). Dalam sistem pemerintahan parlementer ada hubungan
yang erat dan saling tergantung antara eksekutif (kabinet) dan legislatif (parlemen). Kabinet
yang dipimpin oleh perdana menteri dipilih oleh parlemen oleh karena itu kabinet
bertanggung jawab dan tunduk kepada parlemen. Kabinet bisa jatuh apabila tidak mendapat
dukungan dari mayoritas anggota parlemen. Sebaliknya kepala negara dapat membubarkan
parlemen atas permintaan perdana menteri. Bubarnya parlemen disusul dengan
penyelenggaraan pemilihan umum.

c. Sistem Pemerintahan Campuran


Sistem pemerintahan campuran adalah sistem pemerintahan yang mempergunakan sistem
presidensial dan sistem parlementer sekaligus. Dalam negara yang menerapkan sistem
pemerintahan campuran, ada yang lebih menonjol sistem presidensialnya tetapi ada juga yang
lebih menonjol sistem parlementernya.

4. Bentuk dan Susunan Negara Indonesia


Menurut Pasal 1 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 (Bab I tentang Bentuk Kedaulatan),
“Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik.” Sesuai dengan
“kesepakatan dasar” yang diambil dalam Rapat Panitia Ad Hoc III Badan Pekerja MPR masa
sidang 1999 sebelum dilakukan perubahan terhadap UUD 1945, bentuk negara kesatuan tidak
mengalami perubahan. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 37 ayat (5) UUD 1945 (Bab XVI
tentang Perubahan UUD) di mana dinyatakan bahwa “Khusus mengenai bentuk NKRI tidak
dapat dilakukan perubahan”

dan tiga macam cara yang menyebabkan seseorang kehilangan kewarganegaraan yaitu:
a. Menanggalkan salah satu dari kewarganegaraan yang dimilikinya
b. Memperoleh kewarganegaraan negara lain
c. Penghentian paksa karena terbukti tidak setia atau berkhianat kepada negara dan konstitusi
5. Sistem Pemerintahan Indonesia
a. Periode 17 Agustus 1945-11 November 1945: Sistem Pemerintahan Quasi Presidensial
Menempatkan presiden sebagai kepala pemerintahan, ditentukan tunduk dan bertanggung
jawab kepada MPR sebagai lembaga permusyawaratan rakyat adalah sistem pemerintahan kuasi
presidensial/sistem.

b. Periode 14 November 1945 - 27 Desember 1949: Sistem Pemerintahan Parlementer


Setelah keluar Maklumat 14 November 1945 yang berisi susunan kabinet baru di bawah
Perdana Menteri Sutan Syahrir, sejak saat itu menteri-menteri tidak lagi menjadi pembantu dan
bertanggung jawab kepada presiden melainkan bertanggung jawab kepada parlemen. parlementer
pemerintahan dilakukan oleh kabinet yang dipimpin langsung oleh seorang perdana menteri
yang bertanggung jawab kepada parlemen

c. Periode 1959-1966 (Era Orde Lama): Sistem Pemerintahan Demokrasi Terpimpin.


Setelah terbit Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem pemerintahan Indonesia berubah menjadi
sistem pemerintahan demokrasi terpimpin. Dalam sistem ini presiden memiliki peran sangat
besar dalam semua aspek kehidupan bangsa. Politik menjadi panglima. Sistem pemerintahan
ini dipilih untuk menyelesaikan masalah-masalah politik yang semakin kompleks.
d. Periode 1966 - 1998 (Era Orde Baru): Sistem Pemerintahan Presidensial
pemerintah orde Baru berubah menjadi pemerintahan yang otoriter. Berbagai langkah
restrukturisasi politik dilakukan. Ekonomi menjadi panglima.

e. Periode 1998 - sekarang (Era Reformasi): Sistem Pemerintahan Presidensial


- UUD 1945 mengalami empat tahap perubahan
- Terjadi pergeseran kekuasaan dari executive heavy ke arah legislative heavy
- Melaksanakan prinsip checks and balances (saling mengawasi dan saling mengimbangi)
- Dianutnya prinsip supremasi konstitusi dan prinsip negara hukum, sehingga konstitusi (UUD
NRI Tahun 1945) menjadi rujukan tertinggi
BAB 7 : KEKUASAAN KEHAKIMAN
1. Pengantar
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1970 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dengan undang-undang
ini segala urusan mengenai peradilan, baik menyangkut teknis yudisial maupun urusan organisasi,
administrasi, dan finansial, berada di bawah satu atap yaitu di bawah kekuasaan Mahkamah
Agung. “Kebijakan Satu Atap” tersebut harus selesai dalam waktu lima tahun sejak
diundangkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999.
2. Pengertian Kekuasaan Kehakiman
“Kekuasan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD NRI
Tahun 1945 demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.”

Maksud dari peradilan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas negara
menegakkan hukum dan keadilan. Dengan demikian peradilan merupakan fungsi atau proses
untuk memberikan keadilan dalam rangka menegakkan hukum. Sebagai suatu proses, peradilan
harus terdiri dari unsur-unsur tertentu, yaitu:

a. Adanya aturan hukum yang abstrak yang mengikat umum yang dapat diterapkan pada suatu
persoalan;
b. Adanya suatu perselisihan hukum yang konkret;
c. Ada sekurang-kurangnya dua pihak; dan
d. Adanya suatu aparatur peradilan yang berwenang memutuskan perselisihan

sedangkan badan yang melakukan peradilan, yaitu yang memeriksa dan memutus sengketa-
sengketa hukum dan pelanggaran-pelanggaran hukum atau undang-undang adalah pengadilan.

3. Prinsip-Prinsip Pokok Kekuasaan Kehakiman


a. Prinsip independensi (The principle of judicial independent)
Prinsip ini antara lain harus diwujudkan dalam sikap para hakim dalam memeriksa dan
memutus perkara yang dihadapinya, dan tercermin dalam berbagai pengaturan

b. Prinsip ketidakberpihakan (The principle of judicial impartiality)


Prinsip imparsialitas (ketidakberpihakan) mengandung makna berupa dibutuhkannya hakim
yang bekerja secara imparsial (tidak memihak)
Selain kedua prinsip pokok tersebut menurut The Bangalore Principles of Judicial Conduct
ada enam prinsip penting yang harus dijadikan pegangan oleh hakim di seluruh dunia, yaitu:4
1. Independensi (independence principle);
2. Ketidakberpihakan (impartiality principle);
3. Integritas (integrity principle);
4. Kepantasan dan sopan santun (propriety principle);
5. Kesetaraan (equality principle); dan
6. Kecakapan dan keseksamaan (competence and diligence principle)

Pada tahun 2005 terbit Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 01/ PMK/2005 tentang Kode Etik
Hakim Konstitusi. Selain itu, pada tahun 2009 terbit Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung
RI dan Ketua Komisi Yudisial RI No. 047/KMA/SKB./IV/2009 – No. 02/SKB/P. KY/IV/2009
tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

4. Asas Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman

a. Peradilan dilakukan “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA


ESA”.
b. hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan yaitu bebas dari segala
campur tangan pihak luar dan bebas dari segala bentuk tekanan.
c. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang
d. Peradilan diselenggarakan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan
e. Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat
f. Hakim dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian
g. Tidak seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan kecuali undang-undang menentukan
lain
h. Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana kecuali karena alat pembuktian yang sah menurut
undang-undang
i. Tidak seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan
kecuali atas perintah tertulis dari kekuasaan yang sah
j. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut atau dihadapkan di depan pengadilan
wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya
dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap
k. Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang
baik dan jahat dari terdakwa
l. Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang
diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas
m. Pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara dengan susunan majelis sekurang-
kurangnya 3 (tiga) orang hakim, kecuali undang-undang menentukan lain. Susunan hakim tersebut
terdiri dari seorang hakim ketua dan 2 (dua) orang hakim anggota
n. Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang
menentukan lain
o. Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang
terbuka untuk umum. Apabila hal ini tidak dipenuhi mengakibatkan putusan batal demi hukum
p. Putusan diambil berdasarkan sidang permusyawaratan hakim yang bersifat rahasia.
q. Pengadilan wajib saling memberi bantuan yang diminta untuk kepentingan peradilan
r. Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan
umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum
s. Pihak yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap hakim yang mengadili perkaranya

5. Pelaku Kekuasaan Kehakiman di Indonesia


Sesuai dengan ketentuan Pasal 24 UUD NRI Tahun 1945, pelaku kekuasaan kehakiman di
indonesia adalah:

a. Mahkamah Konstitusi
MK diatur dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang
kemudian diubah dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK). MK
diberi kewenangan untuk melakukan pengujian atas peraturan pemerintah pengganti undang-
undang (perppu) terhadap undang-undang dasar. Kewenangan ini dinyatakan dalam Putusan MK
Nomor 138/PUU-VII/2009.
Sebagai konsekuensi dari kewenangan konstitusional yang dimilikinya, MK memiliki lima
fungsi yaitu sebagai pengawal konstitusi, penafsir konstitusi, pelindung hak konstitusi, pengawal
demokrasi, dan pelindung ham. Selain itu juga memiliki fungsi sebagai pengawal konstitusi.

b. Mahkamah Agung
MA diatur dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 14 Tahun 1985 (selanjutnya
disebut UU MA). MA adalah pengadilan negara tertinggi dari semua lingkungan peradilan
(peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara), yang dalam
melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain
Mahkamah Agung berwenang:
a. mengadili pada tingkat kasasi;
b. menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-
undang (judicial review); dan
c. wewenang lain yang diberikan oleh undang-undang
Selain tugas di bidang peradilan, MA dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat
masalah hukum kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan

MA dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari


semua lingkungan peradilan karena:

a. tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;


b. salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;
c. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang
mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan

6. Komisi Yudisial
Dari ketentuan Pasal 24A ayat (3) dan Pasal 24B yang dimasukkan ke dalam Bab IX
Kekuasaan Kehakiman pada Perubahan Ketiga UUD 1945 dapat diketahui adanya sebuah lembaga
baru yang disebut Komisi Yudisial (KY). Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 24B ayat (4) terbit
Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No. 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial (UU KY). KY BUKAN PELAKU KEKUASAAN KEHAKIMAN,
TETAPI SEBAGAI PENGAWAS.
KY yang bersifat mandiri ini mempunyai wewenang:
(a) mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan; dan
(b) wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim.
Dalam melaksanakan wewenang tersebut, KY mempunyai tugas:

a. melakukan pendaftaran calon hakim agung;


b. melakukan seleksi terhadap calon hakim agung;
c. menetapkan calon hakim agung; dan
d. mengajukan calon hakim agung ke DPR.

Selain itu, dalam melaksanakan wewenang berupa menegakkan kehormatan dan keluhuran
martabat serta menjaga perilaku hakim, KY mempunyai tugas:

1. melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan
keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim; dan
2. mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada pimpinan MA dan/atau MK.
Dalam melaksanakan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan
kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim, KY:

a. menerima laporan masyarakat tentang perilaku hakim;


b. meminta laporan secara berkala kepada badan peradilan berkaitan dengan perilaku hakim;
c. melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim;
d. memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku
hakim; dan
d. membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan kepada
Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi, serta tindasannya disampaikan kepada
Presiden dan DPR.

Anda mungkin juga menyukai