LANDASAN TEORI
2.1 Umum
Jalan adalah prasarana transportasi yang meliputi segala bagian jalan,
termasuk bagian pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu
lintas, yang berada pada permukaan tanah dan air, kecuali jalan kereta api, jalan
lori dan jalan kabel (UU RI No.38/2004 dan PP No.34/2006). Jalan umum adalah
jalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum. Jalan khusus adalah jalan yang
dibangun oleh instansi, badan usaha, perseorangan, atau kelompok masyarakat
untuk kepentingan sendiri. Jalan tol adalah jalan umum yang merupakan bagian
system jaringan jalan dan sebagai jalan nasional yang penggunanya diwajibkan
membayar restribusi.
Menurut Hendarsin (2000) Perkerasan jalan adalah konstruksi yang
dibangun diatas lapisan tanah dasar (sub grade), yang berfungsi untuk menopang
beban lalu lintas.
Berdasarkan bahan pengikatnya jenis konstruksi perkerasan jalan dibedakan
sebagai berikut :
1. Konstruksi perkerasan lentur (flexibel pavement), yaitu perkerasan yang
menggunakan aspal sebagai pengikat. Lapisan perkerasannya bersifat
memikul dan menyebarkan beban lalu lintas ke tanah dasar.
2. Konstruksi perkerasan kaku (rigid pavement), yaitu perkerasan yang
menggunakan semen (portland cement) sebagai bahan pengikat. Plat beton
dengan atau tanpa tulangan diletakkan diatas tanah dasar. Pada konstruksi
ini beban lalu lintas sebagian besar dipikul oleh plat beton.
3. Konstruksi perkerasan komposit (composite pavement), yaitu perkerasan
kaku yang dikombinasikan dengan perkerasan lentur. Dapat berupa
perkerasan lentur diatas dan perkerasan kaku dibawah, atau sebaliknya
(Sukirman, 1999).
5
6
menghasilkan lapis yang kedap air, berstabilitas tinggi, dan memiliki daya tahan
selama masa pelayanan, yang fungsi utamanya sebagai berikut :
1. Lapis penahan beban vertikal dari kendaraan, oleh karena itu lapisan harus
memiliki stabilitas tinggi selama pelayanan.
2. Lapis aus ( Wearing Course ) karena menerima gesekan dan getaran roda dari
kendaraan yang mengerem.
3. Lapis kedap air, sehingga air hujanyang jatuh di atas lapis permukaan tidak
meresap ke lapis di bawahnya yang akan berakibat rusaknya struktur
perkerasan jalan.
4. Lapis yang menyebarkan beban ke pondasi.
Lapis permukaan perkerasan lentur menggunakan bahan pengikat aspal
sehingga menghasilkan lapis yang kedap air, berstabilitas tinggi, dan memiliki
daya tahan selama masa pelayanan ( Sukirman, 1999).
Kerusakan pada lapis permukaan ( Surface Course ) perkerasan lentur juga
sering terjadi. Adapun jenis-jenis kerusakan yang dapat timbul pada lapis
permukaan khususnya pada perkerasan lentur antara lain :
1. Retak ( Crack ), merupakan suatu gejala kerusakan permukaan perkerasan
sehingga akan menyebabkan air pada permukaan perkerasan masuk ke
lapisan di bawahnya dan hal ini merupakan salah satu faktor yang akan
memperparah keadaan. Retak ( Cracking) yang umum dikenal dapat
dibedakan menjadi :
a. Retak Halus ( Hair Cracking )
b. Retak Kulit Buaya ( Alligator Cracks )
c. Retak Pinggir ( Edge Crack )
d. Retak Sambungan Bahu Perkerasan ( Edge Joint Crack )
e. Retak Sambungan Jalan ( Lane Joint Crack )
f. Retak Sambungan Peleberan Jalan ( Widening Crack )
g. Retak Refleksi ( Refelction Crack )
h. Retak Susut ( Shrinkage Crack )
i. Retak Selip ( Slippage Crack )
8
2. Distorsi ( Distortion ), kerusakan ini dapat terjadi atas lemahnya tanah dasar,
pemadatan yang kurang pada lapis pondasi sehingga terjadi tambahan
pemadatan akibat beban lalu lintas. Untuk kerusakan jalan yang satu ini dibagi
atas beberapa jenis diantaranya :
a. Alur ( Ruts )
b. Keriting ( Corrugation )
c. Sungkur ( shoving )
d. Amblas ( Grade Depression )
e. Jembul ( Upheaval )
3. Cacat permukaan ( Disintegration ), jenis kerusakan ini mengarah pada
kerusakan kimiawi dan mekanis dari lapisan permukaan, yang termasuk cacat
permukaan :
a. Lubang ( Potholes )
b. Pelepasan Butir ( Ravelling )
c. Pengelupasan Lapisan Permukaan ( Stripping )
4. Pengausan ( Polished Aggregate ), pengausan ini terjadi karena aggregat
berasal dari material yang tidak tahan aus terhadap roda kendaraan/aggregat
yang digunakan berbentuk bulat dan licin. Pengausan ini dapat diatasi dengan
latasir, nuras, latasbum.
5. Kegemukan ( Bleeding/Flashing ), pada temperatur tinggi aspal menjadi lunak
dan akan terjadi jejak roda, dapat disebabkan pemakaian kadar aspal yang
tinggi pada campuran aspal atau pemakain terlalu banyak aspal pada
pengerjaan Prime Coat/Tack Coat. Hal ini dapat diatasi dengan menaburkan
agregat panas dan kemudian dipadatkan, atau lapisan aspal diangkat dan diberi
penutup ( Sukirman, 1999).
2.4 Agregat
Agregat adalah sekumpulan batu-batu, kerikil, pasir, atau mineral lainnya
baik berupa hasil alam maupun hasil buatan. Agregat merupakan komponen
utama dari lapisan perkerasan jalan yaitu mengandung 90 – 95 % agregat
9
dari berat total campuran beraspal panas. Kapur yang seluruhnya terhidrasi yang
dihasilkan dari pabrik yang disetujui dan memenuhi persyaratan, dapatdigunakan
maksimum 2% terhadap berat total campuran beraspal. Semua campuran beraspal
harus mengandung bahan pengisi yang ditambahkan tidak kurang dari 1% dan
maksimum 2% (Spesifikasi Bina Marga revisi 3, 2010). Persyaratan Bahan untuk
kapur yang terhidrasi seluruhnya dapat dilihat pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Persyaratan Bahan Untuk Kapur yang terhidrasi Seluruhnya
Sifat-Sifat Metoda Pengujian Persyaratan
2.7 Aspal
Aspal atau bitumen merupakan material yang berwarna hitam kecoklatan
yang bersifat viskoelastis sehingga akan melunak dan mencair bila mendapat
cukup pemanasan dan sebaliknya. Sifat viskoelastis inilah yang membuat aspal
dapat menyelimuti dan menahan agregat tetap pada tempatnya selama proses
produksi dan masa pelayanannya. Pada dasarnya aspal terbuat dari suatu rantai
hidrokarbon yang disebut bitumen (Spesifikasi Bina Marga revisi 3, 2010). Aspal
juga harus memiliki beberapa ketentuan yang harus sesuai dengan spesifikasi dari
Bina Marga seperti pada Tabel 2.5.
12
37,5 100
25 100` 90-100
0,075 10 --15 8 --13 6 --10 2--9 6--10 4--8 4--9 4--8 3--7
Sumber: Spesifikasi Bina Marga 2010 revisi 3
Catatan:
1. Untuk HRS-WC dan HRS-BASE yang benar benar senjang, paling sedikit 80%
agregat lolos ayakan No.30 (0,600 mm). Lihat Tabel 2.4 sebagai contoh batas-
batas”bahan bergradasi senjang” di mana bahan yang lolo No.8 (2,36 mm) dan
tertahan pada ayakan No. 30 (0,600 mm)
2. Untuk semua jenis campuran, rujuk pada tabel Ukuran Nominal Agregat Kasar
Penampung Dingin untuk Campuran Aspal di spesifikasi bina marga 2010
revisi 3.
3. Apabila tidak ditetapkan dalam gambar, penggunaan pemilihan gradasi sesuai
dengan petunjuk direksi pekerjaan dengan mengacu pada panduan seksi 6.3
13
Tabel 2.7 Persyaratan Gradasi Agregat Campuran Berbagai Jenis Beton Aspal
% Berat Lolos
Ukuran Saringan
Laston (AC) Laston ( HRS ) Latasir ( HRS )
Bukaan HRS- HRS-
No AC-WC AC-BC AC-Base Kelas A Kelas B
(mm) WC Base
1 1/2 37,5 100
1 25 100 100 90-100
3/4 19 100 90-100 maks 90 100 100 100 100
1/2 12,5 90-100 maks 90 90-100 90-100
3/8 9,5 maks 90 75-85 90-100
8 2,36 28-58 23-39 19-45 50-72 75-100
16 1,18
30 0,6 35-60
200 0,075 4 - 10 4-8 3-7 6-12 2-9 10-15 8-13
Daerah Larangan
4 4,75
8 2,36 39,1 34,6
16 1,18 25,6-31,6 22,3-28,3
30 0,6 19,1-23,1 16,7-20,7
200 0,075 15,5 13,7
Sumber : Sukirman, 1999
Sesuai dengan SNI 2417:2008 dan seperti yang telah dicantumkan pada
Tabel 2.1 bahwa nilai maksimum untuk Abrasi dengan mesin Los Angeles untuk
semua jenis campuran aspal bergradasi lainnya tidak boleh melebihi nilai 40 %.
20
nyala oleh Bina Marga untuk aspal PEN 40 – 60 (200°C). Titik nyala dan titik
bakar aspal perlu diketahui karena :
a. Sebagai indikasi temperatur pemanasan maksimum dimana masih dalam
batas-batas aman pengerjaan.
b. Agar karakteristik aspal tidak berubah (rusak) akibat dipanaskan
melebihi temperatur titik bakar.
Standar kualitas (spesifikasi) untuk pegujian Titik Nyala dan Titik Bakar
dengan Cleveland open cup ini adalah SNI 06-2433-1991 untuk batasan
aspal pen 60/70 minimal 200°C dan aspal pen 80/100 minimal 225°C
(Universitas Riau, 2019).
Gambar pengujian Titik Nyala dan Titik Bakar dapat dilihat pada Gambar
2.5:
3. Titik lembek Aspal dan Ter (Softening Point with Ring and Ball Test)
Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui suhu dimana aspal dan juga ter
mulai lembek dan dapat digunakan dengan menggunakan alat ring dan ball
(Gambar 2.6).
Aspal adalah material termoplastik yang secara bertahap mencair,sesuai
dengan pertambahan suhu dan berlaku sebaliknya pada pengurangan suhu. Namun
demikian perilaku/respon material aspal tersebut terhadap suhu pada prinsipnya
membentuk suatu spektrum/beragam,tergantung dari komposisi unsur-unsur
penyusunnya.
23
A−B
Rumus Kehilangan berat (%) = X 100 % ............................(II.2)
A
5. Berat Jenis Bitumen Keras dan Ter (Specific Gravity of Semi-Solid Bituminous)
Pengujian ini bertujuan untuk mengukur berat jenis aspal dengan
menggunakan piknometer serta berdasarkan perbandingan berat di udara dengan
berat di dalam air (Gambar 2.8).
27
Berat jenis bitumen atau ter adalah perbandingan antara berat bitumen atau
ter terhadap air suling dengan isi yang sama pada suhu tertentu,yaitu dilakukan
dengan cara menggantikan berat air dengan berat bitumen dan/atau ter dalam
wadah yang sama (yang sudah diketahui volumenya berdasarkan konversi berat
jenis air sama dengan satu).
Berat jenis bitumen dan kisarannya ada beberapa macam antara lain :
1. Penetration grade bitumen dengan berat jenis antara 1.010 (untuk bitumen
dengan penetrasi 300) sampai dengan 1.040 (untuk bitumen dengan penetrasi 25).
2. Bitumen telah teroksidasi (oxidized bitumen) dengan berat jenis berkisar antara
1.015 sampai dengan 1.035.
3. Hard grades bitumen dengan berat jenis berkisar antara 1.045 sampai dengan
1.065.
4. Cutback grades bitumen dengan berat jenis berkisar antara 0.992 sampai
dengan 1.007 (Universitas Riau, 2019).
Standar kualiitas (spesifikasi) untuk pengujian Berat Jenis Bitumen Keras
dan Ter (Specific Gravity of Semi-Solid Bituminous) adalah SNI 06-2441-1991
dengan aspal pen 60/70 dan aspal pen 80/100 sama-sama minimal 1 g/cm³.
Gambar dari Pengujian Berat Jenis Bitumen Keras dan Ter dapat dilihat pada
Gambar 2.8.
(C−A )
BJ= :...................................................(II.3)
( B− A )−( D−C)
28
dapat terbawa oleh zat pelarut dan juga dengan adanya bantuan kertas filter,maka
dapat memperkecil celah bagi agregat yang paling kecil terbawa oleh zat pelarut.
Gambar dari alat dari ekstraksi Aspal yang dapat dilihat pada Gambar 2.9.
F =f+s ...................................................(II.7)
Keterangan :
f = Berat sampel tertinggal di kertas
s = Berat sampel tertinggal di bowl
e. Menentukan berat residu aspal
A = W1 – (W2 + s + f) ...................................................(II.8)
Keterangan :
WI = Berat awal sampel
W2 = Berat sampel setelah pengujian
s = Berat sampel tertinggal di bowl
f = Berat sampel tertinggal di kertas
f. Menentukan kadar aspal
Keterangan :
W1 = Berat awal sampel
W2 = Berat sampel setelah pengujian
s = Berat sampel tertinggal di bowl
f = Berat sampel tertinggal di kertas
2.8, bahwa nilai minimal untuk ketahanan (stabilitas) pada campuran aspal beton
(AC) adalah 800 kg dan nilai stabilitas didapatkan secara langsung pada pengujian
sampel aspal beton pada alat Marshall test dikalikan dengan kalibrasi alat.
b. Kelelehan (flow),merupakan jumlah perubahan bentuk (deformasi) yang diukur
dalam satuan milimeter (mm) yang ditunjukkan pada saat pembebanan. Dan nilai
minimal untuk kelelehan (flow) pada campuran beraspal (AC) seperti yang tertera
pada Tabel 2.8 yaitu 3 mm dan nilai kelelehan (flow) suatu sampel juga
didapatkan secara langsung pada pengujian sampel aspal beton pada alat Marshall
test.
c. Marshall Quotient,merupakan perbandingan nilai dari ketahanan (stabilitas)
dibagi dengan nilai kelelehan (flow).
d. kepadatan (density), adalah berat campuran pada setiap satuan volume. Faktor-
faktor yang memengaruhi kepadatan adalah gradasi agregat,kadar aspal,berat jenis
agregat,kualitas penyusunannya,dan proses pemadatan yang meliputi suhu dan
jumlah tumbukannya. Campuran yang mempunyai nilai kepadatan akan mampu
menahan beban yang lebih besar jika dibandingkan dengan campuran yang
memiliki kepadatan rendah.
e. Voids Filled with Asphalt/Voids Filled Bitumen (VFA/VFB) atau rongga udara
yang terisi aspal menyatakan persentase rongga udara yang terisi aspal pada
campuran yang telah mengalami pemadatan.
f. Voids in Mineral Aggregate (VMA) atau rongga di antara mineral agregat
(VMA) merupakan ruang di antara partikel agregat pada suatu perkerasan
beraspal,termasuk rongga udara dan volume aspal efektif (tidak termasuk volume
aspal yang diserap agregat). VMA dihitung berdasarkan BJ bulk (Gsb) agregat
dan dinyatakan sebagai persen volume bulk campuran yang dipadatkan.
g.Voids in Mix (VIM) atau rongga dalam campuran perkerasan beraspal terdiri
atas ruang udara di antara partikel agregat yang terselimuti aspal. VIM dinyatakan
dalam persentase terhadap volume beton aspal padat (Universitas Riau, 2019).
Adapun persamaan parameter Marshall yang digunakan antara
lain:
1. Menentukan Bulk Spesific Agregat
33
100
Gsb=
% AK % AS % AH %filler .. …………
[ + + +
BJoverdryAK BJoverdryAS BJoverdryAH BJoverdryfiller ]
(II.10)
Keterangan :
AK = Agregat Kasar AH = Agregat Halus
AS = Agregat Sedang Gsb = Bulk Spesific Agregat
Keterangan :
AK = Agregat Kasar AH = Agregat Halus
AS = Agregat Sedang Gse = Bulk Effective Agregat
Keterangan :
100
Atau 100−A A ..................................................................................(
+
C C
II.13 )
5. Menentukan volume benda uji
Keterangan :
Υ = Volume Benda Uji
BB = Berat Benda
6. Menentukan berat isi benda uji campuran
bulk spesific gravity of mix
D= =¿...........................................(
volume benda uji campuran
II.15 )
100 x (D−J )
Atau =¿ ......................................................................( II.17 )
J
keterangan :
D : Berat jenis max campuran beraspal
J : Berat isi benda uji campuran
Stabilitas
Marshall Quotien t= ....................................................( II.20 )
Flow
11. Isi benda uji
= Berat benda uji SSD – Berat benda uji dalam air........................(II.21)
12. Berat Isi Campuran
= Berat benda uji kering / Volume benda uji..................................(II.22)
Tabel mengenai ketentuan sifat-sifat laston (AC) dapat dilihat pada Tabel
2.8.
Perubahan gradasi terjadi jika Quari atau supplier berbeda. Untuk itu
setiap terjadi perubahan oleh quari atau supplier, dilakukan pembuatan JMF
kembali.
− Kondisi dari tiap Cold Bin
Pencampuran agregat antara bin yang berdekatan dapat dicegah dengan
cara membuat pemisah yang cukup dan pengisian tidak berlebih.
− Kalibrasi bukaan Cold Bin
− Bukaan Cold Bin
Bukaan Cold Bin kadang - kadang tersumbat jika agregat halus basah,
agregat terkontaminasi tanah lempung atau penghalang lain yang tidak umum
seperti batu dan kayu.
− Kecepatan Conveyor dan pengontrolan aliran agregat dan membuang material
yang tidak perlu.
b. Dryer
Setelah dari Cold Bin agregat dibawa ke Dryer yang mempunyai fungsi :
1). Menghilangkan kandungan air pada agregat, dan
2) Memanaskan agregat sampai suhu yang disyaratkan. Pemeriksaan yang
diperlukan meliputi :
− Alat pengukur suhu
− Pemeriksaan suhu pemanasan
− Pemeriksaan kadar air secara tepat, yaitu dengan menggunakan cermin dan
spatula, (ambil contoh secukupmya dan lewatkan cermin tersebut lalu amati
kadar air yang menggembur pada permukaan cermin atau spatula).
c. Hot Screen
Setelah agregat kering dan dipanaskan, agregat diangkut dengan pengangkut
panas (hot elevator) untuk disaring dan dipisahkan dalam beberapa ukuran. Pada
umumnya proses penyaringan terjadi pelimpahan agregat, misalnya yang
seharusnya masuk ke Hot Bin I tetapi terbawa ke Hot bin II. Pelimpahan ini pada
kondisi normal terjadi kurang dari 5% dan cenderung konstan, sehingga tidak
terlalu mempengaruhi kualitas produksi. Hal ini terjadi bila :
- Lubang saringan tertutup agregat.
38