Anda di halaman 1dari 35

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Umum
Jalan adalah prasarana transportasi yang meliputi segala bagian jalan,
termasuk bagian pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu
lintas, yang berada pada permukaan tanah dan air, kecuali jalan kereta api, jalan
lori dan jalan kabel (UU RI No.38/2004 dan PP No.34/2006). Jalan umum adalah
jalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum. Jalan khusus adalah jalan yang
dibangun oleh instansi, badan usaha, perseorangan, atau kelompok masyarakat
untuk kepentingan sendiri. Jalan tol adalah jalan umum yang merupakan bagian
system jaringan jalan dan sebagai jalan nasional yang penggunanya diwajibkan
membayar restribusi.
Menurut Hendarsin (2000) Perkerasan jalan adalah konstruksi yang
dibangun diatas lapisan tanah dasar (sub grade), yang berfungsi untuk menopang
beban lalu lintas.
Berdasarkan bahan pengikatnya jenis konstruksi perkerasan jalan dibedakan
sebagai berikut :
1. Konstruksi perkerasan lentur (flexibel pavement), yaitu perkerasan yang
menggunakan aspal sebagai pengikat. Lapisan perkerasannya bersifat
memikul dan menyebarkan beban lalu lintas ke tanah dasar.
2. Konstruksi perkerasan kaku (rigid pavement), yaitu perkerasan yang
menggunakan semen (portland cement) sebagai bahan pengikat. Plat beton
dengan atau tanpa tulangan diletakkan diatas tanah dasar. Pada konstruksi
ini beban lalu lintas sebagian besar dipikul oleh plat beton.
3. Konstruksi perkerasan komposit (composite pavement), yaitu perkerasan
kaku yang dikombinasikan dengan perkerasan lentur. Dapat berupa
perkerasan lentur diatas dan perkerasan kaku dibawah, atau sebaliknya
(Sukirman, 1999).

5
6

2.2 Konstruksi Perkerasan Lentur


Konstruksi perkerasan lentur adalah perkerasan yang menggunakan aspal
sebagai pengikat. Lapisan perkerasan bersifat memikul dan menyebarkan beban
ketanah dasar. Lapisan konstruksi perkerasan lentur terdiri dari lapisan-lapisan :
1. Lapisan permukaan (surface course)
2. Lapisan pondasi atas (base course)
3. Lapisan pondasi bawah (sub-base course)
4. Lapisan tanah dasar (sub grade)
Gambar dari struktur lapisan kontruksi perkerasan lentur dapat dilihat pada
Gambar 2.1.

Lapisan Permukaan (Surface course)


Lapisan Pondasi atas (Base course)
Lapisan Pondasi atas (Base course)
Lapisan Pondasi bawah (Sub base course)
Lapisan Pondasi bawah (Sub-base course)

Lapisan Tanah Dasar (Sub Grade)


Gambar 2.1 Struktur Lapisan Konstruksi Perkerasan Lentur
Sumber : Hendarsin (2000)
Perkerasan lentur juga memiliki nilai kekuatan sert elastisitas yang
bertingkat-tingkat, dari lapisan terbawah sampai lapisan teratas, kekuatannya
meningkat secara bertahap sedangkan elastisitasnya menurun secara bertahap
pula. Apabila pada suatu struktur perkerasan lentur tidak memiliki salah satu
komponen saja, maka akan menimbulkan kesenjangan (gap) kekuatan dan
elastisitas antar lapisan yang mengakibatkan kerusakan.

2.3 Lapis Permukaan (Surface Course)


Lapis permukaan merupakan lapisan yang terletak pada bagian atas dari
struktur perkerasan jalan dan menggunakan bahan pengikat aspal, sehingga
7

menghasilkan lapis yang kedap air, berstabilitas tinggi, dan memiliki daya tahan
selama masa pelayanan, yang fungsi utamanya sebagai berikut :
1. Lapis penahan beban vertikal dari kendaraan, oleh karena itu lapisan harus
memiliki stabilitas tinggi selama pelayanan.
2. Lapis aus ( Wearing Course ) karena menerima gesekan dan getaran roda dari
kendaraan yang mengerem.
3. Lapis kedap air, sehingga air hujanyang jatuh di atas lapis permukaan tidak
meresap ke lapis di bawahnya yang akan berakibat rusaknya struktur
perkerasan jalan.
4. Lapis yang menyebarkan beban ke pondasi.
Lapis permukaan perkerasan lentur menggunakan bahan pengikat aspal
sehingga menghasilkan lapis yang kedap air, berstabilitas tinggi, dan memiliki
daya tahan selama masa pelayanan ( Sukirman, 1999).
Kerusakan pada lapis permukaan ( Surface Course ) perkerasan lentur juga
sering terjadi. Adapun jenis-jenis kerusakan yang dapat timbul pada lapis
permukaan khususnya pada perkerasan lentur antara lain :
1. Retak ( Crack ), merupakan suatu gejala kerusakan permukaan perkerasan
sehingga akan menyebabkan air pada permukaan perkerasan masuk ke
lapisan di bawahnya dan hal ini merupakan salah satu faktor yang akan
memperparah keadaan. Retak ( Cracking) yang umum dikenal dapat
dibedakan menjadi :
a. Retak Halus ( Hair Cracking )
b. Retak Kulit Buaya ( Alligator Cracks )
c. Retak Pinggir ( Edge Crack )
d. Retak Sambungan Bahu Perkerasan ( Edge Joint Crack )
e. Retak Sambungan Jalan ( Lane Joint Crack )
f. Retak Sambungan Peleberan Jalan ( Widening Crack )
g. Retak Refleksi ( Refelction Crack )
h. Retak Susut ( Shrinkage Crack )
i. Retak Selip ( Slippage Crack )
8

2. Distorsi ( Distortion ), kerusakan ini dapat terjadi atas lemahnya tanah dasar,
pemadatan yang kurang pada lapis pondasi sehingga terjadi tambahan
pemadatan akibat beban lalu lintas. Untuk kerusakan jalan yang satu ini dibagi
atas beberapa jenis diantaranya :
a. Alur ( Ruts )
b. Keriting ( Corrugation )
c. Sungkur ( shoving )
d. Amblas ( Grade Depression )
e. Jembul ( Upheaval )
3. Cacat permukaan ( Disintegration ), jenis kerusakan ini mengarah pada
kerusakan kimiawi dan mekanis dari lapisan permukaan, yang termasuk cacat
permukaan :
a. Lubang ( Potholes )
b. Pelepasan Butir ( Ravelling )
c. Pengelupasan Lapisan Permukaan ( Stripping )
4. Pengausan ( Polished Aggregate ), pengausan ini terjadi karena aggregat
berasal dari material yang tidak tahan aus terhadap roda kendaraan/aggregat
yang digunakan berbentuk bulat dan licin. Pengausan ini dapat diatasi dengan
latasir, nuras, latasbum.
5. Kegemukan ( Bleeding/Flashing ), pada temperatur tinggi aspal menjadi lunak
dan akan terjadi jejak roda, dapat disebabkan pemakaian kadar aspal yang
tinggi pada campuran aspal atau pemakain terlalu banyak aspal pada
pengerjaan Prime Coat/Tack Coat. Hal ini dapat diatasi dengan menaburkan
agregat panas dan kemudian dipadatkan, atau lapisan aspal diangkat dan diberi
penutup ( Sukirman, 1999).

2.4 Agregat
Agregat adalah sekumpulan batu-batu, kerikil, pasir, atau mineral lainnya
baik berupa hasil alam maupun hasil buatan. Agregat merupakan komponen
utama dari lapisan perkerasan jalan yaitu mengandung 90 – 95 % agregat
9

berdasarkan persentase berat atau 75 – 85 % agregat berdasarkan persentase


volume.

2.4.1 Agregat Kasar


Agregat kasar adalah agregat yang tertahan saringan pada ayakan nomor 4
( diameter 4,75 mm ) yang dilakukan secara basah dan harus bersih, keras, awet
da bebas dari bahan lain yang menganggu dan memenuhi ketentuan seperti yang
diberikan dalam tabel 2.1 dibawah.
Agregat kasar harus mempunyai keausan sebesar maks 40% seperti yang
diisyaratkan dalam Tabel 2.1. angularitas agregat kasar didefinisikan sebagai
persen terhadap berat agregat yang lebih besar dari 4,75 mm dengan muka bidang
pecah satu atau lebih (Spesifikasi Bina Marga revisi 3, 2010).
Tabel 2.1 Spesifikasi agregat kasar untuk beton aspal

Pengujian Standar nilai


Kekekalan bentuk agregat terhadap natrium sulfat Maks. 12%
larutan SNI 4307:2008
magnesium sulfat Maks. 18%
Campuran Maks. 6%
100 putaran
AC
Modifikasi 500 putaran Maks. 30%
Abrasi dengan mesin Semua jenis
SNI 2417:2008 Maks. 8%
los angeles campuran 100 putaran
aspal
bergradasi Maks. 40%
lainnya 500 putaran
kelekatan agregat terhadap aspal SNI 2439:2011 Min . 95%

Butir pecah pada agregat kasar SNI 7619:2012 95/90

Partikel pipih dan lonjong ASTM D4791 Maks. 10%


perbandingan 1:5
Material lolos ayakan No. 200 SNI 03-4142-1996 Maks. 2%
Sumber: Spesifikasi Bina Marga 2010 revisi 3
Catatan :
*) 95-90 menunujukkan bahwa 95% agregat kasar mempunyai muka bidang
pecah satu atau lebih dan 90% agregat kasar mempunyai muka bidang pecah dua
atau lebih.
10

2.4.2 Agregat Halus


Agregat halus adalah agregat yang lolos saringan ayakan nomor 4
( diameter 4,75 mm). Agregat halus terdiri dari pasir alam dan pasir buatan atau
gabungan antara dari bahan-bahan tersebut. Agregat halus harus bersih, kering,
kuat, dan bebas dari gumpalan - gumpalan lempung serta bahan – bahan lain yang
menganggu.
Apabila fraksi agregat halus yang diperoleh dari hasil pemecah batu tahap
pertama ( Primary Crucher ) tidak memenuhi pengujian standar setara pasir
sesuai Tabel 2.2, maka fraksi agregat halus dipisahkan sebelum masuk pemecah
batu tahap kedua ( Secondary Crusher ) dan tidak diperkenankan untuk campuran
aspal jenis (Spesifikasi Bina Marga revisi 3, 2010). Tabel Spesifikasi Agregat
Halus Untuk Beton Aspal dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Spesifikasi Agregat Halus Untuk Beton Aspal
Pengujian Standar Nilai
Nilai Setara Pasir SNI 03-4428-1997 Min. 60%
Angularitaas dengan uji kadar
SNI 03-6877-2002 Min.45
rongga
Gumpalan Lempung dan Butir-Butir
SNI 03-4141-1996 Maks 1%
Mudah Pecah dalam Agregat
Agregat lolos Ayakan No.200 SNI ASTM C117:2012 Maks.10%
Sumber: Spesifikasi Bina Marga 2010 revisi 3

2.5 Bahan Pengisi ( Filler )


Bahan pengisi yang ditambahkan terdiri atas debu batu kapur ( Limestone
Dust ), kapur padam ( Hydrated Lime ), semen, atau abu terbang yang sumbernya
disetujui oleh direksi pekerjaan. Bahan pengisi yang ditambahkan harus kering
dan bebas dari gumpalan-gumpalan dan bila diuji dengan pengayakan sesuai SNI
03-1968-1990 harus mengandung bahan yang lolos ayakan No. 200 ( 75 micron)
tidak kurang dari 75 % terhadap beratnya. Hal ini berdasarkan dari persyaratan
yang telah ditetapkan Bina Marga pada Tabel 2.3.
Bila kapur tidak terhidrasi atau sebagian tetapi digunakan sebagai bahan
pengisi yang ditambahkan, maka proporsi maksimum yang diijinkan adalah 1,0 %
11

dari berat total campuran beraspal panas. Kapur yang seluruhnya terhidrasi yang
dihasilkan dari pabrik yang disetujui dan memenuhi persyaratan, dapatdigunakan
maksimum 2% terhadap berat total campuran beraspal. Semua campuran beraspal
harus mengandung bahan pengisi yang ditambahkan tidak kurang dari 1% dan
maksimum 2% (Spesifikasi Bina Marga revisi 3, 2010). Persyaratan Bahan untuk
kapur yang terhidrasi seluruhnya dapat dilihat pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Persyaratan Bahan Untuk Kapur yang terhidrasi Seluruhnya
Sifat-Sifat Metoda Pengujian Persyaratan

berat butiran yang lolos ayakan 75 mikron


SNI 03-4142-1996 > 75 %
Sumber: Spesifikasi Bina Marga 2010 revisi 3

2.6 Gradasi Agregat Gabungan


Rancangan dan perbandingan campuran untuk gradasi agregat gabungan
harus mmpunyai jarak terhadap batas-batas yang diberikan (Spesifikasi Bina
Marga revisi 3, 2010). Gradasi agregat gabungan untuk campuran aspal,
ditunjukan dalam persen terhadap berat agregat dan bahan pengisi, harus
memenuhi batas-batas yang tercantum dalam Tabel 2.4.

2.7 Aspal
Aspal atau bitumen merupakan material yang berwarna hitam kecoklatan
yang bersifat viskoelastis sehingga akan melunak dan mencair bila mendapat
cukup pemanasan dan sebaliknya. Sifat viskoelastis inilah yang membuat aspal
dapat menyelimuti dan menahan agregat tetap pada tempatnya selama proses
produksi dan masa pelayanannya. Pada dasarnya aspal terbuat dari suatu rantai
hidrokarbon yang disebut bitumen (Spesifikasi Bina Marga revisi 3, 2010). Aspal
juga harus memiliki beberapa ketentuan yang harus sesuai dengan spesifikasi dari
Bina Marga seperti pada Tabel 2.5.
12

Tabel 2.4 Amplop Gradasi Agregat Gabungan Untuk Campuran Aspal


% Berat Yang Lolos terhadap Total Agregat dalam Campuran

Ukuran Latasir (ss) Lataston (HRS) Laston (AC)


Ayakan
(mm) Gradasi Semi
Gradasi Senjang
Senjang
Kelas A Kelas B WC BASE WC BASE WC BC BASE

37,5 100

25 100` 90-100

19 100 100 100 100 100 100 100 90-100 76-90

12,5 90-100 90-100 87-100 90-100 90-100 75-90 60-78

9,5 90-100 75-85 65-90 55-88 55-70 77-90 66-82 52-71

4,75 53-69 46-64 35-54

2,36 75-100 50-72 35-55 50-62 32-44 33-53 30-49 23-41

1,18 21-40 18-38 13-30

0,600 35-60 15-35 20-45 15-35 14-30 12--28 10--22

0,300 15-35 5--35 9--22 7--20 6--15

0,150 6--15 5--13 4--10

0,075 10 --15 8 --13 6 --10 2--9 6--10 4--8 4--9 4--8 3--7
Sumber: Spesifikasi Bina Marga 2010 revisi 3
Catatan:
1. Untuk HRS-WC dan HRS-BASE yang benar benar senjang, paling sedikit 80%
agregat lolos ayakan No.30 (0,600 mm). Lihat Tabel 2.4 sebagai contoh batas-
batas”bahan bergradasi senjang” di mana bahan yang lolo No.8 (2,36 mm) dan
tertahan pada ayakan No. 30 (0,600 mm)
2. Untuk semua jenis campuran, rujuk pada tabel Ukuran Nominal Agregat Kasar
Penampung Dingin untuk Campuran Aspal di spesifikasi bina marga 2010
revisi 3.
3. Apabila tidak ditetapkan dalam gambar, penggunaan pemilihan gradasi sesuai
dengan petunjuk direksi pekerjaan dengan mengacu pada panduan seksi 6.3
13

Tabel 2.5 Ketentuan-Ketentuan Untuk Aspal Keras


Tipe II Aspal yang Dimodifikasi
Tipe I A B C
Metoda Aspal
No Jenis Pengujian Asbuton Elastomer
Pengujian Pen Elastomer
60/70 yang Alam
Sintesis
diproses ( Latex )
Penetrasi pada 25 c SNI 06-2456-
1 60/70 40-55 50-70 min 40
(dmm) 2011
SNI 06-6441- 385-
2 viskositas 135 c (cSt) 385 <2000 <3000
2000 2000
SNI 06-2434-
3 Titik Lembek (c) >48 >54
1991
4 Indeks penetrasi >-1 >-0,5 >0 >0,4
Daktailitas pada 25 c SNI 06-2432-
5 >100 >100 >100 >100
(cm) 1991
SNI 06-2433-
6 Titik Nyala (c) >232 >232 >232 >232
2011
Kelarutan dalam
7 ASTM D5546 >99 >90 >99 >99
Toluene (%)
SNI 06-2441-
8 Berat Jenis >1 >1 >1 >1
2011
Stabilitas ASTM D5976
9 <2,2 <2,2 <2,2
Penyimpanan (c) part 6.1
Berat yang hilang SNI 06-2440-
10 <0,8 <0,8 <0,8 <0,8
(%) 1991
Penetrasi pada 25 c SNI 06-2456-
11 >54 >54 >54 >54
(%) 2011

12 Indeks penetrasi 4 >-1 >0 >0 >0,4

keelastisan setelah AASHTO T


13 >45 >60
pengembalian (%) 301-98
Daktailitas pada 25 c
14 SNI 062432-1 >100 >50 >50
(cm)
Partikel yang lebih
15 halus dari 150 micron     min 95 min 95 min 95
(m)(%)
Sumber: Spesifikasi Bina Marga 2010 revisi 3
2.8 Campuran Beraspal
Campuran beraspal merupakan campuran yang terdiri dari kombinasi
agregat yang dicampur dengan aspal. Pencampuran dilakukan sedemikian rupa
14

sehingga permukaan agregat terselimuti aspal dengan seragam. Campuran


beraspal yang sering digunakan yaitu dalam keadaan panas ( Hotmix) atau disebut
sebagai campuran beraspal panas.
Pada campuran beraspal diperoleh sifat-sifat mekanis yang disebut sifat
friksi dan kohesi dari bahan-bahan pembentuknya. Sifat friksi terdapat pada
agregat yang diperoleh dari ikatan antar butir agregat ( Interlocking ), dan
kekuatannya tergantung pada gradasi, tekstur permukaan, bentuk butiran, dan
ukuran agregat maksimum yang digunakan, sedangkan sifat kohesinya diperoleh
dari aspal yang digunakan. Berdasarkan Bina Marga ( 2010 ) suhu untuk
pencampuran berkisar 155 – 1650 C , sedangkan untuk suhu pemadatan berkisar
135 – 155 0 C.

2.9 Jenis Campuran Beraspal Panas


Jenis-jenis dari campuran beraspal panas ( Hotmix ), antara lain :
 Lapis Tipis Aspal Pasir ( Sand Sheet, SS ) Kelas A dan B
 Lapis Tipis Aspal Beton ( Hot Rolled Sheet, HRS)
 Lapis Aspal Beton ( Asphalt Concrete, AC)

2.9.1 Lapis Tipis Aspal Pasir ( Sand Sheet, SS ) Kelas A dan B


lapis Tipis Aspal Pasir ( Latasir ) yang selanjutnya disebut SS, terdiri dari
dua jenis campuran, SS-A dan SS-B. Pemilihan SS-A dan SS-B tergantung pada
tebal nominal minimum. Sand Sheet biasanya memerlukan penambahan Filler
agar memenuhi kebutuhan sifat-sifat yang diisyaratkan.

2.9.2 Lapis Tipis Aspal Beton ( Hot Rolled Sheet, HRS)


Lapis Tipis Aspal Beton ( Lataston ) yang selanjutnya disebut HRS, terdiri
dari dua jenis campuran, HRS pondasi ( HRS – Base ) dan HRS Lapis Aus ( HRS-
Wearing Course, HRS-WC) dan ukurannya maksimum agregat masing-masing
campuran adalah 19 mm. HRS-Base mempunyai proporsi fraksi agregat kasar
lebih besar daripada HRS-WC.
15

2.9.3 Lapis Aspal Beton ( Asphalt Concrete, AC)


Lapis Aspal Beton ( Laston ) yang selanjutnya disebut AC, terdiri dari tiga
jenis campuran antara lain :
a. Laston Lapis Aus ( Asphalt Concrete-Wearing Course atau AC-WC ),
merupakan lapisan perkerasan yang terletak paling atas dan berfungsi sebagai
lapisan aus, walaupun bersifat non struktural, AC-WC dapat menambah daya
tahan perkerasan terhadap penurunan mutu sehingga secara keseluruhan
menambah masa pelayanan dari kontruksi perkerasan.
b. Laston Lapis Antara ( Asphalt Concrete-Binder Course atau AC-BC ),
Merupakan lapisan perkerasan yang terletak dibawah lapisan aus ( Wearing
Course ) dan di atas lapisan pondasi ( Base Course ). Lapisan ini tidak
berhubungan dengan cuaca, tetapi harus mempunyai ketebalan dan kekauan
yang cukup untuk mengurangi tegangan/regangan akibat beban lau lintas yang
akan dteruskan ke lapisan di bawahnya yaitu Base dan Sub Grade ( Tanah
Dasar ). Karakterisitik yang terpenting pada campuran ini adalah stabilitas.
c. Laston Lapis Pondasi ( Asphalt Concrete Base atau AC-Base ), merupakan
perkerasan yang terletak di bawah lapis pengikat atau antara (AC-BC).
Perkerasan ini tidak berhubungan lansung dengan cuaca, tetapi perlu memiliki
stabilitas untuk menahan beban lalu lintas yang disebarkan melalui roda
kendaraan. Perbedaan terletak pada jenis gradasi agregat dan kadar aspal yang
digunakan. Lapis Pondasi (AC-Base) mempunyai fungsi memberi dukungan
lapis permukaan, mengurangi regangan dan tegangan, menyebarkan dan
meneruskan beban kontruksi jalan di bawahnya ( Sub Grade).
Ukuran maksimum agregat masing masing dari campuran beraspal panas
di atas adalah 19 mm, 25,4 mm, 37,5 mm. (Spesifikasi Bina Marga revisi 3,
2010).

2.10 Kontrol Kualitas ( Quality Control )


Kontrol dapat didefinisikan sebagai usaha dalam melakukan uji evaluasi
dan pengawasan untuk menjaga produk. Kualitas dapat didefinisikan juga sebagai
16

karakteristik yang dibutuhkan untuk keunggulan yang diinginkan dan disesuaikan


pada spesifikasi.
Teknik dan kegiatan operasional meliputi pemeriksaan hasil perencanaan,
pengujian yang dilakukan selama kontruksi, pengujian bahan, kalibrasi mesin dan
peralatan pengujian, dalam hal ini, kontrol kualitas diperlukan untuk
menghasilkan indikator pada berbagai tahap proyek untuk memperlihatkan bahwa
persyaratan dan spesifikasi dipenuhi. Hal ini berguna untuk sebagai pendeteksi
dini dari kerusakan atau ketidaksesuaian yang membutuhkan perhatian atau
perbaikan akibat berkurangnya kualitas produk (Sembiring, 2011).

2.11 Proses Kontrol Kualitas


Proses kontrol kualitas dalam pekerjaan jalan didefinisikan sebagai
kegiatan yang berhubungan dengan mengontrol pekerjaan jalan melalui semua
tahapan proses perencanaan pekerjaan jalan dengan cara memeriksa kualitasnya.
Metode kontrol kualitas digunakan dalam mengontrol batas-batas yang harus
sesuai dengan spesifikasi.

2.11.1 Kontrol Agregat


Salah satu penyebab utama masalah teknis yang terjadi dengan aspal
adalah perbedaan antara perencanaan dilapangan dengan perencanaan di
laboraturium. Untuk itulah pentingnya kontrol kualitas terhadap agregat saat
proses pemilihan material itu sendiri, hingga proses pencampuran dengan aspal
untuk memastikan keseragaman dari campuran yang diproduksi.
Adapun pengujian yang dilakukan di laboraturium pada agregat antara
lain:
1. Analisa Saringan Agregat
Pengujian ini bertujuan untuk membuat suatu distribusi ukuran agregat
dalam bentuk grafik yang dapat memperlihatkan pembagian butir ( gradasi )
suatu agregat dengan menggunakan saringan ( Gambar 2.2). Penentuan gradasi
dapat dilakukan dengan dua cara yaitu analitis dan grafis. Penentuan dengan
cara grafis adalah dengan cara data dari hasil analisis saringan di plot ke dalam
17

grafik semi logaritma, dimana sumbu x menunjukkan parameter diameter


saringan dalam skala logaritma dan sumbu y menunjukkan parameter
persentase (%) lolos saringan. Hasilnya bersifat visual, dari pola kurva yang
terbentuk kita dapat melihat :
a. Gradasi agregat yang bersifat Well-Graded , Poor-Graded/Single-Sized,
atau Gap-Graded
b. Persentase ( % ) agregat kasar, sedang, dan halus pada sumber agregat
tersebut dengan kombinasi analisa saringan. (Sembiring, 2011)
Sedangkan penentuan dengan cara analitis yaitu dengan membuat suatu
parameter koefisien keseragaman atau Uniformity Coefficient (CU) dan parameter
koefisien kurvatur atau Curvatur Coefficient (CZ). Hasilnya lebih bersifat eksak.
Gambar Alat Analisa Saringan dapat dilihat pada Gambar 2.2

Gambar 2.2 Alat Analisa Saringan


Sumber : Mohamad Aqif, 2012
Tabel mengenai ukuran saringan dapat dilihat pada Tabel 2.6
Tabel 2.6 Ukuran Saringan
No. lubang saringan
Saringan Inch Mm
1 1/2 in 1,5 38,1
1 in 1 25,4
3/4 in 0,75 19
1/2 in 0,5 12,5
3/8 in 0,375 9,5
No 4 0,187 4,75
No 8 0,0937 2,36
No 16 0,0469 1,18
No 30 0,0234 0,6
No 50 0,0117 0,3
No 100 0,0059 0,15
No 200 0,0029 0,075
Sumber : Sukirman, 1999
18

Persyaratan gradasi Agregat Campuran Berbagai Jenis Beton Aspal dapat


dilihat pada Tabel 2.7.

Tabel 2.7 Persyaratan Gradasi Agregat Campuran Berbagai Jenis Beton Aspal
% Berat Lolos
Ukuran Saringan
Laston (AC) Laston ( HRS ) Latasir ( HRS )
Bukaan HRS- HRS-
No AC-WC AC-BC AC-Base Kelas A Kelas B
(mm) WC Base
1 1/2 37,5 100
1 25 100 100 90-100
3/4 19 100 90-100 maks 90 100 100 100 100
1/2 12,5 90-100 maks 90 90-100 90-100
3/8 9,5 maks 90 75-85 90-100
8 2,36 28-58 23-39 19-45 50-72 75-100

16 1,18
30 0,6 35-60
200 0,075 4 - 10 4-8 3-7 6-12 2-9 10-15 8-13
Daerah Larangan
4 4,75
8 2,36 39,1 34,6
16 1,18 25,6-31,6 22,3-28,3
30 0,6 19,1-23,1 16,7-20,7
200 0,075 15,5 13,7          
Sumber : Sukirman, 1999

2. Keausan Agregat dengan Alat Abrasi Los Angeles


Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui durabilitas agregat dengan cara
mekanis dengan menggunakan alat Los Angeles Abration Test ( Gambar 2.3 ).
½“
Pemeriksaan ini adalah untuk agregat kasar yang lebi kecil dari 37,5 mm ( 1 ).
Durabilitas atau ketahanan terhadap kerusakan sangat berpengaruh terhadap
kebutuhan akan jumlah agregat, beberapa agregat yang memiliki kekuatan standar
pun akan memiliki kerusakan saat di stockpile atau saat masa pelayanan jalan.
Pada hakekatnya ikatan antar butir partikel bisa kuat atau lemah, namun secara
berulang menjadi lemah karena sebagai akibat dari proses perendaman air seperti
akibat, cuaca, pembekuan dan lain-lain.
19

Prinsip pengujian Los Angeles adalah pengukuran perontokan agregat dari


gradasi standarnya akibat kombinasi abrasi atau atrisi, tekanan, dan penggilasan di
dalam drum baja. Ketika drum berputar, bilah baja yang terdapat di dilamnya,
mengangkat sampel dan bola baja, membawanya berputar sampai kembali jatuh,
mengakibatkan efek tumbuk-tekan/Impact-Crushing pada sampel.. Demikianlah
siklus yang terjadi di dalam mesin Los Angeles (Lesmono, 2018) . Gambar mesin
Los Angeles dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Mesin Abrasi Los Angeles


Sumber :www.Kitasipil.com

Adapun cara menghitung nilai keausan menggunakan mesin Los Angeles


Dapat dilihat pada Rumus II.1.
A−B
Nilai keausan CZ= x 100 % ..................................................... (II.1)
2
Keterangan :
A = Berat sampel semula (gr)
B = Berat sampel yang tertahan (gr)

Sesuai dengan SNI 2417:2008 dan seperti yang telah dicantumkan pada
Tabel 2.1 bahwa nilai maksimum untuk Abrasi dengan mesin Los Angeles untuk
semua jenis campuran aspal bergradasi lainnya tidak boleh melebihi nilai 40 %.
20

2.11.2 Kontrol Aspal


Pada umumnya aspal diperoleh dari sumber yang telah diuji dan diterima
oleh direksi pejerjaan jalan. Namun,masalah yang sering terjadi pada aspal
afdalah mencari masalah yang berkaitan dengan lapisan aspal. Sehingga
pentingnya dilakakukan uji kontrol kualitas sebelum memasukkan ke dalam
campuran aspal (Sembiring, 2011).
Adapun pengujian pada aspal yang dilakukan di laboratorium adalah :
1. Penetrasi Bahan-Bahan Bitumen
Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kekerasan aspal yang
dinyatakan dalam masuknya jarum (Gambar 2.4) dengan beban tertentu dan kurun
awaktu tertentu pada suhu kamar. Bahan bitumen adalah bahan temoplastik yang
secara bertahap mencair. Sesuai dengan pertambahan suhu dan berlaku sebaliknya
pada pengurangan suhu.
Dari sudut pandang rekayasa (engineering),ragam dari komposisi unsur
penyusunan bahan bitumen biasanya tidak ditinjau lebih lanjut,untuk
menggambarkan karakteristik ragam respon parameter yng salah satunya adalah
nilai PEN (penetrasi). Nilai ini menggambarkan kekrasan bahan bitumen pada
suhu standar (50 gr / 100 gr),dalam rentan waktu yang juga standar.
Bristish Standar (BSI) membagi nilai penetrasi tersebut menjadi 10 macam
dengan rentang nilai PEN 15 s/d 450, sedangkan ASHTO mendefinisikan nilai
PEN 40 – 50 sebagai nilai PEN untuk matrial bahan bitumen terkeras dan PEN
200 – 300 untuk material bahan bitumen terlembek/terlunak
(www.ilmutekniksipil.com, 2013).
Standar kualitas (spesifikasi) aspal untuk pengujian penetrasi Bahan-
Bahan Bitumen ini adalah SNI 06-2456-1991 dengan aspal pen 60/70 minimal 60
dan maksimal 79 sedangkan aspal pen 80/100 minimal 80 dan maksimal 99.
Pengujian Pentrasi Bitumen dapat dilihat pada Gambar 2.4.
21

Gambar 2.4 Pengujian Penetrasi Aspal


Sumber : Mohamad Aqif, 2012

2. Titik Nyala dan Titik Bakar dengan Cleveland Open Cup


Pengujian ini bertujuan untuk mengukur suhu dimana aspal mulai dapat
menyala mengeluarkan api dan terbakar akibat pemanasan dengan menggunakan
cleveland open cup (Gambar 2.5). suhu yang didapatkan ini adalah simulasi
terhadap suhu maksimum yang bisa terjadi pada aspal sampai aspal mengalami
kerusakan pemanasan.
Terdapat dua metode praktikum yang umum dipakai untuk menentukan
titik nyala dari bahan aspal. Praktikum untuk aspal cair (cutback) biasanya
dilakukan dengan alat tagliabue open cup,sementara untuk bahan aspal padat
biasanya digunaakan alat cleveland open cup. Kedua metode tersebut pada
prinsipnya adalah sama. Walaupun metode cleveland open cup bahan aspal
dipanaskan di dalam tempat besi yang direndam di dalam bejana air,sedangkan
pada metode tagliabue open cup pemanasan dilakukan pada tabung kaca yang
diletakkan di dalam air.
Pada kedua metode tersebut,suhu dari material aspal ditingkatkan secara
bertahap pada jenjang yang tetap. Seiring kenaikan suhu titik api kecil dilewati di
atas permukaan sampel yang dipaanaskan tersebut. Titik nyala ditentukan sebagai
suhu terendah,dimana percikan api pertama kali terjadi sedangkan titik bakar
ditentukan sebagai suhu dimana sampel terbakar.
Misalnya dari hasil pengujian didapatkan temperatur titik nyala adalah
334°C dan titik bakar 354°C yang berarti memenuhi syarat minimum,tempertur
22

nyala oleh Bina Marga untuk aspal PEN 40 – 60 (200°C). Titik nyala dan titik
bakar aspal perlu diketahui karena :
a. Sebagai indikasi temperatur pemanasan maksimum dimana masih dalam
batas-batas aman pengerjaan.
b. Agar karakteristik aspal tidak berubah (rusak) akibat dipanaskan
melebihi temperatur titik bakar.
Standar kualitas (spesifikasi) untuk pegujian Titik Nyala dan Titik Bakar
dengan Cleveland open cup ini adalah SNI 06-2433-1991 untuk batasan
aspal pen 60/70 minimal 200°C dan aspal pen 80/100 minimal 225°C
(Universitas Riau, 2019).
Gambar pengujian Titik Nyala dan Titik Bakar dapat dilihat pada Gambar
2.5:

Gambar 2.5 Pengujian Titik Nyala dan Titik Bakar


Sumber : Mohamad Aqif, 2012

3. Titik lembek Aspal dan Ter (Softening Point with Ring and Ball Test)
Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui suhu dimana aspal dan juga ter
mulai lembek dan dapat digunakan dengan menggunakan alat ring dan ball
(Gambar 2.6).
Aspal adalah material termoplastik yang secara bertahap mencair,sesuai
dengan pertambahan suhu dan berlaku sebaliknya pada pengurangan suhu. Namun
demikian perilaku/respon material aspal tersebut terhadap suhu pada prinsipnya
membentuk suatu spektrum/beragam,tergantung dari komposisi unsur-unsur
penyusunnya.
23

Percobaan ini diciptakan karena pelembekan (softening) bahan-bahan


aspal dan ter,tidak terjadi secara sekejap pada suhu tertentu,tapi lebih merupakan
perubahan gradual seiring penambahan suhu. Oleh sebab itu,setiap prosedur yang
dipergunakan untuk menentukan fisik lembek aspal dan ter,hendaknya mengikuti
sifat dasar tersebut. Artinya penambahan suhu pada percobaan hendaknya
berlangsung secara gradual dalam jenjang yang halus.
Dalam percobaan ini,titik lembek ditunjukkan dengan suhu pada saat bola
baja dengan berat tertentu,mendesak turun suatu lapisan aspal atau ter yang
tertahan dicincin berukuran tertentu,sehingga aspal atau ter tersebut menyentuh
pelat dasar yang terletak pada ketinggian terentu sebagai akibat kecepatan
pemanasan.
Titik lembek menjadi salah satu batasan dalam penggolongan aspal dan
ter. Titik lembek haruslah diperhatikan saat akan membangun kontruksi
perkerasan jalan. Titik lembek hendaknya lebih tinggi dari suhu permukaan jalan
sehingga tidak terjadi pelelehan aspal akibat temperatur permukaan jalan. Titik
lembek dan ter adalah 30°C – 200°C,yang artinya masih ada nilai-nilai titik
lembek yang hampir sama dengan suhu permukaan jalan pada umumnya. Untuk
itu dilakukan usaha untuk mempertinggi titik lembek ini diantara lain dengan
menggunakan filler terhadap campuran aspal.
Model ring dan ball yang umumnya diterapkan pada bahan aspal dan ter
ini,dapat mengukur titik lembek bahan semi solid. Titik lembek adalah besarnya
suhu dimana aspal mencapai derajat kelembekan (mulai leleh) di bawah pengujian
titik lembek dipengaruhi banyak faktor.
Faktor yang memengaruhi pengujian Titik Lembek Aspal dan Ter
(Softening Point Ring and Ball Test) antara lain :
a. Kualitas dan jenis cairan penghantar
b. Berat bola besi
c. Jarak antara ring dengan dasar plat besi
d. Besarnya suhu pemanasan.
Aplikasi dari nilai titik lembek ini adalah :
24

a. Bersama-sama dengan nilai penetrasi digunakan untuk menentukan PI


(penetration indeks) yamg merupakan tingkat kepekaan aspal terhadap temperatur
b. Menentukan modulus bahan aspal dengan menggunakan nomogram van der
poer
c. Menentukan sifat kelelehan dari lapisan aspal dan agrerat. (Universitas Riau,
2019).
Standar kualitas (spesifikasi) untuk pengujian Titik Lembek Aspal dan Ter
(Softening Point with Ring and Ball Test) ini adalah SNI 06-24433-1991 dengan
batasan aspal pen 60/70 minimal 48°C dan maksimal 58°C sedangkan batasan
untuk aspal pen 80/100 minimal 46°C dan maksimal 54°C.
Gambar dari pengujian titik lembek aspal dan ter dapat dilihat pada
Gambar 2.6.

Gambar 2.6 Pengujian Titik Lembek Aspal dan Ter


Sumber : Mohamad Aqif, 2012

4. Kehilangan Berat Akibat Pemanasan dengan Thin-Film Oven Test


Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui kehilangan minyak pada aspal
akibat pemanasan berulang. Pengujian ini pun adalah untuk mengukur perubahan
kinerja aspal akibat kehilangan berat (Gambar 2.7).
Cahaya diketahui mempunyai efek yang merusak pada aspal. Kerusakan
yang sering timbul berasal dari sinar matahari,yang mungkin akan merusak
molekul aspal,dibantu oleh faktor air dan cairan pelarut lainnya. Kerusakan
molekul dengan cara ini dinamakan foto oksidasi. Untungnya,sinar yang merusak
ini hanya memengaruhi beberapa lapis molekul pada lapisan atas aspal. Oleh
karena itu,foto oksidasi dianggap kecil pengaruhnya apabila dilihat dari tebal
25

aspal secara keseluruhan. Namun,proses di atas tidak bisa diabaikaan dalam


kontribusi terhadap proses pengrusakan akibat cuaca pada lapisan permukaan tipis
aspal pada agrerat.
Efek pelapukan mungkin tidak perlu signifikan,kecuali pada permukaan
yang sangat tipis. Fenomena yang terjadi ketika aspal dipanaskan dan kemudian
didinginkan kembali pada suhu ruangan,dimana pengerasan (hardening) akan
berlanjut terus tergantung pada proses oksidasi dan penyinaran. Proses pengerasan
ini berlangsung lebih cepat pada beberapa jam pertama dan kemudian berangsur-
angsur berkurang sesudah kira-kira setahun,tingkat pengerasan ini bisa diabaikan.
Di indonesia, prosedur yang tersedia untuk mengevaluasi durabilitas
material aspal adalah Thin Film Oven Test (TFOT),dengan melakukan evaluasi
hanya beberapa karakteristik aspal,seperti kehilangan berat (loss on heating)dan
penetrasi,daktilitas dan titik lembek setelah kehilangan berat.
Karakteristik campuran,khususnya mengenai durabilitas,sangat tergantung
pada karakteristik lapisan aspal. Pada pengujian ini,suatu sampel tipis dipanaskan
dalam oven selama periode tertentu,dan karakteristik sampel sesudah dipanaskan
kemudian diperiksa untuk meneliti indikasi adanya proses pengerasan atau proses
pelapukan dari material aspal. Untuk mendapatkan material aspal yang akan
dipakai untuk campuran,diharapkan hasil pengujian TFOT dan penurunan berat
ini tidak terlalu besar. Besarnya nilai penurunan berat,selisih dan penetrasi
sebelum dan sesudah pemanasan menunjukkan bahwa aspal tersebut peka
terhadap cuaca dan pada suhu (susceptibility of temperature).
Pada saat ini ada kecenderungan untuk mengganti TFOT dengan cara
pengujian yang lebih cepat,yang dinamakan Rolling Thin Film Oven Test
(RTFOT). Salah satu aspek positif dari cara pengujian ini adalah bahwa pengujian
dengan RTFOT dianggap mempunyai korelasi yang lebih baik terhadap
perubahan-perubahan yang terjadi pada bahan aspal saat dilakukan transportasi
dari tempat penyimpanan ke lapangan,dibandingkan dengan apa yang selama ini
ditunjukkan oleh TFOT.
Pengujian kehilangan berat ini,umumnya tidak terpisah dengan evaluasi
karakteristik aspal setelah kehilangan berat. Dalam evaluasi ini dilakukan
26

perbandingan karakteristik sebelum dan sesudah kehilangan berat. Karakteristik


yang dilihat adalah nilai penetrasi,titik lembek dan daktilitas. Untuk itu sangat
dianjurkan dalam penyiapan sampel dibuat dua jenis sampel,yaitu satu kelompok
yang tidak diuji TFOT,sebagai aspal yang belum kehilangan berat dan satu
kelumpok lainnya yang diuji TFOT sebagai aspal yang telah kehilangan berat
(Universitas Riau, 2019).
Standar kualitas (spesifikasi) untuk pengujian kehilangan berat akibat
pemanasan dengan Thin-Film Oven Test ini adalah SNI 06-2440-1991 dengan
aspal pen 60/70 maksimal 0,8% dan aspal pen 80/100 maksimal 0,1%. Gambar
Pengujian Kehilangan Berat akibat Pemanasan dapat dilihat pada Gambar 2.7.

Gambar 2.7 Pengujian Kehilangan Berat Akibat Pemanasan


Sumber : Laporan Kelompok 1 (2019)

Berikut merupakan perhitungan dari kehilangan berat aspal yang dapat


dilihat pada rumus II.2.

A−B
Rumus Kehilangan berat (%) = X 100 % ............................(II.2)
A

Keterangan A : Berat sampel sebelum pemanasan (gram)


B : Berat sampel setelah pemasanan (gram)

5. Berat Jenis Bitumen Keras dan Ter (Specific Gravity of Semi-Solid Bituminous)
Pengujian ini bertujuan untuk mengukur berat jenis aspal dengan
menggunakan piknometer serta berdasarkan perbandingan berat di udara dengan
berat di dalam air (Gambar 2.8).
27

Berat jenis bitumen atau ter adalah perbandingan antara berat bitumen atau
ter terhadap air suling dengan isi yang sama pada suhu tertentu,yaitu dilakukan
dengan cara menggantikan berat air dengan berat bitumen dan/atau ter dalam
wadah yang sama (yang sudah diketahui volumenya berdasarkan konversi berat
jenis air sama dengan satu).
Berat jenis bitumen dan kisarannya ada beberapa macam antara lain :
1. Penetration grade bitumen dengan berat jenis antara 1.010 (untuk bitumen
dengan penetrasi 300) sampai dengan 1.040 (untuk bitumen dengan penetrasi 25).
2. Bitumen telah teroksidasi (oxidized bitumen) dengan berat jenis berkisar antara
1.015 sampai dengan 1.035.
3. Hard grades bitumen dengan berat jenis berkisar antara 1.045 sampai dengan
1.065.
4. Cutback grades bitumen dengan berat jenis berkisar antara 0.992 sampai
dengan 1.007 (Universitas Riau, 2019).
Standar kualiitas (spesifikasi) untuk pengujian Berat Jenis Bitumen Keras
dan Ter (Specific Gravity of Semi-Solid Bituminous) adalah SNI 06-2441-1991
dengan aspal pen 60/70 dan aspal pen 80/100 sama-sama minimal 1 g/cm³.
Gambar dari Pengujian Berat Jenis Bitumen Keras dan Ter dapat dilihat pada
Gambar 2.8.

Gambar 2.8 Pengujian Berat Jenis Bitumen Keras dan Ter


Sumber : Laporan Kelompok 1 (2019)

Perhitungan berat jenis aspal dapat dilihat pada Rumus II.3.

(C−A )
BJ= :...................................................(II.3)
( B− A )−( D−C)
28

Keterangan : A= berat piknometer kering

B= berat piknometer + air


C= berat piknometer + aspal
D= berat piknometer + aspal + air

2.11.3 Kontrol Campuran Beraspal


Pengujian campuran beraspal juga diperlukan sebelum campuran
dihamparkan di lapangan dan dipadatkan. Hal ini dilakukan untuk memeriksa
apakah hasil campuran yang telah dikerjakan sesuai dengan standar (spesifikasi)
yang telah ditetapkan.
Adapun pengujian yang dilakukan pada campuran beraspal diantaranya
adalah :
1. Pengujian Ekstraksi (Estraction Test)
Cara yang digunakan untuk mengetahui kadar aspal pada suatu campuran
beraspal adalah dengan melakukan pengujian ekstraksi (extraction test) dengan
menggunakan alat Centifuge Extractor Set seperti pada gambar 2.9. Pemeriksaan
kadar aspal dengan cara ekstraksi adalah salah satu cara memerisa kadar aspal
dalam suatu campuran aspal beton dengan memisahkan bagian-bagian yang dapat
larut atau mengekstraksinya Carbon tetrachloride (CCl4) atau bensin dapat
digunakan sebagai zat pelarut aspal. Dengan menimbang bagian yang
terlarut,kadar aspal dalam suatu campuran dapat ditentukan. Pengujian ini juga
dapat digunakan untuk menganalisa ulang gradasi agregat dengan campuran
aspal,dimana analisa saringan dapat dilakukan pada hasil ekstraksi yang tidak
terlarut (SNI ASTM C136:2012).
Prinsip kerja dari pengujian ini adalah dengan memanfaatkan perputaran
sebuah mesin sentrifugasi yang dapat berputar setidaknya 3000 rpm. Layaknya
seperti cara kerja mesin cuci untuk mengeringkan pakaian dari air,begitu juga cara
kerja pada alat ini yaitu untuk mengeringkan antara agregat dan zat pelarut yang
telah tercampur dengan aspal sehingga lapiasan aspal yang melekat pada agregat
29

dapat terbawa oleh zat pelarut dan juga dengan adanya bantuan kertas filter,maka
dapat memperkecil celah bagi agregat yang paling kecil terbawa oleh zat pelarut.
Gambar dari alat dari ekstraksi Aspal yang dapat dilihat pada Gambar 2.9.

Gambar 2.9 Centrifuge Extractor Set


Sumber : Laporan Praktek Kerja Lapangan (Achmad Nur Halim , 2019)

Adapun persamaan-persamaan yang digunakan pada pengujian ekstraksi


dapat dilihat pada rumus II.4 – II.9.
a. Menentukan berat awal bowl + sampel (gr)
B2 = B1+W1 ..............................................................(II.4)
Keterangan :
B1 = Berat bowl (gr)
W1 = Berat awal sampel (gr)
b. Menentukan berat sampel tertinggal di bowl (gr)
s = B4 – B1 ..............................................................(II.5)
Keterangan :
B4 = Berat bowl setelah pengujian (gr)
B1 = Berat bowl (gr)
c. Menentukan berat sampel tertinggal di kertas (gr)
f = F2 - F1 ..............................................................(II.6)
Keterangan :
F2 = Berat kertas filter setelah pengujian (gr)
F1 = Berat kertas filter (gr)
d. Menentukan berat filter yang hilang (gr)
30

F =f+s ...................................................(II.7)
Keterangan :
f = Berat sampel tertinggal di kertas
s = Berat sampel tertinggal di bowl
e. Menentukan berat residu aspal
A = W1 – (W2 + s + f) ...................................................(II.8)
Keterangan :
WI = Berat awal sampel
W2 = Berat sampel setelah pengujian
s = Berat sampel tertinggal di bowl
f = Berat sampel tertinggal di kertas
f. Menentukan kadar aspal

( W 1−(WW 12+ s+ f ) ) x 100 % ..................................................(II.9)

Keterangan :
W1 = Berat awal sampel
W2 = Berat sampel setelah pengujian
s = Berat sampel tertinggal di bowl
f = Berat sampel tertinggal di kertas

2. Pengujian Gradasi Agregat Campuran Beraspal


Setelah dilakukan proses pengujian ekstraksi aspal, maka sampel
campuran aspal yang telah selesai diuji ekstraksi tersebut dapat dilanjutkan untuk
pengujian selanjutnya yakni pengujian Gradasi Agregat Campuran Beraspal,
pengujian yang dilakukan yakni menggunakan pengujian Analisa Saringan.
Gradasi agregat gabungan untuk campuran aspal, ditunjukan dalam persen
terhadap berat agregat dan bahan pengisi, harus memenuhi batas-batas yang di
berikan dalam Tabel 2.4.
3. pengujian berat jenis maksimum campuran (GMM)
31

GMM merupakan berat jenis maksimum suatu campuran. Apabila kita


telah menghitung nilai GMM. Maka kita dapat mencari nilai berat jenis efektif
untuk kadar aspal tertentu.
4. Pemeriksaan Marshall Test
Alat marshall merupakan alat tekan yang dilengkapi dengan ring (cincin
penguji) yang berkapasitas 2500 kg atau 5000 pon. Proving ring dilengkapi
dengan arloji pengukur yang berguna untuk mengukur stabilitas campuran
(Gambar 2.10). di samping itu terdapat arloji kelelehan (flow meter) untuk
mengukur kelelehan plastis (flow). Benda uji berbentuk silinder dengan diameter
10 cm dan tinggi 7,5 cm dipersiapkan di laboratorium atau bisa juga dari sampel
aspal beton yang diambil dengan mesin core drill. Tujuan pemerikasaan Marshall
ini adalah unruk menentukam ketahanan (stabilitas) terhadap kelelehan plastisitas
(Flow) dari campuran beraspal sehingga mendapatkan sifat-sifat campuran sesuia
dengan spesifikasi yang disyaratkan. Berikut merupakan gambar dari alat yang
digunakan untuk pengujian Marshall yang dapat dilihat pada Gambar 2.10.

Gambar 2.10. Alat Uji Marshall


Sumber : Laporan Kelompok 1 (2019)

Adapun parameter sifat campuran yang disyaratkan adalah :


a. Ketahanan (Stabilitas),merupakan kemampuan suatu campuran beraspal untuk
menerima beban sampai terjadi kelelehan plasitisitas yaitu keadaan perubahan
bentuk suatu campuran aspal yang terjadi akibat suatu beban batas runtuh yang
dinyatakan dalam mm yaitu 1/100 inch. Seperti yang dapat kita lihat pada Tabel
32

2.8, bahwa nilai minimal untuk ketahanan (stabilitas) pada campuran aspal beton
(AC) adalah 800 kg dan nilai stabilitas didapatkan secara langsung pada pengujian
sampel aspal beton pada alat Marshall test dikalikan dengan kalibrasi alat.
b. Kelelehan (flow),merupakan jumlah perubahan bentuk (deformasi) yang diukur
dalam satuan milimeter (mm) yang ditunjukkan pada saat pembebanan. Dan nilai
minimal untuk kelelehan (flow) pada campuran beraspal (AC) seperti yang tertera
pada Tabel 2.8 yaitu 3 mm dan nilai kelelehan (flow) suatu sampel juga
didapatkan secara langsung pada pengujian sampel aspal beton pada alat Marshall
test.
c. Marshall Quotient,merupakan perbandingan nilai dari ketahanan (stabilitas)
dibagi dengan nilai kelelehan (flow).
d. kepadatan (density), adalah berat campuran pada setiap satuan volume. Faktor-
faktor yang memengaruhi kepadatan adalah gradasi agregat,kadar aspal,berat jenis
agregat,kualitas penyusunannya,dan proses pemadatan yang meliputi suhu dan
jumlah tumbukannya. Campuran yang mempunyai nilai kepadatan akan mampu
menahan beban yang lebih besar jika dibandingkan dengan campuran yang
memiliki kepadatan rendah.
e. Voids Filled with Asphalt/Voids Filled Bitumen (VFA/VFB) atau rongga udara
yang terisi aspal menyatakan persentase rongga udara yang terisi aspal pada
campuran yang telah mengalami pemadatan.
f. Voids in Mineral Aggregate (VMA) atau rongga di antara mineral agregat
(VMA) merupakan ruang di antara partikel agregat pada suatu perkerasan
beraspal,termasuk rongga udara dan volume aspal efektif (tidak termasuk volume
aspal yang diserap agregat). VMA dihitung berdasarkan BJ bulk (Gsb) agregat
dan dinyatakan sebagai persen volume bulk campuran yang dipadatkan.
g.Voids in Mix (VIM) atau rongga dalam campuran perkerasan beraspal terdiri
atas ruang udara di antara partikel agregat yang terselimuti aspal. VIM dinyatakan
dalam persentase terhadap volume beton aspal padat (Universitas Riau, 2019).
Adapun persamaan parameter Marshall yang digunakan antara
lain:
1. Menentukan Bulk Spesific Agregat
33

100
Gsb=
% AK % AS % AH %filler .. …………
[ + + +
BJoverdryAK BJoverdryAS BJoverdryAH BJoverdryfiller ]
(II.10)
Keterangan :
AK = Agregat Kasar AH = Agregat Halus
AS = Agregat Sedang Gsb = Bulk Spesific Agregat

2. Menentukan Bulk Effective Agregat


100 /2
Gse= + B/2
% AK % AS % AH %filler . …………………..…(
[ + + +
BJapp AK BJapp AS BJapp AH BJappfiller ]
II.11)

Keterangan :
AK = Agregat Kasar AH = Agregat Halus
AS = Agregat Sedang Gse = Bulk Effective Agregat

3. Menentukan Bulk Specific gravity of mix


BB uji kering
Gmb= ……………….( II.12 )
BB uji jenuh permukaan−BBuji dalam air

Keterangan :

Gmb = Bulk Spesific Gravity Of Mix


BB = Berat Benda
4. Menentukan Berat Jenis Maksimum Teoritis
100
Gmm=
% agregatcampuran % aspalcampuran
[ BJefektif agregat
+
BJaspal ]
34

100
Atau 100−A A ..................................................................................(
+
C C
II.13 )
5. Menentukan volume benda uji

Υ =BB uji jenuh perm .kering−BBuji dalam air……………( II.14 )

Keterangan :
Υ = Volume Benda Uji
BB = Berat Benda
6. Menentukan berat isi benda uji campuran
bulk spesific gravity of mix
D= =¿...........................................(
volume benda uji campuran
II.15 )

7. Menentukan total rongga udara dalam campuran ( voids in mix =VIM )


100 x berat isi benda uji
VIM = 100− =¿......................................(
berat jenis maksimum bendauji
II.16 )

100 x (D−J )
Atau =¿ ......................................................................( II.17 )
J
keterangan :
D : Berat jenis max campuran beraspal
J : Berat isi benda uji campuran

8. Menentukan rongga udara dalam agregat ( void in mineral agreggat =


VMA )
( 100 x KA terhadap campuran ) x Gmb
VMA=100− =¿………( II.18 )
Gsb
Keterangan =
KA = Kadar Aspal
Gmb = Bulk Spesific Gravity Of Mix
Gsb = Bulk Spesific Agregat
35

9. Menentukan rongga terisi aspal ( void filled with aspal = VFA )


100 X (VMA−VIM )
VFA= ................................................................ (
VMA
II.19)
10. Menentukan nilai Marshall Quotient

Stabilitas
Marshall Quotien t= ....................................................( II.20 )
Flow
11. Isi benda uji
= Berat benda uji SSD – Berat benda uji dalam air........................(II.21)
12. Berat Isi Campuran
= Berat benda uji kering / Volume benda uji..................................(II.22)

Tabel mengenai ketentuan sifat-sifat laston (AC) dapat dilihat pada Tabel
2.8.

Tabel 2.8 Ketentuan Sifat-Sifat Laston (AC)


Laston
Sifat-Sifat Campuran   Lapis Aus Lapis Antara Pondasi
Halus Kasar Halus Kasar Halus Kasar
kadar aspal efektif ( % ) 5,1 4,3 4,3 4 4 3,5
penyerapan aspal ( % ) maks 1,2
Jumlah tumbukan perbidang 75 12
Min 3,5
Rongga dalam campuran ( % )
maks 5
VMA (%) Min 15 14 13
Rongga terisi aspal ( %) Min 65 63 60
Min 800 1800
Stabilitas Marshall ( kg )
maks
pelelehan ( mm ) Min 3 4,5
Marshall Quotient (kg/mm) Min 250 300
stabilitas marshall sisa (%)
setelah perendaman selama 24
jam, 60 c 90
36

Rongga dalam campuran ( % )


pada kepedatan membal Min
( refusal ) 2,5
Sumber: Spesifikasi Bina Marga 2010 revisi 3

Tabel angka korelasi beban ( stabilitas ) untuk pengujian Marshall dapat


dilihat pada Tabel 2.9.

Tabel 2.9 Angka Korelasi Beban ( stabilitas)


Isi Benda Tebal Benda Angka
Uji Uji Koreksi
483 - 495 60,3 1,09
496-508 61,9 1,04
509-522 63,5 1,00
523-535 65,1 0,96
536-546 66,7 0,93
547-559 68,3 0,89
560-573 69,9 0,86
574-585 71,4 0,83
586-598 73 0,81
599-610 74,6 0,78
611-625 76,2 0,76
Sumber: SNI 06 2489 1991

2.11.4 Unit Pencampur Aspal ( AMP)


AMP merupakan satu unit alat yang memproduksi campuran beraspal
panas. AMP yang paling sering digunakan adalah jenis Batch (penakaran).
Komponen – komponen yang terdapat dalam AMP adalah :
a. Cold Bin
Cold Bin adalah tempat penyimpanan agregat kasar, agregat halus dan
pasir. Material yang telah melalui Cold Bin sangat berpengaruh terhadap produksi
campuran beraspal. Untuk itu perlunya kontrol kualitas yang ketat pada Cold Bin
dengan melakukan pemeriksaan, meliputi :
− Gradasi agregat
37

Perubahan gradasi terjadi jika Quari atau supplier berbeda. Untuk itu
setiap terjadi perubahan oleh quari atau supplier, dilakukan pembuatan JMF
kembali.
− Kondisi dari tiap Cold Bin
Pencampuran agregat antara bin yang berdekatan dapat dicegah dengan
cara membuat pemisah yang cukup dan pengisian tidak berlebih.
− Kalibrasi bukaan Cold Bin
− Bukaan Cold Bin
Bukaan Cold Bin kadang - kadang tersumbat jika agregat halus basah,
agregat terkontaminasi tanah lempung atau penghalang lain yang tidak umum
seperti batu dan kayu.
− Kecepatan Conveyor dan pengontrolan aliran agregat dan membuang material
yang tidak perlu.
b. Dryer
Setelah dari Cold Bin agregat dibawa ke Dryer yang mempunyai fungsi :
1). Menghilangkan kandungan air pada agregat, dan
2) Memanaskan agregat sampai suhu yang disyaratkan. Pemeriksaan yang
diperlukan meliputi :
− Alat pengukur suhu
− Pemeriksaan suhu pemanasan
− Pemeriksaan kadar air secara tepat, yaitu dengan menggunakan cermin dan
spatula, (ambil contoh secukupmya dan lewatkan cermin tersebut lalu amati
kadar air yang menggembur pada permukaan cermin atau spatula).
c. Hot Screen
Setelah agregat kering dan dipanaskan, agregat diangkut dengan pengangkut
panas (hot elevator) untuk disaring dan dipisahkan dalam beberapa ukuran. Pada
umumnya proses penyaringan terjadi pelimpahan agregat, misalnya yang
seharusnya masuk ke Hot Bin I tetapi terbawa ke Hot bin II. Pelimpahan ini pada
kondisi normal terjadi kurang dari 5% dan cenderung konstan, sehingga tidak
terlalu mempengaruhi kualitas produksi. Hal ini terjadi bila :
- Lubang saringan tertutup agregat.
38

- Kecepatan produksi ditambah sehingga agregat yang disaring bertambah


sementara efisiensi operasi penyaringan tetap.
- Agregat halus basah, sehingga pada saat pengeringan dan pemanasan
agregat tersebut akan menggumpal dan masuk ke Hot Bin yang tidak
semestinya.
- Lubang saringan sudah ada yang rusak, pemeriksaan yang diperlukan
adalah pemeriksaan harian secara visual pada kebersihan dan kondisi
saringan.
d. Hot Bin
Jika agregat halus masih menyisakan kadar air (karena dryer kurang baik)
setelah pemanasan, maka agregat yang sangat halus (debu) akan menempel dan
menggumpal pada dinding Hot Bin dan akan jatuh setelah cukup berat. Hal
tersebut dapat menyebabkan perubahan kecil pada gradasi agregat, yaitu
penambahan material yang lolos saringan No. 200.
e. Weight Hopper
Pada bagian ini operator AMP sangat berperan. Jika keseimbangan waktu
pencapaian berat Hot Bin sulit tercapai, maka operator harus membuang agregat
tersebut dan melakukan pemeriksaan aliran material dari Cold Bin. Akan tetapi
jika ketidakseimbangan waktu tersebut dipaksakan terus berjalan, maka dapat
dipastikan terjadi penyimpangan gradasi akibat proporsi masing – masing Hot Bin
karena tidak sesuai pemeriksaan yang dilakukan pada bagian :
- Kalibrasi timbangan termasuk timbangan aspal.
- Kotak penimbang (Weight Box) tergantung bebas.
f. Pugmill
Pugmill merupakan alat yang mencampur agregat dengan aspal. Setelah
agregat ditimbang sesuai dengan proporsinya, maka agregat dan aspal dicampur di
pugmill. Dalam Pugmill terjadi dua jenis campuran yaitu :
1. Pencampuran kering
Lamanya pencampuran ini diusahakan sesingkatnya mungkin untuk
meminimalkan degradasi agregat, umumnya 1 atau 2 detik.
2. Pencampuran basah
39

Pada pencampuran juga diusahakan seminimal mungkin untuk


menghindari degradasi dan oksidasi. Umumnya waktu pencampuran kurang dari
30 detik. Pemeriksaan yang diperlukan meliputi :
- Temperatur aspal (pada tangki aspal).
- Lamanya pencampuran.
- Tampak Visual yang keluar dari Pugmill, apakah campuran merata, t
erselimuti aspal, aspal menggumpal atau pugmill bocor.
Gambar atau sketsa dari AMP ( Asphalt Mixing Plant ) dapat dilihat pada
Gambar 2.11

Gambar 2.11 AMP ( Asphalt Mixing Plant )


Sumber : M. Shalahuddin (2010)
2.12 JMF (Job Mix Formula)
Job Mix Formula (JMF) adalah proses merancang dan memilih bahan
yang cocok dan menentukan proporsi relatif dengan tujuan memproduksi
Campuran Aspal dengan kekuatan tertentu, daya tahan tertentu dan seekonomis
mungkin.

Anda mungkin juga menyukai