Anda di halaman 1dari 5

ULANGAN TENGAH SEMESTER (2)

HUKUM ADAT

Dosen Pengampu :
Prof. Dr. Wayan P. Windia, S.H., M.Si.
I Gede Pasek Pramana, S.H., M.H.

Oleh :
Ni Ketut Devi Damayanti
2004551085
B / Reguler Pagi
(0895327643008)

DENPASAR
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA
TAHUN 2021
UJIAN TENGAH SEMESTER

1. Apakah adat dapat disamakan dengan hukum adat? Jelaskan.


Jawaban : Adat tidak dapat disamakan dengan Hukum Adat, namun terdapat hubungan
yang erat antara Adat dan Hukum Adat itu sendiri. Istilah adat identik dengan kebiasaan,
norma, dan nilai-nilai kebudayaan yang dianggap baik dan benar oleh masyarakat pada
suatu daerah tertentu, sehingga terus menerus dilakukan dan diwarisi dari generasi ke
generasi dalam waktu yang lama (Bega Ragawino, 2008,1-2). Adat dipertahankan karena
kesadaran masyarakatnya, tetapi tak jarang pula adat dipertahankan dengan sanksi atau
akibat hukum sehingga menjadi Hukum Adat (Dominikus Rato, 2014, 2-4). Secara
sederhana, Hukum Adat tersebut lahir dari Adat, ketika suatu adat (kebiasaan) kemudian
diputuskan oleh lemabaga masyarakat dan masyarakat secara keseluruhan untuk
mendapatkan sanksi ketika tidak dijalankan, maka Adat tersebut dapat dikatakan sebagai
Hukum Adat. Menurut Teori “Keputusan” oleh Prof. Mr. B. Ter Haar Bzn (Bewa
Ragawino, 2014, 4), Indikator yang digunakan untuk membedakan Hukum Adat dengan
Adat adalah keputusan yang diberikan oleh pejabat pemegang kekuasaan dalam masyarakat
maupun oleh warga masyarakat atas pelanggaran dari sebuah Adat. Sehingga, Adat dan
Hukum Adat tidak dapat disamakan, namun Hukum Adat memiliki hubungan dengan Adat,
yakni Hukum Adat lahir dari Adat yang memiliki sanksi bagi pelanggarnya.

2. Bagaimanakah relasi antara hukum adat dan agama? Jelaskan.


Jawaban : Hubungan/relasi antara Hukum Adat dan Agama terletak pada bagaimana
Hukum Adat kerap menyerap atau bahkan mengadopsi nilai-nilai yang terkandung dalam
Agama yang dianut oleh masyarakat setempat (I Ketut Sudantra, 4-5). Adapun pernyataan
tersebut didukung oleh munculnya beberapa teori mengenai perkembangan relasi antara
Hukum Adat dengan Agama, sebagai berikut.
a. Teori receptio in complexu, pada prinsipnya mengemukakan bahwa adat istiadat dan
hukum suatu masyarakat adalah resepsi seluruhnya dari agama yang dianut oleh
masyarakat yang bersangkutan (I Ketut Sudantra, 5). Sehingga dalam teori ini, antara
Agama dan Hukum Adat dianggap sama.
b. Teori receptie, pada prinsipnya mengemukakan bahwa hukum yang hidup dan berlaku
bagi masyarakat Indonesia, terlepas dari agama yang dianutnya, adalah hukum adat.
Sedangkan, hukum agama dituruti sepanjang hukum agama telah diresepsi oleh hukum
adat setempat. Berdasarkan teori resepsi ini, yang berlaku bagi masyarakat Indonesia
adalah hukum adat, sedangkan agama hanya memberi pengaruh terhadap hukum adat
(I Ketut Sudantra, 5-6). Sehingga dalam teori ini, agama mempengaruhi hukum adat,
namun tidak sepenuhnya ajaran agama merupakan hukum adat.
c. Teori reception a contrario, pada prinsipnya mengemukakan dikotomi antara agama
dengan hukum adat dengan sangat jelas, sehingga eksistensi dari hukum adat dengan
agama tidak saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya.

3. Sebutkan dan jelaskan mengenai ragam bentuk dari hukum adat.


Jawaban : Menurut Surojo Wignjodipuro (Dominikus Rato, 2014, 36), terdapat 3 bentuk
atau wujud hukum adat, yaitu:
a. Tidak tertulis atau ius non scriptum, bentuk ini merupakan bentuk hukum adat yang
tidak tertulis dalam bentuk apapun dan merupakan bentuk hukum adat yang masif
jumlahnya.
b. Tertulis atau ius scriptum, bentuk ini merupakan bentuk hukum adat yang tertulis, baik
melalui kertas, lontar, dsb dan merupakan bentuk hukum adat yang minim jumlahnya.
c. Uraian-uraian hukum secara tertulis, lazimnya merupakan hasil kajian para peneliti dan
sarjana hukum yang telah dipublikasikan.

4. Bagaimanakah pengakuan negara (Indonesia) terhadap eksistensi hukum adat? Jelaskan.


Jawaban : Indonesia mengakui eksistensi dari hukum adat dengan tiga dasar (hukum) yang
masing-masing dijelaskan sebagai berikut (Khoirul, 2011, 11-14).
a. Dasar Filosofis
Hukum Adat berakar pada kebudayaan rakyat sehinggga dapat menjelmakan perasaan
hukum yang nyata, hidup, dan mencerminkan kepribadian masyarakat Indonesia yang
kemudian dikristalisasi dalam butir-butir Pancasila.
b. Dasar Sosiologis
Hukum adat sebagai bagian dari hukum yang tidak tertulis dapat juga dikatakan sebagai
the living law (hukum yang hidup ditengah masyarakat) sehingga ia dilaksanakan dan
ditaati oleh rakyat tanpa harus melalui prosedur pengundangan dalam lembaran negara
seperti hukum tertulis.
c. Dasar Yuridis
Dasar berlakunya Hukum Adat ditinjau secara Yuridis dalam berbagai Peraturan
Perundang-undangan didasarkan pada fakta sejarah yang dapat dibagi ke dalam dua
periode, yaitu masa sebelum Indonesia merdeka dan masa sesudah Indonesia merdeka,
yang dijelaskan sebagai berikut (Sigit Sapto Nugroho, 2016, 43-46).
i. Masa Sebelum Indonesia Merdeka
Dasar perundang-undnagan berlakunya hukum adat dari zaman kolonial
Hindia-Belanda adalah Pasal 131 ayat (2) Indische Staatsregeling yang memuat dasar
berlakunya Hukum Adat dengan penggolongan penduduk. Di samping pasal 131,
Indische Staatregeling juga memuat suatu ketentuan perundang-undangan mengenai
berlakunya Hukum Adat yaitu Pasal 134 ayat (2), dengan bunyi: “Dalam hal timbul
perkara Hukum Perdata antara orang-orang Muslim dan Hukum Adat mereka meminta
penyelesaiannya, maka penyelesaian pertama perkara tersebut diselenggarakan oleh
Hakim Agama, kecuali jika Ordonasi telah telah menetapkan lain”.
ii. Masa Sesudah Indonesia Merdeka
 UUD NRI 1945 : Pasal 18B Ayat (2) menyatakan bahwa “Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjnag masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-
undang”. Pasal II Aturan Peralihan menyatakan bahwa “Segala badan negara dan
peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru
menurut undang-undang dasar ini”.
 Undang-Undang Dasar Sementara 1950 : Dalam salah satu pasalnya terdapat
pasal yang mengatur mengenai hukum adat, yaitu Pasal 104 ayat (1) disebutkan:
“Segala keputusan pengadilan harus berisi alasan-alasan dan dalam aturan-aturan
Undang-undang dan aturan-aturan Hukum Adat yang dijadikan dasar hukuman itu”.
 Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun 1951 : Tentang tindakan
sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan
acara pengadilan sipil Pasal 1 Ayat 2 UU Darurat 1 Tahun 1951: secara berangsur-
angsur akan ditentukan oleh mentri kehakiman untuk dihapuskan :
1) Segala pengadilan swapraja kecuali peradilan Islam negara Sumatera Timur
dahulu, Kalimantan Barat dan negara Indonesia Timur dahulu.
2) Segala pengadilan adat kecuali Pengadilan Islam. Pasal 1 Ayat 3 UU Darurat
Nomor 1 Tahun 1951 hakim desa tetap dipertahankan.
 Undang-Undang Organik : Terdapat berbagai macam undang-undang organik
yang mengatur mengenai hukum adat, salah satunya UU No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, khususnya Pasal 5 Ayat (1) yang menyatakan bahwa
“Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nila i
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Selain itu, terdapat pula
undang-undang organik lain yang mengatur mengenai hukum adat, yakni UU No.
5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Peraturan
Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, UU No. 41 Tahun 1999
Tentang Kehutanan, UU No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak Dan Gas Bumi, UU
No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, dsb.

5. Sebutkan dan jelaskan dengan contoh mengenai sifat/ciri/corak hukum adat. (Minimal
menjelaskan 4 sifat/ciri/corak hukum adat).
Jawaban : Terdapat beberapa sifat/ciri/corak hukum adat, beberapa diantaranya dijelaskan
sebagai berikut (Bewa Ragawino, 2014, 10-13).
a. Tradisional, Hukum adat memiliki sifat tradisional, artinya bersifat turun temurun dari
zaman nenek moyang hingga zaman sekarang, keadaannya masih tetap utuh, masih
tetap berlaku dan dipertahankan oleh masyarakat yang bersangkutan. Contoh : Hukum
Adat Waris di Minangkabau, dimana anak perempuan menjadi ahli waris dari sebuah
keluarga. Meskipun seiring perkembangan zaman ideologi patrilineal sangat
mendominasi, namun masyarakat adat di Minangkabau tetap menjaga eksistensi dari
hukum adat warisnya.
b. Magis Religius (Magisch-Religieus), Hukum adat memiliki sifat magis religius yang
didasarkan pada religiusitas, yakni keyakinan akan sesuatu yang bersifat sakral.
Masyarakat sebagai individu akan memutuskan, mengatur, dan menyelesaikan suatu
karya memohon restu pada hal yang mereka percayai dengan harapan karya mereka
dapat berjalan sesuai yang dikehendaki. Apabila melanggar pantangan, mereka percaya
akan terjadi hal yang tidak diinginkan. Contoh : Upacara Melaspas di Bali, dimana
diadakan ritual pembersihan untuk bangunan baru dengan tujuan orang yang akan
tinggal/menempati bangunan tersebut merasa aman, tentram, betah, dan terhindar dari
hal yang tidak diinginkan.
c. Komunal (Kebersamaan), Hukum Adat memiliki sifat kebersamaan karena manusia
sebagai makhluk sosial sadar akan pentingnya hidup bermasyarakat, sehingga setiap
kepentingan individu sewajarnya disesuaikan dengan hukum dan kepentingan
masyarakat, karena tidak ada individu yang dapat hidup terlepas dari masyarakatnya.
Contoh : Adat Ngayah di Bali, ketika suatu pura akan mengadakan piodalan (upacara)
maka masyarakat wajib bekerja sama (ngayah) dalam mempersiapkan piodalan
tersebut, jika tidak hadir maka akan dikenakan sanksi berupa uang, banten, maupun hal
lain yang telah ditentukan.
d. Konkret dan Visual, Hukum Adat bersifat konkret dan visual. Konkret artinya nyata,
sedangkan visual artinya dapat dilihat. Pemindahan atau peralihan hak dan kewajiban
dalam Hukum Adat harus dilakukan secara serentak, ini dimaksudkan agar menjaga
keseimbangan didalam pergaulan bermasyarakat. Contoh : Prosesi Ngidih yang
merupakan salah satu rangkaian dari Upacara Pernikahan di Bali, berupa penjemputan
mempelai wanita. Dari pihak pria akan membawa beberapa seserahan untuk meminang
mempelai wanita dan kemudian mempelai wanita akan diboyong ke kediaman
mempelai pria. Prosesi ini disaksikan oleh lembaga pemerintahan dan adat, serta kedua
keluarga dari masing-masing mempelai.
DAFTAR PUSTAKA

Nugroho, S. S. (2016). Pengantar Hukum Adat Indonesia. Solo: Pustaka Iltizam.

Ragawino, B. (2009, Mei). Pustaka Unpad. Retrieved from pustaka.unpad.ac.id:


http://pustaka.unpad.ac.id/wp-
content/uploads/2009/05/pengantar_dan_asas_asas_hukum_adat_istiadat.pdf

Rato, D. (2014). Hukum Adat di Indonesia (Suatu Pengantar). Surabaya: Laksbang Justisia
Surabaya.

Suantra, I. K. (n.d.). Erepo Unud. Retrieved from erepo.unud.ac.id:


http://erepo.unud.ac.id/id/eprint/15322/1/46c397ce3a3b8e31dfdbbd6dc082bb02.pdf
(diakses pada 22 Maret 2021)

Khoirul. (2011, Oktober 3). Slide Player. Retrieved from slideplayer.inf o:


https://slideplayer.info/slide/2597196/

Anda mungkin juga menyukai