DISUSUN OLEH :
- BAYU SAPUTRA
- BELA NIMAS CAHAYA
Jl. Ciputat Molek Selatan Blok S1C, Pisangan, Kec. Ciputat Timur
Kota Tangerang Selatan 15419
PEMBAHASAN
A. AGAMA DI INDONESIA
Dinyatakan dalam ideologi bangsa Indonesia, Pancasila: “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Ini adalah kompromi antara gagasan negara Islam dan negara sekuler. Sejumlah agama di
Indonesia berpengaruh secara kolektif terhadap politik, ekonomi dan budaya. Menurut penelitian
penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam 87%, Protestan, 7%, Katolik, 3%, Hindu,
1,7%, Buddha, 0,7%, Konghucu, 0,05% agama lainnya, dan 0,45% tidak terjawab atau tidak
ditanyakan.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa "tiap-tiap penduduk diberikan kebebasan
untuk memilih dan mempraktikkan kepercayaannya" dan "menjamin semuanya akan kebebasan
untuk menyembah, menurut agama atau kepercayaannya". Dalam Penetapan Presiden No 1
Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, bagaimanapun,
secara resmi hanya mengakui enam agama, yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan
Khonghucu.[8] Baru-baru ini, aliran kepercayaan (agama asli Nusantara) telah diakui pula sesuai
dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia tertanggal 7 November 2017.
Dengan banyaknya agama maupun aliran kepercayaan yang ada di Indonesia, konflik antar
agama sering kali tidak terelakkan. Lebih dari itu, kepemimpinan politis Indonesia memainkan
peranan penting dalam hubungan antar kelompok maupun golongan. Program
transmigrasi secara tidak langsung telah menyebabkan sejumlah konflik di wilayah timur
Indonesia.
B. SEJARAH AGAMA
Jika kita berbicara tentang asal usul agama, nama-nama seperti Muhammad, Buddha,
Konghucu, dan Yesus terlintas dalam benak orang-orang dari berbagai agama. Dalam hampir
setiap agama, ada seorang tokoh utama yang diakui sebagai pendiri ’iman yang benar’. Beberapa
di antaranya adalah reformis yang menentang penyembahan berhala. Yang lainnya, filsuf moral.
Yang lain lagi, pahlawan rakyat yang tidak mementingkan diri. Banyak dari mereka
meninggalkan tulisan atau kata-kata mutiara yang menjadi dasar suatu agama baru. Lambat laun,
apa yang mereka katakan dan lakukan dikembangkan, dibumbui, dan diberi kesan mistis.
Walaupun pribadi-pribadi ini dianggap sebagai pendiri agama-agama besar yang kita kenal, perlu
diperhatikan bahwa mereka tidak benar-benar menciptakan agama. Dalam kebanyakan kasus,
ajaran mereka berkembang dari gagasan-gagasan keagamaan yang sudah ada, meskipun sebagian
besar pendiri mengaku bahwa sumber ajaran mereka terilham.
Sebagai contoh, menurut sejarah yang dapat dikatakan akurat, Buddha dulunya adalah seorang
pangeran yang terkejut melihat penderitaan dan keadaan yang memilukan di sekelilingnya dalam
masyarakat yang didominasi oleh Hinduisme. Buddhisme adalah hasil pencariannya akan jalan
keluar dari problem-problem kehidupan yang menyedihkan. Demikian pula, Muhammad sangat
resah melihat penyembahan berhala dan perbuatan amoral dalam ibadat di sekelilingnya. Ia
belakangan mengaku menerima wahyu istimewa dari Allah, yang kemudian disusun menjadi
Quran serta menjadi dasar suatu gerakan agama baru, Islam. Protestanisme muncul dari
Katolikisme sebagai hasil Reformasi yang dimulai pada awal abad ke-16, ketika Martin Luther
memprotes penjualan surat pengampunan dosa oleh gereja Katolik pada masa itu.
Jadi, sehubungan dengan agama-agama yang ada sekarang, tersedia cukup banyak informasi
mengenai asal usul dan perkembangannya, para pendirinya, tulisan-tulisan sucinya, dan
sebagainya. Tetapi, bagaimana dengan agama-agama yang ada sebelum itu dan bahkan yang
lebih awal lagi? Jika kita mundur cukup jauh dalam sejarah, cepat atau lambat kita akan
dihadapkan pada pertanyaan: Bagaimana asal mulanya agama? Jelaslah, untuk mendapatkan
jawabannya, kita harus mempertimbangkan faktor-faktor di luar agama-agama itu sendiri.
Penelitian mengenai asal usul dan perkembangan agama merupakan bidang yang relatif baru.
Selama berabad-abad, orang sedikit banyak telah menganut agama yang diwarisi sejak lahir dan
yang diperoleh dari lingkungan mereka. Kebanyakan orang puas dengan penjelasan yang mereka
dapatkan dari nenek moyang mereka, merasa bahwa agama merekalah yang benar. Mereka
hampir tidak pernah mempunyai alasan untuk bertanya-tanya, atau untuk merasa perlu
menyelidiki bagaimana, kapan, atau mengapa sesuatu ada. Bahkan, selama berabad-abad, karena
terbatasnya sarana transportasi dan komunikasi, tidak banyak orang yang tahu bahwa ada
berbagai sistem keagamaan lain.
Upaya yang sudah dilakukan untuk mengetahui bagaimana dan mengapa ada agama
Namun, pada abad ke-19, keadaan mulai berubah. Teori evolusi cepat menyebar di
kalangan cendekiawan. Hal itu, sejalan dengan munculnya penelitian ilmiah, menyebabkan
banyak orang mempertanyakan sistem-sistem yang sudah ada, termasuk agama. Menyadari
terbatasnya petunjuk yang mereka dapatkan dari agama yang ada, beberapa pakar beralih ke
peninggalan-peninggalan peradaban masa awal atau ke ujung-ujung dunia, tempat orang-
orang masih hidup dalam masyarakat primitif. Mereka mencoba menerapkan metode-
metode psikologi, sosiologi, antropologi, dan sebagainya, dengan harapan mendapatkan
petunjuk tentang bagaimana dan mengapa ada agama.
Apa hasilnya? Tiba-tiba, muncul banyak teori, tampaknya sebanyak jumlah penelitinya,
yang saling bertentangan dan saling berupaya mengalahkan dalam hal kehebatan dan
keaslian. Ada yang sampai pada kesimpulan yang berbobot, tetapi ada juga yang hasil
penelitiannya dilupakan. Mendapatkan pandangan sekilas mengenai hasil-hasil penelitian ini
akan menambah pengetahuan sekaligus membuka mata kita. Dengan demikian, kita dapat
dibantu untuk lebih mengerti perilaku religius orang-orang yang kita jumpai.
3. Politeisme
Politeisme barasal dari bahasa Yunani poly ("banyak") and theos ("Tuhan") dan istilah ini
pertama kali dipakai oleh penulis Yahudi Philo dari Alexandria untuk membantah orang-
orang Yunani. Saat penyebaran agama Kristen diseluruh Eropa and Mediterania, bangsa
ataupun agama non-Yahudi dianggap kafir (istilah yang lazim dipakai orang yahudi ke orang
non-Yahudi) atau penyambah berhala (setempat) atau, in a clearly pejorative idolaters
(worshiping "false" gods). The modern usage of the term is first revived in French through
Jean Bodin in 1580, followed by Samuel Purchas's usage in English in 1614.
Para dewa politeisme sering digambarkan sebagai tokoh yang kompleks dari status yang
lebih besar atau lebih kecil, dengan keterampilan individu, kebutuhan, keinginan, dan
sejarah; dalam banyak hal mirip dengan manusia (antropomorfik) dalam kepribadian
mereka, tetapi dengan tambahan masing-masing kekuatan, kemampuan, pengetahuan atau
persepsi. Syirik tidak dapat dipisahkan dengan bersih dari kepercayaan animisme lazim di
kebanyakan agama rakyat. Para dewa politeisme dalam banyak kasus urutan tertinggi dari
kontinum makhluk gaib atau roh, yang mungkin termasuk nenek moyang, setan, wight dan
lain-lain.
Dalam beberapa kasus roh ini dibagi ke dalam kelas langit atau chthonic, dan keyakinan
akan keberadaan semua makhluk ini tidak berarti bahwa semua disembah.
KEKRISTENAN
2. Kristen Protestan
Pemakaman seorang kepala suku Kristen di Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi (1971).
Rumah didekorasi dengan salinan lukisan Perjamuan Terakhir oleh Leonardo da Vinci.
Kristen Protestan berkembang di Indonesia selama masa kolonial Belanda (VOC) pada
sekitar abad ke-16. Kebijakan VOC yang mereformasi Katolik dengan sukses berhasil
meningkatkan jumlah penganut paham Protestan di Indonesia. Agama ini berkembang
dengan sangat pesat pada abad ke-20 yang ditandai oleh kedatangan para misionaris
dari Eropa ke beberapa wilayah di Indonesia, seperti di wilayah barat Papua dan lebih
sedikit di kepulauan Sunda. Pada 1965, ketika terjadi perebutan kekuasaan, orang-orang
tidak beragama dianggap sebagai orang-orang yang tidak ber-Tuhan.
Protestan membentuk suatu perkumpulan minoritas penting di beberapa wilayah. Sebagai
contoh, di pulau Sulawesi, 17% penduduknya adalah Protestan, terutama di Tana
Toraja dan Sulawesi Utara. Sekitar 80% penduduk di Tana Toraja adalah Protestan. Di
Indonesia, terdapat tiga provinsi yang mayoritas penduduknya adalah Protestan,
yaitu Papua, Sulawesi Utara, dan Papua Barat, dengan persentase berurutan 65,48%,
63,60%, dan 53,77% dari jumlah penduduk. Di Papua, ajaran Protestan telah dipraktikkan
secara baik oleh penduduk asli. Di Ambon, ajaran Protestan mengalami perkembangan yang
sangat besar beriringan dengan agama Islam. Di Sulawesi Utara, kaum Minahasa, berpindah
agama ke Protestan pada sekitar abad ke-18. Saat ini, kebanyakan dari penduduk Suku
Batak di Sumatra Utara menjalankan beberapa aliran Protestan. Selain itu, para transmigran
dari pulau Jawa dan Madura yang beragama Islam juga mulai berdatangan. Saat ini, 6,69%
dari jumlah penduduk Indonesia adalah penganut Protestan.
3. Kristen Katolik
Pada abad ke-14 dan ke-15 entah sebagai kelanjutan umat di Barus atau bukan ternyata
ada kesaksian bahwa abad ke-14 dan ke-15 telah ada umat Kristen Katolik Roma di Sumatra
Selatan. Kristen Katolik tiba di Indonesia saat kedatangan bangsa Portugis, yang kemudian
diikuti bangsa Spanyol yang berdagang rempah-rempah.
Pada abad ke-16, Portugis dan Spanyol mulai memperluas pengaruhnya di Manado dan
kawasan Minahasa, serta mencapai Flores dan Timor. Portugis dan Spanyol berperan
menyebarkan agama Kristen Katolik, namun hal tersebut tidak bertahan lama
sejak VOC berhasil mengusir Spanyol dan Portugis dari Sulawesi Utara dan Maluku. VOC
pun mulai menguasai Sulawesi Utara, untuk melindungi kedudukannya di Maluku. Selama
masa VOC, banyak penyebar dan penganut agama Katolik Roma yang ditangkap. Belanda
adalah negara basis Protestan, dan penganut Katolik dianggap sebagai kaki-tangan Spanyol
dan Portugis, musuh politik dan ekonomi VOC. Karena alasan itulah VOC mulai
menerapkan kebijakan yang membatasi dan melarang penyebaran agama Katolik. Yang
paling terdampak adalah umat Katolik di Sulawesi Utara, Flores dan Timor. Di Sulawesi
Utara kini mayoritas adalah penganut Protestan. Meskipun demikian umat Katolik masih
bertahan menjadi mayoritas di Flores, hingga kini Katolik adalah agama mayoritas di Nusa
Tenggara Timur. Diskriminasi terhadap umat Katolik berakhir ketika Belanda dikalahkan
oleh Prancis dalam era perang Napoleon. Pada tahun 1806, Louis Bonaparte, adik Napoleon
I yang penganut Katolik diangkat menjadi Raja Belanda, atas perintahnya agama Katolik
bebas berkembang di Hindia Belanda.
Agama Katolik mulai berkembang di Jawa Tengah ketika Frans van Lith menetap
di Muntilan pada 1896 dan menyebarkan iman Katolik kepada rakyat setempat. Mulanya
usahanya tidak membawa hasil yang memuaskan, hingga tahun 1904 ketika empat kepala
desa dari daerah Kalibawang memintanya menjelaskan mengenai Katolik. Pada 15
Desember 1904, sebanyak 178 orang Jawa dibaptis di Semagung, Muntilan, Magelang.
Di Indonesia, terdapat satu provinsi yang mayoritas penduduknya adalah penganut Katolik,
yaitu Nusa Tenggara Timur dengan persentase 54,14% dari populasi penduduk provinsi
tersebut.
4. Hindu
Kebudayaan dan agama Hindu tiba di Indonesia pada abad pertama Masehi, bersamaan
waktunya dengan kedatangan agama Buddha, yang kemudian menghasilkan sejumlah
kerajaan Hindu-Buddha seperti Kutai, Mataram, dan Majapahit. Candi Prambanan adalah
kuil Hindu yang dibangun semasa kerajaan Majapahit, semasa dinasti Sanjaya.
Agama Hindu di Indonesia berbeda dengan Hindu lainnya di dunia. Sebagai contoh, Hindu
di Indonesia, secara formal ditunjuk sebagai agama Hindu Dharma, tidak pernah
menerapkan sistem kasta. Contoh lain adalah, bahwa epos keagamaan
Hindu Mahabharata (Pertempuran Besar Keturunan Bharata) dan Ramayana (Perjalanan
Rama), menjadi tradisi penting para pengikut Hindu di Indonesia, yang dinyatakan dalam
bentuk wayang dan pertunjukan tari. Semua praktisi agama Hindu Dharma berbagi
kepercayaan dengan banyak orang umum, kebanyakan adalah Lima Keyakinan Panca Srada.
Ini meliputi kepercayaan satu Yang Maha Kuasa Tuhan, kepercayaan di dalam jiwa dan
semangat, serta karma atau kepercayaan akan hukuman tindakan timbal balik. Dibanding
kepercayaan atas siklus kelahiran kembali dan reinkarnasi, Hindu di Indonesia lebih terkait
dengan banyak sekali yang berasal dari nenek moyang roh. Sebagai tambahan, agama Hindu
di sini lebih memusatkan pada seni dan upacara agama dibanding kitab, hukum dan
kepercayaan.
Menurut catatan, jumlah penganut Hindu di Indonesia pada tahun 2010 adalah 4 juta orang,
1,7% dari jumlah penduduk Indonesia, merupakan nomor empat terbesar. Namun jumlah ini
diperdebatkan oleh perwakilan Hindu Indonesia yang memberi suatu perkiraan bahwa ada
10 juta orang Hindu. Kebanyakan mutlak penganut Hindu berada di Bali dan bersatu
dalam Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI). Selain Bali juga terdapat di Sumatra, Jawa
(teristimewa kawasan Jabodetabek), Lombok, Kalimantan, dan Sulawesi. yang juga
memiliki populasi pendatang suku Bali cukup besar. Orang Hindu Tamil dari suku India-
Indonesia di Medan mewakili konsentrasi Hindu penting lain.
Di Kalimantan Tengah berada umat Hindu Kaharingan, agama asli suku Dayak yang
digabungkan ke dalam agama Hindu (tidak semua penganutnya setuju), pula ada Agama
Hindu Jawa suku Tengger, Hindu Tolotang suku Bugis, dan Aluk Todolo suku Toraja.
Agama Hindu Jawa telah terbentuk dengan cara yang berbeda sehingga lebih dipengaruhi
oleh versi Islam mereka sendiri, yang dikenal sebagai Islam Abangan atau Islam Kejawen
Telah pula disajikan beberapa gerakan Neo-Vedanta/Neohindu antarabangsa, seperti
misalnya, Masyarakat Internasional Kesadaran Kresna dan organisasi dari Sathya Sai
Baba, Chinmaya Mission, Brahma Kumaris, Ananda Marga, Sahaja Yoga, dan Haidakhandi
Samaj.
5. Buddha
Buddha merupakan agama tertua kedua di Indonesia, tiba telah pada sekitar abad ke-
5 masehi atau sebelumnya dengan aktivitas perdagangan yang mulai pada awal abad
pertama melalui Jalur Sutra antara India dan Nusantara. Sejarah Buddha di Indonesia
berhubungan erat dengan sejarah Hindu, sejumlah kerajaan Buddha telah dibangun sekitar
periode yang sama: kerajaan Sailendra, Sriwijaya dan Mataram. Sejumlah warisan dapat
ditemukan di Indonesia, mencakup candi Borobudur dan patung atau prasasti dari sejarah
Kerajaan Buddha yang lebih awal.
Pada pertengahan tahun 1960-an, dalam Pancasila ditekankan lagi pengakuan akan satu
Tuhan (monoteisme). Sebagai hasilnya, pendiri Perbuddhi (Persatuan Buddha Indonesia),
Bhikku Ashin Jinarakkhita, mengusulkan bahwa ada satu dewata tertinggi, Sanghyang Adi
Buddha dan satu aliran bersatu Buddhayana.
Hal ini didukung dengan sejarah di belakang versi Buddha Indonesia pada masa lampau
menurut naskah Jawa kuno dan bentuk candi Borobudur.
6. Konghucu
Agama Konghucu berasal dari Tiongkok daratan dan yang dibawa oleh para pedagang
Tionghoa dan imigran, diperkirakan sedari abad ke-3 Masehi. Konghucu lebih
menitikberatkan pada kepercayaan dan praktik yang individual, lepas daripada kode etik
melakukannya, bukannya suatu agama masyarakat yang terorganisir dengan baik, atau jalan
hidup atau pergerakan sosial. Pada tahun 1883 di Surabaya didirikan tempat ibadah
Khonghucu — Boen Tjhiang Soe, dan kemudian menjadi Boen Bio (Wen Miao). Di tahun
1900 pemeluk Konghucu membentuk lembaga Konghucu Khong Kauw Hwee. Dan Majelis
Tinggi Agama Konghucu Indonesia (MATAKIN) menjadi pada tahun 1955 di Surakarta.
Setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, umat Konghucu di Indonesia terikut oleh
beberapa huru-hara politis dan telah digunakan untuk beberapa kepentingan politis. Pada
1965, Soekarno mengeluarkan sebuah keputusan presiden No. 1/Pn.Ps/1965 1/Pn.Ps/1965,
di mana agama resmi di Indonesia menjadi enam, termasuklah Konghucu. Pada awal tahun
1961, Asosiasi Khung Chiao Hui Indonesia (PKTHI), suatu organisasi Konghucu,
mengumumkan bahwa aliran Konghucu merupakan suatu agama
dan Confucius adalah nabi mereka.
Tahun 1967, Soekarno digantikan oleh Soeharto, menandai era Orde Baru. Di bawah
pemerintahan Soeharto, perundang-undangan anti Tiongkok telah diberlakukan demi
keuntungan dukungan politik dari orang-orang, terutama setelah kejatuhan PKI, yang
diklaim telah didukung oleh Tiongkok. Soeharto mengeluarkan instruksi presiden No.
14/1967, mengenai kultur Tionghoa, peribadatan, perayaan Tionghoa, serta menghimbau
orang Tionghoa untuk mengubah nama asli mereka. Bagaimanapun, Soeharto mengetahui
bagaimana cara mengendalikan Tionghoa-Indonesia, masyarakat yang hanya 3% dari
populasi penduduk Indonesia, tetapi memiliki pengaruh dominan di sektor perekonomian
Indonesia. Pada tahun yang sama, Soeharto menyatakan bahwa “Konghucu berhak
mendapatkan suatu tempat pantas di dalam negeri” di depan konferensi PKTHI.
Pada tahun 1969, UU No. 5/1969 dikeluarkan, menggantikan keputusan presiden tahun 1967
mengenai enam agama resmi. Namun, hal ini berbeda dalam praktiknya. Pada 1978, Menteri
Dalam Negeri mengeluarkan keputusan bahwa hanya ada lima agama resmi, tidak termasuk
Konghucu. Pada tanggal 27 Januari 1979, dalam suatu pertemuan kabinet, dengan kuat
memutuskan bahwa Konghucu bukanlah suatu agama. Keputusan Menteri Dalam Negeri
telah dikeluarkan pada tahun 1990 yang menegaskan bahwa hanya ada lima agama resmi di
Indonesia.
Karenanya, status Konghucu di Indonesia pada era Orde Baru tidak pernah jelas. De jure,
berlawanan hukum, di lain pihak hukum yang lebih tinggi mengizinkan Konghucu, tetapi
hukum yang lebih rendah tidak mengakuinya. De facto, Konghucu tidak diakui oleh
pemerintah dan pengikutnya wajib menjadi agama lain (biasanya Kristen atau Buddha)
untuk menjaga kewarganegaraan mereka. Praktik ini telah diterapkan di banyak sektor,
termasuk dalam kartu tanda penduduk, pendaftaran perkawinan, dan bahkan dalam
pendidikan kewarga negaraan di Indonesia yang hanya mengenalkan lima agama resmi.
Setelah reformasi Indonesia tahun 1998, ketika kejatuhan Soeharto, Abdurrahman
Wahid dipilih menjadi presiden yang keempat. Wahid mencabut instruksi presiden No.
14/1967 dan keputusan Menteri Dalam Negeri tahun 1978. Agama Konghucu kini secara
resmi dianggap sebagai agama di Indonesia. Kultur Tionghoa dan semua yang terkait
dengan aktivitas Tionghoa kini diizinkan untuk dipraktikkan. Warga Tionghoa Indonesia
dan pemeluk Konghucu kini dibebaskan untuk melaksanakan ajaran dan tradisi mereka.
Seperti agama lainnya di Indonesia yang secara resmi diakui oleh negara, maka Tahun Baru
Imlek telah menjadi hari libur keagamaan resmi.
KESIMPULAN
Semua agama pada dasarnya mengatakan bahwa manusia tidak, dan tidak dapat, berdiri
sendiri. Kehidupannya berkaitan dengan dan bahkan bergantung pada kekuatan di Alam dan
Masyarakat di luar dirinya sendiri. Secara samar-samar atau jelas, ia tahu bahwa ia bukan pusat
kekuatan yang berdiri sendiri yang sanggup terpisah dari dunia.”
Demikian pula, buku World Religions—From Ancient History to the Present mengatakan,
”Penelitian atas agama memperlihatkan bahwa suatu segi penting dari agama adalah kerinduan
akan nilai dalam kehidupan, kepercayaan bahwa kehidupan bukanlah suatu kebetulan dan tanpa
arti. Pencarian akan arti tersebut menghasilkan kepercayaan bahwa ada suatu kekuatan yang
lebih besar daripada manusia, dan akhirnya bahwa ada suatu pikiran yang universal atau
adimanusiawi yang memiliki niat dan keinginan untuk mempertahankan nilai-nilai yang paling
luhur bagi kehidupan manusia.”
Maka, agama memuaskan kebutuhan dasar manusia, sebagaimana makanan memuaskan rasa
lapar kita. Kita tahu bahwa makan sembarangan sewaktu perut kita kosong mungkin akan
menghilangkan rasa lapar; namun, dalam jangka panjang, ini akan merusak kesehatan. Agar kita
sehat, kita membutuhkan makanan yang menyehatkan dan bergizi. Demikian juga, kita
membutuhkan makanan rohani yang sehat agar tetap sehat secara rohani.