Anda di halaman 1dari 12

AGAMA

“SEJARAH AGAMA DI INDONESIA”

DISUSUN OLEH :
- BAYU SAPUTRA
- BELA NIMAS CAHAYA

Akademi Refraksi Optisi LEPRINDO

Jl. Ciputat Molek Selatan Blok S1C, Pisangan, Kec. Ciputat Timur

Kota Tangerang Selatan 15419


PEMBAHASAN

A. AGAMA DI INDONESIA
Dinyatakan dalam ideologi bangsa Indonesia, Pancasila: “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ini
adalah kompromi antara gagasan negara Islam dan negara sekuler. Sejumlah agama di Indonesia
berpengaruh secara kolektif terhadap politik, ekonomi dan budaya. Menurut penelitian penduduk
Indonesia adalah pemeluk Islam 87%, Protestan, 7%, Katolik, 3%, Hindu, 1,7%, Buddha,
0,7%, Konghucu, 0,05% agama lainnya, dan 0,45% tidak terjawab atau tidak ditanyakan.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa "tiap-tiap penduduk diberikan kebebasan
untuk memilih dan mempraktikkan kepercayaannya" dan "menjamin semuanya akan kebebasan
untuk menyembah, menurut agama atau kepercayaannya". Dalam Penetapan Presiden No 1 Tahun
1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, bagaimanapun, secara
resmi hanya mengakui enam agama, yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan
Khonghucu.[8] Baru-baru ini, aliran kepercayaan (agama asli Nusantara) telah diakui pula sesuai
dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia tertanggal 7 November 2017.
Dengan banyaknya agama maupun aliran kepercayaan yang ada di Indonesia, konflik antar agama
sering kali tidak terelakkan. Lebih dari itu, kepemimpinan politis Indonesia memainkan peranan
penting dalam hubungan antar kelompok maupun golongan. Program transmigrasi secara tidak
langsung telah menyebabkan sejumlah konflik di wilayah timur Indonesia.
B. SEJARAH AGAMA

Jika kita berbicara tentang asal usul agama, nama-nama seperti Muhammad, Buddha,
Konghucu, dan Yesus terlintas dalam benak orang-orang dari berbagai agama. Dalam hampir
setiap agama, ada seorang tokoh utama yang diakui sebagai pendiri ’iman yang benar’. Beberapa
di antaranya adalah reformis yang menentang penyembahan berhala. Yang lainnya, filsuf moral.
Yang lain lagi, pahlawan rakyat yang tidak mementingkan diri. Banyak dari mereka meninggalkan
tulisan atau kata-kata mutiara yang menjadi dasar suatu agama baru. Lambat laun, apa yang mereka
katakan dan lakukan dikembangkan, dibumbui, dan diberi kesan mistis.
Walaupun pribadi-pribadi ini dianggap sebagai pendiri agama-agama besar yang kita kenal, perlu
diperhatikan bahwa mereka tidak benar-benar menciptakan agama. Dalam kebanyakan kasus,
ajaran mereka berkembang dari gagasan-gagasan keagamaan yang sudah ada, meskipun sebagian
besar pendiri mengaku bahwa sumber ajaran mereka terilham.
Sebagai contoh, menurut sejarah yang dapat dikatakan akurat, Buddha dulunya adalah seorang
pangeran yang terkejut melihat penderitaan dan keadaan yang memilukan di sekelilingnya dalam
masyarakat yang didominasi oleh Hinduisme. Buddhisme adalah hasil pencariannya akan jalan
keluar dari problem-problem kehidupan yang menyedihkan. Demikian pula, Muhammad sangat
resah melihat penyembahan berhala dan perbuatan amoral dalam ibadat di sekelilingnya. Ia
belakangan mengaku menerima wahyu istimewa dari Allah, yang kemudian disusun menjadi
Quran serta menjadi dasar suatu gerakan agama baru, Islam. Protestanisme muncul dari
Katolikisme sebagai hasil Reformasi yang dimulai pada awal abad ke-16, ketika Martin Luther
memprotes penjualan surat pengampunan dosa oleh gereja Katolik pada masa itu.
Jadi, sehubungan dengan agama-agama yang ada sekarang, tersedia cukup banyak informasi
mengenai asal usul dan perkembangannya, para pendirinya, tulisan-tulisan sucinya, dan
sebagainya. Tetapi, bagaimana dengan agama-agama yang ada sebelum itu dan bahkan yang lebih
awal lagi? Jika kita mundur cukup jauh dalam sejarah, cepat atau lambat kita akan dihadapkan
pada pertanyaan: Bagaimana asal mulanya agama? Jelaslah, untuk mendapatkan jawabannya, kita
harus mempertimbangkan faktor-faktor di luar agama-agama itu sendiri.
Penelitian mengenai asal usul dan perkembangan agama merupakan bidang yang relatif baru.
Selama berabad-abad, orang sedikit banyak telah menganut agama yang diwarisi sejak lahir dan
yang diperoleh dari lingkungan mereka. Kebanyakan orang puas dengan penjelasan yang mereka
dapatkan dari nenek moyang mereka, merasa bahwa agama merekalah yang benar. Mereka hampir
tidak pernah mempunyai alasan untuk bertanya-tanya, atau untuk merasa perlu menyelidiki
bagaimana, kapan, atau mengapa sesuatu ada. Bahkan, selama berabad-abad, karena terbatasnya
sarana transportasi dan komunikasi, tidak banyak orang yang tahu bahwa ada berbagai sistem
keagamaan lain.

• Upaya yang sudah dilakukan untuk mengetahui bagaimana dan mengapa ada agama

Namun, pada abad ke-19, keadaan mulai berubah. Teori evolusi cepat menyebar di
kalangan cendekiawan. Hal itu, sejalan dengan munculnya penelitian ilmiah, menyebabkan
banyak orang mempertanyakan sistem-sistem yang sudah ada, termasuk agama. Menyadari
terbatasnya petunjuk yang mereka dapatkan dari agama yang ada, beberapa pakar beralih ke
peninggalan-peninggalan peradaban masa awal atau ke ujung-ujung dunia, tempat orang-
orang masih hidup dalam masyarakat primitif. Mereka mencoba menerapkan metode-metode
psikologi, sosiologi, antropologi, dan sebagainya, dengan harapan mendapatkan petunjuk
tentang bagaimana dan mengapa ada agama.

• Hasil berbagai penelitian mengenai asal usul agama

Apa hasilnya? Tiba-tiba, muncul banyak teori, tampaknya sebanyak jumlah penelitinya,
yang saling bertentangan dan saling berupaya mengalahkan dalam hal kehebatan dan keaslian.
Ada yang sampai pada kesimpulan yang berbobot, tetapi ada juga yang hasil penelitiannya
dilupakan. Mendapatkan pandangan sekilas mengenai hasil-hasil penelitian ini akan
menambah pengetahuan sekaligus membuka mata kita. Dengan demikian, kita dapat dibantu
untuk lebih mengerti perilaku religius orang-orang yang kita jumpai.

KEPERCAYAAN PADA MASA PRIMITIF


1. Animisme
Sebuah teori, yang umumnya disebut teori animisme, dikemukakan oleh seorang
antropolog asal Inggris, Edward Tylor (1832-1917). Ia mengemukakan bahwa pengalaman
seperti mimpi, penglihatan, halusinasi, ditambah dengan fakta bahwa mayat tidak bernyawa
lagi menyebabkan orang-orang primitif menyimpulkan bahwa tubuh dihuni oleh suatu jiwa
(Latin, anima).
Menurut teori ini, karena orang sering bermimpi tentang orang-orang tercinta yang sudah
meninggal, mereka menyimpulkan bahwa jiwa tetap hidup setelah kematian, bahwa jiwa-
meninggalkan tubuh dan mendiami pohon, batu karang, sungai, dan sebagainya. Akhirnya,
orang mati dan benda-benda yang konon dihuni oleh jiwa disembah sebagai dewa-dewi.
Maka, kata Tylor, lahirlah agama. Seorang antropolog lain asal Inggris, R. R. Marett (1866-
1943), mengajukan perbaikan atas teori animisme, yang ia sebut teori animatisme. Setelah
meneliti berbagai kepercayaan orang Melanesia di Kepulauan Pasifik serta penduduk asli
Afrika dan Amerika, Marett menyimpulkan bahwa orang-orang primitif tidak menganggap
jiwa itu suatu pribadi, tetapi bahwa ada suatu kekuatan abstrak atau tenaga gaib yang
menghidupkan segala sesuatu; kepercayaan itu membangkitkan perasaan hormat dan takut
dalam diri manusia, yang menjadi dasar untuk agama primitif mereka. Menurut Marett, agama
pada dasarnya merupakan tanggapan emosional manusia terhadap apa yang tidak diketahui.
Pernyataannya yang terkenal ialah bahwa agama ”sebenarnya bukan hasil pemikiran
melainkan luapan batin”.
2. Dinamisme
Dinamisme adalah kepercayaan bahwa segala sesuatu mempunyai tenaga atau
kekuatan yang dapat memengaruhi keberhasilan atau kegagalan usaha manusia dalam
mempertahankan hidup. Mereka percaya terhadap kekuatan gaib dan kekuatan itu dapat
menolong mereka. Kekuatan gaib itu terdapat di dalam benda-benda seperti keris, patung,
gunung, pohon besar, dll. Untuk mendapatkan pertolongan kekuatan gaib tersebut, mereka
melakukan upacara pemberian sesaji, atau ritual lainnya.

3. Politeisme
Politeisme barasal dari bahasa Yunani poly ("banyak") and theos ("Tuhan") dan istilah ini
pertama kali dipakai oleh penulis Yahudi Philo dari Alexandria untuk membantah orang-orang
Yunani. Saat penyebaran agama Kristen diseluruh Eropa and Mediterania, bangsa ataupun
agama non-Yahudi dianggap kafir (istilah yang lazim dipakai orang yahudi ke orang non-
Yahudi) atau penyambah berhala (setempat) atau, in a clearly pejorative idolaters (worshiping
"false" gods). The modern usage of the term is first revived in French through Jean Bodin in
1580, followed by Samuel Purchas's usage in English in 1614.
Para dewa politeisme sering digambarkan sebagai tokoh yang kompleks dari status yang lebih
besar atau lebih kecil, dengan keterampilan individu, kebutuhan, keinginan, dan sejarah;
dalam banyak hal mirip dengan manusia (antropomorfik) dalam kepribadian mereka, tetapi
dengan tambahan masing-masing kekuatan, kemampuan, pengetahuan atau persepsi. Syirik
tidak dapat dipisahkan dengan bersih dari kepercayaan animisme lazim di kebanyakan agama
rakyat. Para dewa politeisme dalam banyak kasus urutan tertinggi dari kontinum makhluk gaib
atau roh, yang mungkin termasuk nenek moyang, setan, wight dan lain-lain.
Dalam beberapa kasus roh ini dibagi ke dalam kelas langit atau chthonic, dan keyakinan akan
keberadaan semua makhluk ini tidak berarti bahwa semua disembah.

C. SEJARAH AGAMA DI INDONESIA


Berdasarkan sejarah, kelompok pendatang telah menjadi pendorong utama
keanekaragaman agama dan budaya di dalam negeri dengan pendatang
dari India, Tiongkok, Portugal, Arab, dan Belanda. Bagaimanapun, hal ini sudah berubah sejak
beberapa perubahan telah dibuat untuk menyesuaikan budaya di Indonesia.
• Agama Hindu dan Buddha telah dibawa ke Indonesia sekitar abad ke-2 dan abad ke-4 Masehi
ketika pedagang dari India datang ke Sumatra, Jawa dan Sulawesi dengan membawa agama
mereka. Hindu mulai berkembang di pulau Jawa pada abad kelima Masehi dengan kasta
Brahmana yang memuja Siva. Pedagang juga mengembangkan ajaran Buddha pada abad
berikut lebih lanjut dan sejumlah ajaran Buddha dan Hindu telah memengaruhi kerajaan-
kerajaan kaya, seperti Kutai, Sriwijaya, Majapahit dan Sailendra. Sebuah candi Buddha
terbesar di dunia, Borobudur, telah dibangun oleh Kerajaan Sailendra pada waktu yang sama,
begitu pula dengan candi Hindu, Prambanan juga dibangun. Puncak kejayaan Hindu-Jawa,
Kerajaan Majapahit, terjadi pada abad ke-14 M, yang juga menjadi zaman keemasan dalam
sejarah Indonesia.
• Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13 melalui pedagang di Gujarat, India,[12] sementara
ilmuwan juga mempertahankan teori dari Arab dan Persia.[14] Islam menyebar sampai pantai
barat Sumatra dan kemudian berkembang ke timur pulau Jawa. Pada periode ini terdapat
beberapa kerajaan Islam, yaitu kerajaan Demak, Pajang, Mataram dan Banten. Pada akhir
abad ke-15 M, 20 kerajaan Islam telah dibentuk, mencerminkan dominasi Islam di Indonesia.
• Kristen Katolik dibawa masuk ke Indonesia oleh bangsa Portugis, khususnya di
pulau Flores dan Timor.
• Kristen Protestan pertama kali diperkenalkan oleh bangsa Belanda pada abad ke-16 M dengan
pengaruh ajaran Calvinis dan Lutheran. Wilayah penganut animisme di wilayah Indonesia
bagian Timur, dan bagian lain, merupakan tujuan utama orang-orang Belanda,
termasuk Maluku, Nusa Tenggara, Papua dan Kalimantan. Kemudian, Kristen menyebar
melalui pelabuhan pantai Borneo, kaum misionaris pun tiba di Toraja, Sulawesi. Wilayah
Sumatra juga menjadi target para misionaris ketika itu, khususnya adalah orang-orang Batak,
dimana banyak saat ini yang menjadi pemeluk Protestan.
Periode Orde Lama Sukarno (dari tahun 1945 hingga 1965) adalah gangguan antara agama
dan negara.[19] Perubahan penting terhadap agama-agama juga terjadi sepanjang era Orde Baru.
Antara tahun 1964 dan 1965, ketegangan antara PKI dan pemerintah Indonesia, bersama dengan
beberapa organisasi, mengakibatkan terjadinya konflik dan pembunuhan terburuk pada abad ke-
20. Atas dasar peristiwa itu, pemerintahan Orde Baru mencoba untuk menindak para pendukung
PKI, dengan menerapkan suatu kebijakan yang mengharuskan semua untuk memilih suatu agama,
karena kebanyakan pendukung PKI adalah ateis. Sebagai hasilnya, tiap-tiap warganegara
Indonesia diharuskan untuk membawa kartu identitas pribadi yang menandakan agama mereka.
Kebijakan ini mengakibatkan suatu perpindahan agama secara massal.
1. Islam
Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia. Mayoritas
muslim dapat dijumpai di wilayah barat Indonesia (seperti di Jawa dan Sumatra) hingga
wilayah pesisir Pulau Kalimantan. Sedangkan di wilayah timur Indonesia, persentase
penganutnya tidak sebesar di kawasan barat. Pada abad ke-13, sebagian besar pedagang orang
Islam dari Gujarat, India tiba di pulau Sumatra, Jawa dan Kalimantan (misalnya, sekitar tahun
1297 telah ada jemaah di Peureulak, Aceh Timur). Hindu yang dominan beserta kerajaan
Buddha, seperti Majapahit dan Sriwijaya, mengalami kemunduran, dimana banyak
pengikutnya berpindah agama ke Islam. Dalam jumlah yang lebih kecil, banyak penganut
Hindu yang berpindah ke Bali, sebagian Jawa dan Sumatra. Dalam beberapa kasus, ajaran
Islam di Indonesia dipraktikkan dalam bentuk yang berbeda jika dibandingkan dengan Islam
daerah Timur Tengah.
a. Sunni
Kebanyakan mutlak, sekitar 98% umat Muslim di Indonesia adalah penganut
aliran Sunni dari mazhab Syafi'i dan sebagian mazhab-mazhab Sunni lainnya serta
gerakan Salafiyah. Dua jurusan Sunni utrama ialah Islam Tradisionalis (semisal,
ormas Nahdlatul 'Ulama) dan Modernisme Islam (Muhammadiyah, dan lain-lain). Berada
sejumlah tarekat dari Sufisme (Tasawuf).
b. Syiah
Aliran Syiah memainkan peran penting dalam periode awal penyebaran Islam di
Sumatra Utara (Aceh).[31] Kini, sisanya, di atas 1% pengikut, yakni 1—3 juta orang, adalah
Syiah mazhab Dua Belas Imam, Islam Syiah di Indonesia berada di Sumatra,
Jawa, Madura, dan Sulawesi, dan juga mazhab Ismailiyah di Bali. Semisal di antara
subsuku Hadhrami Arab-Indonesia. Perkumpulannya utama yalah “Ikatan Jamaah
Ahlulbait Indonesia” (IJABI).
c. Ahmadiyyah
Ada pula sekitar 400 ribu (0,2%) pemeluk aliran Ahmadiyyah (“Jamaah Muslim
Ahmadiyah Indonesia”) JMAI yang kehadirannya belakangan ini sering
dipertanyakan. Ahmadiyyah di Indonesia telah hadir sejak tahun 1925. Pada tanggal 9 Juni
2008, pemerintah Indonesia mengeluarkan sebuah surat keputusan yang praktis melarang
Ahmadiyah melakukan aktivitasnya ke luar. Dalam surat keputusan itu dinyatakan bahwa
Ahmadiyah dilarang menyebarkan ajarannya. Dari Ahmadiyyah utama memisahkan diri
“Gerakan Ahmadiyah-Lahore Indonesia” (GAI) lebih kecil yang di Jawa sejak tahun 1924.
KEKRISTENAN

Kekristenan, yakni Gereja Asiria Timur beraliran Nestorianisme telah hadir di Nusantara
di Sumatra Utara pada abad ke-7. Fakta ini ditegaskan kembali oleh (Alm) Prof. Dr. Sucipto
Wirjosuprapto. Fakta ini dapat dimengerti dengan penelitian dan rentetan berita dan kesaksian
yang tersebar dalam jangka waktu dan tempat yang lebih luas. Berita tersebut dapat dibaca dalam
sejarah kuno karangan seorang ahli sejarah Shaykh Abu Salih al-Armini yang menulis buku
"Daftar berita-berita tentang Gereja-gereja dan pertapaan dari provinsi Mesir dan tanah-tanah di
luarnya". yang memuat berita tentang 707 gereja dan 181 pertapaan Serani yang tersebar di Mesir,
Nubia, Abbessinia, Afrika Barat, Spanyol, Arabia, India dan Indonesia. Dengan terus dilakukan
penyelidikan berita dari Abu Salih al-Armini kita dapat mengambil kesimpulan kota Barus yang
dahulu disebut Pancur dan saat ini terletak di dalam Keuskupan Sibolga di Sumatra Utara adalah
tempat kediaman umat Katolik tertua di Indonesia. Di Barus juga telah berdiri sebuah Gereja
dengan nama Gereja Bunda Perawan Murni Maria (Gereja Katolik di Indonesia, seri 1, diterbitkan
oleh KWI).

2. Kristen Protestan
Pemakaman seorang kepala suku Kristen di Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi (1971).
Rumah didekorasi dengan salinan lukisan Perjamuan Terakhir oleh Leonardo da Vinci.
Kristen Protestan berkembang di Indonesia selama masa kolonial Belanda (VOC) pada sekitar
abad ke-16. Kebijakan VOC yang mereformasi Katolik dengan sukses berhasil meningkatkan
jumlah penganut paham Protestan di Indonesia. Agama ini berkembang dengan sangat pesat
pada abad ke-20 yang ditandai oleh kedatangan para misionaris dari Eropa ke beberapa
wilayah di Indonesia, seperti di wilayah barat Papua dan lebih sedikit di kepulauan Sunda.
Pada 1965, ketika terjadi perebutan kekuasaan, orang-orang tidak beragama dianggap sebagai
orang-orang yang tidak ber-Tuhan.
Protestan membentuk suatu perkumpulan minoritas penting di beberapa wilayah. Sebagai
contoh, di pulau Sulawesi, 17% penduduknya adalah Protestan, terutama di Tana
Toraja dan Sulawesi Utara. Sekitar 80% penduduk di Tana Toraja adalah Protestan. Di
Indonesia, terdapat tiga provinsi yang mayoritas penduduknya adalah Protestan,
yaitu Papua, Sulawesi Utara, dan Papua Barat, dengan persentase berurutan 65,48%, 63,60%,
dan 53,77% dari jumlah penduduk. Di Papua, ajaran Protestan telah dipraktikkan secara baik
oleh penduduk asli. Di Ambon, ajaran Protestan mengalami perkembangan yang sangat besar
beriringan dengan agama Islam. Di Sulawesi Utara, kaum Minahasa, berpindah agama ke
Protestan pada sekitar abad ke-18. Saat ini, kebanyakan dari penduduk Suku Batak di Sumatra
Utara menjalankan beberapa aliran Protestan. Selain itu, para transmigran dari
pulau Jawa dan Madura yang beragama Islam juga mulai berdatangan. Saat ini, 6,69% dari
jumlah penduduk Indonesia adalah penganut Protestan.
3. Kristen Katolik
Pada abad ke-14 dan ke-15 entah sebagai kelanjutan umat di Barus atau bukan ternyata ada
kesaksian bahwa abad ke-14 dan ke-15 telah ada umat Kristen Katolik Roma di Sumatra
Selatan. Kristen Katolik tiba di Indonesia saat kedatangan bangsa Portugis, yang kemudian
diikuti bangsa Spanyol yang berdagang rempah-rempah.
Pada abad ke-16, Portugis dan Spanyol mulai memperluas pengaruhnya di Manado dan
kawasan Minahasa, serta mencapai Flores dan Timor. Portugis dan Spanyol berperan
menyebarkan agama Kristen Katolik, namun hal tersebut tidak bertahan lama
sejak VOC berhasil mengusir Spanyol dan Portugis dari Sulawesi Utara dan Maluku. VOC
pun mulai menguasai Sulawesi Utara, untuk melindungi kedudukannya di Maluku. Selama
masa VOC, banyak penyebar dan penganut agama Katolik Roma yang ditangkap. Belanda
adalah negara basis Protestan, dan penganut Katolik dianggap sebagai kaki-tangan Spanyol
dan Portugis, musuh politik dan ekonomi VOC. Karena alasan itulah VOC mulai menerapkan
kebijakan yang membatasi dan melarang penyebaran agama Katolik. Yang paling terdampak
adalah umat Katolik di Sulawesi Utara, Flores dan Timor. Di Sulawesi Utara kini mayoritas
adalah penganut Protestan. Meskipun demikian umat Katolik masih bertahan menjadi
mayoritas di Flores, hingga kini Katolik adalah agama mayoritas di Nusa Tenggara Timur.
Diskriminasi terhadap umat Katolik berakhir ketika Belanda dikalahkan oleh Prancis dalam
era perang Napoleon. Pada tahun 1806, Louis Bonaparte, adik Napoleon I yang penganut
Katolik diangkat menjadi Raja Belanda, atas perintahnya agama Katolik bebas berkembang
di Hindia Belanda.
Agama Katolik mulai berkembang di Jawa Tengah ketika Frans van Lith menetap
di Muntilan pada 1896 dan menyebarkan iman Katolik kepada rakyat setempat. Mulanya
usahanya tidak membawa hasil yang memuaskan, hingga tahun 1904 ketika empat kepala desa
dari daerah Kalibawang memintanya menjelaskan mengenai Katolik. Pada 15 Desember
1904, sebanyak 178 orang Jawa dibaptis di Semagung, Muntilan, Magelang.
Di Indonesia, terdapat satu provinsi yang mayoritas penduduknya adalah penganut Katolik,
yaitu Nusa Tenggara Timur dengan persentase 54,14% dari populasi penduduk provinsi
tersebut.
4. Hindu
Kebudayaan dan agama Hindu tiba di Indonesia pada abad pertama Masehi, bersamaan
waktunya dengan kedatangan agama Buddha, yang kemudian menghasilkan sejumlah
kerajaan Hindu-Buddha seperti Kutai, Mataram, dan Majapahit. Candi Prambanan adalah
kuil Hindu yang dibangun semasa kerajaan Majapahit, semasa dinasti Sanjaya.
Agama Hindu di Indonesia berbeda dengan Hindu lainnya di dunia. Sebagai contoh, Hindu di
Indonesia, secara formal ditunjuk sebagai agama Hindu Dharma, tidak pernah menerapkan
sistem kasta. Contoh lain adalah, bahwa epos keagamaan Hindu Mahabharata (Pertempuran
Besar Keturunan Bharata) dan Ramayana (Perjalanan Rama), menjadi tradisi penting para
pengikut Hindu di Indonesia, yang dinyatakan dalam bentuk wayang dan pertunjukan tari.
Semua praktisi agama Hindu Dharma berbagi kepercayaan dengan banyak orang umum,
kebanyakan adalah Lima Keyakinan Panca Srada. Ini meliputi kepercayaan satu Yang Maha
Kuasa Tuhan, kepercayaan di dalam jiwa dan semangat, serta karma atau kepercayaan akan
hukuman tindakan timbal balik. Dibanding kepercayaan atas siklus kelahiran kembali
dan reinkarnasi, Hindu di Indonesia lebih terkait dengan banyak sekali yang berasal dari nenek
moyang roh. Sebagai tambahan, agama Hindu di sini lebih memusatkan pada seni dan upacara
agama dibanding kitab, hukum dan kepercayaan.
Menurut catatan, jumlah penganut Hindu di Indonesia pada tahun 2010 adalah 4 juta orang,
1,7% dari jumlah penduduk Indonesia, merupakan nomor empat terbesar. Namun jumlah ini
diperdebatkan oleh perwakilan Hindu Indonesia yang memberi suatu perkiraan bahwa ada 10
juta orang Hindu. Kebanyakan mutlak penganut Hindu berada di Bali dan bersatu
dalam Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI). Selain Bali juga terdapat di Sumatra, Jawa
(teristimewa kawasan Jabodetabek), Lombok, Kalimantan, dan Sulawesi. yang juga memiliki
populasi pendatang suku Bali cukup besar. Orang Hindu Tamil dari suku India-
Indonesia di Medan mewakili konsentrasi Hindu penting lain.
Di Kalimantan Tengah berada umat Hindu Kaharingan, agama asli suku Dayak yang
digabungkan ke dalam agama Hindu (tidak semua penganutnya setuju), pula ada Agama
Hindu Jawa suku Tengger, Hindu Tolotang suku Bugis, dan Aluk Todolo suku Toraja.
Agama Hindu Jawa telah terbentuk dengan cara yang berbeda sehingga lebih dipengaruhi oleh
versi Islam mereka sendiri, yang dikenal sebagai Islam Abangan atau Islam Kejawen
Telah pula disajikan beberapa gerakan Neo-Vedanta/Neohindu antarabangsa, seperti
misalnya, Masyarakat Internasional Kesadaran Kresna dan organisasi dari Sathya Sai
Baba, Chinmaya Mission, Brahma Kumaris, Ananda Marga, Sahaja Yoga, dan Haidakhandi
Samaj.
5. Buddha
Buddha merupakan agama tertua kedua di Indonesia, tiba telah pada sekitar abad ke-5 masehi
atau sebelumnya dengan aktivitas perdagangan yang mulai pada awal abad pertama
melalui Jalur Sutra antara India dan Nusantara. Sejarah Buddha di Indonesia berhubungan erat
dengan sejarah Hindu, sejumlah kerajaan Buddha telah dibangun sekitar periode yang sama:
kerajaan Sailendra, Sriwijaya dan Mataram. Sejumlah warisan dapat ditemukan di Indonesia,
mencakup candi Borobudur dan patung atau prasasti dari sejarah Kerajaan Buddha yang lebih
awal.
Pada pertengahan tahun 1960-an, dalam Pancasila ditekankan lagi pengakuan akan satu Tuhan
(monoteisme). Sebagai hasilnya, pendiri Perbuddhi (Persatuan Buddha Indonesia),
Bhikku Ashin Jinarakkhita, mengusulkan bahwa ada satu dewata tertinggi, Sanghyang Adi
Buddha dan satu aliran bersatu Buddhayana.
Hal ini didukung dengan sejarah di belakang versi Buddha Indonesia pada masa lampau
menurut naskah Jawa kuno dan bentuk candi Borobudur.
6. Konghucu
Agama Konghucu berasal dari Tiongkok daratan dan yang dibawa oleh para pedagang
Tionghoa dan imigran, diperkirakan sedari abad ke-3 Masehi. Konghucu lebih
menitikberatkan pada kepercayaan dan praktik yang individual, lepas daripada kode etik
melakukannya, bukannya suatu agama masyarakat yang terorganisir dengan baik, atau jalan
hidup atau pergerakan sosial. Pada tahun 1883 di Surabaya didirikan tempat ibadah
Khonghucu — Boen Tjhiang Soe, dan kemudian menjadi Boen Bio (Wen Miao). Di tahun
1900 pemeluk Konghucu membentuk lembaga Konghucu Khong Kauw Hwee. Dan Majelis
Tinggi Agama Konghucu Indonesia (MATAKIN) menjadi pada tahun 1955 di Surakarta.
Setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, umat Konghucu di Indonesia terikut oleh
beberapa huru-hara politis dan telah digunakan untuk beberapa kepentingan politis. Pada
1965, Soekarno mengeluarkan sebuah keputusan presiden No. 1/Pn.Ps/1965 1/Pn.Ps/1965, di
mana agama resmi di Indonesia menjadi enam, termasuklah Konghucu. Pada awal tahun 1961,
Asosiasi Khung Chiao Hui Indonesia (PKTHI), suatu organisasi Konghucu, mengumumkan
bahwa aliran Konghucu merupakan suatu agama dan Confucius adalah nabi mereka.
Tahun 1967, Soekarno digantikan oleh Soeharto, menandai era Orde Baru. Di bawah
pemerintahan Soeharto, perundang-undangan anti Tiongkok telah diberlakukan demi
keuntungan dukungan politik dari orang-orang, terutama setelah kejatuhan PKI, yang diklaim
telah didukung oleh Tiongkok. Soeharto mengeluarkan instruksi presiden No. 14/1967,
mengenai kultur Tionghoa, peribadatan, perayaan Tionghoa, serta menghimbau orang
Tionghoa untuk mengubah nama asli mereka. Bagaimanapun, Soeharto mengetahui
bagaimana cara mengendalikan Tionghoa-Indonesia, masyarakat yang hanya 3% dari
populasi penduduk Indonesia, tetapi memiliki pengaruh dominan di sektor perekonomian
Indonesia. Pada tahun yang sama, Soeharto menyatakan bahwa “Konghucu berhak
mendapatkan suatu tempat pantas di dalam negeri” di depan konferensi PKTHI.
Pada tahun 1969, UU No. 5/1969 dikeluarkan, menggantikan keputusan presiden tahun 1967
mengenai enam agama resmi. Namun, hal ini berbeda dalam praktiknya. Pada 1978, Menteri
Dalam Negeri mengeluarkan keputusan bahwa hanya ada lima agama resmi, tidak termasuk
Konghucu. Pada tanggal 27 Januari 1979, dalam suatu pertemuan kabinet, dengan kuat
memutuskan bahwa Konghucu bukanlah suatu agama. Keputusan Menteri Dalam Negeri telah
dikeluarkan pada tahun 1990 yang menegaskan bahwa hanya ada lima agama resmi di
Indonesia.
Karenanya, status Konghucu di Indonesia pada era Orde Baru tidak pernah jelas. De jure,
berlawanan hukum, di lain pihak hukum yang lebih tinggi mengizinkan Konghucu, tetapi
hukum yang lebih rendah tidak mengakuinya. De facto, Konghucu tidak diakui oleh
pemerintah dan pengikutnya wajib menjadi agama lain (biasanya Kristen atau Buddha) untuk
menjaga kewarganegaraan mereka. Praktik ini telah diterapkan di banyak sektor, termasuk
dalam kartu tanda penduduk, pendaftaran perkawinan, dan bahkan dalam pendidikan kewarga
negaraan di Indonesia yang hanya mengenalkan lima agama resmi.
Setelah reformasi Indonesia tahun 1998, ketika kejatuhan Soeharto, Abdurrahman
Wahid dipilih menjadi presiden yang keempat. Wahid mencabut instruksi presiden No.
14/1967 dan keputusan Menteri Dalam Negeri tahun 1978. Agama Konghucu kini secara
resmi dianggap sebagai agama di Indonesia. Kultur Tionghoa dan semua yang terkait dengan
aktivitas Tionghoa kini diizinkan untuk dipraktikkan. Warga Tionghoa Indonesia dan
pemeluk Konghucu kini dibebaskan untuk melaksanakan ajaran dan tradisi mereka. Seperti
agama lainnya di Indonesia yang secara resmi diakui oleh negara, maka Tahun Baru
Imlek telah menjadi hari libur keagamaan resmi.
KESIMPULAN

Semua agama pada dasarnya mengatakan bahwa manusia tidak, dan tidak dapat, berdiri
sendiri. Kehidupannya berkaitan dengan dan bahkan bergantung pada kekuatan di Alam dan
Masyarakat di luar dirinya sendiri. Secara samar-samar atau jelas, ia tahu bahwa ia bukan pusat
kekuatan yang berdiri sendiri yang sanggup terpisah dari dunia.”

Demikian pula, buku World Religions—From Ancient History to the Present mengatakan,
”Penelitian atas agama memperlihatkan bahwa suatu segi penting dari agama adalah kerinduan
akan nilai dalam kehidupan, kepercayaan bahwa kehidupan bukanlah suatu kebetulan dan tanpa
arti. Pencarian akan arti tersebut menghasilkan kepercayaan bahwa ada suatu kekuatan yang lebih
besar daripada manusia, dan akhirnya bahwa ada suatu pikiran yang universal atau adimanusiawi
yang memiliki niat dan keinginan untuk mempertahankan nilai-nilai yang paling luhur bagi
kehidupan manusia.”

Maka, agama memuaskan kebutuhan dasar manusia, sebagaimana makanan memuaskan rasa lapar
kita. Kita tahu bahwa makan sembarangan sewaktu perut kita kosong mungkin akan
menghilangkan rasa lapar; namun, dalam jangka panjang, ini akan merusak kesehatan. Agar kita
sehat, kita membutuhkan makanan yang menyehatkan dan bergizi. Demikian juga, kita
membutuhkan makanan rohani yang sehat agar tetap sehat secara rohani.

Anda mungkin juga menyukai