Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR

OLEH:
KHALILURRAHMAN
(1814401170)

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN


UNIVERSITAS PERINTIS INDONESIA
TP: 2020/2021
1. Definisi/Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan
oleh rudapaksa (Mansjoer et al, 2000).
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik.
(Price, 2006).
Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang
datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang (Linda Juall)

2. Epidemiologi
Insiden fraktur terbuka sebesar 4% dari seluruh fraktur dengan perbandingan laki-
laki dan perempuan sebesar 3,64 berbanding 1, dengan kejadian terbanyak pada
kelompok umur decade kedua dan ketiga yang relative mempunyai aktivitas fisik
dan mobilitas yang tinggi. Pada analisis epidemiologi menunjukkan bahwa 40%
fraktur terbuka terjadi pada ekstremitas bawah, terutama daerah tibia dan femur
tengah.

3. Etiologi
Adapun penyebab dari frakturadalah :
a. Trauma
1) Trauma langsung
Trauma langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan.Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan
garis patah melintang atau miring.
2) Trauma tidak langsung
Trauma tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh
dari tempat terjadinya kekerasan dan yang patah biasanya adalah bagian
yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.

b. Kondisi patologi : kekurangan mineral sampai batas tertentu pada tulang dapat
menyebabkan patah tulang: contohnya osteoporosis, tumor tulang (tumor yang
menyerap kalsium tulang)
c. Mekanisme Cedera
Pada cedera tulang belakang mekanisme cedera yang mungkin adalah:
(Apley, 2000)
1) Hiperekstensi (kombinasi distraksi dan ekstensi). Hiperekstensi jarang
terjadi di daerah torakolumbal tetapi sering pada leher,pukulan pada muka
atau dahi akan memaksa kepala ke belakang dan tanpamenyangga oksiput
sehingga kepala membentur bagian atas punggung.Ligamen anterior dan
diskus dapat rusak atau arkus saraf mungkinmengalami fraktur. cedera ini
stabil karena tidak merusak ligamen posterior.
2) Fleksi Trauma ini terjadi akibat fleksi dan disertai kompresi pada
vertebra.Vertebra akan mengalami tekanan dan remuk yang dapat
merusakligamen posterior. Jika ligamen posterior rusak maka sifat fraktur
ini tidak stabil sebaliknya jika ligamentum posterior tidak rusak maka
fraktur bersifat stabil. Pada daerah cervical, tipe subluksasi ini sering
terlewatkan karena pada saat dilakukan pemeriksaan sinar-X vertebra telah
kembali ketempatnya.
3) Fleksi dan kompresi digabungkan dengan distraksi posterior Kombinasi
fleksi dengan kompresi anterior dan distraksi posterior dapatmengganggu
kompleks vertebra pertengahan di samping kompleks posterior. Fragmen
tulang dan bahan diskus dapat bergeser ke dalam kanalis spinalis. Berbeda
dengan fraktur kompresi murni, keadaan ini merupakan cedera tak stabil
dengan risiko progresi yang tinggi. Fleksi lateral yang terlalu banyak dapat
menyebabkan kompresi padasetengah corpus vertebra dan distraksi pada
unsur lateral dan posterior pada sisi sebaliknya. Kalau permukaan dan
pedikulus remuk, lesi bersifat tidak stabil.
4) Pergeseran aksial (kompresi). Kekuatan vertikal yang mengenai segmen
lurus pada spina servikal atau lumbal akan menimbulkan kompresi aksial.
Nukleus pulposus akan mematahkanlempeng vertebra dan menyebabkan
fraktur vertikal pada vertebra; dengankekuatan yang lebih besar, bahan
diskus didorong masuk ke dalam badanvertebral, menyebabkan fraktur
remuk ( burst fracture). Karena unsur posterior utuh, keadaan ini
didefinisikan sebagai cedera stabil. Fragmen tulang dapat terdorong ke
belakang ke dalam kanalis spinalis dan inilah yang menjadikan fraktur ini
berbahaya; kerusakan neurologik sering terjadi.
5) Rotasi-fleksi. Cedera spina yang paling berbahaya adalah akibat kombinasi
fleksi danrotasi. Ligamen dan kapsul sendi teregang sampai batas
kekuatannya, kemudian dapat robek, permukaan sendi dapat mengalami
fraktur atau bagian atas dari satu vertebra dapat terpotong. Akibat dari
mekanisme iniadalah pergeseran atau dislokasi ke depan pada vertebra di
atas, denganatau tanpa dibarengi kerusakan tulang. Semua fraktur-dislokasi
bersifat tak stabil dan terdapat banyak risiko munculnya kerusakan
neurologik.
6) Translasi Horizontal Kolumna vertebralis teriris dan segmen bagian atas
atau bawah dapat bergeser ke anteroposterior atau ke lateral. Lesi bersifat
tidak stabil dan sering terjadi kerusakan syaraf.

d. Cedera Torakolumbal
Penyebab tersering cedera torakolumbal adalah jatuh dari ketinggian
serta kecelakaan lalulintas.Jatuh dari ketinggian dapat menimbulkan patah
tulang vertebra tipe kompresi. Pada kecelakaan lalulintas dengan kecepatan
tinggi dan tenaga besar sering didapatkan berbagai macam kombinasi gaya,
yaitu fleksi, rotasi,maupun ekstensi sehingga tipe frakturnya adalah fraktur
dislokasi (Jong, 2005).
Terdapat dua tipe berdasarkan kestabilannya, yaitu: (Apley, 2000)
1) Cedera stabil : jika bagian yang terkena tekanan hanya bagian medulla
spinalis anterior, komponen vertebral tidak bergeser dengan pergerakan
normal, ligamen posterior tidak rusak sehingga medulla spinalis tidak
terganggu, fraktur kompresi adalah contoh cedera stabil.
2) Cedera tidak stabil artinya cedera yang dapat bergeser dengan
gerakannormal karena ligamen posteriornya rusak atau robek, Fraktur
medulla spinalis disebut tidak stabil jika kehilangan integritas dari ligament
posterior.

Berdasarkan mekanisme cederanya dapat dibagi menjadi: (Apley, 2000)


1) Fraktur kompresi ( Wedge fractures)
Adanya kompresi pada bagian depan corpus vertebralis yang tertekan dan
membentuk patahan irisan. Fraktur kompresi adalah fraktur tersering yang
mempengaruhi kolumna vertebra. Fraktur ini dapat disebabkan oleh
kecelakaan jatuh dari ketinggian dengan posisi terduduk ataupun mendapat
pukulan di kepala, osteoporosis dan adanya metastase kanker dari tempat
lain ke vertebra kemudian membuat bagian vertebra tersebut menjadi lemah
dan akhirnya mudah mengalami fraktur kompresi. Vertebra dengan fraktur
kompresi akan menjadi lebih pendek ukurannya dari pada ukuran vertebra
sebenarnya.
2) Fraktur remuk (Burst fractures)
Fraktur yang terjadi ketika ada penekanan corpus vertebralis
secaralangsung, dan tulang menjadi hancur.Fragmen tulang berpotensi
masuk kekanalis spinais.Terminologi fraktur ini adalah menyebarnya tepi
korpusvertebralis kearah luar yang disebabkan adanya kecelakaan yang
lebih beratdibanding fraktur kompresi.tepi tulang yang menyebar atau
melebar itu akanmemudahkan medulla spinalis untuk cedera dan ada
fragmen tulang yangmengarah ke medulla spinalis dan dapat menekan
medulla spinalis danmenyebabkan paralisi atau gangguan syaraf parsial.
Tipe burst fracture sering terjadi pada thoraco lumbar junction dan
terjadi paralysis pada kakidan gangguan defekasi ataupun miksi. Diagnosis
burst fracture ditegakkan dengan x-rays dan CT scan untuk mengetahui
letak fraktur dan menentukan apakah fraktur tersebut merupakan fraktur
kompresi, burst fracture ataufraktur dislokasi. Biasanya dengan scan MRI
fraktur ini akan lebih jelas mengevaluasi trauma jaringan lunak, kerusakan
ligamen dan adanya perdarahan.
3) Fraktur dislokasi
Terjadi ketika ada segmen vertebra berpindah dari tempatnya karena
kompresi, rotasi atau tekanan.Ketiga kolumna mengalami kerusakan
sehingga sangat tidak stabil, cedera ini sangat berbahaya.Terapi tergantung
apakah ada atau tidaknya korda atau akar syaraf yang rusak. Kerusakan
akan terjadi pada ketiga bagian kolumna vertebralis dengan kombinasi
mekanisme kecelakaan yang terjadi yaitu adanya kompresi,
penekanan,rotasi dan proses pengelupasan. Pengelupasan komponen akan
terjadi dariposterior ke anterior dengan kerusakan parah pada ligamentum
posterior, fraktur lamina, penekanan sendi facet dan akhirnya kompresi
korpus vertebraanterior. Namun dapat juga terjadi dari bagian anterior ke
posterior.Kolumn avertebralis. Pada mekanisme rotasi akan terjadi fraktur
pada prosesus transversus dan bagian bawah costa. Fraktur akan melewati
lamina danseringnya akan menyebabkan dural tears dan keluarnya serabut
syaraf.
4) Cedera pisau lipat (Seat belt fractures)
Sering terjadi pada kecelakaan mobil dengan kekuatan tinggi dan tiba-tiba
mengerem sehingga membuat vertebrae dalam keadaan fleksi,
dislokasifraktur sering terjadi pada thoracolumbar junction.Kombinasi
fleksi dan distraksi dapat menyebabkan tulang belakang pertengahan
menbetuk pisau lipat dengan poros yang bertumpu pada bagian kolumna
anterior vertebralis.Pada cedera sabuk pengaman, tubuh penderita terlempar
kedepan melawantahanan tali pengikat. Korpus vertebra kemungkinan dapat
hancur selanjutnya kolumna posterior dan media akan rusak sehingga
fraktur ini termasuk jenis fraktur tidak stabil.

4. Klasifikasi
a. Menurut Depkes RI (1995), berdasarkan luas dan garis traktur meliputi:
1) Fraktur komplit adalah patah atau diskontinuitas jaringan tulang yang luas
sehingga tulang terbagi menjadi dua bagian dan garis patahnya
menyeberang dari satu sisi ke sisi lain serta mengenai seluruh korteks.
2) Fraktur inkomplit adalah patah atau diskontinuitas jaringan tulang dengan
garis patah tidak menyeberang, sehingga tidak mengenai seluruh korteks
(masih ada korteks yang utuh).

b. Menurut Black dan Matassarin (1993) yaitu fraktur berdasarkan hubungan


dengan dunia luar, meliputi:
1) Fraktur tertutup yaitu fraktur tanpa adanya komplikasi, kulit masih utuh,
tulang tidak keluar melewati kulit.
2) Fraktur terbuka yaitu fraktur yang merusak jaringan kulit, karena adanya
hubungan dengan lingkungan luar, maka fraktur terbuka potensial terjadi
infeksi. Fraktur terbuka dibagi menjadi 3 grade yaitu:
a) Grade I : Robekan kulit dengan kerusakan kulit dan otot.
b) Grade II : Seperti grade I dengan memar kulit dan otot.
c) Grade III : Luka sebesar 6-8 cm dengan kerusakan pembuluh darah,
syaraf, otot dan kulit.

c. Long (1996) membagi fraktur berdasarkan garis patah tulang, yaitu:


1) Green Stick yaitu pada sebelah sisi dari tulang ( retak dibawah lapisan
periosteum) / tidak mengenai seluruh kortek, sering terjadi pada anak-anak
dengan tulang lembek.
2) Transverse yaitu patah melintang ( yang sering terjadi ).
3) Longitudinal yaitu patah memanjang.
4) Oblique yaitu garis patah miring.
5) Spiral yaitu patah melingkar.
6) Communited yaitu patah menjadi beberapa fragmen kecil

d. Black dan Matassarin (1993) mengklasifikasi lagi fraktur berdasarkan


kedudukan fragmen yaitu:
1) Tidak ada dislokasi
2) Adanya dislokasi, yang dibedakan menjadi:
a) Disklokasi at axim yaitu membentuk sudut.
b) Dislokasi at lotus yaitu fragmen tulang menjauh.
c) Dislokasi at longitudinal yaitu berjauhan memanjang.
d) Dislokasi at lotuscum controltinicum yaitu fragmen tulang menjauh dan
memendek

5. Patofisiologi
Antara Vertebra Th I dan Th X, Segmen korda lumbal pertama pada orang
dewasa berada pada tingkat vertebraT10. Akibatnya, transeksi korda pada tingkat
itu akan menghindarkan korda torakstetapi mengisolasikan seluruh korda, lumbal
dan sakral, disertai paralisis tungkaibawah dan visera. Akar toraks bagian bawah
juga dapat mengalami transeksi tetapitak banyak pengaruhnya.
Di Bawah Vertebra Th X. Korda membentuk suatu tonjolan kecil (konus
medularis) di antara vertebra T I dan LI,dan meruncing pada antar ruang di antara
vertebra LI dan L2. Akar saraf L2 sampaiS4 muncul dari konus medularis dan
beraturanan turun dalam suatu kelompok(cauda equina) untuk muncul pada tingkat
yang berturutan pada spina lumbosakral.Karena itu, cedera spinal di atas vertebra
T10 menyebabkan transeksi korda, cederadi antara vertebra T10 dan LI dapat
menyebabkan lesi korda dan lesi akar saraf, dancedera di bawah vertebra Ll hanya
menyebabkan lesi akar. Akar sakralmempersarafi: (1) sensasi dalam daerah
"pelana", suatu jalur di sepanjang bagianbelakang paha dan tungkai bawah, dan dua
pertiga sebelah luar tapak kaki; (2) tenaga motorik pada otot yang mengendalikan
pergelangan kaki dan kaki: (3) refleks anal danpenis, respons plantar dan refleks
pergelangan kaki; dan (4) pengendalian kencing. Akar lumbal mempersarafi: (1)
sensasi pada seluruh tungkai bawah selain bagianyang dipasok oleh segmen sakral;
(2) tenaga motorik pada otot yang mengendalikanpinggul dan lutut: dan (3) refleks
kremaster dan refleks lutut..Bila cedera tulangberada pada sambungan
torakolumbal, penting untuk membedakan antara transeksikorda tanpa kerusakan
akar dan transeksi korda dengan transeksi akar.Pasien tanpakerusakan akar jauh
lebih baik daripada pasien dengan transeksi korda dan akar.
 Lesi Korda Lengkap
Paralisis Iengkap dan anestesi di bawah tingkat cedera menunjukkan
transeksi korda.Selama stadium syok spinal, bila tidak ada refleks anal (tidak
lebih dari 24 jampertama) diagnosis tidak dapat ditegakkan dan jika refleks anal
pulih kembali dandefisit saraf terus berlanjut, lesi korda bersifat lengkap. Setiap
lesi lengkap yangberlangsung lebih dari 72 jam tidak akan sembuh.
 Lesi Korda Tidak Lengkap
Adanya sisa sensasi apapun di bagian distal cedera (uji menusukkan
peniti didaerah perianal ) menunjukkan lesi tak lengkap sehingga prognosis
baik.Penyembuhan dapat berlanjut sampai 6 bulan setelah cedera.
Penyembuhan paling sering terjadi pada sindroma korda central di mana
kelemahan adalah hasil awal diikutidengan paralisis neuron motorik bawah
pada tungkai atas dengan paralisis neuronmotorik atas (spastik) pada tungkai
bawah, dan tetap ada kemampuan pengendalian kandung kemih dan sensasi
perianal (sakral terhindar).Pada sindroma kordaanterior yang lebih jarang
terjadi, terdapat paralisis lengkap dan anestesi tetapi tekanan dalam dan indera
posisi tetap ad pada tungkai bawah (kolom dorsalterhindar). Pada sindroma
korda posterior yang agak jarang terjadi (hanya tekanandalam dan propriosepsi
yang hilang), dan sindroma Brown Sequard (hemiseksi korda,dengan paralisis
ipsilateral dan hilangnya perasaan nyeri kontralateral) biasanyadisebabkan oleh
cedera toraks. Di bawah vertebra Th X, diskrepansi antara tingkat neurologik
dan tingkat rangka adalah akibat transeksi akar yang turun dari segmenyang
lebih tinggi dari lesi korda.
Grading system pada cedera medulla spinalis :
a. Klasifikasi Frankel :
1) Grade A : motoris (-), sensoris (-)
2) Grade B : motoris (-), sensoris (+)
3) Grade C : motoris (+) dengan ROM 2 atau 3, sensoris (+)
4) Grade D : motoris (+) dengan ROM 4, sensoris (+)
5) Grade E : motoris (+) normal, sensoris (+)
b. Klasifikasi ASIA (American Spinal Injury Association)
1) Grade A : motoris (-), sensoris (-) termasuk pada segmen sacral
2) Grade B : hanya sensoris (+)
3) Grade C : motoris (+) dengan kekuatan otot < 3
4) Grade D : Motoris (+) dengan kekuatan otot > 3
5) Grade E : motoris dan sensoris normal

6) Manifestasi Klinis
Menurut Lewis (2006);
a. Nyeri ; Nyeri dirasakan langsung setelah terjadi trauma. Hal ini dikarenakan
adanya spasme otot, tekanan dari patahan tulang atau kerusakan jaringan
sekitarnya.
b. Bengkak /edema ; Edema muncul lebih cepat dikarenakan cairan serosa (protein
plasma) yang terlokalisir pada daerah fraktur dan extravasi daerah di jaringan
sekitarnya.
c. Memar / ekimosis ; Merupakan perubahan warna kulit sebagai akibat dari
extravasi daerah di jaringan sekitarnya.
d. Spasme otot ; Merupakan kontraksi otot involunter yang terjadi disekitar
fraktur.
e. Penurunan sensasi ; Terjadi karena kerusakan syaraf, tertekannya syaraf karena
edema.
f. Gangguan fungsi ; Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang fraktur, nyeri
atau spasme otot, paralysis dapat terjadi karena kerusakan syaraf.
g. Mobilitas abnormal ; Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian-bagian yang
pada kondisi normalnya tidak terjadi pergerakan. Ini terjadi pada fraktur tulang
panjang.
h. Krepitasi ; Merupakan rasa gemeretak yang terjadi jika bagian-bagaian tulang
digerakkan.
i. Deformitas ; Abnormalnya posisi dari tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau
trauma dan pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi
abnormal, akan menyebabkan tulang kehilangan bentuk normalnya.

6. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Rontgen: menentukan lokasi/luasnya fraktur/luasnyatrauma, skan
tulang, temogram, scan CI: memperlihatkan fraktur juga dapat digunakan untuk
mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
b. Hitung darah lengkap : HB mungkin meningkat/menurun.
c. Kreatinin : traumaa otot meningkatkan beban kreatinin untuk ginjal.
d. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi
multiple, atau cederah hati.

7. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Medis:
1) Ada empat prinsip dasar yang harus dipertimbangkan pada waktu
menangani fraktur ( disebut empat R ) yaitu:
a) Rekognisi
Pengenalan riwayat kecelakaan : patah/ tidak. Meenentukan perkiraan
tulang yang patah.Kebutuhan pemeriksaan yang spesifik, kelainan
bentuk tulang dan ketidakstabilan. Tindakan apa yang harus cepat
dilaksanakan misalnya pemasangan bidai.
b) Reduksi
Usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen tulang yang patah
sedapat mungkin kembali seperti letak asalnya.
c) Cara pengobatan fraktur secara reduksi :
(1) Pemasangan gips
Untuk mempertimbangkan posisi fragmen fraktur.
(2) Pemasangan traksi
Menanggulangi efek dari kejang otot serta meluruskan atau
mensejajarkan ujung tulang yang fraktur.
(3) Reduksi tertutup
Digunakan traksi dan memanipulasi tulang itu sendiri dan bila
keadaan membaik maka tidak perlu diadakan pembedahan.
(4) Reduksi terbuka
Beberapa fraktur perlu pengobatan dengan pembedahan secara
reduksi terbuka, ini dilakukan dengan cara pembedahan.
d) Retensi Reduksi
Mempertahankan reduksi seperti melalui pemasangan gips atau traksi
e) Rehabilitasi
Memulihkan kembali fragmen-fragmen tulang yang patah untuk
mengembalikan ke fungsi normal.
2) Cara operatif / pembedahan
Pada saat ini metode penatalaksanaan yang paling banyak
keunggulannya mungkin adalah pembedahan.Metode perawatan ini disebut
fiksasi interna dan reduksi terbuka.
Pada umumnya insisi dilakukan pada tempat yang mengalami cedera
dan diteruskan sepanjang bidang anatomik menuju tempat yang mengalami
fraktur.Hematoma fraktur dan fragmen-fragmen tulang yang telah mati
diirigasi dari luka.Fraktur kemudian direposisi dengan tangan agar
menghasilkan posisi yang normal kembali.Sesudah direduksi, fragmen-
fragmen tulang ini dipertahankan dengan alat-alat ortopedik berupa pen,
sekrup, pelat, dan paku.

b. Penatalaksanaan Keperawatan
Perawat harus mewaspadai faktor-faktor praoperasi dan pascaoperasi yang jika
tidak dikenali dapat menjadi faktor penentu yang berdampak kurang baik
terhadap klien.
a) Praoperasi
Perawat harus mengajarkan klien untuk melatih kaki yang tidak
mengalami cidera dan kedua lengannya. Selain itu sebelum dilakukan
operasi klien harus diajrakna menggunakan trapeze yang dipasangkan di
atas tempat tidur dan di sisi pengaman tempa tidur yang berfungsi untuk
membantunya dalam mengubah posisi, klien juga perlu mempraktikan
bagaimana cara bangun dari tempat tidur dan pindah ke kursi.
b) Pascaoperasi
Perawat memantau tanda vital serta memantau asupan dan keluaran
cairan, mengawasi aktivitas pernapasan, seperti napas dalam dan batuk,
memberikan pengobatan untuk menghilangkan rasa nyeri, dan
mengobservasi balutan luka terhadap tanda-tanda infeksi dan
perdarahan. Sesudah dan sebelum reduksi fraktur, akan selalu ada resiko
mengalami gangguan sirkulasi, sensasi, dan gerakan. Tungkai klien
tetap diangkat untuk menghindari edema.Bantal pasir dapat sangat
membantu untuk mempertahankan agar tungkai tidak mengalami rotasi
eksterna. Untuk menurunkan kebutuhan akan penggunaan narkotika
dapat menggunakan transcutaneus electrical nerve stimulator (TENS).
Untuk mencegah dislokasi prosthesis, perawat harus senantiasa
menggunakan 3 bantal diantara tungkai klien ketika mengganti posisi,
pertahankan bidai abductor tungkai pada klien kecuali pada saat mandi,
hindari mengganti posisi klien ke sisi yang mengalami fraktur. Menahan
benda/beban yang berat pada ekstremitas yang terkena fraktur tidak
dapat diizinkan kecuali telah mendapatkan hasil dari bagian radiologi
yang menyatakan adanya tanda-tanda penyembuhan yang adekuat,
umumnya pada waktu 3 sampai 5 bulan

8. Komplikasi
a. Komplikasi Awal
2) Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi,
CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin
pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting,
perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
3) Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi
karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan
parut.Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot,
saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips
dan embebatan yang terlalu kuat.
4) Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering
terjadi pada kasus fraktur tulang panjang.FES terjadi karena sel-sel lemak
yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan
menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan
gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam.
5) Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan.Pada
trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke
dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena
penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
6) Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak
atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan
adanya Volkman’s Ischemia.
7) Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi.Ini
biasanya terjadi pada fraktur.
A. ASKEP TEORITIS
1. Pengkajian
a) Anamnesis
1) Identitas klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang
dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan
darah, nomer register, tanggal masuk rumah sakit, diagnosis medis (Padila,
2012).
2) Keluhan utama
Keluhan utamanya adalah rasa nyeri akut atau kronik. Selain itu klien
juga akan kesulitan beraktivitas. Untuk memperoleh pengkajian yang
lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan menurut Padila (2012) :
a. Provoking incident : Apakah ada peristiwa yang menjadi
faktor presipitasi nyeri
b. Quality of pain : Seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut,
atau menusuk
c. Region : Radiation, relief : Apakah rasa sakit bisa reda,
apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa
sakit terjadi.
d. Severity (scale) of pain : Seberapa jauh rasa nyeri yang
dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien
menerangkan seberapa jauh rasa sakit memepengaruhi
kemampuan fungsinya.
e. Time : Berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah
bertambah buruk pada malam hari atau siang hari
3) Riwayat penyakit sekarang
4) Riwayat penyakit dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan
memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung.
Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang menyebabkan fraktur
patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit
diabetes dengan luka sangat beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun
kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang (Padila,
2012).
5) Riwayat penyakit keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang
merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti
diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan dan
kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik (Padila, 2012).
6) Riwayat psikososial
Merupakan respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan
peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya
dalam kehidupan sehari-hari (Padila, 2012).
7) Pola-pola
a. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketakutan akan terjadi
kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksaan
kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu,
pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan
obat steroid yang dapat menggangu metabolisme kalsium,
pengonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya
dan apakah klien melaksanakan olahraga atau tidak (Padila, 2012).
b. Pola nutrisi dan metabolisme
Insufisiensi pancreas/DM (predisposisi untuk hipoglikemia atau
ketoasidosis), malnutrisi termasuk obesitas, membran mukosa
kering karena pembatasan pemasukan atau periode post puasa
(Doenges dalam Jitowiyono dan Kristiyanasari, 2010). Pada klien
fraktur harus mengonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-
harinya seperti kalsium, zat besi, protein,vitamin untuk membantu
proses penyembuhan tulang dan pantau keseimbangan cairan
(Padila, 2012).
c. Pola eliminasi
Pantau pengeluaran urine frekuensi, kepekatannya, warna, bau,
dan jumlah apakah terjadi retensi urine.Retensi urine dapat
disebabkan oleh posisi berkemih yang tidak alamiah, pembesaran
prostat dan adanya tanda infeksi saluran kemih Kaji frekuensi,
konsistensi, warna, serta bau feses.
d. Pola tidur dan istirahat
Klien akan merasakan nyeri, keterbatasan gerak sehingga hal
ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu
juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana
lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan
obat tidur (Padila, 2012).Tidak dapat beristirahat, peningkatan
ketegangan, peka terhadap rangsang, stimulasi simpatis.
e. Pola aktivitas
Timbulnya nyeri, keterbatasan gerak maka semua bentuk
kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu
banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah
bentuk aktivitas (Padila, 2012).
f. Pola hubungan dan peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan masyarakat
karena klien harus menjalani rawat inap (Padila, 2012).
g. Persepsi dan konsep diri
Dampak yang timbul pada klien adalah rasa takut akan
kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan
aktivitas secara optimal dan pandangan dirinya yang salah (Padila,
2012).
h. Pola sensori dan kognitif
Klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian
fraktur, sedangkan pada indera yang lainnya tidak timbul gangguan
begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan (Padila,
2012).
i. Pola reproduksi seksual
Klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus
menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri.Selain
itu, klien juga perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah
anak, lama perkawinannya (Padila, 2012).
j. Pola penanggulangan stress
Perasaan cemas, takut, marah, apatis, faktor-faktor stress
multiple seperti masalah finansial, hubungan, gaya hidup (Doenges
dalam Jitowiyono dan Kristiyanasari, 2010).
k. Timbul kecemasan akan kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya.
Mekanisme koping yang ditempuh klien biasanya tidak efektif
(Padila, 2012).
l. Pola tata nilai dan keyakinan
Klien tidak dapat melakukan kebutuhan beribadah dengan baik
terutama frekuensi dan konsentrasi (Padila, 2012).
b) Pemeriksaan fisik menurut Suratun dkk (2008) antara lain :
1) Keadaan umum :
a. Kesadaran penderita : apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis
tergantung pada keadaan klien.
b. Tanda-tanda vital : Kaji dan pantau potensial masalah yang
berkaitan dengan pembedahan : tanda vital, derajat kesadaran,
cairan yang keluar dari luka, suara nafas, pernafasan infeksi
kondisi yang kronis atau batuk dan merokok.
c. Pantau keseimbangan cairan
d. Observasi resiko syok hipovolemia akibat kehilangan darah pada
pembedahan mayor (frekuensi nadi meningkat, tekanan darah
turun, konfusi, dan gelisah)
e. Observasi tanda infeksi (infeksi luka terjadi 5-9 hari, flebitis
biasanya timbul selama minggu kedua) dan tanda vital
f. Kaji komplikasi tromboembolik : kaji tungkai untuk tandai nyeri
tekan, panas, kemerahan, dan edema pada betis
g. Kaji komplikasi emboli lemak : perubahan pola panas, tingkah laku,
dan tingkat kesadaran
h. Kaji kemungkinan komplikasi paru dan jantung : observasi
perubahan frekuensi frekuensi nadi, pernafasan, warna kulit, suhu
tubuh, riwayat penyakit paru, dan jantung sebelumnya
i. Kaji pernafasan : infeksi, kondisi yang kronis atau batuk dan
merokok.
2) Secara sistemik menurut Padila (2012) antara lain:
a. Sistem integumen
Terdapat eritema, suhu disekitar daerah trauma meningkat,
bengkak, edema, nyeri tekan.
b. Kepala
Tidak ada gangguan yaitu normo cephalik simetris, tidak ada
penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
c. Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek
menelan ada
d. Muka
Wajah terlihat menahan sakit, tidak ada perubahan fungsi maupun
bentuk. Tidak ada lesi, simetris, tak edema
e. Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis
f. Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal.Tidak ada lesi
atau nyeri tekan.
g. Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
h. Mulut dan faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa
mulut tidak pucat.
i. Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris
j. Paru
 Inspeksi :Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya
tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan
dengan paru
 Palpasi : Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama
 Perkusi : Suara ketok sonor, tak ada redup atau suara
tambahan lainnya
 Auskultasi : Suara nafas normal, tak ada wheezing atau suara
tambahan lainnya seperti stridor dan ronkhi
k. Jantung
 Inspeksi : Tidak tampak iktus jantung
 Palpasi :Nadi meningkat, iktus tidak teraba
 Auskultasi : Suara S1 dan S2 tunggal tak ada mur-mur
l. Abdomen
 Inspeksi : Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia
 Palpasi : Turgor baik, tidak ada defands muskuler hepar tidak
teraba
 Perkusi : Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan
 Auskultasi : Kaji bising usus
m. Inguinal-genetalis-anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, ada kesulitan buang air
besar.
n. Sistem muskuloskeletal
Tidak dapat digerakkan secara bebas dan terdapat jahitan, darah
merembes atau tidak.
3) Tindakan Kolaborasi Perawat
Penggunaaan antikoagulasi, steroid, dan antibiotik, antihipertensi,
kardiotonik glokosid, antidisritmia, bronchodilator, diuretic, dekongestan,
analgetik, anti inflamasi, anti koagulan.. Penggunaan alkohol (resiko akan
kerusakan ginjal yang mempengaruhi koagulasi dan pilihan anastesia dan
juga potensial penarikan diri post operasi (Doenges dalam Jitowiyono dan
Kristiyanasari, 2010).
4) Diagnostik menurut Istianah (2017) antara lain:
 Foto rontgen (X-ray) untuk menentukan lokasi dan luasnya fraktur.
 Scan tulang, temogram, atau scan CT/MRIB untuk memperlihatkan
fraktur lebih jelas, mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
 Anteriogram dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan
vaskuler.
 Hitung darah lengkap, hemokonsentrasi mungkin meningkat atau
menurun pada perdarahan selain itu peningkatan leukosit mungkin
terjadi sebagai respon terhadap peradangan
2. Diagnose keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis
b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri
c. Gangguan integritas jaringan berhubungan dengan penurunan mobilitas
d. Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi

3. Intervensi Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis
Tujuan Dan Kriteria Hasil
1.) Melaporkan nyeri terkontrol
2.) Kemampuan mengenali penyebab nyeri
3.) Kemampuan menggunakan teknik non farmakologis

Intervensi

Observasi
 Identifikasi lokasi nyeri,karakteristik,kualitas,durasi nyeri
 Identifikasi skala nyeri
 Indentifikasi respon nyeri non farmakologis
 Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
 Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri

Terapeutik

 Berikan teknik non farmakologis


 Control lingkungan yang memperberat rasa nyeri
 Fasilitasi istirahat dan tidur
 Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri

Edukasi

 Jelaskan penyebab dan pemicu nyeri


 Jelaskan strategi meredakan nyeri
 Ajarkan teknik non farmakologis
 Anjurkan menggunakan analgesic yang tepat

Kolaborasi

 Kolaborasi dalam pemberian analgesic,jika perlu

b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri


Tujuan Dan Kriteria Hasil
1.) Kekuatan otot meningkat
2.) Rentang gerak meningkat
3.) Kaku sendi menurun
4.) Gerakan terbatas menurun

Intervensi
Observasi
 Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lain nya
 Indentifikasi toleransi fisik melakukan pergerakkan
 Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum melakukan
mobilisasi
 Monitor kondisi umum selama melakukan mobilisasi

Terapeutik
 Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu
 Fasilitasi melakukan pergerakkan
 Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan
pergerak kan

Edukasi
 Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
 Anjurkan melakukan mobilisasi dini
 Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan misal duduk di
tempat tidur
c. Gangguan integritas jaringan berhubungan dengan penurunan mobilitas
Tujuan Dan Kriteria Hasil
1.) Nyeri berkurang
2.) Suhu tubuh membaik
3.) Perfusi jaringan meningkat

Intervensi

Observasi

 Identifikasi indikasi yang di lakukan latihan


 Monitor lokasi ketidaknyamanan atau nyeri pada saat bergerak

Terapeutik

 Cegah terjadinya cedera selama latihan gerak di lakukan


 Lakukan gerakan pasif dengan bantuan sesuai indikasi
 Berikan dukungan yang posistif pada saat melakukan pergerakkan
latihan gerak sendi
Edukasi

 Jelaskan tujuan prosedur pelaksanaan latihan


 Anjurkan duduk di tempat duduk atau di tempat tidur
 Ajarkan latihan rentang gerak sesuai dengan program

Kolaborasi

 Kolaborasi dengan fisioterapi mengembangkan program latihan

d. Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi


Tujuan Dan Kriteria Hasil
1.) Perilaku membaik
2.) Persepsi yang keliru terhadap masalah menurun
3.) Perilaku sesuai anjuran meningkat
4.) Perilaku sesuai dengan pengetahuan meningkat

Intervensi
Observasi
 Identifikasi kemampuan dan beri penguatan
 Identifikasi perilaku keluarga yang mempengaruhi pasien

Terapeutik
 Bina hubungan terapeutik dan rasa percaya dan penghargaan
 Berikan empati, kehangatan, dan kejujuran
 Tetapkan tujuan dan lama konseling
 Berikan privasi dan pertahanan kerahasiaan
 Berikan penguatan terhadap keterampilan baru
 Fasilitasi untuk mengidentifikasi masalah

Edukasi
 Anjurkan untuk mengekspresikan perasaan
 Anjurkan membuat daftar alternative penyelesaian masalah
 Anjurkan pengembangan keterampilan baru jika perlu
 Anjurkan mengganti kebiasaan maladaptif dengan adaptif
 Anjurkan untuk menunda pengambilan keputusan
4. Implementasi
Kegiatan pelaksanaan tindakan dari perencanaan untuk memenuhi kebutuhan
fisik dan emosional. Tindakan keperawatan dibedakan berdasarkan
kewenangan dan tanggung jawab secara profesional sebagaimana terdapat
dalam standar praktek keperawatan meliputi:
a. Independent
Tindakan keperawatan independent adalah suatu tindakan yang
dilaksanakan oleh perawat tanpa petunjuk dan perintah dari dokter atau
tenaga kesehatan lainnya.
b. Interdependent
Interdependen tindakan keperawatan menjelaskan suatu kegiatan yang
memerlukan suatu kerja sama dengan tenaga kesehatan lainnya,
misalnya : tenaga sosial, ahli gizi fisioterapi dan dokter.
c. Dependent
Tindakan dependent berhubungan dengan pelaksanaan rencana medis.

5. Evaluasi
Perawat dalam mengevaluasi untuk melihat sejauh mana tujuan yang telah di
capai oleh klien setelah mendapatkan tindakan atau asuhan
keperawatan.Evaluasi yang dapat di gunakan yaitu evaluasi sumatif. Evaluasi
sumatif, evaluasi yang di lakukan pada akhir dari seluruh proses asuhan
keperawatan yang di berikan dan dilakukan secara terus menerus dengan
menilai respon terhadap tindakan yang di lakukan.
DAFTAR PUSTAKA

Arif, Muttaqin, Skep. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem.


Muskuloskeletal.Jakarta: EG
Barbara C. Long. 1996. Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses
Keperawatan). Alih bahasa : Yayasan Ikatan alumsi Pendidikan
Keperawatan Pajajaran Bandung.Cetakan I.
Doengoes E.Marilyn. 2002. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC
Dorland. 1998. Kamus Saku Kedokteran. Jakarta: EGC.
Mansjoer, Arif dkk. 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3.Jilid 1. Jakarta:
Media Aesculapius.
PriceS.A., Wilson L. M. 2006. Buku Ajar Ilmu.Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV.
Jakarta : EGC.
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah edisi 3
volume 8. Jakarta: EGC.
Sylvia A. Price. 2006. Patofosiologi Konsep Penyakit. Jakarta: EGC
Uantox. 2012.Fraktur Torakolumbal.http://www.scribd.com/doc/33615745/fraktur-
torakolumbal.htmlDiakses tanggal: 19-09-2012. Jam: 21.19 WITA

Anda mungkin juga menyukai