Anda di halaman 1dari 3

MORATORIUM PNS DAN NASIB PEGAWAI

HONORER (Sekedar Komentar dan Saran)


Keputusan pemerintah yang mulai menerapkan moratorium PNS sejak 1 September 2011
membuat nasib honorer semakin jauh dari harapan untuk diangkat menjadi abdi negara atau
Pegawai Negeri Sipil (PNS). Moratorium PNS yang dalam prakteknya menghentikan
sementara penerimaan dan pengangkatan pegawai negeri sipil selama 18 bulan untuk seluruh
instansi kecuali tenaga pendidik dan kesehatan, menjadikan tenaga honorer untuk lebih
memperpanjang harapan dan ekstra sabar menggapai peningkatan statusnya menjadi PNS.

Moratorium PNS ini terpaksa diterapkan pemerintah bukan tanpa alasan. Beban anggaran
Negara yang semakin “kewalahan” membayar belanja pegawai – dalam hal ini gaji PNS –
yang sudah tidak rasional lagi sehingga begitu berat menggelayuti anggaran negara dan
anggaran daerah. Sebenarnya bukan moratorium saja yang dilakukan pemerintah untuk
mengatasi masalah anggaran negara yang “keteter” ini, tapi pemerintah juga menerapkan
kebijakan pensiun dini bagi PNS dengan ketentuan tertentu. Entah,baru disadari atau memang
sebetulnya sudah diketahui sejak lama, yang jelas hal ini menimbulkan beberapa pertanyaan
bagi masyarakat.

Kenaikan Gaji Setiap Tahun

Pemerintah sejak beberapa tahun selalu menaikan gaji PNS setiap tahun sekitar 10 % sd 15%.
Perhitungan kenaikan gaji sudah tentu diperhitungkan dengan kemampuan keuangan negara
sehingga tidak sampai membuat APBN atau APBD jadi kurang (bahkan tidak) sehat.
Bukankah pemerintah melalui para ahli di bidang anggaran sudah dapat memperkirakan
kebijakan kenaikan gaji pegawai negeri beserta besarannya akan sangat mempengaruhi sehat
tidaknya anggaran, sehingga tidak terlalu memaksakan kenaikan, setidaknya pemerintah tidak
memaksakan diri mempertahankan bahkan menaikan prosentasi kenaikan, jika memang akan
mengakibatkan porsi anggaran yang tidak proporsional?

Kebijakan kenaikan gaji PNS setiap tahun mungkin bisa kita terjemahkan sebagai bukti
perhatian pemerintah kepada abdi negara yang dianggap sebagai pribadi-pribadi yang
memiliki kontribusi besar terhadap roda pemerintahan di negara ini. Tetapi, yang perlu juga
diperhatikan adalah bahwa pegawai yang memiliki kontribusi besar terhadap negara tidak
hanya yang berstatus PNS saja. Kita sebut saja pegawai honorer, yang apabila pemerintah
mau menengok ke bawah terhadap pendapatan (bukan gaji tapi honor) pegawai honorer yang
sangat jauh dari pendapatan PNS setiap bulannya. Apalagi jika menengok honor para guru
honorer yang terkadang harus ditunda setiap 3 bulan sekali karena harus sabar menunggu
dana BOS yang belum cair di sekolahnya.

Di sinilah, terlihat jelas bahwa sepertinya pemerintah hanya memperhatikan pegawai PNSnya
saja, tanpa mempertimbangkan rasa tidak nyaman jika pegawai honorer membandingkan
struk honor dengan struk gaji rekan PNSnya. Di samping itu, kondisi ini hanya membuat
semakin banyak pegawai honorer yang merasa iri melihat kenaikan gaji PNS yang selalu
lancar tanpa hambatan setiap tahun dibandingkan dengan kinerja (sebagian) pegawai yang
tampak tidak sesuai dengan yang seharusnya.

Gaji ke-13
Mungkin ini pula yang menjadi pertanyaan sebagian masyarakat, terutama para pegawai
honorer. Timbul beberapa pertanyaan tentang kebijakan gaji ke-13 ini berkaitan dengan
kondisi beban anggaran negara saat ini. Diantara beberapa pertanyaan tersebut adalah;
1. Gaji ke-13 diberikan untuk kerja yang mana?
2. Bukankah beban kerja pegawai PNS (bahkan pegawai honorer) rata-rata 12            bulan
dalam setahun?
3. Apakah tidak disebut saja sebagai bonus (seperti di perusahaan) yang selama        ini
dikenal sehingga tidak salah tafsir di masyarakat?
4. Mengapa kebijakan gaji ke-13 masih tetap dipertahankan padahal pemerintah    pusat dan
daerah sudah tahu betapa kebijakan gaji ke-13 ini sangat membebani      anggaran negara
(pusat dan daerah)?
5. Bukankah lebih tepat jika (istilah gaji ke-13) ini hanya diberikan kepada                    
individu-indvidu yang dianggap memiliki loyalitas dan kinerja yang terbaik          berdasarkan
atas penilian dari instansi yang bersangkutan dengan melalui              seleksi ketat sehingga
dapat menghemat anggaran?

Sementara ini jawaban pemerintah hanya menjawab bahwa kebijakan gaji ke-13 adalah
amanat undang-undang yang harus dijalankan. Jika hal ini tidak menjadi keluhan beberapa
pemerintah daerah terhadap pemberian gaji ke-13 ini mungkin masyarakat tidak begitu tahu
tentang kontribusi kebijakan gaji ke-13 ini terhadap rawannya kondisi anggaran daerah,
mungkin tidak menjadi sebuah pertanyaan. Oleh karena itu, ditengah kenyataan kondisi
anggaran Negara dan daerah seperti ini, masih perlukah kebijakan ini dipertahankan?

Sistem Perekrutan CPNS

Salah satu yang menjadikan pemerintah mengambil kebijakan moratorium PNS dan Pensiun
Dini adalah karena kenyataan bahwa jumlah PNS yang ada sudah tidak proporsional lagi
(baik kualitas maupun kuantitas) sehingga mempengaruhi beban anggaran pemerintah pusat
dan daerah. Bahkan ada beberapa pemerintah daerah yang harus menanggung beban belanja
pegawai melebihi 60 persen dari keseluruhan anggaran daerah yang dimiliki. Padahal angka
prosentase tersebut adalah angka yang rawan untuk sebuah anggaran.

Tentunya ini tidak lepas dari system perekrutan CPNS selama ini. Karena selama ini
pemerintah dalam perekrutan CPNS terkesan kurang memperhatikan mutu calon PNS.
Terbukti sistem perekrutan CPNS dengan jalur umum, pada akhirnya hanya memberi celah
terjadinya KKN sehingga sudah dapat diduga para pegawai yang akhirnya diterima adalah
pegawai yang masuk karena titipan atau lewat jalan belakang, walaupun tentu diantara sekian
banyak yang masuk benar-benar karena kualitas dan kemampuannya.

Yang menjadi pertanyaan dalam hal ini adalah kenapa pemerintah tidak mengangkat saja para
pegawai honorer yang sudah jelas mengabdi sekian lama (bahkan ada yang puluhan tahun)
menjadi PNS? Bukankah pegawai honorer yang sudah jelas bekerja pada instansi terkait
sudah dapat dijamin (minimal dipertimbangkan) kemampuan dan masa kerjanya?
Mengapa pemerintah masih menggunakan sistem perekrutan CPNS dengan jalur umum yang
terkadang banyak peserta tes seleksi CPNS belum jelas pengalaman dan bahkan belum sama
sekali memiliki masa kerja?
Ini bukan hal yang sepele, karena bagaimanapun system perekrutan CPNS, akan sangat
mempengaruhi kualitas kinerja para pegawai di kemudian hari. Tentunya pemerintah tidak
mengharapkan jika pegawainya hanya dibanggakan dari segi kuantitas tapi memperihatinkan
dari segi kualitas.
Semoga ini menjadi perhatian kita bersama.

Wallahu A’lam.

Anda mungkin juga menyukai