Anda di halaman 1dari 23

PENGANGKATAN SEKDES MENJADI PNS DI KABUPATEN

KEPULAUAN SULA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1   Latar Belakang Masalah

Reformasi yang di realisasikan oleh eksponen 98, setidaknya telah membawa angin

segar dalam merubah wajah birokrasi bangsa ini, dari sentralistik menjadi suatu sistem

Pemerintahan yang desentralistik. Hal demikian secara sengaja telah mereform wajah dan

sistem birokrasi dari tingkat pusat sampai ke tingkat daerah, bahkan menyentuh level sistem

Pemerintahan terkecil bangsa ini, (Desa).

Hal ini dibuktikan dengan dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi

Daerah yang kemudian mengilhami lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan

Daerah dengan segala turunannya dalam bentuk Peraturan Pelaksana (Peraturan Pemerintah).

Semisal PP No. 45 Tahun 2007 Tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pengangkatan Sekretaris

Desa Menjadi Pegawai Negeri Sipil, adalah turunan dari Pasal 202 UU dimaksud (UU 32

Tahun 2004).[1]

Salah satu agenda penting penataan yang lebih menyeluruh adalah penataan di level

desa. Hal  ini didasarkan pada kenyataan bahwa desa adalah bagian sosial politik dari

kabupaten. Rakyat yang hendak dilayani tidak lain adalah masyarakat yang berada di

pedesaan.

Untuk mewujudkan sistem pelayanan yang nyata maka perubahan sistem

Pemerintahan Desa mutlak diperlukan. Oleh karena yang terjadi selama ini adalah tidak

maksimalnya penyelenggaraan Pemerintahan Desa di segala line pembangunan. Potret buram

yang tampak di hadapan kita adalah betapa tata administrasi penyelenggaraan Pemerintahan

Desa yang tidak berjalan sebagaimana mestinya.


Hal ini dapat dipengaruhi oleh Sumberdaya Manusia aparatur Pemerintah Desa

(Sekretaris Desa), dan juga dipengaruhi oleh jumlah insentif yang diperoleh Aparatur

Pemerintah Desa, lebih khususnya Sekretaris Desa yang relatif minim, sehingga berpengaruh

pada kinerja Sekretaris Desa dalam melakukan tugas dan tanggung-jawabnya sebagai

pengemban amanah pelayanan dan pembinaan tata administrasi desa.

Sekretaris Desa adalah Perangkat Desa yang membantu Kepala Desa dalam bidang

tertib administrasi Pemerintahan dan pembangunan serta pelayanan dan pemberdayaan

masyarakat. Untuk dapat menjalankan perannya secara efektif dan efesien, Pemerintah Desa

perlu terus dikembangkan sesuai dengan perkembangan kemajuan masyarakat Desa dan

lingkungan sekitarnya. Dengan kata lain, perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Desa

karena adanya gerakan pembangunan Desa perlu diimbangi pula dengan Pengembangan

Kapasitas Pemerintahan Desanya. Sehingga, Desa dan masyarakatnya tidak hanya sebatas

sebagai objek pembangunan, tetapi dapat memposisikan diri sebagai salah satu pelaku

pembangunan.

Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, didalamnya dituntut peran seorang adminstratur

yang handal. Profesionalisme Sekretaris Desa akan semakin mudah ditingkatkan karena

Sekretaris Desa merupakan bagian dari pegawai yang pola pembinaan karier maupun

ketrampilannya melekat di Pemerintah Daerah. Profesionalisme Sekretaris Desa diharapkan

merupakan awal dari Penguatan otonomi Desa yang diharapkan dapat menjembatani

kelemahan pembangunan sektoral dan Otonomi Daerah yang terjadi selama ini.

Dalam rangka peningkatan dan pengembangan penyelenggaraan Pemerintahan Desa,

Sekretaris Desa dapat diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil, yang tentunya setelah

memenuhi persyaratan formal yang diamanatkan oleh Peraturan Perundang-undangan. Hal ini

sebagaimana telah terpatri dalam Pasal 2) PP No. 45 Tahun 2007 bahwa: “Sekretaris Desa

yang diangkat dengan sah sampai dengan 15 Oktober 2004 dan masih melaksanakan tugas
sampai dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini diangkat langsung menjadi PNS, apabila

memenuhi persyaratan.[2] Adapun Persyaratan dimaksud sebagaimana termaktub dalam

ketentuan Pasal 3) Peraturan pemerintah ini.[3] Di sisi lain, Sekretaris Desa yang tidak

memenuhi persyaratan tidak di angkat menjadi Pegawai Negeri Sipil akan di berhentikan

dengan hormat serta di berikan tunjangan kompensasi yang dihitung berdasarkan masa kerja

selama yang bersangkutan menjadi Sekretaris Desa.[4] Sementara Desa yang Sekretaris nya

tidak memenuhi persyaratan untuk di angkat menjadi Pegawai Negeri Sipil dapat diisi oleh

pegawai Pemerintah Daerah yang telah berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil paling lambat

6 (enam) bulan sejak pemberhentian.[5]

Betapapun bentuknya Peraturan Perundang-undangan, akan tetapi dalam

pelaksanaannya di lapangan sering mengalami hambatan dan tantangan, tergantung sejauh

mana Peraturan Perundang-undangan dimaksud dapat menjawab kepentingan dan kebutuhan

khalayak publik ataukah justru sebaliknya. Pada sisi yang lain penerapan Peraturan

Perundang-undangan yang sering mengalami hambatan, diakibatkan oleh karena pelaksana

(eksekutif) yang belum bahkan tidak menjalankan ketentuan Peraturan Perundang-undangan

dimaksud.

    
Hal ini dapat dilihat, di mana dari 131 Desa yang terdapat di Kabupaten Kepulauan

Sula, sebanyak 82 Desa Induk dan 49 Desa hasil pemekaran yang dilakukan oleh Pemerintah

Daerah Kepulauan Sula pada Tahun 2006 masih menyimpan sebercak harapan yang tak pasti.

Khusus terhadap 82 Desa induk, 79 diantaranya yang Sekretaris Desanya telah diangkat

menjadi Pegawai Negeri Sipil. Sementara 3 Desa yang Sekretaris Desanya belum diangkat

atau tidak diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil.

Hal di atas dikarenakan 1 orang diantaranya telah masuk atau mencapai usia lanjut

dan tidak memenuhi syarat peraturan perundang-undangan sebagaimana termaktub dalam

Pasal 3) ayat 1) huruf (f) bahwa : “Berusia paling tinggi 51 (lima puluh satu) tahun terhitung
pada 15 Oktober 2006”.[6] Sementara 2 Desa yang Sekretaris Desanya tidak diangkat

menjadi Pegawan Negeri Sipil, oleh karena Surat Keputusan Pengangkatan mereka sebagai

Sekretaris Desa telah rusak.

Dalam ketentuan Pasal 6) ayat 2) PP 45 bahwa: “Pengangkatan Sekretaris Desa

menjadi PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap mulai formasi

tahun 2007 dan selesai paling lambat tahun 2009”.[7] Dalam pada itu pengangkatan

Sekretaris Desa menjadi Pegawai Negeri Sipil di Kabupaten Kepulauan Sula dilakukan dalam

tiga tahapan pengangkatan.

1.2 Rumusan Masalah.

Bertolak pada latar belakang permasalahan di atas, dapat dirumuskan permasalahan

sebagai acuan dalam penelitian selanjutnya sebagai berikut: “Bagaimanakah Implementasi

PP No. 45 Tahun 2007 Tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pengangkatan Sekretaris Desa

Menjadi Pegawai Negeri Sipil Di Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan Daerah

Kabupaten Kepulauan Sula?”

1.3 Tujuan Dan Manfaat Penelitian

1.3.1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Implementasi PP No. 45 Tahun

2007 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan Sekretaris Desa Menjadi Pegawai

Negeri Sipil di Kabupaten Kepulauan Sula.

1.3.2. Manfaat Penelitian

1.3.2.1. Manfaat Secara Akademis

a). Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat membuka cakrawala berpikir dan merupakan studi awal

dalam penelitian-penelitian selanjutnya, dan sebagai acuan bagi peneliti lain yang akan meniliti

lebih lanjut mengenai masalah ini baik pada  daerah yang sama maupun daerah yang berbeda.
b) Dalam penelitian ini diharapkan dapat menambah pengalaman dan suatu preferensi dalam

pengembangan karya tulis ilmiah, serta pengetahuan tentang bagaimana Implementasi PP No.

45 Tahun 2007 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan Sekretaris Desa Menjadi

Pegawai Negeri Sipil di Kabupaten Kepulauan Sula.

1.3.2.2. Manfaat Secara Praktis

a). Diharapkan dari hasil penelitian ini, dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi Pemerintah

Daerah Kepulauan Sula, dalam mengimplementasikan Peraturan Perundang-undangan yang erat

hubungannya dengan penataan dan pengembangan sumberdaya Aparatur Penyelenggaraan

Pemerintahan Desa. Lebih khusus tentang penataan penyelenggaraan Pemerintahan Desa yang

lebih efektif dan efisien.

b). Sebagai bahan masukan bagi pemerhati masalah-masalah Pemerintahan sekaligus menambah

wawasan bagi penulis untuk memperkaya khasanah intelektual dan untuk  merangsang di

lakukannya penelitian yang lebih mendalam dan menyeluruh terhadap permasalahan-

permasalahan yang di temukan dalam penelitian ini.

1.4 Defenisi Konseptual

Definisi konseptual dalam penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan batasan-

batasan dari istilah yang ada dalam judul proposal penelitian ini. Hal ini bertujuan untuk

menghindari kesalahpahaman penafsiran dari beberapa istilah yang digunakan dalam judul

penelitian ini, yakni sebagai barikut:

1.      Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang

untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarkat setempat, berdasarkan asal-usul dan

adat-istiadat setempat yang di akui dan di hormati dalam sistem Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

2.      Sekretaris Desa  adalah  Perangkat Desa yang membantu Kepala Desa dalam bidang tertib

administrasi pemerintahan dan pembangunan serta pelayanan dan pemberdayaan masyarakat.


3.      Pegawai Negeri Sipil adalah setiap warga negara yang telah memenuhi syarat yang telah di

tentukan, di angkat oleh pejabat yang berwenang dan di serahi tugas dalam suatu jabatan

negara, atau di serahi tugas negara lainnya dan di gaji sesuai Peraturan Perundang-undangan

yang berlaku.

4.      Implementasi adalah pelaksanaan dari pada ketentuan yang termaktub dalam PP No. 45

Tahun 2007 Tentang Persyarakatan dan Tata Cara Pengangkatan Sekretaris Desa Menjadi

Pegawai Negeri Sipil.

1.5 Metode Penelitian

1.5.1. Lokasi Penelitian

Sebagaimana judul penelitian ini, sehingga lokasi yang akan dipilih adalah Kabupaten

Kepulauan Sula. Dimana lokasi dimaksud sangat representatif untuk diteliti. Oleh karena

beberapa desa di antaranya Sekretaris Desa telah diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil.

Sementara beberapa Desa lainnya Sekretaris Desanya belum bahkan tidak diangkat menjadi

Pegawai Negeri Sipil.

1.5.2. Tipe dan Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan tipe penelitian kualitatif yaitu peneliti

berusaha memberikan gambaran secara mendalam dengan pendekatan jenis penelitian deskriptif

(descriptive Research), yakni mendeskripsikan fakta-fakta sosial-politik dari berbagai variabel

yang bersentuhan dengan objek yang di teliti. Sumardi Suryabrata misalnya mengemukakan

bahwa : “Tujuan Penelitian deskriptif (Descriptive Recearch) adalah untuk membuat

pencanderaan secara sistimatis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi

atau daerah tertentu.”[8]

Sejalan dengan hal di atas, Sanapiah Faisal mengatakan bahwa :”Metode ini merupakan

salah satu bentuk strategi pemecahan masalah dengan mengidentifikasi masalah-masalah


tersebut”.[9] Jenis penelitian ini di maksudkan untuk menemukan dan menjelaskan tentang

bagaimana Implementasi PP No.45 Tahun 2007 Tentang Persyaratan dan Tata Cara

Pengangkatan Sekretaris Desa Menjadi Pegawai Negri Sipil.

1.5.3. Sumber Data

Untuk memperoleh data yang sesuai dengan permasalahan dalam penelitian ini, maka

sumber data dapat di kelompokkan sebagai berikut:

1.5.3.1. Data Primer

Adalah data yang di peroleh secara langsung di lokasi penelitian oleh sipeneliti

(pewawancara), dengan yang diteliti (yang diwawancarai). Adapun informen yang menjadi

sasaran wawancara adalah sebagai berikut :

1.    Asisten I Bidang Pemerintahan

2.    Kepala BKPPD 

3.    Sekretaris BPMD

4.    Kabag Pemerintahan

5.    Sekretaris Desa 7 (tujuh orang) yakni:

a.       Empat orang di antaranya yang telah diangkat menjadi PNS

b.      Tiga orang di antaranya yang belum diangkat menjadi PNS

1.5.3.2. Data Sekunder

Merupakan data pendukung data primer yang diperoleh dari pihak lain terutama dari

buku-buku, dokumentasi atau kepustakaan ilmiah lain yang erat kaitannya dengan penelitian ini.

Hal ini pula sebagaimana Menurut Maleong bahwa: “Data sekunder yaitu data tambahan yang

di peroleh peneliti dari sumber tertulis (Arsip, Dokumen peribadi maupun resmi) ataupun

data statistik dari instansi terkait yang hubungannya dengan fokus penelitian.”[10] Data
sekunder ini juga merupakan data pendukung dan data ini di peroleh dari dokumen-dokumen

yang berkaitan dengan permasalahan yang akan di teliti. 

1.5.4. Teknik Pengumpulan Data

Yaitu cara yang dipergunakan untuk mengumpulkan dan memperoleh data yang

akurat dan lengkap. Dalam memperoleh data dalam penelitian ini peneliti menggunakan

beberapa teknik pengumpulan data diantaranya sebagai berikut :

1.5.4.1. Observasi

Observasi atau pengamatan digunakan dalam rangka mengumpulkan data dalam suatu

penelitian, merupakan hasil perbuatan jiwa secara aktif dan penuh perhatian untuk menyadari

adanya suatu rangsangan tertentu yang di inginkan, atau suatu studi yang di sengaja dan

sistematis tentang keadaan/fenomena sosial dan gejala-gejala psikis dengan jalan mengamati dan

mencatat. [11] 

Beberapa informasi yang diperoleh dari hasil observasi adalah ruang (tempat), pelaku,

kegiatan, objek, perbuatan, kejadian atau peristiwa, waktu, dan perasaan. Alasan peneliti

melakukan observasi adalah untuk menyajikan gambaran realistik perilaku atau kejadian,

untuk menjawab pertanyaan, untuk membantu mengerti perilaku manusia, dan untuk evaluasi

yaitu melakukan pengukuran terhadap aspek tertentu dan melakukan umpan balik terhadap

pengukuran tersebut.

Bungin mengemukakan beberapa bentuk observasi yang dapat digunakan dalam

penelitian kualitatif, yaitu observasi partisipasi, observasi tidak terstruktur, dan observasi

kelompok tidak terstruktur.[12]

a)      Observasi partisipasi (participant observation) adalah metode pengumpulan data yang
digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan pengindraan dimana
observer atau peneliti benar-benar terlibat dalam keseharian responden [sic!].
b)      Observasi tidak berstruktur adalah observasi yang dilakukan tanpa menggunakan guide
observasi. Pada observasi ini peneliti atau pengamat harus mampu mengembangkan daya
pengamatannya dalam mengamati suatu objek.
c)      Observasi kelompok adalah observasi yang dilakukan secara berkelompok terhadap suatu
atau beberapa objek sekaligus.

Dengan demikian bentuk observasi yang dipilih dalam penelitian ini adalah observasi

tidak berstruktur. Sehingga yang dilakukan waktu  pengamatan adalah mengamati gejala-gejala

sosial-politik dalam kategori yang tepat, mengamati berkali-kali dan mencatat segera dengan

memakai alat bantu seperti alat pencatat dan alat mekanik. Dalam pelaksanaannya digunakan alat

bantu mekanik seperti tape rekorder, digital camera dan lainnya. Dengan teknik ini diharapkan

mendapatkan informasi tentang gejala-gejala yang terjadi di lapangan.

1.5.4.2. Wawancara (Interview)

Wawancara merupakan alat re-cheking atau pembuktian terhadap informasi atau

keterangan yang diperoleh sebelumnya. Tehnik wawancara yang digunakan dalam penelitian

kualitatif adalah wawancara mendalam. Wawancara mendalam (in–depth interview) adalah

proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil

bertatap muka antara pewawancara(interviewer) dengan informan atau orang yang

diwawancarai (interviewee), dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara,

di mana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama.

Teknik ini digunakan peneliti untuk mendapatkan keterangan-keterangan lisan melalui

bercakap-cakap dan berhadapan muka dengan orang yang memberikan keterangan pada

sipeneliti. Wawancara ini dapat di pakai untuk melengkapi data yang diperoleh melalui

Observasi.[13]

1.5.4.3. Dokumentasi

Teknik ini di gunakan dengan peneliti mempelajari berbagai dokumentasi yang berkaitan

dengan tujuan penelitian ini. Bagaimanakah Implementasi PP No. 45 Tahun 2007 Tentang

Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan Sekretaris Desa Menjadi Pegawai Negeri Sipil di

Kab. Kepulauan Sula. Dengan teknik ini akan membantu peneliti melakukan perbandingan dan

lebih mengetahui kedalam tentang objek yang di teliti. Dokumentasi adalah mencari data
mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, agenda, buku, surat kabar, majalah

dan sebagainya.[14] Dengan demikian teknik pengumpulan data dengan pendekatan

dokumentatif dalam penelitaian ini sebagaimana telah disebutkan dalam data sekunder di atas.

1.5.5. Teknik Analisa Data

Analisa data adalah suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam

suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat

dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.[15]

Data yang telah dikumpulkan untuk selanjutnya dianalisis secara deskriptif kualitatif

untuk memecahkan masalah yang telah dirumuskan. Yaitu dengan cara mengumpulkan data dan

informasi yang diperoleh dari sumber data. Dalam menganalisis data dalam peneliitian ini, maka

peneliti melakukan dengan tiga tahap:[16]

1.5.5.1. Pengumpulan Data

Data yang telah di dapatkan dari sumber data yang masih bersifat data mentah kemudian

di kumpulkan untuk proses analisis selanjutnya.

1.5.5.2. Reduksi Data

Pada bagian ini diawali dengan membaca, mempelajari dan menelaah kemudian reduksi

data dengan jalan membuat abstraksi di dalamnya yang merupakan usaha membuat rangkuman

yang intinya, proses dan pertanyaan-pertanyaan perlu di jaga sehingga tetap berada di dalamnya.

1.5.5.3. Identifikasi dan Kategorisasi

Dalam bagian ini peneliti melakukan identifikasi dan kategorisasi sesuai dengan rumusan

masalah penelitian. Hal ini pula dilakukan kodifikasi terhadap data dan informasi yang telah di

peroleh melalui Observasi, Wawancara dan Dokumentasi. Yang selanjutnya merumuskan

kesimpulan secara rinci.

BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Konsep Birokrasi

Birokrasi merupakan instrumen penting dalam masyarakat modern yang kehadirannya

tak mungkin terelakkan. Eksistensi birokrasi ini sebagai konsekuensi logis dari tugas utama

negara (pemerintahan) untuk menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat (social welfare).

Negara dituntut terlibat dalam memproduksi barang dan jasa yang diperlukan oleh rakyatnya

(public goods and services) baik secara langsung maupun tidak. Bahkan dalam keadaan

tertentu negara yang memutuskan apa yang terbaik bagi rakyatnya. Untuk itu negara

membangun sistem administrasi yang bertujuan untuk melayani kepentingan rakyatnya yang

disebut dengan istilah birokrasi.[17]

Dalam bidang publik konsep birokrasi dimaknai sebagai proses dan sistem yang

diciptakan secara rasional untuk menjamin mekanisme dan sistem kerja yang teratur, pasti

dan mudah dikendalikan.[18] Secara etimologi Birokrasi berasal dari istilah ‘buralist’ yang

dikembangkan oleh Reiheer von Stein pada tahun 1821, kemudian menjadi ‘bureaucracy’

yang akhir-akhir ini ditandai dengan cara-cara kerja yang rasional, impersonal dan legalistik.

[19]

Konsep birokrasi sesungguhnya berupaya mengaplikasikan prinsip-prinsip organisasi

yang dimaksudkan untuk memperbaiki efisiensi administrasi, meskipun birokrasi yang

keterlaluan seringkali justru menimbulkan efek yang tidak baik. Mouzelis menambahkan

bahwa dalam birokrasi terdapat aturan-aturan yang rasional, struktur organisasi dan proses

berdasar pengetahuan teknis dan dengan efisiensi yang setinggi-tingginya. Di samping

diberikan makna yang cukup positif tersebut, birokrasi juga sering dimaknai secara negatif.

Dalam perspektif yang negatif ini birokrasi dimaknai sebagai suatu proses yang berbelit-belit,
waktu yang lama, biaya yang mahal dan menimbulkan keluh kesah yang pada akhirnya ada

anggapan bahwa birokrasi itu tidak efisien dan bahkan tidak adil.

Menurut Farel Heady (1989) dalam Ekobudi Susilo bahwa: “Birokrasi adalah

struktur tertentu yang memiliki karakteristik tertentu: hierarki, diferensiasi dan kualifikasi

atau kompetensi. [20] Hierarkhi berkaitan dengan struktur jabatan yang mengakibatkan

perbedaan tugas dan wewenang antar anggota organisasi. Diferensisasi yang dimaksud adalah

perbedaan tugas dan wewenang antar anggota organisasi birokrasi dalam mencapai tujuan.

 Sedangkan kualifikasi atau kompetensi maksudnya adalah seorang birokrat

hendaknya orang yang memiliki kualifikasi atau kompetensi yang diperlukan untuk

melaksanakan tugas dan wewenangnya secara profesional. Dalam hal ini seorang birokrat

bukanlah orang yang tidak tahu menahu tentang tugas dan wewenangnya, melainkan orang

yang sangat profesional dalam menjalankan tugas dan wewenangnya tersebut.

Menurut Hegel dalam Ekobudi bahwa Birokrasi adalah “institusi yang menduduki

posisi organik yang netral di dalam struktur sosial dan berfungsi sebagai penghubung antara

negara yang memanifestasikan kepentingan umum, dan masyarakat sipil yang mewakili

kepentingan khusus dalam masyarakat”.[21] Hegel melihat, bahwa birokrasi merupakan

jembatan yang dibuat untuk menghubungkan antara kepentingan masyarakat dan kepentingan

negara yang dalam saat-saat tertentu berbeda. Oleh sebab itu peran birokrasi menjadi sangat

strategis dalam rangka menyatukan persepsi dan perspektif antara negara (pemerintah) dan

masyarakat sehingga tidak terjadi kekacauan.

Menurut Peter M. Blau dalam M. Mas’ud Said bahwa birokrasi adalah: “tipe

organisasi yang dirancang untuk menyelesaikan tugas-tugas administratif dalam skala besar

dengan cara mengkoordinasikan pekerjaan banyak orang secara sistematis.”[22]

Pandangan diatas dapat diberi suatu pengertiang bahwa birokrasi semestinya menjadi

suatu alat yang melembagakan segala hal fundamental sebagai akibat kepentingan dan
kebutuhan masyarakat secara holistik. Oleh karenanya birokrasi dituntut untuk dapat

melayani masyarakat luas secara efektif dan evesien.

Sementara pengertian birokrasi lebih tajam datang dari Karl Marx bahwa Birokrasi

adalah Organisasi yang bersifat Parasitik dan Eksploitatif. Birokrasi merupakan Instrumen

bagi kelas yang berkuasa untuk mengekploitasi kelas sosial yang lain (yang dikuasai).

Birokrasi berfungsi untuk mempertahankan privilage dan status quo bagi kepentingan kelas

kapitalis. Dalam pandangan Marx yang berbeda dengan Hegel, birokrasi merupakan sistem

yang diciptakan oleh kalangan atas (the have) untuk memperdayai kalangan bawah (the have

not) demi mempertahankan dan meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri. Dalam hal ini

birokrasi menjadi kambing hitam bagi kesalahan penguasa terhadap rakyatnya. Segenap

kesalahan penguasa akhirnya tertumpu pada birokrasi yang sebenarnya hanya menjadi alat

saja.[23]

Dari berbagai pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa Birokrasi sesungguhnya

dapat dipahami dan diberi pengertian sebagai suatu sistem kerja yang berlaku dalam

organisasi yang mengatur interaksi sosial baik ke dalam maupun keluar. Secara spesifik

birokrasi publik (pemerintahan) dapat dimaknai sebagai institusi atau agen pemerintahan

yang dilengkapi dengan otoritas sistematik dan rasional dengan aturan-aturan yang lugas.

2.2  Konsep Pegawai Negeri Sipil

Undang-undang Pokok Kepegawaian yaitu Undang-undang No.8 Tahun 1974 telah di

rubah melalui Undang-undang No.43 Tahun 1999 Tentang Pegawai Negeri Sipil, adalah

suatu landasan hukum untuk menjamin pegawai negeri dan dapat di jadikan dasar untuk

mengatur penyusunan aparatur negara yang baik dan benar. Penyusunan aparatur negara

menuju kepada administrasi yang sempurna sangat tergantung pada kualitas pegawai negeri

dan mutu kerapian organisasi aparatur itu sendiri.


Aparatur negara yaitu keseluruhan lembaga dan pejabat negara serta pemerintahan

negara yang meliputi aparatur kenegaraan dan pemerintahan sebagai abdi masyarakat,

bertugas dan bertanggung jawab atas penyelenggaraan negara dan pembangunan serta

senantiasa mengabdi dan setia kepada kepentingan negara, nilai-nilai moral dan cita-cita

perjuangan bangsa dan negara berdasarkan pancasila dan Undang-undang dasar 1945.

Di dalam Pasal 1) Undang-undang No.43 Tahun 1999 Tentang Pokok-pokok

Kepegawaian di jelaskan bahwa: “Pegawai Negeri adalah setiap warga negara yang telah

memenuhi syarat yang telah di tentukan, di angkat oleh pejabat yang berwenang dan di serahi

tugas dalam suatu jabatan negara, atau di serahi tugas negara lainnya dan di gaji sesuai

peraturan perundang-undangan yang berlaku.”[24]

Pegawai Negeri Sipil juga adalah unsur aparatur negara, abdi negara, abdi masyarakat

yang dengan kesetiaan dan ketaatan kepada  pancasila, undang-undang dasar 1945, negara

dan pemerintah, menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan.

Dengan memenuhi pengertian pegawai negeri sipil sebagaimana yang telah di

kemukakan di atas, dapat di lihat adanya beberapa unsur yang melekat pada pegawai negeri

yaitu :

1.      Memenuhi syarat-syarat yang telah di rumuskan.

2.      Di angkat oleh pejabat yang berwenang.

3.      Adanya keharusan untuk di angkat dalam jabatan negara dan di gaji menurut perundang-

undangan.

Kemudian lebih lanjut di kemukakan dalam Pasal 17 Undang-undang No.43 Tahun

1999 Tentang Pokok-pokok Kepegawaian  di jelaskan bahwa “Pengangkatan Pegawai Negeri

Sipil dalam suatu jabatan di laksanakan, berdasarkan prinsip profesionalisme sesuai dengan

kompetensi, prestasi kerja, dan jenjang pangkat yang di tetapkan untuk jabatan itu serta syarat

obyektif lainnya tanpa membedakan jenis kelamin, suku, agama, ras, atau golongan.
Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam pangkat awal di tetapkan berdasarkan tingkat

pendidikan formal”.

2.3  Konsep Pemerintahan Desa

Desa merupakan kesatuan masyarakat hukum terkecil yang memiliki batas-batas

wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya

berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati oleh negara.

Pengakuan ini sebagaimana dapat dilihat pada Pasal 18B ayat 2), bahwa : [25]”Negara

mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak

tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan

perinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”

Sebagaimana tertuang dalam ( PP) No. 72 Tahun 2005 tentang Desa Bab I, Ketentuan

Umum, Pasal 1, ayat (5), antara lain dinyatakan bahwa : [26]

“Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan

masarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan

mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul adat setempat yang diakui

dan dihormati dalam Sistem Pemerintahan Negara Kesatuat Republik Indonesia”.

Keberadaan desa yang merupakan sub sistem pemerintahan terkecil dalam sistem

pemerintahan negara ini tentunya dilengkapi dengan penyusunan dan pengaturan lembaga

penyelenggara Pemerintahan Desa. Hal tersebut sebagaimana telah termaktub dalam

ketentuan Pasal 11) bahwa: ”Pemerintahan Desa terdiri dari Pemerintah Desa dan BPD”.[27]

Pemerintahan desa ini kemudian akan mengemban amanah sesuai dengan kewenagangan

masing-masing lembaga, yang tujuan utamanya adalah mewujudnyatakan kesejahteraan di

desa.

Pemerintah Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah lembaga eksekutif di

tingkat desa dan dipimpin oleh seorang Kepala Desa dan dibantu oleh Perangkat Desa
sebagai satu kesatuan yang utuh merupakan unsur penyelenggara pemerintahan desa. Sebagai

pembantu kepala desa, sekretaris desa bertanggung-jawab atas pelaksanaan manajemen tata

administrasi pemerintahan desa, penyelenggaraan dan pemberdayaan masyarakat desa,

tentunya harus memiliki tingkatan sumberdaya manusia yang memiliki tingkatan

profesionalisme dan keterampilan yang baik.

Pengertian Sekretaris Desa dalam PP. No 45 Tahun 2007, menjelaskan bahwa yang di

maksud dengan sekretaris desa  adalah  “Perangkat Desa yang membantu Kepala Desa dalam

bidang tertib administrasi pemerintahan dan pembangunan serta pelayanan dan

pemberdayaan masyarakat”.[28] Sekretaris desa dalam ketentuan PP No. 72 Tahun 2005

bahwa : “Sekretaris desa diisi dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan. [29] 

Sekretaris Desa di angkat menjadi pegawai negeri sipil dengan alasan Sekretaris Desa

menjadi otaknya menajemen dan administrasi di Kantor Pemerintahan Desa. Melalui

pengangkatan Sekretaris Desa menjadi PNS di mulai proses moderenisasi organisasi

Pemerintahan Desa.

2.4 Konsep Implementasi Kebijakan

Rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam

pelaksanaan satu pekerjaan atau beberapa pekerjaan kepemimpinan dalam pemerintahan atau

organisasi sebagai garis pedoman dalam mencapai sasaran organisasi tersebut. Apapun

bentuk dan seberapa banyaknya rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis pedoman

dalam mencapai sasaran organisasi pemerintah, setidaknya masih tetap dalam suatu

lingkararan kebijakan pemerintah.

Kebijakan publik sering dibaca dalam lingkar otoritas Negara, persoalan yang muncul

selama ini disebabkan oleh kompetensi aparat yang tidak memadai atau juga karena pilihan

agenda setting yang kurang tepat.[30] Kalaupun demikian, maka proses kebijakan merupakan

sebuah proses yang multilinear dan kompleks. Hal tersebut sangat memungkinkan terjadi
karena sebuah proses kebijakan selalu lahir dan besar pada ‘ruang dan waktu’ yang tak

kosong.

Pada titik selanjutnya, kebijakan yang telah dirumuskan oleh pemerintah mesti di

implementasikan. Walaupun sering ditemukan bahwa implementasi kebijakan pemerintah

sebagai tahapan selanjutnya untuk melakukan sesuatu maupun tidak melakukannya sama

sekali.

Untuk dapat lebih mengetahui tentang pengertian implementasi kebijakan, baiklah ada

beberapa ahli yang memberikan pengertian dan batasan tentang implemengtasi kebijakan.

Menurut Mazmanian dan Sabatier dalam Wahab menjelaskan makna implementasi adalah :

“Pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun

dapat pula dalam bentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting

atau keputusan badan peradilan. Lazimnya keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah

yang ingin di atasi, menyebutkan secara tegas tujuan/sasaran yang ingin di capai, dan

berbagai cara untuk menstrukturkan/mengatur proses implementasinya.”[31]

Proses ini berlangsung setelah melalui sejumlah tahapan-tahapan tertentu, biasanya di

awali dengan tahapan pengesahan undang-undang, kemudian output kebijakan dalam bentuk

pelaksanaan keputusan oleh badan (instansi) pelaksana, kesediaan di laksanakannya

keputusan-keputusan tersebut oleh kelompok sasaran, dampak nyata baik di kehendaki atau

tidak-dari output tersebut dampaknya sebagian di persepsikan oleh badan-badan yang

mengambil keputusan dan akhirnya perbaikan-perbaikan yang penting atau upaya untuk

melakukan perbaikan-perbaikan terhadap undang peraturan yang bersangkutan.

Wiliam Dunn mengartikan implementasi kebijakan sebagai “Pelaksanaan dan

pengendalian arah tindakan sampai di capainya hasil kebijakan. Kebijakan pada dasarnya

merupakan aktivitas praktis yang di bedakan dari formulasi kebijakan yang pada dasarnya

bersifat teoritis”.[32] Van Meter dan Horn dalam Agustino memberikan pengertian
implementasi kebijakan sebagai “Tindakan-tindakan yang di lakukan baik oleh individu-

individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang di

arahakan pada tercapainya tujuan.”[33]

Lebih jauh Van Meter dan Van Horn dalam Joko Widodo mengatakan bahwa terdapat

lima variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi yaitu :[34]

1.      Standar dan tujuan

2.      Sumber daya

3.      Komunikasi antar organisasi dan penguatan aktivitas

4.      Karakteristik agen pelaksana

5.      Kondisi sosial, ekonomi dan politik

Edwar III dalam Widodo mengajukan empat faktor yang berpengaruh terhadap

keberhasilan dan kegagalan implementasi kebijakan yaitu :[35]

1.      Komunikasi

2.      Sumberdaya

3.      Disposisi

4.      Struktur birokrasi

Berangkat dari pendapat Van Meter, Van Horn dan Edaward III di atas, Widodo

menyimpulkan bahwa faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan dalam

implementasi kebijakan adalah :[36]

1.    Komunikasi

Edward III dalam Widodo mengemukakan komunikasi dalam implementasi kebijakan

mempunyai peran penting tidak hanya bagi implementor, tapi juga bagi policy maker.

Prospektif implementasi kebijakan yang efektif sangat di tentukan oleh kejelasan standar dan

tujuan kebijakan dan di komunikasikan kepada para pelaksana kebijakan secara akurat dan

konsisten.[37]
2.    Sumberdaya

Van Meter dan Van Horn dalam Widodo mengemukakan sumberdaya kebijakan

(policy resources) tidak kalah pentingnya dengan standar dan tujuan. Sumberdaya ini harus

tersedia dalam rangka memperlancar administrasi implementasi suatu kebijakan. Sumber-

sumber penting dalam implementasi kebijakan yang di maksud adalah : [38]

a.       Staf

Dalam konteks ini setiap orang harus memiliki keahlian dan kemampuan untuk

melaksanakan tugas, anjuran, perintah dari atasan (pemimpin). Di samping itu ia harus ada

ketetapan dan kelayakan antara jumlah staf yang di butuhkan dan keahlian yang di miliki

sesuai dengan tujuan pekerjaan yang di tanganinya.

b.      Dana

Dana di perlukan untuk membiayai operasionalisasi implementasi kebijakan.

c.       Informasi

Informasi adalah data yang telah di susun sedemikian rupa sehingga bermakna dan

bermanfaat karena dapat di komunikasikan kepada seseorang yang akan menggunakannya

untuk membuat keputusan.

d.      Kewenangan

Kewenangan di perlukan untuk menjamin dan meyakinkan bahwa kebijakan yang akan di

laksanakan adalah sesuai dengan yang mereka kehendaki.

e.       Fasilitas

Merupakan sarana yang di gunakan untuk operasionalisasi implementasi suatu kebijakan

yang meliputi : gedung, tanah dan kesemuanya yang akan memudahkan dan memberikan

pelayanan dalam implementasi kebijakan. 

3.    Disposisi

Edward III dalam Widodo mengemukakan :[39]


“Disposisi dalam implementasi kebijakan publik di artikan sebagai kecendrungan,

keinginan atau kesepakatan para pelaksana  (implementers) untuk melaksanakan kebijakan.

Implementasi kebijakan jika ingin berhasil secara efektif dan efisien, para pelaksana tidak

hanya harus mengetahui apa yang harus di lakukan dan mempunyai kemampuan untuk

melakukan kebijakan itu, tetapi mereka juga harus mempunyai kemauan untuk melaksanakan

kebijakan tersebut”.

4.      Struktur birokrasi

Implementasi belum efektif apabila masih terdapat ketidakefesienan sturuktur

birokrasi. Menurut  Edward III dalam Widodo, struktur birokrasi mencakup aspek-aspek

sebagai berikut :[40]

a.       Struktur organisasi

b.      Pembagian kewenangan

c.       Hubungan antara unit-unit organisasi yang ada dalam organisasi yang bersangkutan

d.      Hubungan organisasi dengan organisasi luar.

[1] Secara administratif kehadiran PP 45 Tahun 2007 Tentang Persyaratan dan Tata
Cara Pengangkatan Sekretaris Desa Menjadi Pegawai Negeri Sipil, adalah suatu pedoman
teknis bagaimana tata laksana pengangkatan seorang Sekretaris Desa menjadi Pegawai
Negeri Sipil. Pada sisi yang lain, kehadiran Peraturan Perundang-undangan dimaksud
sebagai bentuk upaya pendayagunaan aparatur penyelenggaraan Pemerintahan di tingkat
Desa. Sehingga dengan demikian diharapkan dapat memperbaiki penyelenggaraan
Pemerintahan Desa pada sisi pelaksanaan tata administrasi penyelenggaraan Pemerintahan
Desa  yang baik (efektif dan efesien). Dengan begitu, setidaknya profesionalisme Sekretaris
Desa akan semakin mudah ditingkatkan karena Sekretaris Desa merupakan bagian dari
pegawai yang pola pembinaan karir maupun keterampilannya melekat di Pemerintah
Daerah.
[2] Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2007 Tentang Persyaratan dan Tata Cara
Pengangkatan Sekretarin Desa Menjadi Pegawai Negeri Sipil. Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 94.
[3] PP No. 45 Tahun 2007, Op.cit.,
Persyaratan sebagaimana tercantum dalam ketentuan pasal 3), sebagaimana telah disebutkan di atas,
yakni: a) bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; b) Setia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan  kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia
serta Pemerintah;  c) Setia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, dan  kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia serta Pemerintah; d) Tidak sedang
menjalani hukuman karena melakukan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap; e) Sehat jasmani dan rohani; f) Memiliki ijazah paling rendah Sekolah Dasar atau yang
sederajat; dan  g) Berusia paling tinggi 51 (lima puluh satu) tahun terhitung pada 15 Oktober 2006. 
[4] Ibid., Lihat…!!! Pasal 10) ayat 2).
[5] Ibid., Lihat…!!! Pasal 13) ayat 1).
[6] PP No. 45 Tahun 2007, Op.cit.,
[7] PP No. 45, Op.cit.,
[8] Sumardi Suryabrata. Metode Penelitian. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1983), h.
75.
[9] Sanapiah Faisal. Metode Penelitian Kualitatif. (Bandung: Rosda Karya, 1987), h.
24.
[10] Lexy J. Maleong. Metode Penelitian Kualitatif. (Bandung: Pustaka Pelajar, 2005),
h. 175.
[11] Mardalis. Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. (Jakarta: Bumi Aksara,
Cet. Kedelapan, 2006), h.63.
[12] B. Bungin. Penelitian Kualitatif. (Jakartat: Prenada Media Group, 2007), h. 115.
[13] Mardalis. Op.cit., h. 64.
[14] Arikunto Suharsimi. Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. (Jakarta: Bumi
Aksara, 2006), h. 231.
[15] J. Lexy Maleong. Metode Penelitian Kualitatif. (Bandung: Remaja Rosda Karya Cet, I, 2001), h.
103.
[16] Nurul Zuriah. Metodologi Penelitian Sosial Dan Pendidikan Teori dan Praktik.
(Jakarta: Bumi Aksara, Cet; II, 2007), h. 247-248.

[17] Ekobudi Sulistio. http://blog.unila.ac.id/ekobudisulistio.konsep-

birokrasi/21/01/2011.

[18] M. Mas’ud Said. Birokrasi Di Negara Birokratis. Makna, Masalah Dan

Dekonstruksi Birokrasi Indonesia. (Malang: UMM Press, 2007), h. 1.

[19] Ekobudi Sulistio, Op.cit.,

[20] Ekobudi Susilo,Op.cit.,

[21] Ekobudi Susilo,Op.cit.,

[21] M. Mas’ud Said. Op.cit.,  h. 29.

[22] Ekobudi Susilo,Op.cit.,

[23] Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169


[24] Undang-Undang Dasar,  1945. (Surabaya: Apollo, Amandemen Keempat,

2002), h. 11.

[25] Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa. Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 158. (Bandung; Nusa Aulia, 2007), h. 28.

[26] Ibid., h. 34.

[27] Lihat…!!! Pasal 1) ayat 3) Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2007 Tentang

Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan Sekretarin Desa Menjadi Pegawai Negeri Sipil.

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 94.

[28] Ibid., h. 42.

    Pegawai Negeri Sipil yang akan diangkat oleh Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota

atas nama Bupati/Walikota, untuk mengisi jabatan sekretaris pada suatu desa, sebagaimana

ketentuan Pasal 25) ayat 1), harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a) berpendidikan

paling rendah lulusan SMU atau sederajat; b)  mempunyai pengetahuan tentang teknis

pemerintahan; c) mempunyai kemampuan di bidang administrasi

perkantoran; d) mempunyai pengalaman di bidang administrasi perkantoran; mempunyai

pengalaman di bidang administrasi keuangan; e) memahami social budaya

setempat; f) bersedia tinggal di desa yang bersangkutan.

[29] Purwo, Santoso, dkk. (ed). Menembus Ortodoksi Kajian Kebijakan

Publik. (Yogyakarta: Fisipol UGM, 2004), h. 57.

[30] Abdul Wahab Solichin. Analisis Kebijakan Dari Formulasi Ke Implementasi

Kebijakan Negara. (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h. 68.

[31] Wiliam, N. Dun. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. (Yogyakarta: Gajah Mada

University Press, 2001), h. 70.

[32] Leo Agustino. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. (Bandung: Alfabeta, 2008), h.

139.
[33] Joko Widodo. Analisis Kebijakan Publik Konsep Dan Aplikasi Analisis Proses

Kebijakan Publik. (Malang: Bayumedia Publishing, 2001), h. 195.

[34] Widodo, Loc.cit.,

[35] Widodo, Op.cit., h. 167.

[36] Ibid., h. 199.

[37] Widodo, Op.cit., h. 201.

[38] Widodo Ibid.,  h. 203.

[39] Widodo, Op.cit., h. 204.

Anda mungkin juga menyukai