Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

PENGERTIAN PROFESI ADVOKAT

Dosen Pembimbing : Prof.Dr.H.Faisal,S.H.,M.H.

Disusun oleh

Kelompok 2 :

1. Ajeng Rizky Kartika Sari 1821030182


2. Alda 1821030097
3. Amalina Lupita Rahma 1821030128

HUKUM EKONOMI SYARI’AH (MUAMALAH)

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG

TAHUN 2021 M/ 1442 H


KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb

Puji syukur kehadirat Allah SWT. Yang telah melimpahkan segala rahmat,
taufiq serta inayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah
yang merupakan menjadi komponen penilaian dalam perkuliahan Bantuan Hukum
dan Advokat. Dengan judul makalah “Pengertian Profesi Advokat”.
Shalawat beriringkan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW beserta seluruh keluarga,sahabat, dan para pengikutnya hingga
akhir zaman , dan semoga kelak kita mendapatkan syafa’atnya di hari akhir .
Kami menyadari sepenuhnya penyusunan makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, baik dari segi penulisan ataupun dri segi materi. Oleh karena itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun terhadap segla
kekurangan demi penyempurnaan lebih lanjut. Semoga makalah ini bermanfaat
bagi penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya.

Wassalamualaikum wr.wb

Bandar Lampung, 20 Maret 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................i

KATA PENGANTAR ......................................................................................ii

DAFTAR ISI ....................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................1


A. Latar Belakang .......................................................................................1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................2
C. Tujuan ....................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................3
A. Profesi Advokat dan Kepengacaraan .....................................................3
B. Lembaga Bantuan Hukum .....................................................................12
C. Fungsi dan Lembaga Advokat ................................................................18

BAB III PENUTUP ..........................................................................................22

A. Kesimpulan ............................................................................................22
B. Saran ......................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................23

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bantun hukum dapat diberikan oleh sesorang yang memahami hukum, atau
yang disebut penasehat hukum, seperti pengecara dan Alvokat. Dalam perkara
Pidana Pemberi Bantuan hukum disebut pembela, yang dileksanakan oleh
penasehat hukum yang disebut Advokat. Seoranf Alvokat adalah penasehat
hukum yang tidak saja dapat bertindak sebagai pengecara dalam perkara perdata
tapi juga dapat dalam bertindak sebagai perkara pidana. Menurut pasal 186 RO
lama Advokat itu diangkat Menteri Kehakiman dan disaratkan berkelar Sarjana
Hukum.Didalam perkara pidana tersangka atau terdakwa berhak mendapat
bantuan hukum dari seorang atau lebih penasehat hukum selam dalam waktu dan
pada setiap tingkat pemeriksaan perkara. Untuk mendapatkan penasehat hukum
tersaangka atau terdakwa berhak memilih sendiri penasehat hukumnya (pasal 54-
55 KUHAP). Bagi tersangka dan terdakwa yang disangka atau didakwa
melakukan tindak pidana yang diancam dengan mati, yang tidak mampu dan tidak
mempunyai penasehat hukum sendiri, maka pejabat bersangkutan wajib
menunjuk penasehat hukum bagi mereka yang memberikan bantuan hukumnya
dengan Cuma-Cuma (pasal 56 KUHAP).

Dalam meleksanakan tugasnya memberikan bantuan hukum penasehat hukum


berhak menghubungi tersangka sejak saat ia ditangkap atau ditahan pada semua
tingkat pemeriksaan. Bahkan untuk kepentingan pembelaan setiap waktu
penasehat hukum dapat menghubungi dan berbicara dengan tersangka (pasal 69-
70 KUHAP). Dengan berhubungan dengan tersangka penasehat penasehat hukum
diawasi oleh penyidik (polisi), penuntut umum (jaksa) atau petugas lembaga

1
permasyarakatan (petugas penjara) tanpa mendengar isi pembicaraannya, kecuali
dalam hal kejahatan keamanan Negara (pasal 71 KUHAP). Untuk kepentingan
pembelaan penasehat hukum dapat meminta turunan berita acara pemeriksaan
kepada pejabat bersangkutan (pasal 72 KUHAP). Untuk keperluan pembelaan
tersebut penasehat hukum tidak boleh dikurangi kebebasannya berhubungan
dengan tersangka (pasal 74 KUHAP)

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana profesi advokat dan kepengacaraan?
2. Bagaimana lembaga bantuan hukum di Indonesia?
3. Apa fungsi advokat dan lembaga advokat?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui profesi advokat dan kepengacaraan
2. Untuk mengetahui lembaga bantuan hukum di Indonesia
3. Untuk mengetahui fungsi advokat dan lembaga advokat

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Profesi Advokat dan Kepengacaraan

Apabila kita telah berbicara tentang profesi hukum pasti yang terbenah di
fikiran kita adalah sesuatu keahlian yang tinggi yang dimiliki seseorang, tentu
saja dalam konteks ini bisa kita sebut dengan advokat. Dalam praktek hukum di
Indonesia, istilah-istilah diatas mempunyai perbedaan pengertian yang cukup
bermakna, walaupun dalam bahasa Inggris semua istilah secara umum disebut
sebagai lawyer atau ahli hukum. Perbedaan pengertian disini adalah antara peran
yang diberikan oleh lawyer yang memakai istilah advokat, pengacara dan
penasehat hukum yang dalam bahasa Inggris disebut trial lawyer dan peran yang
diberikan oleh lawyer yang menggunakan istilah konsultan hukum yang di
Amerika dikenal dengan istilah counselor at law atau di Inggris dikenal dengan
istilah solicitor. (Yudha Pandu, 2004).

Kata advokat itu sendiri berasal dari bahasa latin advocare, yang berarti to
defend, to call to one’s aid, to vouch or to warrant. Sedangkan dalam bahasa
Inggris Advocate, berarti to speak in favor of or defend by argument, to support,
indicate or recommend publicly. (Frans Hendra Winarta, 1995). Sedangkan
menurut UU Advokat Indonesia Pasal 1 ayat 1 menerangkan bahwa advokat
adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar
pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan undan-undang ini. 1

1. Advokat Pada Masa Pra Kemerdekaan

Profesi advokat sesungguhnya sarat dengan idealisme. Sejak profesi ini


dikenal secara universal sekitar 2000 tahun lalu, ia sudah dijuluki sebagai
“officium nobile” artinya profesi yang mulia dan terhormat. Profesi advokat itu

1
Rudi Santoso, Pengenalan Profesi Advokat dan Kepengacaraan,
https://rudisantosomhi.wordpress.com/2012/01/02/pengenalan-profesi-advokat-dan-
kepengacaraan/amp/, diakses pada tanggal 18 Maret 2021 pukul 13.28

3
mulia, karena ia mengabdikan dirinya kepada kepentingan masyarakat dan bukan
kepada dirinya sendiri, serta ia berkewajiban untuk turut menegakkan hak-hak
asasi manusia.

Namun, seringkali dalam kenyataan, orang-orang yang menggeluti profesi


advokat tidak dapat menjunjung tinggi idealisme dari profesi itu sendiri. Hal itu
bisa karena faktor diluar dirinya yang begitu kuat, tetapi terkadang juga karena
kurangnya penghayatan advokat yang bersangkutan terhadap esensi profesinya.
Sejarah keadvokatan di Indonesia tumbuh dan berkembang tidak sebagaimana
yang terjadi di Eropa. Sebagaimana di tanah jajahan lainnya, keadvokatan
Indonesia memperoleh bentuk pada masa kolonial Belanda. Maka konsekuensi
logis apabila model advokat Indonesia dengan sendirinya adalah seperti advokat
Belanda. Besarnya pengaruh kolonial terhadap perkembangan profesi advokat
terkait erat dengan perbedaan tradisi hukum anglo-saxon (common law) dan
tradisi hukum eropa kontinental (civil law). Di Hindia Belanda (Indonesia)
sampai pertengahan tahun 1920-an, semua advokat dan notaris adalah orang
Belanda. Hal ini pula yang mempengaruhi mengapa perkembangan advokat pasca
kemerdekaan Indonesia masih berjalan lambat. Mengenai hal ini, Daniel S. Lev
berpendapat bahwa besar kecilnya jumlah advokat pribumi tergantung kepada
kombinasi ideologi pemerintahan dan kebijaksanaan ekonomi kolonialnya,
(Daniel S. Lev, 1990).

Namun terjadi perubahan pada pertengahan abad kesembilan belas, Belanda


mengubah kebijaksaan kolonialnya dengan lebih legalitas. Dimulai pada akhir
tahun 1840-an, beberapa kitab undang-undang baru diundangkan, organisasi dan
kebijaksanaan kehakiman dikembangkan dan dibenahi, serta pemerintahan
dirasionalisasi dengan hukum dan peraturan yang cocok. Dengan demikian
rechtsstaat diperkenalkan di tanah jajahan, meskipun hanya berorientasi pada
kepentingan kolonial, (Daniel S. Lev, 1990). Pada permulaan abad keduapuluh
pemerintah kolonial menganut kebijaksanaan etis, yang bertujuan menciptakan
kesejahteraan dan kemajuan sosial golongan pribumi. Kebijakan ini gagal karena

4
pemerintah kolonial lebih mendorong terciptanya ketertiban daripada membangun
kepercayaan kemampuan sendiri bagi golongan pribumi. Namun sejak 1920-an
dan 1930-an beberapa orang ahli hukum Indonesia berpendidikan hukum diangkat
sebagai hakim. Pengadilan Indonesia menggunakan KUH Pidana dengan hukum
acara yang dikenal HerzieneInlandse Reglement (HIR), (Daniel S. Lev, 1990)

Salah seorang tokoh yang mendorong perkembangan advokat Indonesia


adalah Mr. Besar Martokusumo. Pada saat itu tidak satupun kantor advokat yang
besar kecuali kantor Mr. Besar di Tegal dan Semarang, dan kantor advokat Mr.
Iskak di Batavia. Bagi advokat Indonesia asli memulai praktik adalah langkah
yang sulit. Hal ini terjadi karena advokat Belanda mengganggap mereka sebagai
ancaman dalam persaingan. Perkembangan sistem hukum pemerintahan kolonial
telah memberikan kontribusi yang besar bagi perkembangan advokat pribumi
pada masa itu. Seiring dengan itu semangat nasionalisme para advokat Indonesia
untuk memperjuangkan kemerdekaan menjadikan para advokat Indonesia terlibat
aktif pada berbagai organisasi pergerakan.

2. Advokat Sejak Masa Kemerdekaan

Perkembangan pengaturan profesi advokat di Indonesia dilanjutkan pada masa


pendudukan Jepang. Pemerintah kolonial Jepang tidak melakukan perubahan
yang berarti mengenai profesi ini. Hal ini terbukti pada UU Nomor 1 Tahun 1946
tentang Pemberlakuan Wetboek van strafrecht voor Nederlands Indie tetapi
digunakan istilah KUH Pidana. UU ini memuat pengaturan tentang kedudukan
advokat dan procureur dan orang-orang yang memberikan bantuan hukum.
Pengaturan profesi advokat secara sporadis tersebar dalam berbagai ketentuan
perundang-undangan termasuk didalamnya ketentuan pada masa kolonial
Belanda. Bahkan pengaturan profesi advokat sejak proklamasi 17 Agustus 1945
justru kurang mendapat perhatian. Hal ini ditunjukkan dengan tidak
ditemukannya istilah advokat atau istilah lain yang sepadan dimasukkan dalam
UUD 1945. Demikian pula pada UUD RIS 1949 yang digantikan dengan UUDS

5
1950. Sehingga ironi dalam pembangunan hukum di Indonesia, tidak mengatur
secara khusus profesi advokat sebagaimana profesi hukum lainnya, padahal
profesi ini sebagai salah satu unsur penegak hukum. Akibatnya menimbulkan
berbagai keprihatinan dan kesimpangsiuran menyangkut profesi tersebut. Seirama
dengan merosotnya wibawa hukum (authority of law) dan supremasi hukum
(supremacy of law), maka profesi hukum ini juga terbawa arus kemerosotan.
Meskipun demikian secara implisit, terdapat beberapa ketentuan yang
mengisyaratkan pengakuan terhadap profesi ini, antara lain sebagai berikut :

a. UU Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan untuk Jawa dan


Madura, dalam Pasal 7 ayat 1 menyebutkan bahwa peminta atau wakil dalam
arti orang yang diberi kuasa untuk itu yaitu pembela atau penasehat hukum.
b. UU Nomor 1 Tahun 1950 tentang Mahkamah Agung dalam Pasal 42
memberikan istilah pemberi bantuan hukum dengan kata Pembela.
c. UU Drt. Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara Penyelenggaraan
Kekuasaan dan Acara Pengadilan sipil, memuat ketentuan tentang bantuan
hukum bagi tersangka atapun terdakwa.
d. UU Nomor 19 Tahun 1964 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang
kemudian diganti dengan UU Nomor 14 Tahun 1970, menyatakan bahwa
setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.
e. UU Nomor 13 Tahun 1965 tentang Mahkamah Agung, diganti dengan UU
Nomor 14 Tahun 1985, pada Pasal 54 bahwa penasehat hukum adalah mereka
yang melakukan kegiatan memberikan nasehat hukum yang berhubungan
suatu proses di muka pengadilan.
f. UU Nomor 1 Tahun 1981 tentang KUHAP, dalam Pasal 54 s/d 57 dan 69 s/d
74 mengatur hak-hak tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan penasehat
hukum dan tata cara penasehat hukum berhubungan dengan tersangka dan
terdakwa.

6
g. UU Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, mengakui keberadaan
penasehat hukum dalam memberi bantuan hukum kepada tersangka atau
terdakwa.
h. Surat Edaran dan Surat Keputusan Bersama Mahkamah Agung dan Menteri
Kehakiman, dan sebagainya.
Bahkan sebenarnya Pasal 38 UU Nomor 14 Tahun 1970, telah
mengisyaratkan perlunya pengaturan profesi advokat dalam UU tersendiri.
Namun hal itupun tidak menjadi perhatian pemerintah hingga akhirnya
tuntutan pengaturan tersebut semakin besar di kalangan organisasi advokat.
Setelah 33tahun, barulah perjuangan itu berhasil melalui UU Nomor 18 Tahun
2003 tentang Advokat. Berbagai argumentasi yang melatarbelakangi
lambatnya respon pemerintah terhadap pengaturan profesi advokat ini.
Diantaranya terkait dengan tipe kepemimpinan pemerintahan pada masa itu.
Misalnya pemerintahan Bung Karno pada masa orde lama, pernah berkata
kepada Mr. Sartono yang menjadi pembelanya di landraad Bandung 1930,
berikut petikannya :
“Mr. Sartono, aku pujikan segala usaha-usaha kamu, para advokat selalu
berpegang teguh kepada UU. Mereka lebih kuat menganut cara menembus
UU, suatu revolusi menolak UU yang berlaku hari ini dan maju diatas basis
meninggalkan UU itu. Karena sulit untuk melancarkan suatu revolusi beserta
kaum advokat dan pengacara. Adalah juga sulit untuk membangun pertahanan
suatu revolusi dengan para advokat dan pengacara. Yang kami harapkan
adalah luapan semangat peri kemanusiaan. Inilah yang akan kukerjakan”.

Demikian pula pada pemerintahan orde baru, campur tangan pemerintah


dalam pembentukan dan perpecahan organisasi advokat telah menyebabkan
tingkah laku, praktek dan sepak terjang pada advokat menjadi tidak terkontrol lagi
oleh organisasi profesi yang seharusnya ketat memberlakukan Kode Etik Profesi
Advokat dan mengawasi praktek profesi advokat. Sejak lahirnya UU Advokat,
profesi advokat mendapat pengakuan sehingga setara dengan penegak hukum

7
lainnya dalam prakteknya. Pengaturan ini juga berimplikasi pada rekturtmen
advokat secara sistematis sehingga diharapkan para advokat nantinya dapat
melaksanakan amanat profesi ini sebagai profesi yang mulia (officium nobile).

3. Pendidikan Dasar Advokat

Undang-undang RI Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, mengamanatkan


bahwa salah satu syarat menjadi advokat adalah dengan mengikuti pendidikan
khusus profesi advokat dan lulus ujian advokat. Dalam rangka menyiapkan
advokat yang professional dan memiliki kompetensi di bidang hukum, maka
sesuai dengan amanat UU Nomor 18 Tahun 2003 setiap calon advokat wajib
mengikuti pendidikan khusus profesi advokat yang dilaksanakan oleh organisasi
advokat. Menurut Undang- undang Nomor 18 tahun 2003 pasal 3 ayat 1 tentang
Advokat, untuk dapat menjadi seorang Advokat harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:

1) Warga Negara Republik Indonesia


2) Bertempat tinggal di Indonesia
3) Tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat Negara
4) Berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun.
5) Berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum.
6) Lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat.
7) Magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus-menerus pada kantor
Advokat
8) Tidak pernah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan
pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
9) Berprilaku baik, jujur, bertanggungjawab, adil, dan mempunyai integritas
yang tinggi.

Dengan memenuhi persyaratan yang ditentukan Pasal 2 dan 3 UU tentang


Advokat, maka seorang sarjana hukum dapat diangkat sebagai seorang advokat
dan akan menjadi anggota organisasi advokat (admission to the bar). Dengan

8
diangkatnya seseorang menjadi advokat, maka ia telah diberi suatu kewajiban
mulia melaksanakan pekerjaan terhormat (mobile officium).

4. Tanggung Jawab Profesi Advokat

Tanggung jawab secara umum menurut joko Tri Prasetyo, dan kawan kawan
adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatanya yang disengaja
maupun yang tidak disengaja. Tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai
perwujudan kesadaran atas kewajibanya. 2Berdasarkan pengertian diatas, maka
dapat dijelaskan bahwa tanggung jawab profesi advokat adalah suatu kesadaran
seorang advokat akan tingkah lakunya atau perbuatanya yang disengaja atau yang
tidak disengaja di dalam menjalankan profesi keadvokatan atau kepengacaraan.

Pada hakikatnya bahwa seorang advokat itu adalah termasuk makhluk


bermoral, dan juga seorang pribadi karena merupakan seorang pribadi maka
seorang advokat mempunyai pendapat sendiri, perasaan sendiri, yang dengan itu
seorang advokat berbuat atau bertindak. Dalam hal ini seorang advokat tidak
luput dari kesalahan, kekeliruan, baik yang disengaja maupun tidak disengaja.
Oleh karena itu seorang advokat didalam menjalankan tugasnya bertanggung
jawab kepada Negara, masyarakat, pengadilan, klien, Tuhan, dan pihak lawanya.

1. Tanggung Jawab kepada Negara


Seorang advokat sebagai manusia dan individu adalah warga negara suatu
negara. Dalam berpikir, berbuat, bertindak, dan bertingkah laku, seorang
advokat senantiasa terikat oleh norma-norma atau aturan-aturan yang dibuat
oleh negara. Seorang advokat tidak dapat berbuat semaunya sendiri. Jika
perbuatan seorang advokat itu salah, maka ia harus bertanggung jawab kepada
negara.
2. Tanggung Jawab kepada Masyarakat
Suatu kenyataan bahwa seorang advokat adalah makhluk sosial. Seorang
advokat merupakan anggota masyarakat. Disamping itu juga mendapat

2
Joko Tri Praseta, Dkk., Ilmu Budaya Dasar, Jakarta: Rineka cita, 2004, Cetakan Ketiga, hlm.154

9
kepercayaan publik, bahwa advokat tersebut akan selalu berperilakuan jujur
dan bermoral tinggi. Oleh karena itu didalam berpikir, bertingkah laku, dan
berbicara seorang advokat terikat oleh masyarakat. Dengan demikian, segala
tingkah laku dan perbuatan seorang advokat harus dipertanggung jawabkan
kepada masyarakat.
3. Tanggung Jawab kepada Pengadilan
Suatu kenyataan bahwa seorang advokat adalah berstatus sebagai penegak
hukum. Dengan demikian advokat sebagai salah satu perangkat dalam proses
peradilan, yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hokum lainya
dalam menegakkan hokum dan keadilan.Oleh karena itu, seorang advokat
dalam berpikir, bertingkah laku, dan berbicara di persidangan wajib mematuhi
prinsip-prinsip persidangan sebagaimana yang telah ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Disamping itu juga seorang advokat harus
mendukung kewenangan pengadilan dan menjaga kewibawaan sidang.
4. Tanggung Jawab kepada Klien
Advokat yang mendampingi klien di muka pengadilan harus menempatkan
diri sebagai agen of service, yakni pelayanan yang mengabdi kepada keadilan,
serta berkewajiban untuk membela kepentingan klien yang senantiasa ditimpa
dengan nilai-nilai kebenaran dalam menegakkan hokum dan hak-hak asasi
klien. Disamping itu seorang advokat wajib berusaha memperoleh
pengetahuan sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya tentang kasusu
kliennya, sebelum memberikan nasihat dan bantuan hukum.
Seorang advokat wajib memberikan pendapatnya secara terus terang tentang
untung ruginya perkara yang akan dilitigasi dan kemungkinan hasilnya.
Dengan demikian segala tindakan dan perbuatan seorang advokat harus
dipertanggungjawabkan kepada klien.
5. Tanggung Jawab kepada Tuhan
Advokat merupakan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Sebagai ciptaan
tuhan advokat dapat mengembangkan diri sendiri dengan sarana-sarana pada
dirinya, yakni pikiran, perasaan, seluruh anggota tubuhnya, dan alam

10
sekitarnya. Dalam mengembangkan dirinya advokat bertingkah laku dan
berbuat. Dalam perbuatanya advokat tentu membuat banyak kesalahan baik
yang disengaja maupun tidak. Sebagai hamba Tuhan, advokat harus
bertanggung jawab atas segala perbuatan yang salah itu, atau dengan istilah
agama atas segala dosanya.
6. Tanggung Jawab kepada Pihak Lawan
Advokat merupakan penegak hukum yang sejajar dengan instansi penegak
hukum lainya. Hubungan antara teman sejawat advokat atau pihak lawan
harus dilandasi sikap saling menghormati, saling menghargai, dan saling
mempercayai. Advokat jika membicarakan teman sejawat atau pihak lawan
berhadapan satu sama lain dalam sidang pengadilan, hendaknya tidak
menggunakan kata-kata yang tidak sopan baik secara lisan maupun tertulis,
serta tidak diperkenankan merebut klien dari teman sejawatnya.
Oleh karena itu seorang advokat di dalam berbuat, bertindak, beringkah laku,
serta berkata-kata, harus mempertanggungjawabkan kepada teman sejawat
atau kepada pihak lawan. Selain advokat itu mempunyai tanggung jawab
sebagaimana telah disebutkan diatas, advokat juga berkedudukan sebagai
pegawai konstitusi, sebagai pembela hak asasi manusia, dan profesi hukum
yang paling dekat dengan masyarakat, maka dalam menjalankan profesinya,
seorang advokat harus memegang teguh sumpah advokat dalam rangka
menegakkan hukum, keadilan, dan kebenaran. Sumpah atau janji advokat
sebagaimana lafalnya yang tercantum pada pasal 4 ayat (2) Undang undang
Nomor 18 Tahun 2003 sebagai berikut.
Demi Allah saya bersumpah / saya berjanji :
Bahwa saya akan memegang teguh dan mengamalkan pancasila
sebagai Dasar Negara dan Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia;
Bahwa saya untuk memperoleh profesi ini, langsung atau tidak
langsung dengan menggunakan nama atau cara apa pun juga tidak

11
memberikan atau menjanjikan sesuatu barang kepada siapa pun
juga;
Bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pemberi jasa
hukum akan bertindak jujur, adil, dan bertanggung jawab
berdasarkan hukum dan keadilan;
Bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi di dalam atau di luar
pengadilan tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada
hakim, pejabat pengadilan atau pejabat lainya agar memenangkan
atau menguntungkan bagi perkara klien yang sedang atau akan saya
tangani;
Bahwa saya akan menjaga tingkah laku saya dan akan menjalankan
kewajiban saya sesuai dengan kehormatan, martabat, dan tanggung
jawab saya sebagai advokat;
Bahwa saya tidak akan menolak melakkan pembelaan atau memberi
jasa hukum di dalam suatu perkara yang menurut hemat saya
merupakan bagian dari tanggung jawab profesi saya sebagai
advokat.

Berdasarkan sumpah advokat tersebut, jelaslah bahwa seorang advokat dalam


menjalankan tugasnya harus selalu memasukkan ke dalam pertimbangannya
kewajibannya terhada3p klien, lawan berbicara, pengadilan, diri sendiri,
Tuhan, dan terhadap negara.

B. Lembaga Bantuan Hukum

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) didirikan oleh Persatuan Advokat Indonesia


(PERADIN), yang kemudian menjadi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia (YLBHI) pada tahun 1980, selama ini dibiayai oleh dana yang
diperoleh dari luar negeri dan sampai tahun 1978 dibiayai oleh pemda DKI
Jakarta dan Sumbangan Masyarakat. Biro Bantuan Hukum Universitas (BBH)

3
Ishaq,Pendidikan Keadvokatan,Jakarta: Sinar Grafika , 2012, hlm.43

12
tidak berkembang karena hambatan kultural. Universitas seperti Universitas
Indonesia, Universitas Padjajaran, dan Universitas Brawijaya yang hanya
memberikan bantuan hukum di luar sidang khusus kepada mereka yang tidak
mampu, kemudian mengubah dirinya juga memberikan bantuan hukum di sidang
pengadilan. Pada dekade tahun 1950-an dan 1960-an, hanya dikenal dua Biro
Bantuan Hukum (BBH), yaitu: Sin Ming Hui dan Universitas Indonesia yang
dimulai atas prakarsa Ting Swan Tiong, yang kemudian disusul oleh Universitas
Padjajaran yang didirikan atas prakarsa Mochtar Kusumaatmadja.

Ada beberapa hal yang menyebabkan biro bantuan hukum di Fakultas-


Fakultas Hukum Perguruan Tinggi Negeri ini mengalami kemunduran, antara
lain:

a. Konsentrasi advokat (lawyer) yang pecah.


Lawyers atau para advokat pada biro bantuan hukum di perguruan tinggi
adalah dosen-dosen yang mempunyai tugas pokok sebagai tenaga pengajar
yang harus mempersiapkan diri dengan pengetahuan hukum secara
komprehensif agar dapat melaksanakan kewajibannya untuk mengajar
dengan baik. Untuk menjadi advokat yang “capable” sangat dibutuhkan
keseriusan dan konsentrasi penuh yang tidak bisa dibarengi dengan
pekerjaan serius lainnya.
b. Biro bantuan hukum di perguruan tinggi bersifat “nonprofit oriented”
sedangkan tingkat penghasilan dosen tergolong rendah.
Dosen-dosen yang berpraktik sebagai advokat (lawyer) pada biro bantuan
hukum di perguruan tinggi negeri yang notabene “nonprofit oriente”
semkin sulit mengejar kemajuan mereka dalam hal penghasilan,
dibandingkan dengan profesi lain. Khususnya, dibandingkan dengan
advokat (lawyer) profesional yang biasanya berpenghasilan lebih besar
walaupun penguasaan terhadap materi dan praktik hukumnya sebanding,
bahkan terkadang lebih rendah daripada para dosen tersebut.
c. Keterbatasan penanaan.

13
Biro bantuan hukum di perguruan tinggi negeri tidak dapat berkembang
dengan baik karena jumlah dana yang dialokasikan oleh perguruan tinggi
kepada biro bantuan hukum tersebut tidak memadai untuk mencukupi
kebutuhan-kebutuhan pokok, seperti pengadaan perpustakaan hukum yang
representatif, pelatihan dan pendidikan kepada tenaga-tenaga lawyer pada
biro bantuan hukum tersebut tentang masalah-masalah hukum aktual, dan
hal lain yang dibutuhkan untuk perkembangan biro bantuan hukum
tersebut.
d. Profesionalitas tenaga advokat di biro bantuan hukum di perguruan tinggi
negeri.
Adanya penerapan kurikulum pendidikan tinggi hukum yang kurang
mendukung dan kurang mengarahkan para advokat di biro bantuan hukum
semasa mereka masih kuliah, untuk mengembangkan kemampuan
(competence) atau kemahiran hukum (legal skills) sebagai praktisi hukum,
telah menimbulkan masalah baru bagi advokat (lawyer) di biro bantuan
hukum dalam menghadapi permasalahan hukum yang ditanganinya.
Menurut Mardjono Reksodiputro, citra dari sarjana dan praktisi hukum
akan sangat didukung oleh sifat accountability dan juga sifat-sifat lain,
seperti dapat dipercaya (reliability) dan setia pada permasalahan hukum
4
yang diwakilinya. Sebaliknya, para advokat (lawyer) di biro bantuan
hukum kebanyakan tidak memiliki sifat-sifat sebagaimana dikemukakan
diatas, akibatnya ketika mereka menjalankan tugasnya sebagai advokat,
timbul masalah ketidakprofesionalan yang menghambat perkembangan
dari biro bantuan hukum tersebut.
Biro bantuan hukum biasanya mempekerjakan dosen-dosen muda sebagai
tenaga advokat (lawyer) sehingga mereka sering kali belum siap untuk

4
Mardjono Reksodiputro, “Rapat Kerja Bidang Ilmu Hukum se-Koperlis Wilayah XI”,
Banjarmasin, 3-4 April 1994, Kumpulan Karangan, dalam Buku Pembaharuan Pendidikan Tinggi
Hukum Di Indonesia Dalam Menghadapi Tantangan Abad Ke-21, Konsorsium Ilmu Hukum
Departemen Pendidikan Tantangan Abad Ke-21, Konsorsium Ilmu Hukum Departemen Pendidikan
Dan Kebudayaan Dan Pengabdian Hukum, Universitas Indonesia, November 1995, hlm. 50.

14
mengatasi permasalahan hukum yang dihadapi oleh kliennya, yang terdiri
atas masyarakat kecil yang mencari perlindungan dan bantuan hukum.
e. Kurangnya kepercayaan masyarakat.
Bertolak dari keterbatasan-keterbatasan biro bantuan hukum di perguruan
tinggi negeri sebagaimana dikemukakan dalam butir-butir sebelumnya, hal
ini menimbulkan kurangnya kepercayaan masyarakat biro bantuan hukum
untuk menangani permasalahan mereka. Kondisi ini didukung oleh
lahirnya LSM dibidang bantuan hukum yang dicetuskan oleh tokoh-tokoh
hukum yang sangat concern terhadap perlindungan hak asasi manusia dan
kepentingan rakyat kecil yang tertindas oleh rezim yang berkuasa.

Misalnya, YLBHI yang diprakarsai oleh PERADIN atau usulan advokat


Adnan Buyung Nasution. Dengan dukungan yang kuat dari media massa terhadap
kiprah YLBHI dan LBH-LBH yang tersebar di daerah-daerah yang rawan
pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia, kasus-kasus masyarakat kecil
tersebut dengan mudah diekspos ke dalam dan luar negeri sehingga mendapat
perhatian dengan cepat oleh pihak pemerintah. Di samping itu, para advokat yang
bekerja di YLBHI/LBH tersebut biasanya berasal dari mahasiswa yang terkenal
dengan idealismenya dalam memperjuangkan nilai-nilai kebenaran dan
pembelaan terhadap masyarakat kecil. Jadi, seluruh konsentrasi bahkan kehidupan
mereka dipertaruhkan untuk pekerjaan mereka sebagai advokat rakyat kecil. Hal
ini menimbulkan kepercayaan yang besar kepada masyarakat kecil untuk
menyerahkan masalahnya kepada YLBHI/LBH atau lembaga bantuan lain seperti
LBH Nusantara, LBH Dharma Nusantara, dan PBHI yang melakukan pekerjaan
pro bono publico bagi orang miskin dan lain-lain.

Sebaliknya, walaupun ada beberapa biro bantuan hukum yang membela


kepentingan kliennya sampai di tingkat pengadilan seperti halnya biro bantuan
hukum Unair dan Unpad. Akan tetapi, upaya mereka ini sering dapat dilakukan
secara optimal karena terhambat oleh status tenaga lawyer pada biro bantuan
hukum tersebut, sebagai pegawai negeri, sehingga mereka lebih banyak berperan

15
dibalik layar mana kala kliennya menghadapi masalah melawan pemerintah yang
berkuasa. Akibatnya, biro bantuan hukum ditinggalkan oleh masyarakat kecil
sehingga perkembangannya semakin lambat dibanding LBH-LBH lain.

Menurut UUD 1945 dalam pasal 34, fakir miskin adalah menjadi tanggung
jawab negara bantuan hukum yang di dunia barat dikenal sebagai bagian dari
profesi advokat (penasehat hukum) dalam rangka pro bono publico dianggap
merupakan katup pengaman (safet value) untuk meredam keresahan sosial (social
unrest) yang dapat berakibat buruk seperti huru hara gejolak sosial. Hal ini belum
mendapatkan tempat yang layak dalam sistem hukum di Indonesia c.q. sistem
peradilan pidana. huru-hara selama tahun 1996, 1997 dan 1998 di berbagai tempat
di tanah air membuktikan bahwa masyarakat prestasi karena tidak dapat
menyampaikan aspirasi dan keluhannya sehingga mengakibatkan ledakan sosial
yang destruktif. Orang mampu dapat membayar advokat yang profesional dan ahli
dalam hukum sebaliknya fakir miskin tidak mampu membayar advokat untuk itu
lembaga bantuan hukum (legal aid) dapat memegang peranan yang penting dalam
pemerataan keadilan sehingga baik orang kaya maupun fakir miskin dapat
memperoleh pembelaan yang sama dan perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Dalam konteks Indonesia institusi-institusi hukum tidak dapat berjalan
sebagaimana mestinya dan menampung keluhan serta aspirasi dari masyarakat
terutama fakir miskin. Karenanya, lembaga bantuan hukum dapat dianggap
sebagai alternatif untuk meredam segala keresahan sosial dan gejolak sosial. Jelas
di dalam keadaan seperti ini pemerintah dan masyarakat harus turut bertanggung
jawab dalam membiayai operasi lembaga bantuan hukum di seluruh Indonesia. 5

Masyarakat yang menyampaikan aspirasi dan keluhannya ke DPR seringkali


tidak memperoleh tanggapan semestinya begitu pula keluhan yang disampaikan
ke Komnas HAM (Komite Nasional Hak Asasi Manusia) tidak selalu memenuhi
harapan masyarakat karena keterbatasannya. Ini bukan berarti bahwa lembaga
bantuan hukum dapat memenuhi semua harapan masyarakat karena lembaga

5
Frans hendra winata, Bantuan Hukum, Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2011,hlm.57

16
bantuan hukum pun mempunyai keterbatasan. Namun setidaknya lembaga
bantuan hukum dapat membela masyarakat yang mempunyai kasus-kasus hukum
baik itu pembelaan di luar pengadilan maupun di dalam pengadilan. Para birokrat
mengakui keberadaan lembaga bantuan hukum sebagai institusi hukum yang
dapat membantu pemerataan keadilan di dalam masyarakat dalam rangka
mencapai keadilan sosial sebagai konsepsi pemilihan atau fakir miskin bantuan
hukum justru memerlukan dana operasional dari kelompok yang tergolong kuat
secara ekonomi seperti pengusaha, industrialis, banjir, asosiasi advokat,
masyarakat hukum, organisasi kemanusiaan dan pemerintah. Oleh karena itu
adalah wajar kalau dana bantuan hukum dimasukkan dalam anggaran pendapatan
belanja negara secara proporsional.

Dari sekitar 300 organisasi bantuan hukum yang ada di Indonesia sebagian
besar pada praktik dan berfungsi seperti kantor advokat (penasihat hukum) serta
menggalang dana dari klien atas jasa hukum yang diberikan dengan tidak
membedakan strata sosioekonomi mereka. Padahal bantuan hukum itu sifatnya
prodeo (demi Tuhan) tidak dipungut biaya karena disediakan untuk fakir miskin,
dan oleh karena itu bersifat nonkomersial kecuali dipungut biaya untuk ongkos
administrasi. Melalui pembentukan undang-undang advokat yang mengatur
profesi advokat dan bantuan hukum dapat diharapkan adanya persepsi yang sama
tentang bantuan hukum di antara polisi, jaksa, advokat pengadilan petugas
pemasyarakatan dan masyarakat. Di negeri Belanda sudah ada undang-undang
tentang advokat yang disebut Advokatenwet yang dalam undang-undang itu juga
diatur mengenai bantuan hukum sebagai bagian dari profesi advokat. Dengan
adanya undang-undang advokat selain tugas dan kewajiban advokat serta
kewajiban advokat di masyarakat menjadi jelas, kewajibkan untuk membela
orang miskin yang diatur dalam kode etik advokat dikuatkan lagi dalam undang-
undang advokat. Dan untuk menutupi kekurangan waktu dan jangkauan para
advokat pembela orang miskin LBH dapat mensubtitusinya sebagai organisasi
pembelaan bagi orang miskin secara konsepsional dengan jangkauan yang luas

17
dan sebagai institusi hukum baru yang dapat mendorong terciptanya rule of law di
Indonesia.

C. Fungsi Advokat dan Lembaga Advokat

Profesi advokat/pengacara sesungguhnya dikenal sebagai profesi yang mulia


(officium nobile), karena mewajibkan pembelaan kepada semua orang tanpa
membedakan latar belakang ras, warna kulit, agama, budaya, sosial, ekonomi,
kaya miskin, keyakinan politik, gender, dan ideologi. Profesi advokat/pengacara
menurut Ropaun Rambe bukan sekadar mencari nafkah semata, tetapi juga harus
memperjuangkan nilai kebenaran dan keadilan, karena di dalamnya terdapat
adanya idealisme dan moralitas. 6Oleh karena itu, seorang advokat tidak dapat
terpaku begitu saja kepada hukum positif yakni kepastian hokum dalam
melakukan pembelaan terhadap kliennya. Akan tetapi seorang advokat harus juga
mengutamakan kebenaran dan keadilan, sebab tujuan utama sebenarnya hukum
itu adalah terciptanya kebenaran dan keadilan.

Profesi advokat/pengacara berfungsi untuk membela kepentingan masyarakat


(public defender) dan kliennya. Hampir setiap orang yang menghadapi suatu
masalah di bidang hukum di era reformasi ini cenderung menggunakan jasa
advokat. Terlebih lagi dalam rangka perdagangan bebas (free trade), keberadaan
profesi advokat sangat dibutuhkan. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan fungsi
pengacara itu mutlak diperlukan adanya profesi advokat yang independen, artinya
dalam menjalankan profesinya membela masyarakat dalam memper-juangkan
keadilan dan kebenaran hukum tidak mendapat tekanan dari pihak manapun juga.
Kebebasan profesi advokat itu sedemikian rupa harus dijamin dan dilindungi oleh
undang-undang, agar jelas status dan kedudukannya dalam masyarakat sehingga
bisa berfungsi secara maksimal. Dalam sistem peradilan pidana, masing-masing
penegak hokum sudah mempunyai tugas masing-masing. Seperti polisi bertugas
di bidang penyelidikan dan penyidikan, kejaksaan bertugas di bidang penuntutan,

6
Ropaun Rambe , Teknik Praktek Advokat , Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2001, hlm 33.

18
hakim mempunyai tugas akhir memutuskan perkara, sedangkan advokat dalam
menjalankan tugasnya berada pada posisi masyarakat (klien).

Dalam rangka membela klien, seorang advokat harus memegang teguh prinsip
equality before the law (kesejajaran di depan hukum) dan asas presumption of
innocene (praduga tidak bersalah), agar di dalam pembelaan dan tugasnya sehari-
hari ia berani menjalankan profesi dan fungsinya dengan efektif. Adapun fungsi
advokat/pengacara dalam membela kepentingan masyarakat dan kliennya dalam
perkara pidana terdiri dari pemeriksaan tingkat penyidikan dan pengadilan. Pada
tingkat pemeriksaan penyidikan telah disebutkan dalam Pasal 114 KUHAP yang
berbunyi:

Dalam hal seorang disangka melakukan suatu tindak pidana sebelum dimulainya
pemeriksaan oleh penyidik, penyidik wajib memberitahukan kepadanya tentang
haknya untuk mendapatkan bantuan hukum atau bahwa ia dalam perkaranya itu
wajib didampingi oleh penasihat hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56.7

Selanjutnya dalam Pasal 115 ayat (1) KUHAP dikatakan bahwa:

Dalam hal penyidik sedang melakukan pemeriksaan terhadap tersangka,


penasihat hukum dapat mengikuti jalannya pemeriksaan dengan cara melihat
serta mendengar pemeriksaan. 8

Berdasarkan pasal di atas, fungsi penasihat hukum (pengacara) dalam


mendampingi tersangka dalam taraf pemeriksaan atau penyidikan adalah untuk
menjunjung tinggi hak asasi manusia, dan kedudukan penasihat hukum
(pengacara) itu dalam mengikuti jalannya pemeriksaan hanya secara pasif saja.
Selanjutnya dalam pemeriksaan di tingkat pengadilan, pengacara itu sudah
mempunyai fungsi yang aktif sekali, yakni harus berusaha membantu terdakwa
untuk meringankan, bahkan membebaskan ancaman hukuman yang didakwakan

7
M.Budiarto, K. Wantjik Saleh, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1981, hlm.77.
8
M.Budiarto,K. Wantjik Saleh, ibid.

19
oleh jaksa penuntut umum kepada terdakwa, apalagi bagi terdakwa yang diancam
dengan pidana lima tahun atau lebih, tanpa pengacara tentu terdakwa itu akan
menerima ancaman hukuman yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum,
sehingga keputusan hakim akan terasa sumbang, karena hanya mendengar dari
sebelah pihak saja yakni dari pihak jaksa selaku penuntut umum. Padahal, tujuan
hukum acara pidana adalah untuk mencari kebenaran yang materiil, yaitu
kebenaran yang nyata atau betul-betul kebenaran dalam perbuatan pidana yang
dilakukan oleh terdakwa, atau hubungan antara pihak yang terkait dalam
perbuatan pidana tersebut. Bertitik tolak dari keterangan di atas, dapat dijelaskan
bahwa fungsi pengacara itu dapat ditinjau dari dua segi, yaitu sebagai berikut.

1. Dari Segi Kepentingan Tersangka

Dari segi ini pengacara berfungsi mendampingi dan membela hak- hak
tersangka (klien) dalam menjalani seluruh tahapan proses system peradilan
pidana (criminal justice system), yaitu mulai dari proses monitoring, evaluasi,
penyelidikan, penyidikan dan penahanan di kepolisian, penahanan dan
penuntutan di kejaksaan, proses peradilan di pengadilan, hingga pelaksanaan
eksekusi.

2. Dari Segi Kepentingan Pemeriksaan Pengacara

Dari segi ini, membantu jalannya pemeriksaan dengan melakukan pendekatan


terhadap terdakwa guna mengungkapkan keadaan yang sebenarnya dalam
mencari kebenaran materiil yang menjadi tujuan hukum acara pidana, dan
membantu hakim dalam menemukan keyakinannya tentang keadaan
tersangka, serta membantu alat negara atau penegak hukum untuk
melaksanakan ketentuan hukum sebagaimana mestinya. Dalam hal ini,
pengacara berperan agar seorang tersangka (klien) dalam proses pemeriksaan
tidak diperlakukan sewenang-wenang. Dalam konteks tersebut tugas
pengacara sangatlah penting, karena apa jadinya dunia ini bila seseorang yang
belum diadili dan masih diduga bersalah langsung dijatuhi hukuman. Tentu

20
umat manusia akan kembali memasuki zaman purba yang penuh dengan
anarki, siapa yang kuat maka dialah yang selalu benar.

Telah dikemukakan, bahwa harus ada suatu kesediaan bagi Advokat Indonesia
untuk memberi nasihat dan bantuan hukum kepada setiap orang yang
memerlukannya secara non-diskriminatif tanpa mengadakan perbedaan Agama,
kepercayaan, suku, keturunan, keyakinan politik atau kedudukan sosialnya.
Dalam kongres-kongres dari International Commission Of Jurist yang
menginginkan adanya “Rule Of Law” sebagai konsep secara “Supra-national”
dalam hasil-hasil dan konklusinya telah menyinggung peranan dari Advokat
dalam hal ini.

Peran advokat sebagai profesi hukum yaitu memberi jasa hukum (baik di
dalam maupun di luar pengadialan dan memberi bantuan hukum secara cuma-
cuma kepada masyarakat yang tidak mampu. 9

9
Oemar Seno Adji, Profesi Advokat, Jakarta : Erlangga , 1991, hlm.30

21
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Profesi advokat sesungguhnya sarat dengan idealisme. Sejak profesi ini


dikenal secara universal sekitar 2000 tahun lalu, ia sudah dijuluki sebagai
“officium nobile” artinya profesi yang mulia dan terhormat. Profesi advokat
itu mulia, karena ia mengabdikan dirinya kepada kepentingan masyarakat dan
bukan kepada dirinya sendiri, serta ia berkewajiban untuk turut menegakkan
hak-hak asasi manusia..

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) didirikan oleh Persatuan Advokat


Indonesia (PERADIN), yang kemudian menjadi Yayasan Lembaga Bantuan
Hukum Indonesia (YLBHI) pada tahun 1980. Para birokrat mengakui
keberadaan lembaga bantuan hukum sebagai institusi hukum yang dapat
membantu pemerataan keadilan di dalam masyarakat dalam rangka mencapai
keadilan sosial sebagai konsepsi pemilihan atau fakir miskin.

Profesi advokat/pengacara berfungsi untuk membela kepentingan


masyarakat (public defender) dan kliennya. Hampir setiap orang yang
menghadapi suatu masalah di bidang hukum di era reformasi ini cenderung
menggunakan jasa advokat. Terlebih lagi dalam rangka perdagangan bebas
(free trade), oleh karena itu keberadaan profesi advokat maupun lembaga
advokat sangat dibutuhkan.

B. Saran

Adapun saran yang ingin disampaikan oleh penusun yaitu perlunya


sosialisasi tentang peran profesi advokat terhadap masyarakat agar masyarakat
dapat lebih mengetahui tentang peran profesi advokat dalam memberikan
bantuan hukum.

22
DAFTAR PUSTAKA

Rudi Santoso, Pengenalan Profesi Advokat dan Kepengacaraan,


https://rudisantosomhi.wordpress.com/2012/01/02/pengenalan-profesi-advokat-dan-
kepengacaraan/amp/, diakses pada tanggal 18 Maret 2021 pukul 13.28

Joko Tri Praseta, Dkk., Ilmu Budaya Dasar, Jakarta: Rineka cita, 2004.

Ishaq,Pendidikan Keadvokatan,Jakarta: Sinar Grafika , 2012.

Frans hendra winata, Bantuan Hukum, Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2011.

Ropaun Rambe , Teknik Praktek Advokat , Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia,


2001.

M.Budiarto, K. Wantjik Saleh, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Jakarta:


Ghalia Indonesia, 1981.

Oemar Seno Adji, Profesi Advokat, Jakarta : Erlangga , 1991.

23

Anda mungkin juga menyukai