Nama Kelompok
Aldo Depriansyah
Amirul Edwin
Fakultas Ushuludin
Lampung
Tahun 2020/202
Kata Pengantar
Dengan kerendahan hati kami ucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan
Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya kepada kami, sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Makalah yang bertema “konsep sya’b Qaum dan Ummah dalam Islam”
ini ditujukan untuk penyusunan makalah ini, banyak kendala dan hambatan
yang kami hadapi, namun berkat dukungan moril dan materil dari berbagai
pihak, akhirnya kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Dengan hormat kami ucapkan terima kasih kepada DRS. Agustamsyah, selaku
dosen pembimbng telah banyak memberikan masukandan bimbingan kepada
kami dalam menyelesaikan makalah ini. Seiring dengan itu, kami juga tidak
lupa mengucapkan terima kasih kepada para orang tua kami yang telah
memberikan bantuan moril dan materil.
Kami menyadari bahwa makalah ini belum sempurna dan masih banyak
kekurangannya, untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca untuk melengkapi makalah ini. Akhir kata kami
mengucapkan terima kasih atas perhatiannya, semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi para pembaca.
Penulis
Kelompok 3
BAB 1
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Pembahasan tentang politik Islam tidak pernah kering dari kajian‐kajian yang
dilakukan oleh para akademisi baik dari kalangan Muslim maupun Barat. Beratus pemikir
dan beribu jilid buku berkaitan dengan politik Islam menghiasi sejumlah perpustakaan di
dunia. Beragam bentuk karya ilmiah baik berupa jurnal, skripsi, tesis atau disertasi yang
membahas politik Islam telah memberikan kontribusi pengayaan pemikiran politik Islan.
Perbedaan pemahaman pun tak terelakkan lagi baik antara kalangan muslim sendiri atau
bahkan antara kalangan Barat sekalipun. Ini menunjukkan bahwa kajian politik Islam
merupakan kajian yang cukup rumit akan tetapi tetap menarik dan menantang untuk dikaji.
Kajian tentang hubungan Islam dan politik adalah suatu kajian yang tidak aka nada
habis‐habisnya sebagaimana diumpamakan oleh Nurcholis Madjid laksana menimba air
Zamzam di tanah suci. Kenapa? Pertama, disebabkan kekayaan sumber bahasan, sebagai
buah limabelas abad sejarah akumulasi pengalaman Dunia Islam dalam membangun
kebudayaan dan peradaban. Kedua, kompleksitas permasalahan, sehingga setiap pembahasan
dengan sendirinya tergiring untuk memasuki satu atau beberapa pintu pendekatan yang
terbatas. Pembahasan yang menyeluruh akan menuntut tidak saja kemampuan yang juga
menyeluruh, tapi juga kesadaran untuk tidak membiarkan diri terjerembab ke dalam
reduksionisme dan kecenderungan penyederhanaan persoalan. Ketiga, pembahasan tentang
agama dan politik dalam Islam ini agaknya akan terus berkepanjangan, mengingat sifatnya
yang mau‐tak‐mau melibatkan pandangan ideologis berbagai kelompok masyarakat,
khususnya kalangan kaum Muslim sendiri.
B.RUMUSAN MASALAH
1. Apa Pengertian Politik Islam.?
C.Tujuan Penulisan
4. Untuk Menegtahui Pendapat Para Ahli Tentang Idiologi dan Kebijakan Politik Islam
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam perspektif Islam, istilah politik disamakan dengan kata al-Siasah . Kata siasah
berasal dari kata “sasa”. Kata ini dalam kamus Al-Munjid dan Lisan al-Arab berarti
mengatur, mengurus dan memerintah. Siasah dapat pula berarti pemerintahan dan politik,
atau membuat kebijaksanaan. Abdul Wahhab Khallaf mengutip ungkapan Al- Maqrizi
menyatakan, arti kata siyasat adalah mengatur. Kata sasa sama dengan “to govern, to lead.
Siasah sama dengan policy (of government, corporation, etc.). Jadi siasah menurut bahasa
mengandung beberapa arti, yaitu mengatur, mengurus, memerintah, memimpin, membuat
kebijaksanaan, pemerintahan dan politik. Artinya mengatur, mengurus dan membuat
kebijaksanaan atas sesuatu yang bersifat politis untuk mencapai sesuatu tujuan adalah siasah.
Secara terminologis dalam Lisan al-Arab, siasah adalah mengatur atau memimpin
sesuatu dengan cara yang membawa kepada kemaslahatan. Sedangkan di dalam Al- Munjid
disebutkan, siasah adalah membuat kemaslahatan manusia dengan membimbing mereka ke
jalan yang menyelamatkan. Dan siasah adalah ilmu pengetahuan untuk mengendalikan tugas
dalam negeri dan luar negeri, yaitu politik dalam negeri dan politik luar negeri serta
kemasyarakatan, yakni mengatur kehidupan umum atas dasar keadilan dan istiqomah. Abdul
Wahhab Khallaf mendefinisikannya sebagai “undang-undang yang diletakkan untuk
memelihara ketertiban dan kemaslahatan serta mengatur keadaan. Ibnu al-Qayim yang
dinukilkannya dari Ibn Aqil menyatakan; “Siasah merupakan suatu perbuatan yang membawa
manusia dekat kepada kemaslahatan dan terhindar dari kerusakan walaupun Rasul tidak
menetapkannya dan Allah tidak mewahyukannya. Pengertian yang singkat dan padat juga
dikemukakan oleh Bahantsi Ahmad Fathi yang menyatakan siasah adalah “pengurusan
kepentingan- kepentingan (mashalih) umat manusia sesuai dengan syara1
Ayat 159 surat Ali Imran ini berarti: “Maka di sebabkan rahmat dari Allah-lah kamu
ber laku lemah lembut terhadap mereka. Sekira nya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohon
kan lah ampun bagi mereka, dan ber musyawarah lah dengan mereka dalam urusan itu.
1
Ishomudin, PEMAHAMAN POLITIK ISLAM STUDI TENTANG WAWASAN PENGURUS DAN SIMPATISAN PARTAI
POLITIK BERASAS ISLAM DI MALANG RAYA,Vol 8 No 2 Maret 203, Hal 23
Kemudian apabila kamu telah mem bulat kan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Se
sungguh nya Allah menyukai orang-orang yang ber tawakkal kepadanya.
Asbabun Nuzul ayat ini adalah berkaitan dengan masa perang Badar di masa
Rasulullah SAW. Pada waktu itu kaum muslimin men dapat kan kemenangan dalam pe
perangan badar dan banyak orang-orang musyrikin yang menjadi tawanan perang. Untuk
menyelesai kan masalah itu Rasulullah SAW mengadakan musyawarah dengan para sahabat
termasuk Abu Bakar Shiddik dan Umar bin Khathab. Abu Bakar memberikan pen dapat nya
bahwa tawanan perang itu sebaik nya dikembalikan kepada keluarganya dengan membayar
tebusan. Pendapat ini dianggap pandangan yang menunjukkan Islam itu lunak. Umar bin
Khathab mengusulkan hal yang ber beda, bahwa tawanan perang itu dibunuh saja. Hal ini
dimaksud kan agar mereka tidak berani lagi meng hina dan mencaci Islam. Pandangan ini
diangap pendapat yang keras. Dari pendapat yang bertolak belakang ini Rasulullah sangat
kesulitan untuk me ngambil kesimpulan. Akhir nya Allah SWT menurunkan ayat ke 159
yang me negas kan Rasulullah SAW untuk ber buat lemah lembut dan me milih pendapat
Abu Bakar. Jika pandangan yang menunjukkan keras hati, tentu mereka tidak akan menarik
simpati tawanan sehingga mereka akan lari dari ajaran Islam. Alhasil ayat ini diturunkan
sebagai dukungan atas pendapat Abu Bakar Shiddik untuk melepas kan tawanan. Di sisi lain,
ayat ini memberi peringatan kepada Umar bin Khathab, apabila dalam permusyawara han
pendapatnya tidak diterima hendak lah ber tawakkal kepada Allah SWT. Sebab Allah sangat
men cintai orang yang ber tawakkal. Dengan turun nya ayat ini maka tawanan perang itupun
dilepaskan2
Namun demikian, Asbabun Nuzul ayat ini lebih banyak dikaitkan dengan kejadian
sesudah perang Uhud yang terjadi sebelum perang Badar.3 Ketika itu, sebagian sahabat ada
yang melanggar perintah Nabi SAW. Akibat pelanggaran tersebut kaum musyrikin dapat
mengalahkan mereka dalam perang Uhud, dan Rasulullah SAW mengalami lukaluka. Namun
Nabi SAW tetap bersabar, menahan diri, dan bersikap lemah lembut, tidak mencela kesalahan
para sahabatnya. Sikap Rasulullah itu adalah sesuai dengan perintah Al-Quran. Sebab dalam
peristiwa itu, banyak sekali ayat-ayat yang diturunkan untuk me respon kegagalan tersebut.
Di situ di bahas kelemahan yang dialami sebagian kaum muslimin, pelanggaran mereka
terhadap perintah yang sudah disepakati, serta ke semberonoan yang mereka lakukan. Bahkan
disebut kan pula mengenai prasangkaprasangka dan bisikan-bisikan hati yang jelek. Tetapi
Rasulullah tetap ber musyawarah dengan mereka dalam membahas persoalan tawanan
2
Delmus Puneri Salim,Politik Islam Dalam Al-Qur an, Vol 1, No 1, Juni 2006, Hal 44
dengan pasukan nya pada perang berikutnya, perang Badar, seperti yang dijelaskan pada
Asbabun Nuzul ayat sebelumnya.3
Dalam Islam, memiliki seorang pemimpin adalah sebuah keharusan, sampai ketika
tiga orang muslim melakukan perjalanan, Rasululllah memerintahkan untuk mengangkat
salah satunya sebagai ketua atau pimpinan rombongan. (HR Ahmad, dan HR Ibn Hibban).
3
Ibid
4
Makrum, Hadits-Hadits Politik Abad Pertengahan,hal 3
Perdebatan sengit antara dua kelompok tersebut mereda setelah Abu Bakar
menyampaikan peringatan Nabi SAW bahwa kepemimpinan umat di tangan suku Quraisy-lah
akan terjamin keutuhan, keselamatan, dan kesejahteraan bangsa Arab. Dalam hal ini, Abu
Bakar mengemukakan sabda Nabi, ریش من األئمةQQ( قpemimpin “harus” berasal dari suku
Quraisy). Menurut Abu Zahrah, Abu Bakar tidak mengemukakan hadits ini. Ia hanya
mengemukakan keutamaan kaum Muhajirin dan kedudukan suku Quraisy sebelum Islam.
Hadits yang maknanya mengutamakan kepemimpinan suku Quraisy adalah hadits Bukhari
dari Mu’awiyah, yaitu:
إن ھذااألمر في قریش ال یعادیھم أحد إال كبّھ هللا علي وجھھ ما
دینQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQأقامواال
Artinya: “Sesungguhnya persoalan (khilafah) ini adalah hak suku Quraisy, yang (apabila)
seseorang tidak mengembalikannya kepada mereka, Allah pasti menjatuhkannya, selama
mereka (suku Quraisy) menegakkan agama.” Kalau hadits tersebut memang dikemukakan
oleh Abu Bakar, maka ia bisa dianggap sebagai hadits yang bernuansa politis pertama yang
dipopulerkan oleh peristiwa politik yang terjadi pada saat itu. Selanjutnya, pada masa
khalifah Ali bin Abu Thalib, sebagaimana dikemukakan di atas, konflik yang terjadi antara
kelompok- kelompok yang bertikai semakin tajam. Masing-masing berusaha untuk saling
mengalahkan, dan salah satu cara yang mereka tempuh untuk menjustifikasi keberadaan
mereka adalah dengan membuat hadits. Kelompok Ali membuat hadits yang memuliakan dan
mengagungkan Ali (Khatib, 1963: 199), di antaranya:
یا علي إن هللا غفر لك ولذریتك ولوالدیك وألھلك ولشیعتك ولمحبي شیعتك
Artinya: “Hai Ali, Allah sungguh mengampuni kamu, anak-anakmu, kedua orang tuamu,
keluargamu, pengikutmu, dan orang-orang yang mencintai pengikutmu.”
Kemudian ada juga hadits-hadits yang menceritakan bahwa hak kekhalifahan
setelah Rasulullah adalah milik Ali bin Abi Thalib. Hadits tersebut dikenal dengan nama
Ghadir Kham (Salim, tt.: 112-3). Jelas sekali bahwa hadits di atas adalah pernyataan politik
yang dibuat oleh kelompok Syi’ah untuk memuliakan Ali bin Abi Thalib, yang kemudian
dinyatakan sebagai berasal dari Nabi (Khatib, 1963: 197). Isi pernyataan tersebut memberi
petunjuk bahwa Allah mengampuni Ali, keturunannya, kedua orang tuanya, keluarganya,
pendukungnya (orang-orang Syi’ah) dan orang-orang yang mencintai pendukung Ali5
5
Ibid
2. Perkembangan hadis hadis politik
قال حذیفة كیف أصنع یا رسول هللا.قلوبھم قلوب الشیاطین في جسم إنس
إن أدركت ذلك؟ قال تسمع وتطیع األمیر وإن ضرب ظھرك وأخذ مالك
فاسمع وأطع.
Artinya: “Setelah wafatku nanti akan muncul para pemimpin yang tidak mengikuti
petunjukku dan tidak suka sunahku. Di antara mereka ada beberapa orang yang berhati syetan
tetapi bertubuh manusia. Hudzaifah bertanya, “Apa yang harus saya lakukan ya Rasulullah
jika aku nanti menemui zaman seperti itu?” Beliau menjawab, “Kamu dengar dan patuhi
pemimpin politik tersebut. Sekalipun ia meyiksa fisikmu dan merampas harta bendamu, kau
harus tetap mendengar dan mematuhi!”
Secara teoritis, Islam politik menganut pemikiran bahwa Islam dan politik terkait
secara organik atau tidak dapat dipisahkan. Keduanya terikat secara struktural oleh sistem
religius Islam yang formal. Asumsi dari pandangan ini ialah bahwa Islam memuat intisari
ajaran dan (agama) dan dawlah (negara) sekaligus. Berbagai kesimpulan pemikiran tersebut
kemudian melahirkan keyakinan bahwa Islam memuat cara hidup yang lengkap
(shumul/totaliter), bukan sekedar agama atau keyakinan. Lebih dari itu Islam adalah sumber
rujukan, cetak biru atas hukum, sistem, tata sosial dan tertib masyarakat. Sebuah doktrin
totalitas yang menawarkan pemecahan terhadap semua masalah kehidupan. Islam kemudian
menjadi niscaya untuk dipakai sebagai dasar mengatur negara. Karenanya, negara Islam,
partai Islam dan unsur-unsur formal lain pembentuk batang tubuh politik Islam, menjadi
sangat penting untuk diwujudkan. Gagasan atau ciri-ciri politik lain yang tidak ada jalinan 6
6
Moh. Hatta, M. HI, Fundamentalisme Islam Sebagai Idiologi Politik, hal 2
formalnya dengan Islam pun harus dilihat sebagai non-Islam. Berangkat dari pandangan
teologis di atas, di Indonesia spektrum pemikiran dengan tesis Islam organik tersebut sedikit
banyak telah
menginspirasi perjuangan Islam politik sejak masa kemerdekaan hingga kini. Piagam
Djakarta adalah salah satu contoh konkret upaya formalisasi agama (Islam) dalam negara.
Dalam perspektif intelektual Muslim, setidaknya ada tiga tipologi pemikiran dalam
menjelaskan hubungan Islam dan negara. Pertama, mereka yang menganggap bahwa Islam
tidak mengemukakan suatu pola baku tentang teori atau sistem politik. Dengan kata lain,
kelompok ini berpendapat bahwa Islam tidak mengatur tata cara pengaturan kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Meskipun dalam al-Qur’an ditemui ayat-ayat yang
menunjukkan kekuasaan politik, ayat-ayat tersebut hanya bersifat insidental, kondisional dan
bukan ayat landasan politik. Kedua, tipologi pemikiran kedua ini berpendapat, kendati Islam
tidak merujuk pada sistem politik tertentu, namun dalam Islam terdapat prinsip-prinsip moral-
etis (moral ethics) sebagai landasan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sepanjang
pelaksanaan negara menjalankan nilai-nilai seperti; keadilan, kebebasan, syura dan supremasi
hukum, sistem pemerintahan ini dapat disebut sebagai negara yang Islami. Ketiga, kelompok
yang berpendapat, tidak ada pemisahan urusan dunia dengan urusan akhirat. Islam telah
mengatur segala aturan kehidupan manusia termasuk sistem politik. Oleh karena itu, masalah
kenegaraan diatur secara tuntas dalam Islam dan menjelma, dalam sejarah, menjadi sebuah
sistem kekhalifahan
KESIMPULAN
A.Pengertian Politik Islam
Istilah politik disamakan dengan kata al-Siasah . Kata siasah berasal dari kata “sasa”.
Kata ini dalam kamus Al-Munjid dan Lisan al-Arab berarti mengatur, mengurus dan
memerintah. Siasah dapat pula berarti pemerintahan dan politik, atau membuat
kebijaksanaan.
Delmus Puneri Salim,Politik Islam Dalam Al-Qur an, Vol 1, No 1, Juni 2006, Hal 44