Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

SISTEM POLTIK PADA NEGARA ISLAM

Disusun Oleh:
Chelsea Pratiwi
(1831040260)

Dibuat untuk Memenuhi Tugas Kelompok


Matakuliah Isu-isu Politik Kontemporer
Progam Studi Pemikiran Politik Islam
Kelas D

Dosen Pengampu Matakuliah:


Hindiana Sava Husada

FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-NYA sehingga makalah
ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa Saya juga mengucapkan banyak terimakasih atas
bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Dan harapan Saya semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca, untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi
makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman Saya, Saya yakin masih banyak
kekurangan dalam makalah ini, oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik
yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Bandar Lampung, 13 Maret 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................................................1
C. Tujuan dan Manfaat........................................................................................................1
BAB II: PEMBAHASAN
A. Sistem Politik Islam..…………………………………………………………………..2
B. Penerapan Sistem Politik Islam Dalam Kehidupan Bernergara Di Negara Islam…….3
BAB III: PENUTUP
A. Kesimpulan.....................................................................................................................5
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................iii

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Umat muslim, dalam hidupnya berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Al-Hadist sebagai
pedoman hidupnya. Dari kedua pedoman tersebut, umat muslim tidak perlu khawatir dalam
menjalani persoalan hidup. Segala apa yang menjadi persoalan, solusi, peringatan, dan
kebaikan termuat di dalam pedoman tersebut. Bahkan dalam Al Qur’an dan Al Hadist
permasalahan politik juga tertuang didalamnya. Prinsip-prinsip berpolitik inilah yang banyak
diterapkan oleh negara Islam.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu sistem politik Islam?
2. Bagaimana penerapan sistem politik Islam dalam kehidupan bernergara di negara
Islam?

C. Tujuan dan Manfaat


1. Dapat mengetahui sistem politik Islam
2. Dapat mengetahui penerapan sistem politik Islam dalam kehidupan bernegara di
negara Islam
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sistem Politik Islam


Secara teologis, Islam adalah sistem nilai dan ajaran yang bersifat Ilahiah dan karena itu
sekaligus bersifat transenden.1 Al-Qur’an sebagai sumber utama dan pertama ajaran Islam
mengandung tatanan hidup dan ketentuan-ketentuan perbuatan manusia, baik sebagai
makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial. Demikian pula halnya, hadis-hadis Nabi
Muhammad Saw. Yang merupakan sumber utama kedua ajaran Islam, di dalamnya juga
terkandung nilai-nilai, norma-norma atau kaidah-kaidah tingkah laku manusia. Al-Qur’an
yang merupakan sumber hukum samawi, yaitu sumber hukum vertikal yang langsung dari
Allah swt. Begitu juga hadis sebagai sumber hukum yang vertikal, karena perkataan,
perbuatan, dan ketetapan-ketetapan Nabi bersumber kepada dan dikendalikan oleh wahyu.
Disamping sumber vertikal, Islam mengakui, menghargai, mengakomodasi, dan mendorong
tumbuh dan berkembangnya sumber-sumber horizontal atau sumber-sumber dari bawah,
yakni manusia sendiri dan lingkungannya. 2
Dalam pandangan sejumlah ahli, Islam hanya memberikan prinsip-prinsip kehidupan
politik yang harus diikuti oleh umatnya. Pengalaman Nabi Muhammad di Madinah,
menunjukkan hal tersebut. Demikian pula, al-Qur‘an menggariskan prinsip-prinsip itu secara
tegas. Dalam hal ini, paling tidak ada sejumlah prinsip etis yang telah digariskan, seperti:
a. prinsip keadilan (al-adl)
b. prinsip kesamaan (al-musawah)
c. prinsip musyawarah atau negoisasi (syura).
Meskipun prinsip-prinsip yang dikemukakan secara tegas ini jumlahnya sedikit, akan
tetapi ajaran-ajaran itu dinyatakan secara berulang-ulang oleh al-Qur‘an. Kadangkala,
subtansi doktrin itu dinyatakan dalam terminologi lain, baik yang sifatnya komplementer atau
berlawanan (apposites), seperti larangan untuk berbuat zalim-lawan dari keharusan untuk
berbuat adil. Sejauh ajaran atau prinsip Islam tentang masalah sosial kemasyarakatan

1
Zuhraini, Islam: Negara, Demokrasi, Hukum dan Politik, Analisis: Jurnal Studi Keislaman, Vol. 14, No. 1,
Juni 2014, Hal. 30
2
Zuhraini, Islam: Negara, Demokrasi, Hukum dan Politik, Analisis: Jurnal Studi Keislaman, Vol. 14, No. 1,
Juni 2014, Hal. 49
dikemukakan secara subtansialistik, maka signifikansi Islam dan demokrasi akan nampak
jelas. Pengalaman negara Madinah merupakan contoh klasik akan hal ini; yang hanya gagal
karena lemahnya infrastruktur (dan karenanya lebih merupakan persoalan political crafting)
yang tersedia bagi para pendukungnya. Dalam konteks ini, Bahtiar Effendi3 juga menegaskan
bahwa “penting untuk dicatat bahwa Islam tidak berbicara terhadap segala sesuatu dalam
bentuknya yang detail. Kalau bacaan saya terhadap ayat-ayat yang dikandung dalam al-
Qur’an benar, maka dapat dikatakan bahwa Islam memberi panduan nilai, moral dan etika
dalam bentuknya yang global. Karena itulah Islam sangat menekankan penggunaan akal
melalui proses ijtihad.” Islam dan kekuasaan secara fungsional memiliki hubungan yang
bersifat simbiotik, meskipun secara diametral hakikat keduanya berbeda. Agama mendorong
terbentuknya kekuasaan yang bermoral, begitu juga sebaliknya moralitas kekuasaan juga ikut
memperkokoh jiwa keagamaan. Memisahkan agama dari wawasan kekuasaan dalam
pandangan Islam tidak memiliki landasan yang solid dan tidak bisa dipertanggung jawabkan. 4
Kenyataan ini dapat dilacak dengan melihat dua kecenderungan utama Islam, yakni;
a. Partisipasi politik yang amat luas di kalangan penduduk muslim.
b. Secara teologis, agama (Islam) dapat dipandang sebagai instrumen ilahiah untuk
memahami dunia.

B. Penerapan Sistem Politik Islam Dalam Kehidupan Bernergara Di Negara Islam


Dengan memperjuangkan nilai-nilai substantif ajaran Islam, maka sebenarnya perintah
amar ma’rûf nahi al-munkar sudah dapat dilaksanakan tanpa membuat orang lain yang bukan
Islam merasa terancam karena sifatnya yang universal. Langkah yang dibangun dalam
gerakan budaya ini adalah masyarakat Islami, bukan negara Islam. Mengapa harus melalui
gerakan budaya? Dalam hal ini, ada beberapa alasan yang digunakan.
Pertama, Islam sangat menghargai perbedaan di kalangan masyarakat termasuk dalam hal
beragama. 5 Dalil yang biasa dipakai untuk ini adalah ayat Alquran seperti yang terdapat
dalam surah al-Kâfirûn seperti “lakum dînukum wa liya dîn,” (bagimu agamamu, bagiku
agamaku), “lâ ikrâha fî al-dîn” (tidak boleh ada paksaan dalam beragama).

3
Bahtiar Effendi, Demokrasi dan Agama: Eksistensi Agama dalam Politik Indonesia, dalam Komaruddin
Hidayat dan Ahmad Gaus AF, (ed.), Islam Negara dan Civil Society; Gerakan dan Pemikiran Islam
Kontemporer, Cet.I, Jakarta : Paramadina, 2005, Hal. 163.
4
M. Syafi‘i Maarif, Islam dan Politik, Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin 1959- 1965, Jakarta:
Gema Insani Press, 1996, Hal. 181.
5
Mohammad Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia, 2010, Hal. 286.
Kedua, pijakan dasar dalam perjuangan Islam adalah memperjuangkan nilai-nilai
substantif dan bukan simbol-simbol formal kelembagaan. Dalil yang dipergunakan untuk ini
adalah “al ‘ibrah fî al-Islâm bi al-jauhar lâ bi al-madzhar,” (patokan dasar dalam
memperjuangkan Islam itu adalah substansi, bukan simbol-simbol formal).
Ketiga, di dalam Islam tidak pernah ada perintah mendirikan negara Islam. Ketika
memimpin Madinah, Nabi Muhammad juga tidak mendirikan negara Islam, melainkan
membangun masyarakat Islam. Itulah sebabnya istilah ‘masyarakat madani’ muncul dari
khazanah Islam, yakni satu masyarakat multiagama dan multi etnik yang hidup secara
inklusif dengan penuh peradaban dan demokratis.
Masyarakat madinah sering disamakan dengan masyarakat sipil (civil society) itu secara
harfiah bisa diartikan sebagai “masyarakat Madinah”, sebab kata Madinah selain berarti kota
juga berarti “beradab”, yang punya kaitan dengan kata “tamaddun” atau peradaban. Inilah
dasar adanya demokrasi dalam Islam sebagai bantahan dari adanya tuduhan ‘Islam tidak
mengenal demokrasi’. Padahal demokrasi itu sudah lahir sejak zaman Nabi Muhammad.
Keempat, ada kaidah fikih yang berbunyi “mâ lâ yudraku kulluh lâ yutraku kulluh” (jika
sebuah perjuangan tidak berhasil mengambil seluruhnya maka jangan ditinggalkan
seluruhnya). Dalam kontek Islam dan negara atau Islam dan politik, kaidah tersebut dapat
diartikan bahwa kalau umat Islam tidak dapat mendirikan negara tersendiri karena mereka
hidup di negara dengan masyarakat yang majemuk, maka pergunakanlah dan jangan
tinggalkan peluang yang masih ada untuk terus berjuang melalui kemungkinan yang masih
ada. Kemungkinan yang masih ada dan justeru lebih penting untuk memperjuangkan Islam
adalah menggunakan ‘ibrah (patokan dasar) untuk memperjuankan nilai-nilai substantif
ajaran Islam seperti menghargai fitrah (Hak Asasi Manusia), bersikap toleran dalam hidup
beragama, menegakkan keadilan, menghormati kesetaraan antar sesama manusia,
menegakkan hukum, mem bangun perdamaian dan kemajuan masyarakat, bersikap amanah
(dapat dipercaya), dan bersikap jujur. Ini semua ajaran yang diperintahkan oleh Islam untuk
ditegakkan di tengah-tengah masyarakat tanpa harus diberi simbol formal Islam.
Jadi, simbol formal tidak perlu ditonjolkan dalam pengamalan agama yang benar karena
bisa dilaksanakan dimana saja tanpa harus tersedianya tempat yang khusus dan formal. Untuk
apa menyebut dirinya Islam di depan umum kalau tidak mampu menunjukkan perilaku yang
sesuai dengan ajaran Islam yang seharusnya dan yang sebenarnya. 6

6
Siti Mahmudah, Politik Penerapan Syari’at Islam Dalam Hukum Positif Di Indonesia (Pemikiran Mahfud
Md), AL-‘ADALAH Vol. X, No. 4, Juli 2012, Hal. 410
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Al-Qur’an sebagai sumber utama dan pertama ajaran Islam mengandung tatanan hidup
dan ketentuan-ketentuan perbuatan manusia, baik sebagai makhluk individu maupun sebagai
makhluk sosial. Demikian pula halnya, hadis-hadis Nabi Muhammad Saw. Yang merupakan
sumber utama kedua ajaran Islam, di dalamnya juga terkandung nilai-nilai, norma-norma atau
kaidah-kaidah tingkah laku manusia.
Dalam pandangan sejumlah ahli, Islam hanya memberikan prinsip-prinsip kehidupan
politik yang harus diikuti oleh umatnya. Dalam hal ini, paling tidak ada sejumlah prinsip etis
yang telah digariskan, seperti:
a. prinsip keadilan (al-adl)
b. prinsip kesamaan (al-musawah)
c. prinsip musyawarah atau negoisasi (syura).
Dengan memperjuangkan nilai-nilai substantif ajaran Islam, maka sebenarnya perintah
amar ma’rûf nahi al-munkar sudah dapat dilaksanakan tanpa membuat orang lain yang bukan
Islam merasa terancam karena sifatnya yang universal. Langkah yang dibangun dalam
gerakan budaya ini adalah masyarakat Islami, bukan negara Islam.
DAFTAR PUSTAKA

Effendi, Bachtiar, “Demokrasi dan Agama: Eksistensi Agama dalam Politik Indonesia”,
dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, (ed.), Islam Negara dan Civil Society;
Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, Cet.I, Jakarta : Paramadina, 2005

Maarif, M. Syafi‘I, “Islam dan Politik, Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin
1959- 1965”, Jakarta: Gema Insani Press, 1996

Mahfud MD, Mohammad, “Membangun Politik Hukum”, Jakarta : Pustaka LP3ES


Indonesia, 2010

Mahmudah, Siti, “Politik Penerapan Syari’at Islam Dalam Hukum Positif Di Indonesia
(Pemikiran Mahfud Md)”, AL-‘ADALAH Vol. X, No. 4, Juli 2012

Zuhraini, “Islam: Negara, Demokrasi, Hukum dan Politik”, Analisis: Jurnal Studi Keislaman,
Vol. 14, No. 1, Juni 2014

iii

Anda mungkin juga menyukai