Assalamualaikum wr, wb . Puji syukur kehadirat ALLAH SWT, karena berkat rahmat-Nya
kami dapat menyelesaikan Makalah Penyakit Brucellosis Pada Ternak sebagai salah satu tugas
mata kuliah Kesehatan Ternak yang diberikan pada semester 3. Tujuan membuat makalah ini
adalah untuk mengetahui penyakit brucellosis pada ternak.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga
Makalah Kesehatan Ternak ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktunya. Makalah ini masih
jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca.
Kotamobagu 3 november
2016
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................
DAFTAR ISI.........................................................................................................
BAB I. PENDAHULUAN....................................................................................
1. Latar Belakang.................................................................................................
2. Rumusan Masalah............................................................................................
3. Tujuan..............................................................................................................
BAB II. PEMBAHASAN......................................................................................
A. Pengertian Penyakit Brucellosis......................................................................
B. Etiologi...........................................................................................................
C Patofisiologi....................................................................................................
D. Gejala Klinis...................................................................................................
E. Penatalaksanaan
F Pencehagan dan Pengobatan Penyakit Brucellosis............................................
BAB III. PENUTUP..............................................................................................
A. Kesimpulan......................................................................................................
B. Saran...............................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….
BAB I
PENDAHULUAN
C. Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
Berdasarkan kasus yang banyak ditemukan di lapangan maka pada tulisan ini akan
dibahas tentang brucellosis pada hewan dan dampaknya terhadap manusia serta
penanggulangannya dengan tujuan agar masyarakat mengenal brucellosis sebagai penyakit
zoonosis yang dapat menular dari hewan ke manusia.
BAB III
PEMBAHASAN
Brucella berbentuk kecil, tidak bergerak, bersimpai, tak berspora, dan tidak tahan terhadap
asam. Morfologi Brucella adalah kokobasil pendek berukuran 0,5 – 0,7µ × 0,6 – 0,5µ satu persatu
terkadang juga membentuk rantai. Brucella termasuk dalam Gram negatif. Brucella akan tumbuh
dengan baik pada suhu 37º dan pH optimumnya 6,6 sampai 7,4. Baik juga pada keadaan tekanan karbon
dioksida yang meningkat serta dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Pemisahan tersebut biasa
dilakukan pada percobaan teknik biokimia dan serologi. Pada reaksi biokimiawi, bakteri ini katalisa
positif, oksidasi positif dan urea positif selain itu juga mereduksi nitrat menjadi nitrit dan tidak ada
karbohidrat yang diragikan
Tiap spesies dari brucella mempunyai hewan reservoir yang spesifik yang menyebabkan
penyakit kronik persisten. Organisme ini menyerang organ reproduksi hewan kemudian menyebar ke
urine, susu dan cairan plasenta. Lokasi bakteri ini memudahkan penyebaran ke manusia terutama pada
petani, dokter hewan, tukang potong hewan, dan akhirnya konsumen.
B. Etiologi
Terdapat 4 spesies brucella diketahui menyebabkan penyakit pada manusia. Brucella melitensis
paling virulen dan menyebabkan bruselosis yang berat dan akut, menyebabkan kecacatan. Brucella suis
menyebabkan penyakit kronik, sering berupa lesi destruksi supuratif. Brucella abortus merupakan
penyakit sporadis bersifat ringan-sedang dan jarang menyebabkan komplikasi. Brucella canis
mempunyai perjalanan penyakit yang sulit dibedakan dengan Brucella abortus, perjalanan penyakitnya
tersembunyi sering kambuh dan umumnya tidak menyebabkan penyakit kronik.
Brucella adalah bakteri aerob gram negatif intraselular dengan pertumbuhan yang lambat,
tidak bergerak, tidak membentuk spora dan tidak berkapsul. Bakteri ini dapat bertahan di tempat kering.
Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan kultur dan serologi.
C. Patofisiologi
Bruselosis adalah penyakit sistemik, dapat melibatkan banyak organ. Penetrasi bakteri lewat
epitel akan ditangkap netrofil dan makrofag jaringan, kemudian dibawa ke limfononodus. Bakteremi
akan terjadi antara 1-3 minggu setelah terpapar bakteri. Bakteri kemudian mengambil tempat di
jaringan retikuloendotelial sistem (RES) terutama pada hati, limpa dan sum-sum tulang. Di organ ini
kemudian membentuk jaringan granuloma. Jaringan granuloma yang besar dapat menjadi sumber
bakteremi menetap. Faktor utama virulensi brucella terdapat pada dinding sel lipopolisakarida. Brucella
canis memiliki dinding lipopilisakarida yang kasar tetapi kurang virulen bagi manusia, berbeda dengan
dinding lipopolisakarida yang licin pada B.melitensis dan B.abortus.
Brucella dapat bertahan intraselular dalam fagosom sel fagosit karena produksi adenin dan
guanin monofosfat yang menghambat fagolisosom, produksi TNF dan aktifitas oksidatif. Daya tahan
dalam intrasel fagosit berbeda-beda tiap spesies. B.abortus lebih muda lisis dalam sel fagosit dari
B.melitensis. Perbedaan tipe lipopolisakarida, daya tahan terhadap fagolisosom dapat menjelaskan
adanya perbedaan patogenesitas tiap spesies pada manusia.
D.Gejala Klinis
Gejala bruselosis tidak cukup khas untuk didiagnosis. Beberapa studi besar telah
mengumpulkan beberapa gejala bruselosis. Demam intermiten ditemukan pada 60% kasus sub akut
brusellosis dan dengan relatif bradikardi. Adanya gejala anoreksia, astenia, fatique, kelemahan dan
malaise. Adanya gejala nyeri sendi tulang berupa atralgia, nyeri punggung, nyeri spina dan sendi tulang
belakang, bengkak sendi. Gejala ini dijumpai pada 55% penderita. Gejala batuk dan sesak dijumpai pada
19% penderita tetapi jarang mengenai parenkim paru, nyeri dada timbul berupa nyeri pleuritik akibat
adanya empiema.
Gejala neuropsikiatri berupa sakit kepala, depresi dan fatique. Keluhan gastrointestinal dijumpai
pada 51% penderita berupa nyeri abdomen, mual, konstipasi dan diare.
Secara klinis dapat dibagi menjadi subklinik, akut, subakut dan infeksi kronik. Selain itu lokalisasi
infeksi dan kekambuhan juga dideskripsikan lebih lanjut.
Subklinik: penyakit ini biasanya asimptomatik, diagnosis biasanya ditemukan secara kebetulan
melalui skrinning tes serologi pada daerah beresiko tinggi.
Akut atau Subakut: penyakit dapat ringan sembuh dengan sendirinya (B.abortus) atau fulminan
dengan komplikasi (B.melitensis), gejala dapat timbul 2-3 bulan (akut) 3-12 bulan (subakut). Gejala dan
tanda klinis yang paling sering adalah demam, menggigil. berkeringat, malaise, fatique, sakit kepala,
arthralgia, anoreksia, limfadenopati dan hepatomegali serta splenomegali.
Kronik: diagnosis ditegakkan dengan gejala yang telah berlangsung 1 tahun atau lebih. Demam
yang tidak tinggi dengan keluhan neuropsikiatri adalah gejala yang paling sering dijumpai. Pemeriksaan
serologi dan kultur sering negatif. Banyak penderita menjadi persisten karena tidak adekuatnya terapi
sejak awal dan adanya penyakit yang terlokalisir.
Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan ciri spesifik penyakit ini. Sebagian besar ditemukan
hepatomegali, splenomegali, hepatospleno-megali dan osteoartikular. Kelainan osteoartikular berupa
bengkak sendi, bursitis, berkurangnya range of motion (ROM) dan efusi. Gangguan neurologi berupa
poliradikuloneuropati perifer, gejala sistem saraf pusat (hiperrefleksi, klonus, gangguan saraf kranial).
Gangguan kulit dijumpai berupa eritema nodusum, abses, erupsi papulonoduler, impetigo, psoriasis,
eksim, lesi mirip pitiriasis rosea, erupsi berupa makular, makulopapular, lesi vaskulitis seperti petechiae,
purpura dan trombofeblitis. Gangguan pada mata berupa uveitis, keratokunjungtivitis, iridosiklitis,
keratitis numularis, koroiditis, nueritis optika dan katarak.
E. Penatalaksanaan
a. Medikamentosa Pengobatan pada penderita bruselosis dilakukan untuk mengurangi gejala dan
mencegah kekambuhan serta mencegah terjadinya komplikasi. Obat-obatan yang biasa diberikan antara
lain:
1. Doksisiklin, untuk menghambat sintesa protein dengan mengikat ribosom 30S dan 50S. Dosisnya
adalah dosisiklin 100 mg setiap 12 jam atau tetrasiklin 30 mg/kg/hari dibagi 4 dosis yang sama per-oral,
selama 3-6 minggu ditambah streptomisin 15 mg/kg setiap 12 jam secara intramuskular dalam 2 minggu
pertama. Efek sampingnya antara lain hipersensitifitas terhadap matahari, mual dan esofagitis.
Penggunaannya baik untuk neurobruselosis dibandingkan tetrasiklin.
2. Gentamisin, untuk menurunkan relaps dan toksisitas. Dosisnya adalah 5 kg/BB, terbagi 2 dosis
selama 7 hari. Tidak boleh diberikan pada wanita hamil kategori C, hipersensitifitas terhadap gentamisin
atau aminoglikosida lainnya. Hati-hati pada penderita dengan gangguan neuromuskular, seperti
myastenia gravis karena dapat memperberat penyakit. Efek samping gentamisin adalah gangguan
vestibular dan pendengaran, bersifat neurotoksik dan menimbulkan rekasi hipersensitifitas.
3. Trimetoprim-sulfametoksazol, untuk menghambat sintesa asam dihidrofalat bakteri. Dosisnya adalah
480/2400 mg/hari selama 4 minggu, meskipun masih sering mengalami relaps. Kontraindikasi
pemberian trimetropim-sulfametaksazol yaitu pada wanita hamil kategori C, defisiensi G-6-PD, bayi
kurang dari 2 bulan, adanya riwayat hipersensitivitas terhadap golongan obat sulfa. Efek samping
penggunaan obat ini adalah diare, mual dan muntah. Dapat menimbulkan reaksi alergi atau reaksi
hipersensitifitas(sindroma Steven Johnson). Arthur G. Johson et al. (1993) menyatakan bahwa obat yang
paling unggul untuk terapi bruselosis adalah kombinasi tetrasiklin-streptomisin, yang paling mendekati
dengan kombinasi tersebut adalah kombinasi trimetoprim-sulfametoksazol.
b. Non-Medikamentosa Terapi yang non-medikamentosa sampai saat ini belum ditemukan. Karena
bruselosis yang tidak segera ditangani akan berlanjut ke akut/kronik dan hal tersebut sangat
membahayakan.
1. Pencegahan
Pencegahan brucellosis dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti memperhatikan lalu
lintas ternak untuk daerah yang bebas. Pada sapi didasarkan pada tindakan higiene dan sanitasi,
vaksin anak sapi dengan Strain 19 dan pengujian serta penyingkiran sapi reaktor. Sapi yang
tertular sebaiknya dijual atau dipisahkan dari kelompoknya. Fetus dan placenta yang abortusan
harus dikubur atau dibakar dan tempat yang terkontaminasi harus didesinfeksi dengan 4% larutan
kresol atau desinfektan sejenis. Program vaksinasi dilakukan pada anak sapi umur 3-7 bulan
dengan vaksin Brucella Strain 19. Tapi penggunaan Strain 19 harus hati-hati karena dapat
menyebabkan brucellosis atau demam unggulan pada manusia. Metode pengendalian lainnya
ialah vaksinasi dengan 45/20 terhadap semua ternak, uji serologik secara teratur dengan SAT
atau BRT dan CFT, monitoring dengan MRT dan isolasi atau penyingkiran reaktor.
2. Pengobatan
Pengobatan brucellosis harus segera dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi
dan relapsis. Pada hewan penyakit brucellosis sampai saat ini belum ada obat yang cukup efektif.
Namun pada pengobatan kasus brucellosis penggunaan lebih dari satu antibiotik
yang diperlukan selama beberapa minggu, hal ini dikarenakan bakteri berada di
dalam s e l . Pengobatan dilakukan dengan pemberian antibiotik seperti doksisiklin, streptomisin
dan rifampisin setiap hari selama minimal 6 minggu. Pada orang dewasa dan anak di atas umur 8
tahun, antibiotika yang diberikan adalah doksisiklin dan rifampisin selama 6 - 8 minggu,
sedangkan untuk anak di bawah 8 tahun sebaiknya diberikan rifampisin dan trimethoprim-
sulfamethoxazole (TMP-SMX) selama 6 minggu. Penderita brucellosis dengan spondilitis
direkomendasikan antibiotika doksisiklin dan rifampisin dikombinasikan dengan aminoglikosida
(gentamisin) selama 2 - 3 minggu kemudian diikuti dengan rifampisin dan doksisiklin selama 6
minggu.
Brucellosis dengan komplikasi endocarditis atau meningoenchepalitis memerlukan
pengobatan dengan kombinasi antibiotika rifampisin, tetrasiklin dan aminoglikosida serta
penambahan corticosteroid untuk mengurangi proses peradangan. Sedangkan, brucellosis dengan
komplikasi endocarditis memerlukan pengobatan yang lebih agresif yaitu dengan kombinasi
aminoglikosida dengan doksisiklin, rifampisin dan TMP-SMX selama 4 minggu diikuti
sekurang-kuranganya kombinasi 2 - 3 jenis antibiotika selama 8 - 12 minggu. Pada wanita hamil
penderita brucellosis, antibiotika pilihan yang harus diberikan adalah kombinasi TMP-SMX.
Percobaan telah menunjukan bahwa cotrimoxazol dan rifampisin adalah obat yang aman untuk
digunakan dalam pengobatan terhadap wanita hamil yang menderita brucellosis.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Brucellosis merupakan penyakit zoonosis yang dapat menular dari hewan ke manusia.
2. Penyakit infeksius Brucellosis disebabkan oleh infeksi bakteri dari genus Brucella.
3. Penularan penyakit ke manusia terjadi melalui konsumsi susu dan produk susu yang tidak
dipasteurisasi atau melalui membrana mukosa dan kulit yang luka.
4. Gejala klinis brucellosis pada manusia yaitu demam intermiten, sakit kepala, lemah, arthralgia,
myalgia dan turunnya berat badan.
5. Pada ternak pejantan penyakit brucellosis dapat menyerang pada testis dan mengakibatkan
orkhitis dan epididimitis serta gangguan pada kelenjar vesikula seminalis dan ampula.
6. Penyakit brucellosis di Indonesia dikenal pertama kali pada tahun 1935, ditemukan pada sapi
perah di Grati, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur.
7. Brucella mempunyai hewan target sebagai reservoir, yaitu Brucella abortus pada sapi, B. ovis
pada domba, B. melitensis pada kambing, B. suis pada babi, B. neotomae dan B. canis pada
anjing.
B. Saran
1. Sebaiknya bila meminum susu, memakan daging pastikan susu yang akan diminum sudah di
pasterurisasi dan daging yang terbebas dari virus brucellosis.
2. Setelah melakukan pemotongan hewan, perawatan hewan dan pemerahan susu sebaiknya
cuci tangan dan membersihkan diri agar steril dari kuman yang dapat menular ke tubuh kita.
3. Gunakan alat-alat keselamatan kerja atau pelindung tubuh dari hewan saat merawat ataupun
mengobati hewan yang sedang sakit.
DAFTAR PUSTAKA
Budiharjo. 2009. Manual standar diagnostik penyakit hewan. Direktur jendral pertenakan dan
Japang International Cooperation Agency (JICA), Jakarta
Hardjopranjot. 1995. Ilmu Kemajiran pada Ternak. Airlangga University Press. Surabaya
[WHO] World Health Organization. 2006. Brucellosis in humans and animals. Geneva