Anda di halaman 1dari 2

WIWITAN DI GILANGHARJO

(sumber: http://agriswara.net/swara-daerah/penas-xii-wiwitan-di-gilangharjo)

Gembira, dari luasan 76 hektar lahan sawah milik sembilan kelompok tani, tampaknya akan dipanen
hasil  cukup memuaskan. Mereka baru mencoba  metode mutakhir  yang irit air, irit bibit, dan irit tenaga,
disebut  SRI (System of Rice Intensification) yang penyebarluasannya didukung oleh Ditjen Pengelolaan
Lahan dan Air Kementerian Pertanian. Hasil sementara ubinan lumayan tinggi, antara 6,8 ton hingga 8,8
ton padi, melebihi rata-rata nasional. 
Dari luasan itu, sebanyak 14 hektar oleh anggota Koperasi Ngudi Rejeki ditanami secara organik, yaitu
bebas pestisida dan pupuk kimiawi, hanya mengandalkan pupuk organik dan biopestisida alami.
Pertanian organik ini dibimbing oleh GIZ (donatur Jerman, Deutsche Gesselschaft fur Internationale
Zusammenarbeit GmbH) serta Joglo Tani, sebuah lembaga wahana pemberdayaan dan pembelajaran
pertanian terpadu  di Sleman, Yogyakarta.
Koperasi Ngudi Rejeki, membawahi tiga kelompok tani, yaitu Tani Raharjo, Tani Rahayu, dan Tani
Manunggal, beranggota 88 orang petani tersebar di pedukuhan Banjarwaru, Tegallurun, Krekah, Ngaran,
Karanggede, dan Gunting. Mereka belajar tani organik di sekolah lapang pertanian organik (SLPO) yang
dibentuk oleh Joglo Tani. Mereka juga dibekali keterampilan pengendalian hama terpadu, membuat
pupuk  cair dan padat, serta pembuatan nutrisi dan pengawetan pakan ternak.  Pihak GIZ juga telah
membantu pengadaan mesin pembuatan pupuk organik serta makanan ternak, serta membuat 6 buah
rumah kompos.
Pintarnya petani Bantul ini, mereka kebanyakan menanam jenis-jenis lokal yang berharga tinggi, seperti
menthik wangi, pandan wangi, dan menthik susu. Harga pun cukup baik, kering giling Rp. 4000,- perkg,
sedangkan jika sudah berupa beras gilingan cukup bagus sekitar Rp. 7.500 – Rp. 8.000 perkg.   Adapun
menthik susu bahkan mencapai Rp. 11.000 per kg. Harga padi organik bahkan jauh lebih tinggi. Lahan
sawah yang tak luas, membuat petani di Gilangharjo kreatif menyikapi dengan masuk ke pertanian padi
organik dengan nilai jual tinggi. Pertanian organik berarti hemat  biaya pupuk, pestisida, dan bibit. Petani
bisa membuat pupuk dan biopestisida sendiri, tak tergantung pihak lain.

WIWITAN, BUDAYA AGRARIS KAYA KEARIFAN LOKAL

Wiwitan artinya memulai. Upacara tradisi Jawa ini penanda awal memanen padi. Biasanya dilakukan sore
hari, pada hari ke 1, 2 atau 3  sebelum panen raya serentak.  Tradisi wiwitan merupakan ungkapan
syukur kepada Sang Pencipta, yang telah memberikan tanah yang subur dan hasil tanam yang
melimpah. 
Acara wiwitan di Gilangharjo, Sri Sultan didampingi Bupati Bantul memulai panen dengan prosesi
sederhana. Biasanya para peserta berbusana tradisi. Sri Sultan sendiri kebetulan saat itu  berkemeja-dasi,
“Opo tumon panenan nganggo dasi, soalnya saya baru selesai seminar di UII,” kelakar Sri Sultan.
Bila dilakukan lengkap, ritual wiwitan dimulai dengan menyiapkan berbagai sesaji, berupa makanan
tradisional, dibawa ke areal persawahan. Bahkan ada yang berupa gunungan berisi makanan dan
sesayuran. Dipimpin seorang tokoh adat, para petani berdoa khusuk untuk memulai tradisi wiwitan.  
Kemudian, padi yang sudah layak dipanen, dipotong dengan ani-ani. Panen kecil itu disimpan, sebagian
untuk benih pada masa tanam mendatang.

Untuk memeriahkan, biasanya warga desa menggelar kesenian gejog lesung, dengan tembang-tembang
Jawa yang berisikan petuah kemakmuran para petani.
Sayangnya tradisi wiwitan hampir punah di kalangan petani Jawa. Mereka mulai meninggalkan, mungkin
dianggap kuno  atau boleh jadi kurang paham bahwa  budaya pangan dan pertanian tanah air
terlekatkan pada tradisi Jawa,  sebuah karya empiris nenek moyang yang mengolah alam secara bijak
dan religius.  

KEHARMONISAN DENGAN ALAM 

Konon, tradisi mulai menanam atau panen telah ada sejak ratusan tahun silam. Sejalan dengan waktu,
tradisi yang bermuatan  pesan luhur tersebut  mulai ditinggalkan. Hanya orang-orang tertentu yang
masih melestarikan atau nguri-nguri budaya nenek moyang mereka. Filosofi  wiwitan mengandung
makna mendalam. Pertanian merupakan jiwa kehidupan, bukanlah sekadar menanam untuk bahan
makanan. Wiwitan adalah suatu ungkapan syukur terimakasih kepada Yang Maha Kuasa karena sudah
diberi hasil panen  sangat melimpah, sehingga sepantasnya berterimakasih dalam bentuk sesaji atau
sedekah. 
Kebudayaan Jawa telah mengajarkan kepada kita untuk selalu bersyukur, menjaga keharmonisan serta
mencintai alam. Memanfaatkannya untuk kepentingan orang lain dan untuk memenuhi kebutuhan diri
sendiri maupun keluarga adalah presentasi kebudayaan Jawa yang senantiasa diselaraskan dengan alam
dan kaya makna dalam ranah kehidupan sosial.
Upacara memulai tanam atau memulai panen ini merupakan bagian integral dalam pola pertanian
masyarakat Jawa yang sampai saat ini perlu dipertahankan meski gempuran arus modernisasi merambah
lini-lini kebudayaan tradisional kita. Petani yang berakar pada tradisi budaya petanian, akan
menyesuaikan perilaku bertani  bukan hanya berdasarkan kondisi tanah dan air di tempat itu saja, tetapi
dengan seluruh elemen alam, termasuk nilai religi masyarakat setempat.
Sayangnya, modernitas, irigasi dan mekanisasi memutus hubungan sakral dengan alam. Akibat lebih
jauh, petani tidak menghargai dan tak memahami alam. Seenaknya mengolah  tanah dan alam dengan
berbagai pupuk kimia, pestisida, dan berbagai perlakuan lain, yang akhirnya justru bertentangan dengan
kebutuhan alami lahan. Sangat kontradiktif  dengan falsafah Jawa yang mengajarkan kita mencintai alam
ini.
Wiwitan adalah ungkapan keinginan menjaga dan melestarikan alam sebagai praktek rasa syukur.
Memberi manfaat pada masyarakat, lingkungan dan alam. Di berbagai daerah pun, secara tradisi telah
ada kearifan lokal turun temurun yang menghargai alam, seyogyanya dibangkitkan kembali. Mamayu
hayuning buwono, menjadi berkat bagi masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai