Anda di halaman 1dari 5

UJIAN AKHIR SEMESTER

FAKULTAS ILMU SOSIAL dan ILMU POLITIK

TAHUN AKADEMIK 2020/2021

Mata Kuliah : Komunikasi Massa

Dosen Pengajar : Hiru Muhammad, M. Si

Nama : Nandi Junaedi Rizki Aly

NPM : 2019140132

Kelas : Ilmu Komunikasi J

Soal :

1. Salah satu hambatan psikologis yang muncul dalam kegiatan komunikasi massa adalah
prasangka, jelaskan maksdunya dan berikan contohnya.
(30 persen)
2. Apa kaitan antara prasangka dengan stereotype, jelaskan (30 persen)
3. Dalam model kegiatan komunikasi massa kita mengenal kegiatan komunikasi dua tahap
(elihu katz dan lazarfield) berikan contoh berita di media massa online ( pilih salah satu
sumber: republika.co.id, kompas.com atau detik.com) yang menggunakan model tersebut
dan jelaskan. Tidak boleh menggunakan contoh berita yang sama dengan teman. (40
persen)

Jawaban :

1. Dari beberapa hambatan dalam melakukan komunikasi massa ialah salah satunya
Prasangka (Prejudice). Prasangka terkait dengan persepsi orang tentang seseorang atau
kelompok lain, sikap dan perilakunya terhadap orang lain (Sears 1985: 143).

Hambatan ini kemungkinan akan menghambat bahkan membuat proses komunikasi


massa tidak berjalan atau tidak berjalan sesuai semestinya, prasangka terbentuk akibat
pengalaman dari suatu individu mengenai suatu hal atau peristiwa yang notabene
mengarah kepada yang pandangan negative. Prasangka merupakan penilaian negatif yang
telah dimiliki sebelumnya terhadap suatu kelompok dan masing-masing anggota
kelompoknya (Myers, 2012:6). Prasangka adalah sikap, dimana sikap adalah kombinasi
dan perasaan (affect), kecenderungan berperilaku (behavior tendency) dan keyakinan
(cognition). 
Prasangka dianggap sebagai seperangkat kepercayaan yang salah atau irasional,
generalisasi yang serampangan (ngawur) karena tidak sesuai dengan fakta dan realitas
atau disposisi yang tidak beralasan yang menyebabkan orang berperilaku negatifterhadap
kelompok lain. Sehingga kelompok yang sudah terlanjur mendapat prasangka buruk
kerap diperlakukan diskrimininatif. Prasangka ini harus kita break up agar masyarakat
lebih terbuka pandangannya dengan memberi pemahaman yang luas yang sesuai fakta
agar tidak terjadi lagi prasangka negative bagi suatu kelompok.

Contohnya : prasangka yang negative bagi islam di dunia bermula dari tragedi terorisme
yang di lakukan di Gedung WTC di amerika serikat, terorisme ini dilakukan oleh
kelompok AL-Qaeda yang dipimpin Osama bin Laden, pasca kejadian tersebut
masyarakat barat menganggap muslim terutama dari timur tengah adalah orang yang
patut diwaspadai, karena hal tersebut telah merusak citra umat islam di mata dunia.

Persepsi adalah pengalaman tentang obyek, peritiwa, atau hubungan yang diperoleh
dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. (Rakhmat 2003:51).

Persepsi atau prasangka ini sendiri terdiri atas factor personal dan situasional, faktor
personal adalah pengalaman masa lalu yang telah ia alami dan tersimpan di ingatan,
sedangkan factor situasional adalah yang menentukan persepsi berasal dari sifat
stiumulus secara fisik. Menurut kohler jika kita ingin memahami peristiwa, kita harus
memahaminya secara keseluruhan.

2. Saya akan menjelaskan tentang keterkaitan stereotip dan prasangka, dimulai dari
stereotip. Stereotip adalah suatu pandangan, penilaian, dan persepsi suatu kelompok
masyarakat yang kiranya sudah menjadi hal yang melekat di suatu kelompok masyarakat
tersebut, stereotip kebanyakan tidak selalu benar, Stereotipe jarang sekali akurat,
biasanya hanya memiliki sedikit dasar yang benar, atau bahkan sepenuhnya dikarang-
karang. Walaupun jarang sekali stereotipe itu sepenuhnya akurat, tetapi beberapa
penelitian statistik menunjukkan bahwa dalam beberapa kasus stereotipe sesuai dengan
fakta terukur.

Sedangkan Prasangka atau prejudice merupakan perilaku negatif yang mengarahkan


kelompok pada individualis berdasarkan pada keterbatasan atau kesalahan informasi
tentang kelompok. Prasangka juga dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang bersifat
emosional, yang akan mudah sekali menjadi motivator munculnya ledakan sosial.

Kaitan antara stereotip dan prasangka adalah karena prasangka yang didasari tanpa
pengetahuan yang lebih akan menimbulkan stereotip. Maka dari itu kita dalam
memberikan penilaian kepada anggota kelompok masyarakat lain harus secara
fakta yang ada, misalnya kita harus berkomunikasi dengan anggota kelompok
tersebut, baru kita bisa menilai anggota kelompok tersebut dan menghilangkan
prasangka dan stereotip yang ada, dan akhirnya membuat pemikiran kita lebih
terbuka. Contohnya Misalkan kita berkenalan dengan warga minang, ada berbagai
pandangan/stigma terhadap warga minang, dari sisi positif dan juga negatifnya yang
kadang membuat keliru, yang berdampak kepada yang lainnya.

Contoh positif dari masyarakat minang/ sumatera barat yakni orang orangnya itu pekerja
keras, berani ambil resiko (dalam hal ini pandangan saya terhadap orang minang yang
perantau, dimana ia berani meninggalkan sanak family demi meraih kesuksesan ),
kemudian orang minang bisa mengatur keuangan dengan baik, jago berdagang.
Kemudian stigma/ pandangan negative terhadap masyarakat minang, seringkali warga di
pulau jawa menyebut orang minang adalah orang padang, padahal menurut saya “orang
padang sudah pasti minang, tapi orang minang bukan cuma dari padang”, juga banyak
yang beranggapan orang minang itu pelit, padahal ini itu Salah besar, menurut saya
orang minang mengapa dianggap pelit? Karena keadaannya yang sedang merantau
sehingga perlu hemat untuk mengatur keuangan. Juga mungkin saya sering dapat
omongan kalau orang minang itu keras kepala, menurut saya tidak demikian. Mungkin
karena orang minang itu pendiriannya kuat. dari sini saja ada banyak pandangan keliru
dikarenakan stereotip yang berkembang. dengan adanya stereotip dan prasangka ini
menghasilkan komunikasi yang tidak efektif. Hal ini menjadi pagar pembatas interaksi
sosial antarbudaya bagi orang yang percaya akan stereotip tersebut, hingga memicu
terjadinya konflik karena tidak terima dengan stereotip yang disematkan.
3. Jubir Vaksin: OTG Tetap Bisa Divaksin Covid-19
Kompas.com - 17/01/2021, 13:20 WIB

https://nasional.kompas.com/read/2021/01/17/13200421/jubir-vaksin-otg-tetap-bisa-divaksin-
covid-19

JAKARTA, KOMPAS.com - Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 dari Kementerian


Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi mengatakan, seseorang yang berstatus orang
tanpa gejala (OTG) Covid-19 tetap bisa diberi vaksin. Hal tersebut sekaligus memastikan
bahwa orang yang akan menjalani vaksinasi tidak perlu harus tes swab polymerase chain
reaction (PCR) terlebih dahulu. "Tetap vaksin saja, tidak harus periksa (tes swab dulu),"
ujar Nadia kepada Kompas.com, Minggu (17/1/2021).

Bagi OTG yang terlanjur divaksin Covid-19, kata dia, tidak akan ada efek
membahayakan yang diterima bersangkutan. Walupun dalam Surat Keputusan Dirjen
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Nomor HK.02.02/4/1/2021 tentang Teknis
Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19 tidak
disebutkan jelas apakah OTG bisa mendapat vaksin atau tidak. "Tidak apa-apa (OTG
divaksin Covid-19 dan tidak berefek buruk)," ucap dia. Dalam SK tersebut sudah diatur
mengenai skrining sebelum vaksinasi. Penerima vaksin akan diperiksa riwayat kesehatan
dan kondisi sebelum vaksinasi dengan menjawab beberapa pertanyaan serta pemeriksaan
tekanan darah dan suhu tubuh. Skrining tersebut juga ditujukan untuk mengurangi risiko
reaksi berat yang terjadi setelah penyuntikan vaksin ke dalam tubuh.

Meski demikian, apabila seorang OTG lolos skrining, maka tetap akan diberi vaksin dan
tidak memiliki efek berbahaya bagi yang bersangkutan

Pasalnya antibodi dalam tubuh OTG, dinilai belum optimal dalam menghadapi virus
Covid-19 sehingga pemberian vaksin akan meminimalkan risiko penularan. Secara
umum, mereka yang memiliki riwayat konfirmasi Covid-19, wanita hamil, menyusui,
usia di bawah 18 tahun, serta beberapa kondisi komorbid tidak bisa mendapatkan vaksin
Covid-19.

Saat ini, Indonesia sudah mulai menjalankan vaksinasi nasional. Vaksin yang digunakan
adalah Sinovac produksi China yang telah dibeli pemerintah sebanyak 3 juta dosis.
Kelompok prioritas penerima vaksin tersebut adalah penduduk Indonesia yang berusia
lebih dari 18 tahun dengan sasaran berupa tenaga kesehatan, asisten tenaga kesehatan,
tenaga penunjang serta mahasiswa yang sedang menjalani pendidikan profesi kedokteran
yang bekerja pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan.

Penjelasan :
Model komunikasi dua tahap merupakan salah satu model komunikasi massa. Teori
komunikasi massa dan teori efek media masa yang lahir sebagai respon terhadap model
komunikasi satu tahap atau model pelur (jarum hipodermik). Model komunikasi satu
tahap menyatakan bahwa khalayak secara langsung dipengaruhi oleh media massa.
Sebaliknya, model komunikasi dua tahap menyatakan bahwa sebagian besar masyarakat
atau khalayak membentuk pendapat mereka masing-masing.  Pengaruh pemuka pendapat
yang sebelumnya dipengaruhi oleh media massa.

Dalam komunikasi dua tahap, arus pesan bergerak dari media massa kepada pemuka
pendapat dan kemudian dari pemuka pendapat kepada khalayak luas.

Model ini digagas oleh Katz dan Lazarsfeld. Menurut model ini, penyebaran dan


pengaruh informasi yang disampaikan melalui media massa kepada khalayaknya tidak
terjadi secara langsung (satu tahap), melainkan melalui perantara seperti misalnya “
Pemuka pendapat‟ (opinion leaders).

Dalam berita yang saya kutip diatas informasi berasal dari media massa yakni
kompas.com. tahap pertama dari komunikasi ini pemuka pendapat atau penyebar
informasi di berita ini yakni, Deti Mega Purnamasari selaku jurnalis dan penulis berita
beliau menjadi beliau menyebarkan berita kepada sejumlah orang yang menjadi
pengikutnya atau kita sebagai pembaca dan penerima informasi tersebut,
dari berita diatas dijelaskan bahwa seseorang yang OTG Covid-19 masih bisa di vaksin.
Tentunya informasi ini memiliki opinion leadernya, yakni Siti Nadia Tarmidzi
mengatakan bahwa OTG bisa ikut vaksinasi tanpa harus melakukan test SWAB dan PCR,
tentunya vaksin yang dilakukan tidak memberi dampak buruk bagi tubuh orang yang
dainggap OTG.

Anda mungkin juga menyukai