Anda di halaman 1dari 6

STUDI KASUS

MANAJEMEN RISIKO PASAR MODAL

1. Risiko Pasar
Risiko pasar adalah Risiko yang melekat pada setiap investasi di pasar modal
yang merupakan risiko yang ditanggung oleh investor, dimana investasi dapat
mengalami kerugian bagi investor maupun perusahaan sekuritas yang diperkirakan
akibat dari fluktuasi harga pasar.
Saat ini pasar keuangan global tengah bergejolka akibat merebaknya pandemi
virus corona (COVID-19) yang kini telah menjangkiti berbagai penjuru dunia. Pasar
keuangan Indonesia termasuk yang tertekan paling hebat. Tentunya, hal ini juga akan
menimbulkan risiko penurunan IHSG di pasar modal.
Sejak awal tahun. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) belum sempat
mencicipi rasanya penguatan pada periode Januari harus tertekan hebat akibat
merebaknya COVID-19 di China dan dunia pada akhir Januari lalu.
Hingga minggu ketiga Maret, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) telah
terkoreksi sekitar 30% sejak awal tahun 2020 (ytd). Bahkan, dalam beberapa waktu
terakhir IHSG telah mengalami beberapa kali suspensi perdagangan sementara karena
mengalami pelemahan hingga -5% dalam sehari.
Penurunan IHSG secara tajam ini yang kemudian menyebabkan kepanikan
melanda investor, sehingga mengakibatkan capital outflow secara besar-besaran.
Asing membukukan aksi jual bersih senilai Rp 10 triliun. Sebenarnya tekanan jual
juga melanda bursa saham global. Namun IHSG tetap menjadi yang terburuk jika
dibandingkan S&P 500, Euro STOXX 600, MSCI All AxJ dan TOPIX.
Capital outflow tidak hanya terjadi di bursa saham saja. Di pasar obligasi juga
mengalami nasib serupa. Dalam konferensi persnya hari ini, Secara year to date
terjadi net outflow sebesar Rp 145,1 triliun yang terdiri dari outflow Rp 131,1 triliun
di SBN dan Rp 9,9 triliun. BI mencatat ada outflow sebesar Rp 167,9 triliun. Outflow
ini turut memberatkan kinerja rupiah. Secara year to date rupiah telah terdepresiasi
terhadap dolar AS lebih dari 17% dan menjadi mata uang yang terburuk di kawasan
Benua Kuning.
Guna menghadapi kekacauan yang melanda pasar modal di Indonesia ini,
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus berupaya mencegah penurunan dalam di pasar
saham. Pengawas pasar modal ini mengeluarkan kebijakan baru untuk menahan
penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Melalui surat bernomor S-
274/PM.21/2020, OJK memerintahkan kepada Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk
menghentikan kegiatan perdagangan saham bila IHSG berada dalam tekanan.
Rinciannya, bila IHSG turun 5% dalam sehari, BEI diperintahkan
menghentikan perdagangan selama 30 menit. Aturan ini mulai berlaku pada
perdagangan besok (11/3) sampai batas waktu yang tidak ditentukan.
Sementara bila IHSG turun hingga 10% atau turun melebihi 15%, maka BEI
harus segera menerapkan protokol krisis yang dimiliki, sesuai SK Direksi BEI nomor
Kep-00366/BEI/05-2012 mengenai Panduan Penanganan Kelangsungan Perdagangan
di Bursa Efek Indonesia Dalam Kondisi Darurat.
Berdasarkan keterangan OJK, protokol krisis yang dimaksud adalah apabila
IHSG tetap mengalami penurunan hingga mencapai lebih dari 15% setelah trading
halt dilakukan, maka BEI akan memberlakukan trading suspend sampai akhir sesi
perdagangan atau lebih dari satu sesi perdagangan. Langkah trading suspend
dilakukan setelah mendapat persetujuan OJK. Ketentuan tambahan tentang
pemberlakuan trading halt jika IHSG turun sampai 5% ini diambil untuk mengurangi
dampak pasar yang berfluktuasi secara signifikan.
Selain itu, sangat perlu untuk mengambil solusi guna menyelesaikan akar
masalah itu sendiri, yaitu COVID-19. Pemerintah perlu membuat kebijakan terkait
penanganan penyebaran virus ini secara lebih tegas, karena kebijakan yang dibuat
pemerintah sejauh ini belum berjalan efektif. Hal ini sangat perlu ditekankan karena
ketika COVID-19 berhasil diredam dan dihentikan, perekonomian akan pulih dengan
sangat cepat. Pemerintah juga sebaiknya mulai menggelontorkan sstimulus untuk
secara bertahap memperbaiki kinerja korporasi agar respons market akan menjadi
positif.
Contoh nyata solusi tersebut bisa di lihat di China. Setelah memberlakukan
lockdown selama beberapa bulan, negara asal COVID-19 ini langsung bangkit setelah
sukses meredam penyebaran virus dalam watu sekitar 3 bulan. Sektor manufaktur
Negeri Tiongkok bangkit lebih cepat dari prediksi. Purchasing managers' index (PMI)
manufaktur China di bulan Maret dilaporkan sebesar 52, melesat dibandingkan bulan
Februari 35,7, dan jauh di atas prediksi di Forex Factory sebesar 44,9.
Indeks PMI di atas 50 berarti sektor manufaktur sudah kembali berekspansi di
bulan ini. Sementara di bawah 50 berarti kontraksi. Ketika sektor manufaktur mulai
berekspansi kembali maka roda perekonomian akan kembali berputar, dan pasar
finansial global akan kembali bangkit.
Dari investor sendiri, investor tidak perlu panik, tetapi hanya perlu lebih
waspada. Bila investor mencairkan investasi di reksadana, tentu saja mereka langsung
merealisasikan kerugian. Justru, kondisi ini bisa juga menjadi sebuah kesempatan
untuk membeli reksadana di harga murah.
2. Risiko Kredit
Risiko Kredit adalah risiko kerugian akibat salah satu pihak dalam kontrak
tidak dapat memenuhi kewajibannya atau gagal bayar. Perusahaan sekuritas
dihadapkan dengan risiko kredit setiap mereka masuk ke dalam perjanjian pinjaman,
kontrak Over The Counter (OTC).
Risiko kredit secara umum akan berkaitan dengan emiten-emiten yang
bergerak pada bidang perbankan. Risiko ini juga cukup signifikan pengaruhnya
terhadap bursa karena sector perbankan seperti contohnya beberapa emiten antara lain
BBRI, BMRI, BBNI memiliki kapitalisasi pasar (market cap) yang besar sehingga
juga turut memberikan bobot yang besar pada IHSG. Bahkan, emiten dengan market
cap terbesar di bursa pun berasal dari sector perbankan yakni BBCA dengan market
cap Rp666,92 T. Akibatnya, sector ini yang bertanggung jawab menjadi salah satu
penggerak IHSG menuju zona hijau maupun merah.
Selain itu, peemerintah sendiri juga menerbitkan kebijakan relaksasi kredit
yang membuat sector perbankan semakin kalang kabut. Pemerintah menyatakan
pembayaran bunga atau angsuran diberikan kelonggaran selama 1 tahun. Yang
membuat keadaan semakin rumit adalah pemerintah mengeluarkan kebijakan tersebut
tanpa koordinasi dengan OJK dan pernyataan akan kesiapan daru Lembaga perbankan
maupun keuangan lainnya. Sehingga, hal ini menyebabkan adanya miskonsepsi di
masyarakat. Banyak masyarakat yang menerjemahkan pernyataan tersebut sebagai
pembebasan pembayaran kredit secara total dalam setahun. Jika pemerintah memaksa
untuk menerapkan kebijakan ini, maka setidaknya harus ada peraturan yang jelas dan
suntikan dana dari pemerintah, untuk meminimalkan risiko kredit yang akan dihadapi
Lembaga perbankan terhadap investornya akibat berkurangya pembayaran bunga.
3. Risiko Likuiditas
Risiko Likuiditas adalah risiko tidak dapat secara cepat menjual aset atau surat
berharga sesuai dengan harga yang diharapkan atau harga yang wajar sehingga
muncul kerugian.
Di tengah situasi pandemic yang menyebabkan lesunya kegiatan ekonomi,
membuat para investor panik dan melakukan penarikan investasi dalam jumlah yang
signifikan. Perusahaan maupun Lembaga perbankan dan keuangan lainnya mungkin
akan menghadapi risiko sulitnya likuiditas karena kesulitan dalam menjual aset atau
surat berharganya dalam harga yang wajar.
Meskipun begitu, realita yang terjadi sat ini masih menunjukkan bahwa
prospek likuiditas perbankan terpantau relatif stabil meskipun terdapat beberapa
beberapa faktor risiko yang bertendensi meningkat.
Oleh karena itu, untuk mencegah risiko likuiditas yang mungkin dihadapi di
tengah kondisi saat ini, BI memutuskan memangkas suku bunga acuan sebagai
langkah menekan perlambatan kredit karena dampak kian meluasnya penyebaran
virus corona (Covid-19). Langkah itu dilakukan bersamaan dengan melakukan
penambahan likuiditas ke pasar dengan melonggarkan giro wajib minimum (GWM).
4. Risiko Operasional
Risiko operasional adalah risiko dimana terdapat kegiatan operasional
perusahaan yang tidak benar dari perdagangan dan business process serta sistem
manajemen yang mengakibatkan kerugian keuangan. Risiko operasional mencakup
risiko kerugian akibat lemahnya kontrol dalam perusahaan, perdagangan tidak sah,
maupun penipuan.
Dengan banyaknya investor yang melakukan transaksi penjualan efek dan
surat berharga lainnya karean kepanikan yang melanda, BEI kemungkinan akan
menghadapi risiko operasional yaitu terganggunya system JATS akibat workload
yang terlalu tinggi tersebut. Selain itu penerapan kebijakan pemerintah untuk
melakukan social distancing berskala besar, kemungkinan juga akan berisiko terhadap
penurunan tenaga kerja, karena bagaimanapun canggih teknologi, pengawasan kerja
secara daring tidak akan bisa menyamai pengawasan kerja secara langsung.
Untuk itu, BEI selaku pasar modal di Indonesia perlu meningkatkan kinerja
teknisi profesional yang mengawasi jalannya system JATS agar tidak terganggu.
Selain itu, juga perlu membuat SOP yang disesuaikan dengan kegiatan Work from
Home untuk menjaga kinerja karyawan agar tidak menurun.
Scenario terburuk lain yang mungkin terjadi adalah penutupan pasar modal
sementara menanggapi kekacauan yang terjadi dalam pasar modal. Penutupan
sementara mungkin dilakukan hingga gejolak perekonomian mulai membaik. Untuk
menghadapi risiko ini, pemerintah Bersama OJK bisa merumuskan kebijakan guna
mencegah risiko tersebut seperti dengan kebijakan terkait buyback maupul halting.
5. Risiko Sistematik
Risiko sistematik merupakan risiko berupa gangguan dalam sistem
penyelesaian yang bisa menimbulkan efek domino di seluruh pasar keuangan,
sehingga membangkrutkan satu demi satu lembaga keuangan atau terjadi krisis
kepercayaan di kalangan investor dan menimbulkan kondisi panic selling . Risiko ini
juga muncul akibat adanya krisis ekonomi disuatu negara.
Pandemi Covid-19 bersamaan dengan penurunan harga komoditas akibat
penurunnan harga minyak yang dijadikan acuan harga komoditas ekspor unggulan
menyebabkan gejolak pasar keuangan, yang akan berimplikasi buruk bagi
perekonomian dunia dan Indonesia tahun ini. Terlebih dengan memburuknya
perekonomian sejumlah mitra dagang utama Indonesia. Permintaan dalam negeri
diperkirakan akan melemah seiring dengan menurunnya sentimen bisnis konsumen.
Kondisi tersebut akhirnya menyebabkan penurunan indeks perekonomian
Indonesia yang kemudian memicu kepanikan investor untuk melakukan panic selling
secara besar-besaran yang mengakibatkan penurunan IHSG secara tajam. Outflow
yang tinggi tersebut membuat rupiah makin tertekan dan makin memperburuk kondisi
pasar modal.
Di lain sisi, pandemic ini mendorong pemerintah untuk membuat kebijakan
yang juga berisiko buruk terhadap perekonomian. Kebijakan WFH dan relaksasi
kredit menurunkan kinerja perusahaan-perusahaan emiten dan kenaikan risiko kredit
dan likuiditas terutama emiten perbankan.
Untuk mengatasi risiko ini, pemerintah harus benar-benar menyiapkan
kebijakan dengan persiapan dan koordinasi yang matang untuk menangani
penyebaran cirus corona yang menjadi akar munculnya risiko-risiko ini. Untuk
tanggapan darurat, OJK bisa mengeluarkan protocol untuk melakukan trading
suspense apabila IHSG tetap mengalami penurunan hingga mencapai lebih dari 15%
setelah trading halt dilakukan, meskipun hal itu berarti menyebabkan timbulnya risiko
operasional. Langkah ini perlu diambil untuk mengurangi dampak pasar yang
berfluktuasi secara signifikan.

Anda mungkin juga menyukai