Anda di halaman 1dari 20

PROPOSAL TESIS

POLITIK PENDIDIKAN ISLAM INDONESIA: STUDI KEBIJAKAN


PESANTREN MELAWAN HEGEMONI SISTEM PENDIDIKAN BARAT
ERA KOLONIALISME BELANDA (1900-1940)

Oleh: Fatkhul Mubin


NIM: 219.04.00.327
A. Latar Belakang Masalah
Dalam kacamata kolonialis Belanda, secara de facto pesantren menjadi
training center dan cultural center yang lahir dan dilembagakan oleh
masyarakat Islam yang konsisten melawan kolonialisme berbasis pendidikan
Islam.1 Hal ini, menurut Ziemek tidak terlepas dari fakta sejarah bahwa
gerakan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda dilakukan secara masif
oleh pesantren yang dimotori oleh para kiai sebagai aktor intelektualnya. 2
Mahmud Arif menyatakan ada dua cara yang ditempuh pesantren dalam
melakukan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda dilakukan, yaitu:
tersembunyi, dilakukan dengan cara bersikap konservatif, defensif, dan
isolasionis dan perlawanan terbuka yang dengan cara bersikap nonkooperatif
dan pengobaran semangat anti kolonialisme.3 Perlawanan-perlawanan tersebut
adalah “jihad” dalam menjaga identitas religio-kultural bangsa dari dominasi
penetrasi sistem pendidikan sekuler dan invasi militer Belanda.
Diskursus tentang pesantren, politik dan pendidikan baik yang terkait
dengan era kolonialisme Belanda atau tidak merupakan tema kajian yang
sangat menarik. Hal ini, dibuktikan dengan dilakukannya penelitian-penelitian
akademis oleh para sarjana terkait tema tersebut. Sebut saja, Maftuh, dengan
karyanya berjudul Kebijakan Politik Pendidikan Hindia Belanda dan
Implikasinya bagi Pendidikan Islam (1900-1942).4 Penelitian ini menemukan
1
Moh. Slamet Untung, “Kebijakan Kolonial Belanda Terhadap Pendidikan Pesantren”,
Forum Tarbiyah, Vol. 11, No. 1, Juni 2013, h. 2.
2
Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, terj. Butche B. Soendjojo,
(Jakarta: P3M, 1986), h. 56.
3
Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif (Yogyakarta: LkiS, 2008), h. 177-178.
4
Maftuh, Kebijakan Poltik Pendidikan Hindia Belanda dan Implikasinya Bagi
Pendidikan Islam, (Tesis: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009).

1
2

fakta bahwa kebijakan politik pendidikan pemerintahan Hindia Belanda


dilatarbelakangi beberapa faktor, yaitu: politik, ekonomi, kristenisasi,
rasialisme, situasi dan kondisi yang terjadi di Belanda, serta kondisi umat Islam
di Indonesia. Hal ini, berimplikasi pada blue print pendidikan Islam meliputi
aspek kelembagaan, kurikulum, metode pengajaran dan pendidik.
Penelitian lain dilakukan oleh Sangkot Nasution dengan judul Strategi
Pendidikan Belanda pada Masa Kolonial di Indonesia. 5 Hasil penelitian ini
adalah Pendidikan formal di Indonesia pertama kalinya dilaksanakan oleh
Zending. Pendidikan ini amat terbatas karena mempunyai tujuan untuk
membina kader pendeta. VOC tidak mencampuri urusan pendidikan rakyat,
kecuali bergerak dalam bidang perdagangan. Kemudian ketika VOC digantikan
oleh penguasa kolonial Belanda, pendidikan mendapat perhatian kendati
terbatas untuk kalangan masyarakat Belanda dan segelintir golongan
bangsawan.
Penelitian lain dengan scope sejarah yang lebih luas, dilakukan oleh
Hasnida dengan judul Sejarah Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia
Pada Masa Pra Kolonialisme dan Masa Kolonialisme (Belanda, Jepang,
Sekutu).6 Hasil penelitian ini adalah perkembangan pendidikan Islam di
Indonesia ditandai oleh lahirnya berbagai lembaga pendidikan secara bertahap,
mulai dari yang sederhana hingga modern. Surau sebagai bentuk lembaga
pendidikan sederhana lazim ditemukan di Minangkabau, sementara di
Nanggroe Aceh Darussalam terdapat lembaga pendidikan tingkat rendah yang
disebut Meunasah.
Lebih lanjut, Anzar Abdullah7 dengan karya ilmiah berjudul
Perkembangan Pesantren dan Madrasah di Indonesia dari Masa Kolonial
Sampai Orde Baru menemukan fakta bahwa pendidikan Islam pada awalnya
sangat erat kaitannya dengan proses islamisasi di Nusantara dan berpusat di
5
Sangkot Nasution, “Strategi Pendidikan Belanda pada Masa Kolonial di Indonesia”,
Ihya’ al-‘Arabiyyah, Vol. VI, No. 2, Juni-Desember 2016.
6
Hasnida, “Sejarah Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia pada Masa Pra
Kolonialisme dan Masa Kolonialisme (Belanda, Jepang, Sekutu), KORDINAT, Vol. XVI, No. 2
Oktober 2017.
7
Anzar Abdullah, “Perkembangan Pesantren dan Madrasah di Indonesia dari Masa
Kolonila Sampai Orde Baru”, Paramita, Vol. 23, No. 2-Juli 2013.
3

surau, masjid, dan langgar yang kemudian berkembang menjadi lembaga


pendidikan dalam bentuk pesantren dan madrasah. Kemudian, fenomena
pendidikan Islam di Indonesia diwarnai oleh pergeseran pola pendidikan
pesantren salaf kepada sistem pendidikan madrasah yang mengadopsi
pendidikan a la Barat dengan sistem klasikal sebagai ciri khasnya.
Ali Maulida dengan judul penelitian Dinamika dan Peran Pondok
Pesantren dalam Pendidikan Islam Sejak Era Kolonialisme Hingga Masa
Kini.8 Hasil penelitian ini adalah pesantren telah memainkan peranan yang
sangat penting dalam sejarah kehidupan umat Islam bahkan bangsa Indonesia
pada umumnya. Pesantren bukan hanya menjadi tempat menimba ilmu, dan
menyebarkan da’wah Islam, tapi juga menjadi tempat memupuk perlawanan
bangsa Indonesia kepada pemerintah kolonial.
Kemudian, karya ilmiah yang disusun oleh Irham berjudul Pesantren dan
Perkembangan Politik Pendidikan Agama di Indonesia. 9 Hasil penelitian ini
adalah pesantren merupakan lembaga pendidikan agama Islam di Indonesia
yang tertua dan akomodatif terhadap perkembangan sosial budaya nasional
maupun global. Sistem pendidikannya memuat nilai-nilai multikulturalisme.
Selain itu, pesantren sebagai lembaga pendidikan yang menanamkan nilai-nilai
nasionalisme kebangsaan. Pesantren sangat memungkinkan menjadi lembaga
yang mampu mengintegrasikan tiga peradaban besar sekaligus. Yaitu
peradaban Barat, peradaban Timur, dan peradaban Nusantara. Sehingga
pesantren sebagai lembaga produksi peradaban baru untuk memperkaya
peradaban Nusantara.
Lebih lanjut, Mukodi dengan penelitian berjudul Pesantren dan
Pendidikan Politik di Indonesia: Sebuah Reformulasi Kepemimpinan Islam
Futuristik10 menemukan fakta bahwa beragam aktivitas kehidupan di pesantren
telah mendorong tersemainya sense of politic para santri. Keberadaan sekolah

8
Ali Maulida, “Dinamika dan Peran Pondok Pesantren dalam Pendidikan Islam Sejak Era
Kolonialisme Hingga Masa Kini”, Edukasi Jurnal Pendidikan Islam, Vo. 05, Januari 2016.
9
Irham, “Pesantren dan Perkembangan Politik Pendidikan Agama di Indonesia”, Ta’lim
Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol. 13, No. 1, Maret 2015.
10
Mukodi, “Pesantren dan Pendidikan Politik DI Indonesia: Sebuah Reformulasi
Kepemimpinan Islam Futuristik”, At-Tahrir, Vol. 16, No. 2, November 2016.
4

politik (pesantren politik) pun menjadi alternatif solutif, dan jawaban konkrit
untuk merangkul alumni pesantren, dan kaum muda Islam yang potensial
bergiat di dunia politik. Selain itu, melalui reformulasi kepemimpinan di
pesantren, berupa: (1) memasukkan kurikulum kepemimpinan, dan politik
kedalam kurikulum pesantren; (2) mengintensifkan pelatihan kepemimpinan;
(3) mengadakan program pencangkokan kepemimpinan; (4) mendudukkan
alumni pesantren yang berkualitas (qualifed) menjadi pemimpin; (5)
pendampingan (coaching) pemimpin muda di pesantren dapat mempercepat
terwujudnya kepemimpinan ideal versi Islam di Indonesia.
Kemudian, penelitian yang dilakukan oleh Zaini Tamin AR berjudul
Pesantren dan Politik (Sinergi Pendidikan Pesantren dan Kepemimpinan
dalam Pandangan KH. M. Hasyim Asy’ari).11 Hasil penelitian ini adalah Kiai
Hasyim, dalam beberapa karyanya dengan jelas menegaskan bahwa tujuan
pendidikan Islam tidak hanya berhenti pada tingkat kognitif saja. Lebih dari
itu, tujuan pendidikan Islam terutama di pesantren adalah pada pengamalan
terhadap ilmu yang telah diperoleh, yang disebut dengan ilmu bermanfaat (‘ilm
nafi’). Ini menjadi keunggulan pendidikan pesantren, yang menggabungkan
kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual, yang muaranya dapat
membentuk karakter seseorang. Karakter adalah faktor penting dalam
kepemimpinan, sebuah kemampuan untuk melangkah keluar dari budaya yang
ada dan memulai proses perubahan evolusioner yang lebih adaptif. Sebagai
laboratorium pendidikan karakter, pesantren menjadi lumbung pembentukan
karakter, baik dalam hal intelektual, sosial, dan terutama dalam hal
kepemimpinan.
Penelitian-penelitian di atas, telah membahas tentang tema pesantren,
politik dan pendidikan Islam di Indonesia dalam segala babak sejarah: pra
kolonialisme, era kolonialisme dan pasca kolonialisme. Namun demikian,
kajian penelitian-penelitian di atas masih menyisakan “ruang kosong” terkait
dengan diskursus kebijakan pesantren dalam melawan hegemoni pendidikan
11
Zaini Tamin AR, “Pesantren dan Politik (Sinergi Pendidikan Pesantren dan
Kepemimpian dalam Pandangan KH. M. Hasyim Asy’ari)”, Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol.
3 No. 2, November 2015.
5

Barat era kolonialisme Belanda. Karenanya, penelitian yang dilakukan oleh


penulis menemukan relevansi ilmiah untuk mengisi “ruang kosong” yang
ditinggalkan oleh penelitian-penelitian sebelumnya.
Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam yang menjadi
subkultur12 bangsa Indonesia. Sebagai lembaga pendidikan, pesantren
mempunyai keunikan dan ciri khas yang kuat dan pekat. Keunikan dan
kekhasan pesantren lahir dari proses pembentukan sistem nilai di dalamnya.
Bahkan, sistem nilai yang terbentuk di dalam pesantren, kemudian membentuk
simbol-simbol, menciptakan daya tarik ke luar, sehingga dipahami dan
dianggap oleh masyarakat sekitar bahwa pesantren merupakan alternatif ideal
bagi kehidupan mereka.13 Pesantren mengambil peran untuk ikut andil dalam
usaha mencerdaskan kehidupan bangsa yang telah dimulai sejak lampau dan
berlangsung turun-temurun. Dalam perjalanannya, banyak halang rintang yang
telah dihadapi pesantren dalam memberikan pendidikan terutama pada masa
kolonialisme Belanda di Indonesia. Pesantren bukanlah lembaga pendidikan
yang mengajarkan materi yang menekankan pada orientasi kepada kekuasaan,
kekayaan dan hal-hal lain yang berkaitan dengan gemerlap kehidupan dunia. 14
Dengan demikian, terlihat usaha pesantren sebagai lembaga pendidikan untuk
memikul tanggung jawabnya dalam menanamkan pendidikan yang lebih
berorientasi pada karakter untuk para santri.
Dalam sejarah Indonesia, tercatat bahwa pondok pesantren pertama kali
muncul pada abad ke-16 M, berada di Ampel Denta yang dirikan oleh Sunan
Ampel. Pada saat itu, beliau “menggembleng” para santri sebagai juru dakwah
agama Islam ke seluruh pelosok nusantara. Bahkan, ada santri yang diberi
mandat untuk berdakwah ke negara-negara tetangga. Diaspora perkembangan
pesantren di penjuru tanah air diawali oleh santri-santri Sunan Ampel dan
12
Secara sosiologis, sebuah subkultur adalah sekelompok orang yang memiliki perilaku
dan kepercayaan yang berbeda dengan kebudayaan induk mereka. Subkultur dapat terjadi karena
perbedaan usia anggotanya, ras, etnisitas, kelas sosial, dan/atau gender, dan dapat pula terjadi
karena perbedaan aesthetik, religi, politik, dan seksual; atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut.
Lihat https://id.wikipedia.org/wiki/Subkultur . Diakses pada 28 November 2019.
13
Abdurahman Wahid, Pesantren Sebagai Subkultur, dalam Dawam Rardjo (Ed),
Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, 1974), h. 40.
14
Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai,
(Jakarta: LP3ES, 1981), h. 3.
6

mencapai puncak pada pertengahan abad ke-19 M dan awal abad ke-20 M
yaitu pada masa Syaikh Kholil Bangkalan yang melahirkan banyak ulama
besar di Nusantara. Bahkan, pada waktu itu hampir di setiap kota kecamatan
sampai di pedesaan berdiri satu pesantren atau bahkan lebih. Lebih lanjut,
dalam perjalanannya, muncul pengklasifikasian pesantren di Indonesia
berdasarkan sistem atau jenis lembaga pendidikan yang diadakannya.
Sejak pemerintah kolonial Belanda berkuasa di Indonesia, persoalan
pendidikan dan kehidupan beragama diatur melalui regulasi yang ketat.
Kebijakan ini dalam mengatur jalannya pendidikan disesuaikan dengan
kepentingan pemerintah kolonial Belanda, terutama untuk kepentingan
agama Kristen.15 Hal ini dapat dilihat dalam kebijakan Gubernur Jenderal
Hindia Belanda Van Den Boss di Batavia pada tahun 1813, yang menetapkan
sekolah agama Kristen di setiap daerah Keresidenan.16 Bahkan, pada tahun
1882, pemerintah kolonial Belanda membentuk Priesterraden yaitu suatu
badan khusus yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan
Islam yang disebut.17
Pesantren yang dilabeli sebagai lembaga pendidikan yang tradisional
waktu itu, menjadikan kehadiran sekolah-sekolah Belanda yang modern
sebagai inspiring dan pemicu kesadaran baru untuk melakukan perubahan-
perubahan mendasar dalam sistem pendidikan Islam di Indonesia. Muncullah
gagasan tentang perlunya melakukan pengembangan dan pembaruan
pendidikan Islam di Indonesia. Praktiknya, sistem pendidikan yang diterapkan
oleh sekolah-sekolah Belanda (sekolah pemerintah) dimasukkan ke dalam
sistem pendidikan pesantren. Sistem pendidikan dengan model halaqah

.
Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Wali Songo Misi Pengislaman di Tanah Jawa,
(Yogyakarta: GRAHA Pustaka, 2009), h. 16.
15
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hudaya Karya
Agung, 1985), h. 62.
16
Ridwan Kafrawi, Pembaruan Sistem Pondok Pesantren, (Jakarta: Cemara, 1978), h.
532. Lihat juga, Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangannya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 52.
17
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, h. 52.
7

sebelumnya, kemudian diganti dengan sistem klasikal dengan unit-unit kelas


dan sarana-prasarana seperti bangku dan meja di ruang-ruang kelas.18
Secara politik, peran pemerintah Hindia Belanda dalam mengembangkan
pendidikan untuk kaum bumiputera, terutama setelah diterapkannya kebijakan
politik etis (ethische politiek), tidak hanya memecah umat Islam, tetapi juga
menyingkirkan lembaga pendidikan pesantren yang tidak mau menerima
subsidi dari pemerintah ke daerah pedalaman, sehingga pesantren tertutup dari
perkembangan pendidikan modern.19
Kebijakan pemerintah Hindia Belanda terhadap pendidikan Islam pada
dasarnya bersifat menekan, karena dikhawatirkan akan menimbulkan militansi
umat Islam terpelajar yang akan mengancam stabilitas pemerintahan kolonial
Belanda. Bagi pemerintah Hindia Belanda, pendidikan tidak hanya bersifat
pedagogis-kultural, tetapi juga bersifat pedagogis-politis.20 Pandangan ini di
satu sisi menimbulkan kesadaran, bahwa pendidikan dianggap sangat vital
dalam upaya mempengaruhi masyarakat. Melalui pendidikan model Belanda,
dapat diciptakan kelas masyarakat terdidik yang berbudaya Barat, sehingga
akan lebih akomodatif terhadap kepentingan penjajah. Namun di sisi lain,
pandangan ini juga mendorong pengawasan yang berlebihan terhadap
perkembangan lembaga pendidikan Islam. Walaupun pengorganisasian
madrasah menerima pengaruh dari sistem sekolah Belanda tetapi muatan
keagamaan akan menambah semangat kritis umat Islam terhadap sistem ke-
budayaan yang dibawa oleh kaum penjajah.
Kebijakan dan regulasi pemerintah Hindia Belanda yang lain dalam
mengawasi lembaga pendidikan Islam ialah diterbitkannya “Ordonansi Guru”
dan “Sekolah Liar”(sekolah partikelir atau sekolah swasta). Kebijakan ini me-
wajibkan guru-guru agama untuk memiliki surat izin dari pemerintah. Setiap
orang, meskipun ahli agama tidak serta merta dapat mengajar di lembaga-

18
Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999), h. 93.
19
Nur Huda, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, (Yogtakarta:
Arruz Media, 2007), 386.
20
Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam
Kurikulum Modern, (Jakarta: LP3ES, 1995), h. 36.
8

lembaga pendidikan, jika tidak mengantongi izin dari pemerintah.21 Latar


belakang dikeluarkannya ordonansi guru ini sepenuhnya bersifat politis untuk
menekan sedemikian rupa, sehingga pendidikan agama tidak menjadi faktor
pemicu perlawanan rakyat terhadap penjajah. Pengalaman penjajah yang
direpotkan oleh perlawanan rakyat Cilegon di Banten pada tahun 1888
(Pemberontakan Petani Banten) merupakan pelajaran bagi pemerintah
Hindia Belanda untuk menerbitkan ordonansi guru.22
Paparan di atas, menunjukkan hegemoni pendidikan Belanda dalam
mengatur kebijakan pendidikan agama, khususnya yang digalakkan oleh
pesantren di Indonesia. Meminjam kacamata Gramsci, dominasi berlandaskan
nalar politis, idiologis dan kultural a la kolonialis untuk memaksakan pengaruh
atas kepemerintahannya kepada pribumi Indonesia.23
“Strategi” Belanda dalam menghegemoni diskursus kebijakan pendidikan
Islam ditilik dari pemikiran Gramsci dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu:
kekerasan dan persuasif.24 Menurut M. Clark, pendekatan kekerasan adalah
bentuk dominasi kelas atas terhadap golongan kelas bawah dengan piranti
aparatur negara, sementara pendekatan persuasif merupakan bentuk hegemoni
kelas atas terhadap kelas bawah dengan cara penanaman ideologi untuk
mengatur pikiran mereka dengan cara politis, perjuangan moral dan intelektual
untuk menyeragamkan pandangan suatu masyarakat.25
Gramsci mengembangkan konsep hegemoni dengan berpijak pada
kepemimpinan yang sifatnya ‘intelektual dan moral’. Kepemimpinan ini terjadi
karena adanya persetujuan yang bersifat sukarela dari kelas bawah atau
masyarakat terhadap kelas atas yang memimpin,26 terutama persetujuan dari
kelompok-kelompok utama dalam suatu masyarakat.27 Karena hegemoni
21
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 178.
22
Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya, h. 100.
23
Faruk, Pengantar Studi Sastra (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 62.
24
Roger Simon, Gagasan-gagasan Politik Gramsci, terj. Kamdani dan Imam Baihaqi
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 19.
25
M. Clark, Antonio Gramsci and The Revolution that Failed (New Haven: Yale
University Press, 1977), h. 2.
26
Antonio Gramsci, Selection From The Note Hoare and Nowel Smith (ed.) (New York:
Internasional Publishers, 1976).
27
Robert Bocock, Pengantar Komprehensif untuk Memahami Hegemoni, terj. Ikramullah
9

dicapai melalui persetujuan kelompok-kelompok utama dalam masyarakat,


maka persetujuan tidak mengandung makna negatif, tetapi justru sebaliknya.
Suatu tindakan, aturan, atau kebijakan yang diambil berdasarkan persetujuan
berarti baik. Persetujuan kelas bawah ini terjadi karena berhasilnya kelas atas
dalam menanamkan ideologi kelompoknya. Internalisasi ideologis ini
dilakukan dengan membangun sistem dan lembaga-lembaga, seperti negara,
commons sense, kebudayaan, organisasi, pendidikan, dan seterusnya, yang
dapat ‘menyemen’ atau memperkokoh hegemoni tersebut.
Sebagai sebuah metodologi, proses hegemoni tersebut meniscayakan
munculnya counter-hegemony (hegemoni tandingan), sebagai sebuah sikap
sekaligus bentuk perlawanan dari kelas-kelas yang terkuasai.28 Kondisi ini bisa
terjadi apabila “the ruling class has failed in some major political undertaking
for which, it has requested, or forcibly extracted, the consent of the broad
masses (war, for example)”....29 Jika keadaan ini berlaku, Gramsci merumuskan
kelas pemerintah: is no longer ‘leading’ but only ‘dominant’, exercising
coercive force alone, this means precisely that the great masses have become
detached from their traditional ideologies, and no longer believe what they
used to believe previously...30
Hegemoni tandingan ini akan terus berjalan, apabila mendapat dukungan
berupa peran serta intelektual organik dan keberadaan civil society yang
berdaya.31 Kemunculan pesantren dalam wacana civil society dengan figur kyai
sebagai intelektual organik dalam sejarah pendidikan Islam era kolonialisme
Belanda secara intensif, diasosiasikan sebagai representasi counter-hegemony.
Dengan demikian, dapat dikatakan, di satu sisi civil society merupakan lokus
berlangsungnya hegemoni dari kelas paling dominan. Di sisi yang lain, civil

Mahyuddin (Yogyakarta: Jalasutra, 2007), h.1.


28
S Hobden & R.W. Jones, “Marxist Theories of International Relations”, dalam S. Smith
& J. Baylis (eds). The Globalization of World Politics: An Introduction to International Relations
(Oxford: Oxford University Press, 2001), h. 211.
29
C. Boggs, Gramsci’s Marxism (London: Pluto Press, 1976), h.41.
30
C. Boggs, Gramsci’s Marxism,h. 42.
31
Istilah civil society sendiri dipelajari oleh Gramsci dari tokoh idealisme kenamaan
GWF Hegel. Masyarakat sipil ini meliputi meliputi keseluruhan lingkungan dan aktivitas seperti
serikat pekerja, sekolah, gereja, keluarga dan media.
10

society juga memuat sasaran perubahan yang dilakukan dengan cara membuka
lahan-lahan pemberdayaan dan pembebasan, sebagai bagian integeral dalam
upaya mengcounter kelas penguasa.
B. Identifikasi, Batasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan paparan di atas, dapat diidentifikasikan terhadap
beberapa masalah dalam penelitian ini, yaitu:
a. Penjajahan Belanda terhadap Indonesia berimplikasi pada terhambatnya
perkembangan pendidikan Islam di Indonesia.
b. Belanda melakukan pengawasan yang ketat terhadap kehidupan
beragama dan praktik pendidikan Islam.
c. Labelisasi pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional kesan
bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan yang mengusung jargon
“anti modern”
d. Pemberlakuan politik balas budi oleh Belanda, membawa kaum
intelektual Indonesia pada situasi yang dilematis.
e. Adanya kebijakan yang mendiskreditkan pesantren oleh Belanda karena
khawatir kelestarian status sebagai penjajah hilang.
f. Adanya kebijakan ordonasi guru agama yang membatasi kegiatannya
dalam melaksanakan pendidikan Islam.
g. Diskursus kebijakan pesantren dalam melawan hegemoni pendidikan
Belanda.
2. Batasan Masalah
Penelitian ini membatasi masalah penelitian pada kebijakan pondok
pesantren dalam melawan hegemoni pendidikan Barat atas pendidikan Islam
era kolonialisme Belanda pada periode 1900-1940 M. Pembatasan masalah
ini penting dilakukan karena eksistensi pesantren sebagai lembaga
pendidikan Islam tertua di Indonesia dalam mewarnai dinamika sosio
kultural telah melewati periode sejarah yang panjang. Kemudian, pesantren
dengan segala aspek yang melingkupinya dapat diteliti oleh pelbagai
disiplin keilmuan dan objek kajiannya yang beragam.
11

3. Rumusan Masalah
a. Bagaimanakah kebijakan Belanda dalam pendidikan Islam?
b. Bagimanakah sistem pendidikan pesantren di zaman kolonial Belanda?
c. Bagaimanakah respon pesantren terhadap kebijakan pendidikan
Belanda?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui kebijakan Belanda dalam pendidikan Islam.
2. Untuk mengetahui sistem pendidikan pesantren di zaman kolonial Belanda.
3. Untuk mengetahui respon pesantren terhadap kebijakan pendidikan
Belanda.
D. Manfaat Penelitian
1. Menjadi bahan referensi untuk seluruh kalangan yang mempunyai minat
dalam dunia sejarah pendidikan Islam di Indonesia, baik kalangan
mahasiswa, guru, dosen serta orang-orang yang ingin mengembangkan
keilmuannya dalam bidang sejarah politik pendidikan Islam.
2. Memperluas khazanah keilmuan, sehingga membuka kerangka berpikir
mengenai perlawanan pesantren terhadap kolonialisme Belanda melalui
jalur pendidikan.
3. Sebagai bahan masukan terhadap dunia pesantren di Indonesia untuk
menerapkan kebijakan pendidikan yang responsif terhadap dinamika sosial,
politik dan kebudayaan bangsa Indonesia.
E. Kajian Pustaka
Penulis telah menelusuri berbagai sumber-sumber referensi yang
membahas secara khusus tentang kebijakan pesantren dalam pendidikan Islam
untuk melawan hegemoni pendidikan Barat era kolonialisme Belanda, namun,
belum menemukan karya ilmiah yang mengkaji secara khusus tentang tema
tersebut. Kajian tentang pesantren pada masa kolonialisme Belanda, hanya
dijadikan sebagai informasi sekilas tentang perkembangan dan dinamika
pendidikan Islam di Indonesia. Oleh karena itu, penulis akan berupaya mengisi
celah kosong kajian tentang kebijakan pesantren dalam pendidikan Islam
12

untuk melawan hegemoni pendidikan Barat era kolonialisme Belanda, meski


terfokus pada penggalian dimensi sejarahnya.
Adapun penelitian yang telah “menggarap” tema kebijakan politik
Belanda dan pengaruhnya terhadap pendidikan Islam, di antaranya adalah
sebagai berikut:
Maftuh, dengan karya tesisnya pada Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga Yogyakarta tahun 2009 berjudul Kebijakan Politik Pendidikan Hindia
Belanda dan Implikasinya bagi Pendidikan Islam (1900-1942).32 Penelitian ini
menemukan fakta bahwa kebijakan politik pendidikan pemerintahan Hindia
Belanda dilatarbelakangi beberapa faktor, yaitu: politik, ekonomi, kristenisasi,
rasialisme, situasi dan kondisi yang terjadi di Belanda, serta kondisi umat Islam
di Indonesia. Hal ini, berimplikasi pada blue print pendidikan Islam meliputi
aspek kelembagaan, kurikulum, metode pengajaran dan pendidik.
Penelitian lain dengan scope sejarah yang lebih luas, dilakukan oleh
Hasnida dengan judul Sejarah Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia
Pada Masa Pra Kolonialisme dan Masa Kolonialisme (Belanda, Jepang,
Sekutu).33 Penelitian ini merupakan artikel yang dipublikasikan pada bulam
Oktober 2017 oleh jurnal KORDINAT Volume XII Nomor 2. Hasil penelitian
ini adalah perkembangan pendidikan Islam di Indonesia ditandai oleh lahirnya
berbagai lembaga pendidikan secara bertahap, mulai dari yang sederhana dan
modern. Surau sebagai bentuk lembaga pendidikan sederhana lazim ditemukan
di Minangkabau, sementara di Nanggroe Aceh Darussalam terdapat lembaga
pendidikan tingkat rendah yang disebut Meunasah.
Lebih lanjut, Anzar Abdullah34 dengan karya ilmiah berjudul
Perkembangan Pesantren dan Madrasah di Indonesia dari Masa Kolonial
Sampai Orde Baru. Penelitian ini merupakan artikel yang dipublikasikan pada
bulan Juli tahun 2013 oleh jurnal Paramita Volume 23 Nomor 2. Dalam
32
Maftuh, Kebijakan Poltik Pendiidkan Hindi Belanda dan Implikasinya Bagi
Pendidikan Islam (Tesis: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009).
33
Hasnida, “Sejarah Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia pada Masa Pra
Kolonialisme dan Masa Kolonialisme (Belanda, Jepang, Sekutu), KORDINAT, Vol. XVI, No. 2
Oktober 2017.
34
Anzar Abdullah, “Perkembangan Pesantren dan Madrasah di Indonesia dari Masa
Kolonila Sampai Orde Baru”, Paramita, Vol. 23, No. 2-Juli 2013.
13

penelitian ini, Anzar Abdullah menemukan fakta bahwa pendidikan Islam pada
awalnya sangat erat kaitannya dengan proses islamisasi di Nusantara dan
berpusat di surau, masjid, dan langgar yang kemudian berkembang menjadi
lembaga pendidikan dalam bentuk pesantren dan madrasah. Kemudian,
fenomena pendidikan Islam di Indonesia diwarnai oleh pergeseran pola
pendidikan pesantren salaf kepada sistem pendidikan madrasah yang
mengadopsi pendidikan a la Barat dengan sistem klasikal sebagai ciri khasnya.
Ali Maulida dengan judul penelitian Dinamika dan Peran Pondok
Pesantren dalam Pendidikan Islam Sejak Era Kolonialisme Hingga Masa
Kini.35 Penilitian ini merupakan artikel yang dipublikasikan pada Januari tahun
2016 oleh Edukasi Jurnal Pendidikan Islam Volume 05. Hasil penelitian ini
adalah pesantren telah memainkan peranan yang sangat penting dalam sejarah
kehidupan umat Islam bahkan bangsa Indonesia pada umumnya. Pesantren
bukan hanya menjadi tempat menimba ilmu, dan menyebarkan da’wah Islam,
tapi juga menjadi tempat memupuk perlawanan bangsa Indonesia kepada
pemerintah kolonial.
Kemudian karya ilmiah yang disususn oleh Irham berjudul Pesantren
dan Perkembangan Politik Pendidikan Agama di Indonesia. 36 Penelitian ini
adalah artikel yang dimuat oleh Ta’lim Jurnal Pendidikan Agama Islam
Volume 13 Nomor 1 dan dipublikasikan pada bulan Maret tahun 2015. Hasil
penelitian ini adalah pesantren merupakan lembaga pendidikan agama Islam di
Indonesia yang tertua dan akomodatif terhadap perkembangan sosial budaya
Nasional maupun global. Sistem pendidikannya memuat nilai-nilai
multikulturalisme. Selain itu, pesantren sebagai lembaga pendidikan yang
menanamkan nilai-nilai nasionalisme kebangsaan. Pesantren sangat
memungkinkan menjadi lembaga yang mampu mengintegrasikan tiga
peradaban besar sekaligus. Yaitu peradaban Barat, peradaban Timur, dan

35
Ali Maulida, “Dinamika dan Peran Pondok Pesantren dalam Pendidikan Islam Sejak
Era Kolonialisme Hingga Masa Kini”, Edukasi Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 05, Januari 2016.
36
Irham, “Pesantren dan Perkembangan Politik Pendidikan Agama di Indonesia”, Ta’lim
Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol. 13, No. 1, Maret 2015.
14

peradaban Nusantara. Sehingga pesantren sebagai lembaga produksi peradaban


baru untuk memperkaya peradaban Nusantara.
Kemudian, penelitian yang dilakukan oleh Zaini Tamin AR yang termuat
dalam Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 3 Nomor 2 dan dipublikasikan
pada bulan November tahun 2015, berjudul Pesantren dan Politik (Sinergi
Pendidikan Pesantren dan Kepemimpinan dalam Pandangan KH. M. Hasyim
Asy’ari).37 Hasil penelitian ini adalah Kiai Hasyim, dalam beberapa karyanya
dengan jelas menegaskan bahwa tujuan pendidikan Islam tidak hanya berhenti
pada tingkat kognitif saja. Lebih dari itu, tujuan pendidikan Islam terutama di
pesantren adalah pada pengamalan terhadap ilmu yang telah diperoleh, yang
disebut dengan ilmu bermanfaat (‘ilm nafi’). Ini menjadi keunggulan
pendidikan pesantren, yang menggabungkan kecerdasan intelektual, emosional,
dan spiritual, yang muaranya dapat membentuk karakter seseorang. Karakter
adalah faktor penting dalam kepemimpinan, sebuah kemampuan untuk
melangkah keluar dari budaya yang ada dan memulai proses perubahan
evolusioner yang lebih adaptif. Sebagai laboratorium pendidikan karakter,
pesantren menjadi lumbung pembentukan karakter, baik dalam hal intelektual,
sosial, dan terutama dalam hal kepemimpinan.
Belum adanya penjelasan tentang kebijakan pesantren dalam melawan
hegemoni pendidikan Barat pada era kolonialisme Belanda dalam karya ilmiah
tersebut di atas akan dijawab oleh penulis melalui penelitian ini. Dengan
demikian, apa yang akan penulis kaji bukanlah merupakan pengulangan tema
dari penelitian yang telah ada. Sehingga, penelitian ini dapat mengisi ruang
kosong pembahasan yang ditinggalkan oleh penelitian yang telah dilakukan
oleh penulis terdahulu.
F. Metodologi Penelitian
1. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan kajian yang bersifat kualitatif dengan cara
penelitian kepustakaan (library research) sejarah. Adapun cara
37
Zaini Tamin AR, “Pesantren dan Politik (Sinergi Pendidikan Pesantren dan
Kepemimpian dalam Pandangan KH. M. Hasyim Asy’ari)”, Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol.
3 No. 2, November 2015.
15

menganalisisnya dengan menggunakan teknik heuristic. Heuristik berasal


dari kata Yunani heurishein, artinya memperoleh. Menurut Kenneth
Sörensen,38 heuristik adalah suatu teknik, mencari dan mengumpulkan
sumber. Dengan demikian heuristik adalah kegiatan mencari dan
mengumpulkan sumber yang berkaitan dengan pondok pesantren terutama
dalam segi kebijakan melawan hegemoni pendidikan Barat era
kolonialisme Belanda. Dalam hubungan penelitian, peneliti mengumpulkan
sumber-sumber yang merupakan jejak sejarah atau peristiwa sejarah.

2. Sumber Data
Studi kepustakaan (library research) dipilih sebagai teknik
pengumpulan data dan informasi diperoleh berdasarkan bahan yang
terdapat di perpustakaan berupa, arsip, dokumen, majalah, buku dan materi
perpustakaan lainya, dengan asumsi bahwa data yang diperlukan dalam
pembahasan ini terdapat di dalamnya.39
Dalam pengumpulan data dilakukan dengan dua cara yaitu,
pengumpulan data primer dan data sedunder. Data primer dalam penelitian
ini adalah data yang terdiri dari karya ilmiah yang membahas tentang
pesantren, pendidikan Islam dan kebijakan politik kolonialisme Belanda.
Sedangkan bahan-bahan sekunder yang digunakan untuk mendukung data
primer adalah buku-buku yang berkaitan dengan reformasi pendidikan atau
artikel yang berkaitan dengan topik penelitian, tulisan-tulisan, dokumen-
dokumen atau jurnal nasional maupun internasional yang berkaitan dengan
penelitian yang sedang penulis lakukan.

Kenneth Sörensen, "Metaheuristics—the metaphor exposed," International


38

Transactions in Operational Research, Vol. 22. No. 1 (2015): 3-18; Jochen, Janssens, et.al.,
"Multi-objective microzone-based vehicle routing for courier companies: From tactical to
operational planning," European Journal of Operational Research, Vol. 242. No. 1 (2015): 222-
231; Daniel Palhazi Cuervo, Peter Goos, dan Kenneth Sörensen, "Optimal design of large-scale
screening experiments: a critical look at the coordinate-exchange algorithm," Statistics and
Computing, Vol. 26. No. 1-2 (2016): 15-28; Matteo Balliauw, et.al., "A variable neighborhood
search algorithm to generate piano fingerings for polyphonic sheet music," International
Transactions in Operational Research, Vol. 24. No. 3 (2017): 509-535.
39
Winamo Surakmad, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar, Metode dan Teknik (Bandung: Tarsito,
1982), 251.
16

G. Sistematika Penulisan
Pada bab pertama, pendahuluan, penulis memaparkan karya-karya ilmiah
yang telah dihasilkan oleh peneliti lain terkait dengan tema pesantren dan
pendidikan Islam pada masa kolonialisme Belanda. Hal ini, dilakukan untuk
mengetahui ruang kosong yang ditinggalkan oleh peneliti terdahulu terkait
pembahasan tentang pesantren dan pendidikan Islam pada masa kolonialisme
Belanda, sehingga langsung dapat diketahui bahwa penelitan penulis bukanlah
suatu pengulangan dari karya ilmiah yang sudah ada. Untuk merunutkan
pembahasan, maka dalam bab ini juga penulis kemukakan identifikasi, batasan
dan rumusan masalah dalam penelitian ini. Selanjutnya penulis uraikan tujuan
dan maksud dari penelitian tesis ini. Langkah berikutnya, untuk menghindari
plagiasi dan kejenuhan penelitian atas tema yang berkali-kali diulang dan
dikaji, maka disertakan peta kajian posisi penelitian dari penulis atas penelitian
terdahulu yang relevan. Tata-tertib hingga penelitian ini menjadi urut dan runut
dan harmonis, penulis kaji dalam subbab metodologi penelitian. Terakhir, agar
penelitian semaksimal-mungkin bias komprehensif, penulis jabarkan dalam
sistematika pembahasan.
Bab kedua, merupakan kajian teori atas beberapa pandangan tentang
pesantren, pendidikan Islam, politik dan hegemoni pendidikan Barat. Asumsi
yang dibangun di sini adalah kelompok yang terhegemoni akan menerima dan
menyepakati ideologi penguasa. Belanda sebagai kelompok penguasa akan
memaksakan ideologinya dianut oleh kelompok di bawah penguasaannya.
Tidak terkecuali pesantren sebagai subkultur masyarakat Indonesia tidak
terlepas dari sasaran hegemoni Belanda, salah satunya dalam aspek pendidikan.
Bab ketiga, merupakan bab sketsa sejarah perlawanan pesantren. Pada
bab ini dikaji sejarah yang melatari perlawanan pesantren terhadap
kolonialisame Belanda. Kemudian, menjelaskan bentuk perlawanan pesantren
terhadap kolonialisme Belanda. Terakhir, dijelaskan upaya pesantren dalam
memobilisasi umat Islam untuk melawan kolonialisme Belanda.
Bab keempat merupakan bab inti pertama, Untuk mengetahui bentuk
perlawanan pesantren terhadap kolonialisme Belanda dalam ranah Pendidikan.
17

Subbab pada bagian ini lebih difokuskan pada eksistensi pesantren untuk
mempertahankan nilai-nilai keislaman dengan titik berat pada pendidikan. Agar
menjadi runut, maka subbabnya berupa: pertama, perjuangan pesantren dalam
menghilangkan dominasi pendidikan Barat di Indonesia. Kedua, pesantren
sebagai benteng identitas kultural bangsa Indonesia, dan ketiga, pesantren
sebagai laboratorium pendidikan karakter.
Bab kelima, merupakan bab inti kedua dari penelitian ini. Bab ini
memfokuskan kajian pada kebijakan pesantren dalam melawan hegemoni
pendidikan Barat. Runutannya adalah sebagai berikut, pertama, pesantren dan
figur sang kyai. Kedua, pesantren dan mobilisasi umat Islam. Ketiga, pesantren
dan revitalisasi budaya Nusantara.
Bab keenam, merupakan bab kesimpulan dan implikasi atas penelitian
ini. Bab ini diperuntukkan untuk meringkas jawaban atas rumusan masalah dan
tujuan penelitian. Kemudian, pembahasan ditutup dengan implikasi lanjutan
atas penelitian ini bagi peneliti-peneliti yang kemudian.
18

DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Arif, Mahmud. 2008. Pendidikan Islam Transformatif. Yogyakarta: LkiS, 2008.
Bocock, Robert. 2007. Pengantar Komprehensif untuk Memahami Hegemoni, terj.
Ikramullah Mahyuddin. Yogyakarta: Jalasutra, 2007.
Boggs, C. 1976. Gramsci’s Marxism. London: Pluto Press.
Clark, M. Clark. 1977. Antonio Gramsci and The Revolution that Failed. New
Haven: Yale University Press.
Dhofier, Zamakhsari. 1981. Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup
Kyai. Jakarta: LP3ES.
Faruk. 2005. Pengantar Studi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Gramsci, Antonio. 1976. Selection From The Note Hoare and Nowel Smith (ed.).
New York: Internasional Publishers.
Hasbullah. 1995. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangannya. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Huda, Nur. 2007. Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia.
Yogtakarta: Arruz Media.
Kafrawi, Ridwan. 1978. Pembaruan Sistem Pondok Pesantren. Jakarta: Cemara.
Maksum. 1999. Madrasah Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Logos
Wacana Ilmu.
Simon, Roger. 2004. Gagasan-gagasan Politik Gramsci, terj. Kamdani dan Imam
Baihaqi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Steenbrink, Karel A. 1995. Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam
dalam Kurikulum Modern. Jakarta: LP3ES.
Suminto, Aqib. 1985. Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta: LP3ES.
Surakmad, Winamo. 1982. Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar, Metode dan
Teknik. Bandung: Tarsito.
19

Sutrisno, Budiono Hadi Sutrisno. 2009. Sejarah Wali Songo Misi Pengislaman di
Tanah Jawa. Yogyakarta: GRAHA Pustaka.
Wahid, Abdurahman. 1974. Pesantren Sebagai Subkultur, dalam Dawam Rardjo
(Ed). Pesantren dan Pembaharuan. Jakarta: LP3ES.
Yunus, Mahmud. 1985. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Hudaya
Karya Agung.
Ziemek, Manfred. 1986. Pesantren dalam Perubahan Sosial, terj. Butche B.
Soendjojo. Jakarta: P3M.

JURNAL
Abdullah, Anzar. “Perkembangan Pesantren dan Madrasah di Indonesia dari Masa
Kolonila Sampai Orde Baru”. Paramita, Vol. 23. No. 2-Juli 2013.
Balliauw, Matteo et.al., "A variable neighborhood search algorithm to generate
piano fingerings for polyphonic sheet music," International Transactions
in Operational Research, Vol. 24. No. 3 (2017).
Cuervo, Daniel Palhazi, Peter Goos, dan Kenneth Sörensen, "Optimal design of
large-scale screening experiments: a critical look at the coordinate-
exchange algorithm," Statistics and Computing, Vol. 26. No. 1-2 (2016).
Hasnida. “Sejarah Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia pada Masa Pra
Kolonialisme dan Masa Kolonialisme (Belanda, Jepang, Sekutu),
KORDINAT, Vol. XVI. No. 2 Oktober 2017.
Irham. “Pesantren dan Perkembangan Politik Pendidikan Agama di Indonesia”.
Ta’lim Jurnal Pendidikan Agama Islam. Vol. 13. No. 1. Maret 2015.
Janssens, Jochen. et.al., "Multi-objective microzone-based vehicle routing for
courier companies: From tactical to operational planning," European
Journal of Operational Research, Vol. 242. No. 1 (2015).
Maulida, Ali. “Dinamika dan Peran Pondok Pesantren dalam Pendidikan Islam
Sejak Era Kolonialisme Hingga Masa Kini”. Edukasi Jurnal Pendidikan
Islam. Vo. 05, Januari 2016.
Mukodi. “Pesantren dan Pendidikan Politik DI Indonesia: Sebuah Reformulasi
Kepemimpinan Islam Futuristik”. At-Tahrir. Vol. 16. No. 2. November
2016.
Nasution, Sangkot. “Strategi Pendidikan Belanda pada Masa Kolonial di
Indonesia”. Ihya’ al-‘Arabiyyah, Vol. VI, No. 2, Juni-Desember 2016.
Smith, S. & J. Baylis (eds). 2001. The Globalization of World Politics: An
Introduction to International Relations. Oxford: Oxford University Press.
Sörensen, Kenneth. "Metaheuristics—the metaphor exposed," International
Transactions in Operational Research, Vol. 22. No. 1 (2015).
Tamin AR, Zaini. “Pesantren dan Politik (Sinergi Pendidikan Pesantren dan
Kepemimpian dalam Pandangan KH. M. Hasyim Asy’ari)”. Jurnal
Pendidikan Agama Islam. Vol. 3 No. 2. November 2015.
Untung, Moh. Slamet. “Kebijakan Kolonial Belanda Terhadap Pendidikan
Pesantren”. Forum Tarbiyah, Vol. 11, No. 1, Juni 2013.

TESIS
Maftuh. Kebijakan Poltik Pendidikan Hindia Belanda dan Implikasinya Bagi
20

Pendidikan Islam. Tesis: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009.

INTERNET
https://id.wikipedia.org/wiki/Subkultur

Anda mungkin juga menyukai