Anda di halaman 1dari 30

P-ISSN: 2087-8125

E-ISSN: 2621-9549
Vol. 4, No. 01, 2020, 30-60

EKOLOGI QURANI PERSPEKTIF TAFSIR ṬABĀRĪ DAN


ṬABĀṬABĀ’Ī

Nur Arfiyah Febriani1, Alfi Sachdeva Aziz Waktar2, Badru Tamam3


Pascasarjana Institut PTIQ Jakarta, Indonesia, royyana12@yahoo.com1, Fakultas Kodekteran,
Universitas Islam Indonesia, Indonesia, alfisachdeva@gmail.com2, Tafsir Hadis, Sekolah
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia, badrutamamc5@gmail.com 3

Abstrak
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada akhir tahun 2019 melansir temuan
tentang pemanasan global yang semakin meningkat 0.5%. Gaya hidup manusia modern
yang berawal dari paradigma antroposentris kerap dikatakan sebagai pemicu kerusakan
lingkungan. Menariknya, antroposentris justeru berdalih ajaran agama samawi yang
menjadi dasar pemikirannya. Tulisan ini bertujuan untuk melakukan upaya rekonsiderasi
terhadap paradigma antroposentris dengan memberikan penjelasan tentang pandangan al-
Quran yang dibaca melalui pemikiran Ṭabārī dan Ṭabāṭabā’ī terkait pola interaksi manusia
dan alam. Dengan metode tafsir maudu’i dan dilandasi argumen ilmiah melalui kajian
Ekologi, paper ini menemukan pandangan Ṭabārī dan Ṭabāṭabā’ī, tentang konsep ekologi
yang dapat dipahami dalam arti: “Ilmu yang mempelajari tentang interaksi antara alam dan
manusia dalam ekosistem di mana tempat ia tumbuh dan berkembang serta saling memberi
manfaat dengan satu tujuan yang sama yaitu beribadah kepada Allah”. Hal ini berdasarkan
temuan tentang dimensi spiritual antara alam dan manusia dalam aktivitas dan tujuan
penciptaannnya yang diungkap al-Quran. Dengan pandangan ini, manusia dapat
menggunakan sumber daya alam sekaligus menjaga kelestariannya sebagai khalīfah fī al-
Arḍ/konservator alam, sebagaimana amanah Allah kepada manusia dalam al-Quran.

Kata kunci: Ekologi, Tafsir Al-Quran, Ṭabārī dan Ṭabāṭabā’ī

Abstract
The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) at the end of 2019 launched
findings on global warming which increased by 0.5%. The lifestyle of modern humans
starting from the anthropocentric paradigm is often said to be a trigger for environmental
damage. Interestingly, anthropocentric precisely argued the teachings of celestial religion
which became the basis of his thought. This paper aims to make a reconciliation effort
towards the anthropocentric paradigm by providing an explanation of the views of the
Koran which are read through the thoughts of Ṭabārī and Ṭabāṭabā'ī related to the pattern of
human and natural interaction. Using the maudu'i interpretation method and based on
scientific arguments through Ecology studies, this paper discovers Ṭabārī and Ṭabāṭabā'ī's
views on ecological concepts that can be understood in the sense of: "The study of the
interactions between nature and humans in the ecosystem where they grow and develop
and benefit each other with the same goal, namely to worship God ". This is based on
findings about the spiritual dimension between nature and humans in the activities and
purposes of creation revealed by the Koran. With this view, humans can use natural

30
Nur Arfiyah Febriani, Alfi Sachdeva Aziz Waktar, Badru Tamam

resources while preserving them as a khalīfah fī al-Arḍ/natural conservator, as Allah's


mandate to humans in the Koran.

Keywords: Ecology, Interpretation of the Koran, Ṭabārī And Ṭabāṭabā’ī

URL: http://jurnalptiq.com/index.php/mumtaz
https://doi.org/10.36671/mumtaz.v3i2.45

A. PENDAHULUAN
Paradigma antroposentris adalah paradigma yang memandang bahwa alam
semesta tercipta untuk kebahagiaan hidup umat manusia sebagai pusatnya. 1
Paradigma yang kering nilai spiritual ini, memiliki implikasi logis terhadap ulah
manusia dalam mengeksploitasi sumber daya alam serta perilaku manusia yang
kurang menghormati eksistensi alam sebagai sesama makhluk ciptaan Tuhan.
Dampak dari paradigma antroposentris adalah, sikap konsumtivisme dan
materialism berlebih masyarakat dunia yang sungguh mengganggu keselarasan
ekosistem alami yang saat ini sedang diambang kehancuran. Data kerusakan alam di
daratan, lautan dan udara menggambarkan bumi dalam keadaan yang sangat
memprihatinkan. Berbagai anggapan faktor penyebab kerusakan lingkunganpun
mulai mencuat. Faktor penyebab terjadinya krisis lingkungan dan global warming2
adalah gaya hidup manusia yang membuat meningkatnya produksi gas rumah kaca
(GRK), hal ini mengakibatkan panas berlebih pada suhu bumi. 3
Perdebatan ilmiyah tentang ekologi dan kerusakan lingkungan banyak
bermunculan dengan tawaran solusi yang beragam. Namun harus diakui, mufassir
klasik dan modern belum banyak mengeksplor makna kedahsyatan ayat-ayat
kauniyah. Syaikh Ṭanṭāwī Jauharī seorang Guru Besar Tafsir di Universitas Cairo
menyatakan, bahwa di dalam al-Qur’an terdapat lebih dari 750 ayat kauniah, dan
hanya sekitar 150 ayat fiqih. Tapi anehnya, para ulama telah menulis ribuan kitab
fiqih, tetapi nyaris tidak memperhatikan serta menulis kitab tentang alam raya dan
isinya.4 Namun dalam pandangan penulis, hal ini bisa jadi disebabkan karena di
1
Di antara makna antroposentris adalah: “Regarding humankind as the central or most
important element of existence, especially as opposed to God or animals”. Lihat:
http://www.oxforddictionaries.com/definition/english/anthropocentric. Diakses pada tanggal 6 maret
2014. Lihat juga: Pius A Partanto dan M Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Penerbit
Arkola, 1994), 38.
2
Global Warming/pemanasan global adalah peningkatan suhu rata-rata atmosfir, laut dan
dataran bumi. Suhu rata-rata global pada permukaan bumi telah meningkat 0,74 + 0,18 C. selama
seratus tahun terakhir Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa,
sebagian besar peningkatan temperature rata-rata terjadi sejak pertengahan abad ke-20.
3
Lihat mengenai beberapa faktor penyebab utama kerusakan lingkungan yang dilakukan
oleh IPCC sampai akhir tahun 2019 dalam:
https://www.ipcc.ch/site/assets/uploads/sites/2/2019/06/SR15_Full_Report_High_Res.pdf . Diakses pada 26
Mei 2020. Lihat juga: ‘Abd al-Hādī Ḥasan, Ḥimāyah al-Bī’ah al-Tulūth bi al-Mubayyidāt al-Kīmāwiyyah
wa Afḍal al-Ḥulūl, cet. III. (Sūriyah: Dār ‘Alā’ al-Dīn, 2003)
4
Muḥammad Ḥusain al-Dhahabī al-Tafsīr wa al-Mufassirūn (Qāhirah: Maktabah Wahbah, 1413

31| MUMTAZ: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Keislaman, Vol. 4, No. 01, 2020, 30-60
Nur Arfiyah Febriani, Alfi Sachdeva Aziz Waktar, Badru Tamam

masa buku ini dibuat, saat itu kajian tentang ilmu fiqih lebih mendesak.
Oleh sebab itu, tulisan ini mencoba untuk memberikan kontribusi ilmiah
dalam penggalian konsep ekologi Qurani yang dibaca melalui kacamata mufassir
kenamaan dalam dunia tafsir al-Quran, Ṭabārī dan Ṭabāṭabā’ī. Pemilihan kedua
mufassir ini, dengan alasan bahwa: 1) Kedua mufassir ini memiliki metode yang
sama dalam penafsiran, yaitu metode tahlilī, 2) Dengan perbedaan mazhab sunni
dan syi’ah di antara kedua mufassir ini, ekologi bisa menjadi salah satu ajaran
universal al-Quran yang dapat diaplikasikan oleh semua umat manusia dari
background apapun, termasuk sebagai pemersatu di tengah-tengah perbedaan
golongan dari umat Islam, 3). Imam Ṭabāṭabā’ī meski sebagai mufassir dalam
golongan Syi’ah, namun juga mengutip hadis dari perawi Sunni. Sehingga dengan
ini, diharapkan dapat memberi sedikit oase ditengah perbedaan antara kedua
mazhab dalam Islam ini.
Hal yang perlu digarisbawahi dalam tulisan ini adalah, tulisan ini tidak
membahas permasalahan perbedaan ideologi dan politik antara Sunni dan Syi’ah.
Tulisan ini justeru ingin mencari titik persamaan dalam kedua mazhab dalam Islam
ini dengan mengkaji konsep ekologi dari kedua mufassir kenamaan dalam tradisi
ilmiah Sunni dan Syi’ah. Tulisan ini mencoba memberikan solusi aplikatif yang
dapat mengakomodir semua pandangan sehingga keterkaitan antara satu disiplin
ilmu dengan disiplin ilmu lainnya, adalah hubungan yang bersifat komplementer
namun tidak kompulsif (bersifat memaksakan).

B. METODE
Metode yang digunakan dalam paper ini adalah metode tafsir Maudu’i. Menurut
Shihab, dengan metode ini mufassir berusaha mengkoleksi ayat-ayat al-Qur’an yang
bertebaran di beberapa surat dan mengkaitkannya dengan satu tema yang telah
ditentukan. Selanjutnya mufassir melakukan analisis terhadap kandungan ayat-ayat
tersebut sehingga tercipta satu kesatuan yang utuh. Metode ini pertama kali digagas
oleh Aḥmad Sayyid al-Kūmī ketua jurusan tafsir Universitas al-Azhar sampai tahun
1981. Namun langkah-langkah operasional metode ini secara gamblang dikemukakan
oleh ‘Abd al- Ḥayy al-Farmāwī dalam bukunya al-Bidāyah fi al-Tafsīr al-Mauḍū‘ī (1977).5
Prosedur penafsiran al-Qur’an dengan metode tematik dalam format dan
prosedur yang diperkenalkan oleh Aḥmad Sayyid al-Kūmī, menggunakan prosedur
sebagai berikut:

H/1992), 417. Berbeda dengan Agus Purwanto yang menjelaskan ayat kauniyah berjumlah 800 ayat.
Artinya, ayat tentang kosmologi mengambil 13% porsi dari keseluruhan ayat al-Qur’an. Dalam
bukunya, Agus Purwanto membuat list ayat tentang kosmologi yang berjumlah 800 tersebut
berdasarkan abjad dari “a” seperti air, sampai “z” seperti zaitun. Lihat: Agus Purwanto, Ayat-Ayat
Semesta, Sisi –Sisi al-Qur’an yang Terlupakan, cet. I. (Bandung: Mizan, 2008), cet. I.
5
Menafsirkan al-Qur'an dengan metode ini juga seperti yang pernah dilakukan oleh Amīn
Khūlī (w.1966) dan isterinya Bint al-Shāṭi’ dalam menafsirkan al-Qur’an melalui pendekatan bahasa
dan sastra. Lihat: Muhammad Quraish Shihab dalam kata pengantar buku karangan: Ahmad Syukri
Saleh, Metodologi Tafsir al-Qur’an Kontemporer dalam Pandangan Fazlul Rahman, cet. I (Jambi: Sulthan
Thaha Press, 2007),. Lihat juga: Aḥmad Sa‘īd al-Kumi, al-Tafsīr al-mauḍū‘ī. Lihat juga: Abd al-Ḥayy al-
Farmawi, al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-Mauḍū‘iyyah: Dirāsah Manhajiyyah Mauḍū‘iyyah, 51.

MUMTAZ: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Keislaman, Vol. 4, No. 01, 2020, 30-60 | 32
Nur Arfiyah Febriani, Alfi Sachdeva Aziz Waktar, Badru Tamam

a. Menentukan bahasan al-Qur’an yang akan diteliti secara tematik.


b. Melacak dan mengkoleksi ayat-ayat sesuai topik yang diangkat.
c. Menata ayat-ayat tersebut secara kronologis (sebab turunnya), mendahulukan ayat
makiyah dari madaniyah dan disertai pengetahuan tentang latar belakang turunnya
ayat.
d. Mengetahui korelasi (munāsabah) ayat-ayat tersebut.
e. Menyusun tema bahasan dalam kerangka yang sistematis (outline)
f. Melengkapi bahasan dengan hadis-hadis terkait.

Bahasan metode mauḍū’ī/tematik lazimnya menyangkut masalah-masalah


kekinian yang menjadi persoalan mendesak umat, oleh karena itu upaya
kontekstualisasi pesan al-Qur’an menjadi sangat penting, 6 termasuk pada masalah
kerusakan lingkungan.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Diskursus tentang Ekologi
Menurut Koesnadi Hardjasoemantri, interkoneksi antara elemen yang ada di
alam raya ini keseluruhannya saling mempengaruhi. Antara manusia dengan
manusia, antara manusia dengan hewan, antara manusia dengan tumbuhan dan
bahkan antara manusia dengan benda-benda mati sekalipun. Begitu pula antara
hewan dengan hewan, antara hewan dengan tumbuh-tumbuhan, antara hewan dan
manusia dan antara hewan dengan benda-benda mati di sekelilingnya. Akhirnya,
tidak terlepas pula pengaruh mempengaruhi antara tumbuhan-tumbuhan yang satu
dengan yang lainnya, antara tumbuh-tumbuhan dengan hewan, antara tumbuh-
tumbuhan dengan manusia dan antara tumbuhan dengan benda mati di
sekelilingnya. Pengaruh antara satu komponen dengan lain komponen ini
bermacam-macam bentuk dan sifatnya. Begitu pula reaksi suatu golongan atas
pengaruh dari yang lainnya juga berbeda-beda.7

6
Perlu diketahui bahwa penafsiran ayat al-Qur’an secara tematis, meski berbeda dalam
sistematika penyajian, sebenarnya telah dirintis dalam sejarah. Misalnya, Ibn Qayyim al-Jauziyyah
(w. 751 H) menulis tentang sumpah dalam al-Qur’an dalam karyanya al-Tibyān Aqsām al-Qur’ān,
Majāz al-Qur’ān oleh Abū ‘Ubaidah (w. 210-824), Mufradāt al-Qur’ān oleh al-Rāghib al-Isfahāni
(w.502/1108), Mushtabihāt al-Qur’ān karya al-Kisā’ī (w. 804 M), Ma‘ānī al-Qur’ān karya al-Farrā’ (w.
207/822), Faḍā’il al-Qur’ān karya Abū ‘Ubaid (w. 224/438), dan sebagainya. Lihat: Ziyād Khalīl
Muḥammad al-Daghāmain, Manhajiyyah al-Baḥth fī al-Tafsīr al-Mauḍū‘ī li al-Qur’ān al-Karīm (Amman:
Dār al-Bashīr, 1955), 18.
7
Lihat juga kajian tentang interkoneksi antar makhluk dalam alam raya yang saling
mempengaruhi, di antaranya dalam: Rodrik Hanat, Munhīnāt Numū al-Nabāt (Baghdād: Wizārah al-
Ta‘līm al-‘Āli wa al-Baḥth al-‘Ilmī Jāmi‘ah Baghdād, 1989 M/1410 H); G. A. Yarrangton, “Plant
Ecology: an Univying Model”, Journal of Ecology, 57, 254-250 (1969); Stanley A. Rice, Green Planet:
How Plants Keep The Earth Alive (New Brunswick: Rutgers University Press, 2009), dan Roderick Hunti
dan R.L. Colasanti, “Self-assembling Plants and Integration across Ecological Scales”, Oxford Journals,
Annals of Botany 99: 1023–1034, 2007, www.aob.oxfordjournals.org (diakses: 2 Pebruari, 2010).

33| MUMTAZ: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Keislaman, Vol. 4, No. 01, 2020, 30-60
Nur Arfiyah Febriani, Alfi Sachdeva Aziz Waktar, Badru Tamam

Sesuatu peristiwa yang menimpa diri seseorang dapat disimpulkan sebagai


“resultante” berbagai pengaruh di sekitarnya. Begitu banyak pengaruh yang
mendorong manusia ke dalam suatu kondisi tertentu, sehingga adalah wajar jika
manusia tersebut kemudian juga berusaha untuk mengerti apakah sebenarnya yang
mempengaruhi dirinya, dan sampai berapa besarkah pengaruh-pengaruh tersebut. 8
Dari hasil penelitian tentang saling keterkaitan antar makhluk yang saling
mempengaruhi inilah, kemudian lahir sebuah cabang ilmu yang disebut ekologi,
sebagaimana yang kemudian diungkapkan oleh Koesnadi Harjasumantri.
Dalam bukunya Koesnadi menjelaskan bahwa, secara etimologi, kata
“ekologi” berasal dari bahasa Yunani “oicos” (rumah tangga) dan “logos” (ilmu),
yang diperkenalkan pertamakali dalam biologi oleh seorang biolog Jerman bernama
Ernts Hackel (1869). Oleh sebab itu berkembanglah apa yang dinamakan “ecology”,
yakni ilmu yang mempelajari hubungan antara satu organisme dengan yang
lainnya, dan antara organisme tersebut dengan lingkungannya. 9 Ekologi secara
harfiah juga berarti ilmu tentang makhluk hidup dalam rumahnya/ilmu tentang
rumahtangga makhluk hidup.10
Selain Koesadi, De Bel mengemukakan tentang pengertian ekologi dengan
ungkapan: Study of the total impact of man and other animals on the balance of nature”.
Sedangkan menurut William H. Matthews, menyatakan bahwa Ecology focuses in the
interrelationship between living organism and their environment. Sementara Joseph van
Vleck menjelaskan bahwa Ecology is the study of such communities and how each species
takes to meet its own needs and contributes toward meeting the need of its neighbours.
Selain itu, menurut Otto Soemarwoto, ekologi adalah ilmu tentang hubungan timbal
balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya.11
Pengertian ekologi yang lebih komprehensif juga diungkapkan oleh Lipietz
dengan menyatakan, adanya tiga bentuk relasi dalam ekologi, yaitu: relasi secara
individu atau satu sejenis kelompok, aktifitas yang terorganisir, dan hasil dari
aktifitas yang mereka kerjakan, yang pada gilirannya keseluruhannya akan saling
mempengaruhi keadaan pada individual yang hidup ini dan segala aktifitasnya. 12
Dalam bahasa Arab, ekologi dikenal dengan istilah “’Ilm al-Bī’ah/‫علم البيئة‬.
Secara etimologi, kata bī’ah diambil dari kata fi‘il (‫ )بوأ‬yang memiliki arti: tinggal,

8
Koesnadi Harjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, cet (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1994), 11, 1-2.
9
Lihat: Fuad Amsyari, Prinsip-Prinsip Masalah Pencemaran Lingkungan (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1981), 11., Otto Soemarwoto, Etika Lingkungan Hidup dan Pembangunan (Jakarta: Jambatan,
1989), 14., dan Koesnadi Harjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, 2.
Ekologi dapat juga dipahami sebagai ilmu yang mempelajari hubungan antara semua benda
hidup dengan keadaan sekelilingnya. Lihat: Peter Salim, The Cotemporary English – Indonesian
Dictionary cet. VII (Jakarta: Modern English Press, 1996), 581.
10
Robert E. Ricklefs, Ecology (New York: Chiron Press, 1973), 11.
11
Koesnadi Harjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, 2.
12
Alain Lipietz, Cultural Geography, Political Economy and Ecology, Europian Planning
Studies, Vol. 7, Iss, 1 (1999): 9.

MUMTAZ: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Keislaman, Vol. 4, No. 01, 2020, 30-60 | 34
Nur Arfiyah Febriani, Alfi Sachdeva Aziz Waktar, Badru Tamam

berhenti dan menetap. Bentuk isim dari kata fi‘il ini adalah (‫ )البيئة‬yang berarti
rumah/tempat tinggal.13 Sedangkan secara terminologi “’Ilm al-Bī’ah/ ‫”علم البيئة‬
adalah ilmu yang mempelajari tentang lingkungan. Mamdūḥ Ḥāmid ‘Atiyyah secara
ringkas menjelaskan tentang definisi dari kata “bī’ah” tersebut dengan ungkapan:
“ ‫“ َح ْي ُز ْال َحيَا ِة َوإطَاِرهَا‬
Dari sini dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan kata ‫ البيئة‬adalah
lingkungan hidup dan keseluruhan ekosistem yang tercakup didalamnya. Dari
pengertian ini Mamdūḥ Ḥāmid ‘Atiyyah menyatakan bahwa “’ilm al-bī’ah” adalah:
ilmu yang mendalami tentang interaksi makhluk hidup dengan lingkungan
sekitarnya. Namun dalam arti yang lebih spesifik dan komprehensif, ‘Atiyyah
menyatakan ekologi/ ‫ علم البيئة‬adalah ilmu yang mempelajari tentang interkoneksi
konstan antara manusia dan keseluruhan ekosistem yang terdapat di dalam dunia. 14
Ekologi juga dipahami sebagai keseluruhan ekosistem tempat di mana manusia
tinggal bersama makhluk lain, ekosistem ini saling terkait satu sama lain dalam
melakukan aktifitas masing-masing.15
Dari keseluruhan pendapat para ahli mengenai ekologi di atas, ekologi juga
dapat dipahami dalam arti: ilmu yang mempelajari tentang pola relasi mutual antar
makhluk di dalam sebuah ekosistem tempat dimana ia tumbuh dan berkembang.
Sebagaimana telah diungkapkan, salah satu konsep inti dalam ekologi
adalah ekosistem, yaitu suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal
balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya. 16 Menurut Otto Soemarwoto,
suatu sistem terdiri atas komponen-komponen-komponen yang bekerja secara
teratur sebagai suatu kesatuan. Ekosistem terbentuk oleh komponen hidup dan tak
hidup di suatu tempat yang berinteraksi membentuk suatu kesatuan yang teratur.
Keteraturan itu terjadi oleh adanya arus materi dan energi yang terkendalikan oleh
arus informasi antara komponen dalam ekosistem itu. Masing-masing komponen
memiliki fungsi dan relung. Selama masing-masing komponen itu melakukan
fungsinya dan bekerjasama dengan baik, keteraturan ekosistempun terjaga.
Keteraturan ekosistem itu menunjukkan, bahwa ekosistem tersebut ada dalam suatu
keseimbangan tertentu. Keseimbangan itu tidaklah bersifat statis, melainkan
13
Lihat: Atabik Ali A. Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, 1836.
14
Disarikan dari: Mamdūḥ Ḥāmid ‘Atiyyah, Innahum Yaqtulūn al-Bī’ah (Cairo: Maktabah al-
Usrah, 1998), 9. Lihat juga: ‘Abd al-Raḥmān al-Jīrah, al-Islam wa al-Bī’ah (Qāhirah: Dār al-Salām, 2000
M/1420 H), 13; Ṣāliḥ Wahabī, al-Insān wa al-Bī’ah wa al-Tulūth al-Bī’ī, cet. II (Damshīq, Dār al-Fikr,
2004), 19, dan Rajā’ Waḥīd Duwaidirī, al-Bī’ah Mafhūmihā al-‘Ilm al-Mu‘āṣir wa ‘Umuqihā al-Fikrī al-
Turāthī, cet. I (Damshīq: Dār al-Fikr, 2004), 31-32.
15
‘Abdullāh Ibn ‘Umar Ibn Muḥammad al-Suḥaibānī, Aḥkām al-Bī’ah fī Fiqh al-Islāmī (Saudi
‘Arabia: Dār Ibn al-Jauziyyah, 2008 M/1429 H), 21-25. Buku ini adalah Disertasi yang dibuat oleh al-
Suḥaibānī. Dalam buku ini, al- Suḥaibānī, mengupas tentang pandangan Islam mengenai kerusakan
lingkungan dalam beberapa wilayah, yaitu: lingkungan hidrologi, atmosfir, geologi, fauna dan flora.
Rekomendasi yang diberikan al- Suḥaibānī, adalah agar manusia dapat menjalin hubungan harmonis
dengan lingkungan sekitarnya.
16
Alan Gilpin, (Ed), Dictionary of Environment Terms, 49. Lihat juga: Koesnadi Harjasoemantri,
Hukum Tata Lingkungan, cet. (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1994), 11, 3.

35| MUMTAZ: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Keislaman, Vol. 4, No. 01, 2020, 30-60
Nur Arfiyah Febriani, Alfi Sachdeva Aziz Waktar, Badru Tamam

dinamis. Ia selalu berubah-ubah. Kadang-kadang perubahan itu besar, kadang-


kadang kecil. Perubahan itu dapat terjadi secara alamiah, maupun sebagai
perbuatan manusia.17
Sebagai contoh, dapat diambil batas ekosistem yang kecil atau besar. Sebuah
akuarium, dapat disebut suatu ekosistem kecil. Hutan yang beratus hektar bisa
disebut suatu ekosistem yang besar. Demikian pula seluruh bumi ini dianggap
sebagai ekosistem yang besar. Dengan adanya konsep ekosistem itu, maka unsur-
unsur dalam lingkungan hidup dilihat tidak secara tersendiri, melainkan secara
terintegrasi sebagai komponen yang berkaitan dalam suatu sistem. Pendekatan ini
disebut pendekatan ekosistem atau pendekatan holistic. Hubungan fungsional antara
komponen yang mengikat mereka dalam kesatuan yang teratur merupakan
perhatian utama dalam pendekatan ekosistem. 18
Selanjutnya, ada dua bentuk ekosistem yang penting. Pertama, adalah
ekosistem alamiah (natural ecosystem) dan yang kedua adalah ekosistem buatan
(artificial ecosystem) yaitu hasil kerja manusia terhadap ekosistemnya. Di dalam
ekosistem alamiah akan terdapat heterogenitas yang tinggi dari organisme hidup di
sana sehingga mampu mempertahankan proses kehidupan di dalamnya dengan
sendirinya. Sedangkan ekosistem buatan akan mempunyai ciri kurang
keheterogenitasannya sehingga bersifat labil dan untuk membuat ekosistem tersebut
tetap stabil, perlu diberikan bantuan energi dari luar yang juga harus diusahakan
oleh manusianya, agar berbentuk suatu usaha “maintenance” atau perawatan
terhadap ekosistem yang dibuat itu.19
Betapapun macam dan bentuk ekosistem itu, yang penting bagaimana
ekosistem tersebut menjadi stabil, sehingga manusianya bisa tetap hidup dengan
teratur dari generasi ke generasi selama dan sesejahtera mungkin. Di samping itu
perlu disadari pula, bahwa manusia harus berfungsi sebagai subyek dari
ekosistemnya, walaupun tidak boleh mengabaikan arti pentingnya menjadi
kestabilan ekosistemnya sendiri. Perubahan-perubahan yang terjadi di dalam daerah
lingkungan hidupnya mau tidak mau akan mempengaruhi eksistensi manusianya,
karena manusia akan banyak sekali bergantung pada ekosistemnya. 20
Leenen berpendapat bahwa, manusia adalah sebagian dari ekosistem,
manusia adalah pengelola pula dari sistem tersebut. Kerusakan lingkungan adalah
pengaruh sampingan dari tindakan manusia untuk mencapai suatu tujuan yang
mempunyai konsekuensi terhadap lingkungan. Pencemaran lingkungan adalah
akibat dari ambiguitas tindakan manusia. Manusia telah memasukkan alam dalam
kehidupan budayanya, akan tetapi ia nyaris lupa, bahwa ia sendiri sekaligus
merupakan bagian dari alam, di mana ia hidup. Dengan demikian manusia ternyata
17
Otto Soemarwoto, Etika Lingkungan Hidup dan, 13-14.
18
Disarikan dari A. Qadir Gassing, “Perspektif Hukum Islam tentang Lingkungan Hidup”,
Disertasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2001), 37-38.
19
Lihat: Koesnadi Harjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, 3-4.
20
Lihat: Fuad Amsyari, Prinsip-Prinsip Masalah Pencemaran Lingkungan (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1981), 35-44.

MUMTAZ: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Keislaman, Vol. 4, No. 01, 2020, 30-60 | 36
Nur Arfiyah Febriani, Alfi Sachdeva Aziz Waktar, Badru Tamam

tidak hanya bertindak sebagai penguasa terhadap alam, akan tetapi sebagai
pengabdinya. Dengan kekuasannya atas alam ia tidak dapat melepaskan diri dari
ketergantungannya kepada alam. Kehidupan manusia memuat dalam dirinya
sebagian alam dan ketergantungan kepada lingkungan materiel. Dengan demikian
alam memperoleh wajah manusiawi dan tidak hanya sebagai tempat pengurasan
oleh homo faber. Manusia mempengaruhi alam, alam mempengaruhi manusia.
Dengan demikian, alam dimasukkan dalam evolusi manusia dan sebaliknya. 21
Ungkapan Leenen ini sangat menarik karena ungkapan ini ini senada
dengan konsep kekhalifahan yang diisyaratkan al-Qur’an dalam surat al-An‘ām [6]:
165).22 Demikian dengan adanya isyarat bahwa terdapat interkoneksi antara alam
dan manusia yang saling membutuhkan dan mempengaruhi seperti yang tersirat
dalam Q.S. Luqmān [31]: 20, Ibrāhīm [14]: 32-34, al-Naḥl [16]: 5-8 dan 10-13, dan
Yāsīn [36]: 33-35.

2. Sekilas tentang Biografi Ṭabārī dan Ṭabāṭabā’ī


a. Biografi Imam Ṭabārī dan Tafsirnya
Nama lengkap Ibnu Jarir adalah Abu Ja'far Muhammad Ibn Jarir Ibn Yazid
Ibn Khalib al-Ṭabārī al-Amuli.23 Nama ini disepakati oleh al-Khatib al-Bagdadi (392-
463/1002-1072), Ibn Katsir dan al-Zahabi. Tanah kelahirannya di kota Amul, ibukota
Thabaristan, Iran. sehingga nama paling belakangnya sering disebutkan al-Amuli
penisbatan tanah kelahirannya. la dilahirkan pada tahun 223 H (838-839 M), 24 dan
meninggal pada tahun 311 H/923 M.
Menilik sejarah hidup Ṭabārī secara kultural-akademik sangat istimewa, jika
dilihat setting-sosial yang diwarnai oleh kemajuan peradaban Islam dan
berkembangnya pemikiran ilmu-ilmu keislaman pada abad III hingga awal abad IV
H. Keadaan ini sangat berpengaruh secara mental maupun intelektual terhadap
perkembangan keilmuannya. Ṭabārī hidup, tumbuh dan berkembang di lingkungan
21
Koesnadi Harjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, 3-4. Penjelasan di atas dikutip Koesnadi
Harjosoemantri dari: H.J.J Leenen, Milieuhygienerecht (Samson: Alphen aan den Rijn, 1971), 12-13.
22
Redaksi ayatnya adalah:
              
       
Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian
kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya
kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. (Q.S. al-An‘ām [6]: 165). Menurut Nasaruddin Umar, maksud dan tujuan penciptaan
manusia di muka bumi ini adalah, disamping untuk menjadi hamba (‘abid) yang tunduk dan patuh
serta mengabdi kepada Allah SWT, juga untuk menjadi khalifah di bumi (Khalīfah fī al-Arḍ. Lihat:
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an, cet. II (Jakarta: Paramadina, 2001),
252.
23
Biografi dari Imam al-Thabary ini diambil dan disarikan dari: http://aa-
den.blogspot.com/2009/10/metodologi-tafsir-ibnu-jarir_9987.html. Tulisan ini diakses pada tanggal 31
maret 2015. Referensi yang digunakan penulis dalam blog ini dapat dipertanggungjawabkan karena
menggunakan referensi otoritatif dalam membahas biografi al-Ṭabārī.
24
Muhammad Yusuf, Studi Kitab Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2004), 21.

37| MUMTAZ: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Keislaman, Vol. 4, No. 01, 2020, 30-60
Nur Arfiyah Febriani, Alfi Sachdeva Aziz Waktar, Badru Tamam

keluarga yang memberikan cukup perhatian terhadap masalah pendidikan,


terutama bidang keagamaan. Berbarengan dengan situasi Islam yang sedang
mengalami kejayaan dan kemajuannya di bidang pemikiran. Kondisi sosial yang
demikian itu secara psikologis turut berperan dalam membentuk kepribadian Ṭabārī
dan menumbuhkan kecintaannya terhadap ilmu.
Ṭabārī telah berkunjung ke berbagai kawasan untuk menuntut ilmu dari
sumber-sumbernya, dari pangkal dan cabangnya, sehingga menjadi ilmuwan tiada
duanya pada masanya, baik dari segi ilmu, amal, hafalan terhadap Kitabullah,
pengetahuan tentang makna-maknanya, nasikh mansukh-nya, sebab nuzulnya, di
samping paham tentang sunnah dan jalur-jalurnya, ahli fiqh, menguasai pendapat
para sahabat, tabi'in dan generasi sesudah mereka. la telah menghimpun ilmu-ilmu
yang belum pernah dihimpun oleh ulama` pada masanya, seorang imam yang
diikuti, telah mencapui derajat mujtahid dan menjadi rujukan dalam berbagai
bidang ilmu.
Menurut Ibn Khillikan, Ṭabārī termasuk imam mujtahid dan tidak bertaklid
kepada siapapun. Dan sebelum sampai ke tingkat mujtahid, tampaknya ia pengikut
madzhab Syafi'i. Pujian senada diungkap A1-Khathib la salah seorang ilmuwan
terkemuka, pendapatnya menjadi menjadi rujukan karena pengetahuan dan
keutamaannya. Karir pendidikan Ṭabārī diawali dari kampung halamannya Amul
-tempat yang cukup kondusif untuk membangun struktur fundamental awal
pendidikannya. la diasuh oleh ayahnya sendiri, kemudian dikirim ke Rayy, Basrah,
Kufah, Mesir, Syiria dan Mesir dalam rangka "travelling in quest of knowledge"
dalam usia yang masih belia. Namanya bertambah populer di kalangan masyarakat
karena otoritas keilmuannya. Al Syajary meriwayatkan dari Ibnu Jarir bahwasanya
ia hapal al-Qur’an ketika berusia 7 tahun, menjadi Imam shalat ketika berusia 8
tahun, menulis hadis ketika berusia 9 tahun.
Di Rayy ia berguru kepada Ibn Humayd, Abu ‘Abdillah Muhammad bin
Humayd al-Razy. la juga menimba ilmu dari al-Mu'sanna bin Ibrahim al-Ibili,
khusus di bidang hadis. la pernah pula pergi ke Bagdad untuk belajar kepada
Ahmad bin Hanbal (164-24I/ 7780-855), sesampainya di sana ternyata ia telah wafat.
la segera putar haluan menuju dua kota besar Selatan Bagdad, yakni Basrah dan
Kufah, sambil mampir ke Wasit karena satu jalur perjalanan dalam rangka studi dan
riset. Di Basrah ia berguru kepada Muhammad bin Abd al-A'la al-San'ani (w.
245/859), Muhammad bin Musa al-Harasi (w. 248/862) dan Abu al-'As'as, Ahmad bin
al-Miqdam (w. 253/867), dan Abu- al-jawza' Ahmad bin ‘Usman (w 246/860). Khusus
bidang tafsir ia berguru kepada seorang Basrah Humayd bin Mas'adah dan Bisr bin
Mu'ai al-Aqadi (w. akhir 245/859-860), meski sebelumnya pemah banyak menyerap
pengetahuan tafsir dari seorang Kufah Hannad bin al-Sari (w. 243/857).25
Setelah beberapa waktu di dua kota tersebut, ia kembali ke Bagdad dan
menetap untuk waktu yang lama. la masih memusatkan perhatian pada qira’ah
(cara baca) dan fiqh dengan bimbingan guru, seperti Ahmad bin Yusuf al-Sa'labi.
25
Subhi al-Shālih, Mabāhits fī 'Ulūm al-Qur'ān cet. VII (Beirut: Dar al-'Ilm, 1972), 290.

MUMTAZ: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Keislaman, Vol. 4, No. 01, 2020, 30-60 | 38
Nur Arfiyah Febriani, Alfi Sachdeva Aziz Waktar, Badru Tamam

Sedangkan al-Hasan ibn Muhammad al-Sabbah al-Za'farani dan al Raby al-Murady


adalah guru dalam Ilmu Fiqh. Belum puas dengan apa yang telah ia gapai, ia
melanjutkan perjalanan ke berbagai kota untuk mendapatkan ilmu, terutama
pendalaman gramatika, sastra (Arab) dan qira’ah. Hamzah dan Warasy-(yang masih
populer di kalangan qurra' hingga saat ini)-termasuk orang-orang yang telah
memberikan kontribusi kepadanya. Keduanya tidak saja dikenal di Bagdad, tetapi
juga di Mesir, Syam, Fustat, dan Beirut. Dorongan kuat untuk menulis kitab tafsir
diberikan oleh salah seorang gurunya Sufyan ibn ‘Uyainah dan Waqi' ibn al-Jarah,
Syu'bah bin a1-Hajjaj, Yazid bin Harun dan Abd ibn Ha-mid.26
Domisili terakhir sepulang dari Mesir adalah Bagdad dan sempat singgah di
Tabaristan. Adapun pada permulaan tinggal di Baghdad ia bermazhab Syafi’i
kemudian dengan kecerdasannya beliau berijtihad sendiri. Keterangan di atas
sebagaimana Ia tuturkan kepada Harun bin Abdul ‘Aziz dan diceritakan oleh Abu
Muhammad al Farghanī: “Saya tinggal di Baghdad dan mengikuti mazhab Syafi’i
selama sepuluh tahun”. Dari berbagai pengembaraannya dalam mencari ilmu, maka
tidak berlebihan kalau Abu Ali al-Ahwazī mengatakan: “al-Ṭabārī adalah orang
yang faham tentang fiqh, hadis, tafsir, nahwu, bahasa Arab, sastra Arab, dan Ia
dalam ilmu-ilmu itu mempunyai karya-karya yang tidak tertandingi. Ṭabārī berhasil
membuat beberapa karya sampai akhirnya ia wafat pada Senin, 27 Syawwal 310 H
bertepatan dengan 17 Februari 923 M dalam usia 85 tahun. Menurut al-Khatib,
kematiannya dishalati oleh masyarakat siang dan malam hari hingga beberapa
waktu setelah wafatnya.27
Menurut Ibnu Qadhy Syuhbah, kitabnya berjumlah 83 kitab. Namun secara
tepat, belum ditemukan data mengenai berapa jumlah buku yang berhasil
diproduksi dan terpublikasi, yang pasti dari catatan sejarah membuktikan bahwa
karya-karya Ṭabārī meliputi banyak bidang keilmuan, ada sebagian yang sampai ke
tangan kita di antaranya: Adab al-Manasik, Adab al-Nufus, Ikhtilaf al-‘ulama al-
Amshar, Ahādīth Ghadir Kham, Al Jami’ fi al Qira’at, Kitab Jami' al-Bayan fi Tafsir
al-Qur'an, dll.28
Kitab tafsir karya Ṭabārī, memiliki nama ganda yang dapat dijumpai di
berbagai perpustakaan; pertama, Jamī' aI-Bayān An Ta'wīl Ay al-Qur'ān (Beirut: Dar
al-Fikr, 1995 dan 1998), dan kedua bernama Jamī' al-Bayān fī Tafsīr al- Qur'ān (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), terdiri dari 30 juz/jilid besar. Al-Ṭabārī mencoba
mengelaborasi terma takwil dan tafsir menjadi sebuah konstruksi pemahaman yang
utuh dan holistik. Baginya kedua istilah itu adalah mutaradif (sinonim). Keduanya
merupakan piranti intelektual untuk memahami kitab suci al-Qur'an yang pada
umumnya tidak cukup hanya dianalisis melalui kosakatanya, tetapi memerlukan
peran aktif logika dan aspek-aspek penting lainnya, seperti munasabah ayat dan

26
Badr al-Dīn al-Zarkasyi, al-Burhān fī ‘Ulūm al-Qur ān, Tahqiq: Muḥammad Abū al-Faḍl
Ibrāhīm, vol. II (Kairo: Dar al-Ihya' al-Kutub al-'Arabiyah, 4 jilid 1376H/ 1957M), 159.
27
Shidqy al-Athar, Muqaddimah Tafsīr Al Thabārī (Beirut: Dār al-Fikr, 1995).
28
Shidqy al-Athar, Muqaddimah Tafsir Al Thabārī, 2.

39| MUMTAZ: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Keislaman, Vol. 4, No. 01, 2020, 30-60
Nur Arfiyah Febriani, Alfi Sachdeva Aziz Waktar, Badru Tamam

atau surat, tema (maudū’ī), asbab al-nuzul dan sebagainya.


Pada awalnya kitab ini pernah menghilang, tidak jelas keberadaannya;
ternyata tafsir ini dapat muncul kembali berupa manuskrip yang tersimpan di
maktabah (koleksi pustaka pribadi) seorang pejabat Najed, Hammad ibn ‘Amir ‘Abd
a1-Rasyid. Goldziher berpandangan bahwa naskah tersebut diketemukan lantaran
terjadi kebangkitan kembali percetakan pada awal abad 20-an. Menurut al-Subki,
bentuk tafsir yang sekarang ini adalah resume dari kitab orisinalnya. Untuk melihat
karakteristik sebuah tafsir, dapat dilihat, paling tidak, pada aspek-aspek yang
berkaitan dengan gaya bahasa, lawn (corak) penafsiran, akurasi dan sumber
penafsiran, konsistensi metodologis, sistematika, daya kritis, kecenderungan aliran
(mazhab) yang diikuti dan objektivitas penafsirnya.
Tiga ilmu yang tidak terlepas dari al-Ṭabārī, yaitu tafsir, tarikh, dan fiqh.
Ketiga ilmu inilah yang pada dasarnya mewarnai tafsirnya. Dari sisi linguistik
(lugah), Ibn Jarir sangat memperhatikan penggunaan bahasa Arab sebagai pegangan
dengan bertumpu pada syari-syair Arab kuno dalam menjelaskan makna kosa kata,
acuh terhadap aliran-aliran ilmu gramatika bahasa (nahwu), dan penggunaan
bahasa Arab yang telah dikenal secara luas di kalangan masyarakat. Sementara itu,
ia sangat kental dengan riwayat-riwayat sebagai sumber penafsiran, yang
disandarkan pada pendapat dan pandangan para sahabat, tabi’in dan ta-bi' al ta-
bi'in melalui hadis yang mereka riwayatkan (bi al-Ma'thūr Semua itu diharapkan
menjadi detektor bagi ketepatan pemahamannya mengenai suatu kata atau
kalimat.29 la juga menempuh jalan istinbat ketika menghadapi sebagian kasus
hukum dan pemberian isyarat terhadap kata-kata yang samar i'rab-nya.30
Aspek penting lainnya di dalam kitab tersebut adalah pemaparan qira’ah
secara variatif, dan dianalisis dengan cara dihubungkan dengan makna yang
berbeda-beda, kemudian menjatuhkan pilihan pada satu qira'ah tertentu yang ia
anggap paling kuat dan tepat. Di sisi yang lain, al-Ṭabārī sebagai seorang ilmuwan,
tidak terjebak dalam belenggu taqlid, terutama dalam mendiskusikan persoalan-
persoalan fiqh. la selalu berusaha untuk menjelaskan ajaran-ajaran Islam
(kandungan al-Qur'an) tanpa melibatkan diri dalam perselisihan dan perbedaan
paham yang dapat menimbulkan perpecahan. Secara tidak langsung, ia telah
berpartisipasi dalam upaya menciptakan iklim akademika yang sehat di tengah-
tengah masyarakat di mana ia berada, dan tentu saja bagi generasi berikutnya.
Selanjutnya, metode penafsiran dalam tafsir al-Ṭabārī adalah tafsir bi al-
ma'thūr, yaitu metode tafsir yang mendasarkan penafsirannya pada ayat al-Quran
dan riwayat-riwayat yang bersumber dari Nabi saw., para sahabat, tabi’in, dan tabi’
al-tabi’in. Ibnu Jarir dalam tafsir dalam tafsirnya telah mengkompromikan antara

29
Manna' al-Qattan, Mabāhits fī ‘Ulūm al-Qur'ān (Beirut: Mansyurat al-‘Ashr al-Hadits,
1393H/1973M), 363.
30
M. Quraish Shihab, "Ibn Jarir al-Tabari: Guru Besar para Ahli Tafsir", Jurnal Ulumil Qur'an,
Vol. I, No. I (1989): 5.

MUMTAZ: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Keislaman, Vol. 4, No. 01, 2020, 30-60 | 40
Nur Arfiyah Febriani, Alfi Sachdeva Aziz Waktar, Badru Tamam

riwayat dan dirayat.31


Dalam periwayatan ia biasanya tidak memeriksa rantai periwayatannya,
meskipun kerap memberikan kritik sanad dengan melakukan ta'dil dan tarjih
tentang hadis-hadis itu sendiri tanpa memberikan paksaan apapun kepada
pembaca. Sekalipun demikian, untuk menentukan makna yang paling tepat
terhadap sebuh lafaz, ia juga menggunakan ra'yu. Dalam kaitan ini, secara runtut
yang pertama-tama ia lakukan, adalah membeberkan makna-makna kata dalam
terminologi bahasa Arab disertai struktur linguistiknya, dan (i’rab) kalau diperlukan.
Pada saat tidak menemukan rujukan riwayat dari hadis, ia akan melakukan
pemaknaan terhadap kalimat, dan ia kuatkan dengan untaian bait syair dan prosa
kuno yang berfungsi sebagai syawahid dan alat penyelidik bagi ketepatan
pemahamannya. Dengan langkah-langkah ini, proses tafsir (takwil) pun terjadi.
Berhadapan dengan ayat-ayat yang saling berhubungan (munāsabah) mau tidak
mau Ia harus menggunakan logika (mantiq). Metode semacam ini temasuk dalam
kategori Tafsir Tahlili dengan orientasi penafsiran bi al-ma'-thūr dan bi al-ra'y.

b. Biografi Ṭabāṭabā’ī dan Tafsirnya


‘Allamah Sayyed Muhammad Husain al-Ṭabāṭabā’ī lahir pada tahun 1903
M di Azerbaijani, sebutan dari kota Tabriz, sebuah kawasan di sebelah barat laut
Iran.32 Ṭabāṭabā’ī dilahirkan dari lingkungan keluarga religius dan pecinta ilmu. Ia
telah menempuh proses belajarnya di kota Najaf, di bawah pengajaran para guru
besarnya seperti Mirza ‘Ali Qadi (dalam bidang Gnosis atau irfan), Mirza
Muhammad Husain Na’ini dan Syeikh Muhammad Husain Isfahani (dalam bidang
fiqih dan syari’ah), Sayyed Abu al-Qasim Khawansari (dalam ilmu matematik),
sebagaimana ia juga belajar standar teks pada buku as-Shifa karya Ibn Sina,The
Asfar milik Sadr al-Din Shirazi, dan kitab Tamhid al-Qawa’id milik ibn Turkah,
dengan Sayyid Husain Badkuba’i, dan ia sendiri adalah murid dari dua guru
kondang pada masa itu, Sayyid Abu al-Hasan Jilwah dan Aqa’ ‘Ali Mudarris
Zinuni.33
Sebagai seorang ulama yang memiliki multi-disiplin ilmu pengetahuan,
Ṭabāṭabā’ī banyak bergaul dengan berbagai kalangan, baik dari kalangan Muslim
maupun dengan para sarjana Barat. Dalam karir kesarjanaanya, Ṭabāṭabā’ī banyak

31
Shidqy al-‘Athar, Muqaddimah Tafsīr Ibn Jarīr, 3.
32
Biografi Ṭabāṭabā’ī diambil dan disarikan dari makalah karya Asrori yang telah
dipresentasikan dalam matakuliah: “Tafsir al-Qur’an Kontemporer di Timur Tengah dengan judul:
AL-MIZAN FI TAFSIR AL-QUR’AN Allamah Sayyid Muhammad Husein Thabathaba’i”, di
Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta 2011. Makalah ini diakses tanggal 31 Maret 2015. Lebih
lengkap tentang pembahasan ini dapat diakses melalui:
http://kajianbersama.blogspot.com/2012/12/tafsir-thabathabai.html.
33
Ali al-Awsi, al-Ṭabāṭabā’ī wa Manhajuh fi Tafsīrih al-Mīzān (Teheran: Mu’awaniyah al-Riasah
li al-’alaqat al-Daulah, 1985), 44. Lihat juga Khudhair Ja’far, Tafsīr al-Qur’ān bi al-Qur’ān ‘inda
al-‘Allamah al- al-Ṭabāṭabā’ī (Qum: Dar al-Qur’an al-Karim, 1411 H), 10.

41| MUMTAZ: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Keislaman, Vol. 4, No. 01, 2020, 30-60
Nur Arfiyah Febriani, Alfi Sachdeva Aziz Waktar, Badru Tamam

bertukar pikiran dengan Henry Corbin34 dan Sayed Hosein Nasr. Mereka bukan
hanya telah mendiskusikan teks-teks klasik dari wahyu ke-Tuhan-an dan gnosis,
namun juga keseluruhan disiplin yang disebut oleh Nasr sebagai gnosis komparatif,
yang mana pada setiap satu sesi teks sakral dari agama-agama utama mengandung
ajaran mistik dan pengetahuan spiritual; seperti Tao Te Ching, Upanishads (salah satu
seri teks sakral Hindu), Gospel of John, yang telah didiskusikan dan di komparasikan
dengan sufisme dan doktrin-doktrin pengetahuanIslam secara umum.
Ṭabāṭabā’ī adalah seorang filosof, penulis yang produktif, dan guru inspirator
bagi para muridnya, yang telah mengabdikan sebagian besar hidupnya untuk studi
islam non-politik. Banyak dari muridnya yang diantaranya menjadi penggagas
ideologi di Republik Islam Iran, seperti Murthada Mutahhari, Beheshti, dan
Muhammad Mofatteh. Sementara yang lainnya, seperti Sayyed Hosein Nasr dan
Hasanzadeh Amuli masih tetap meneruskan studinya pada lingkup intelektual non-
politik.
Ketika berada di Najaf, Ṭabāṭabā’ī mengembangkan kontribusi utamanya
dalam bidang tafsir (interpretation), filsafat, dan sejarah madzhab Shi’ah. Dalam
bidang filsafat, ia mempunyai sebuah karya penting, Usul-i Falsafeh va Ravesh-e-
realism (The Principles of Philosophy and The method of Realism), yang mana telah
diterbitkan dalam 5 jilid dengan catatan penjelas dan komentar oleh Murtadha
Motahhari. Deal penerbitan tersebut dengan disertakannya islamic outlook dunia,
tidak hanya dihadapkan pada idealisme yang mengingkari realitas wujud dunia,
namun juga dihadapkan pada konsep materialisme dunia, dengan mereduksi semua
realitas menuju ambiguitas konsep mitos-mitos materialisme serta pemalsuannya.
Poin tersebut menjadi mapan ketika sudut pandang dunia islam adalah realitas,
sementara keduanya (pandangan idealistis dan materialistis) adalah tidak realistis.
Karya utama lainnya dalam bidang filsafat adalah ulasan luasnya
terhadap Asfar al-Arba’ah, magnum opus karya Mulla Sadra, yang merupakan
seorang pemikir muslim besar Persia terakhir pada abad pertengahan. Di samping
itu dia juga menulis secara ekstensif seputar tema-tema dalam filsafat.
Pendekatannya secara humanis dapat terlihat dari ketiga karyanya; the nature of
man–before the world, in this world, and after this world. Filsafatnya terfokus pada
pendekatan sosiologis guna menemukan solusi atas problem-problem kemanusiaan.
Dua hasil karyanya yang lain adalah kitab Bidayat al-Hikmah dan Nihayat al-
Hikmah, yang terhitung sebagai karya besar dalam bidang filsafat islam.
Beberapa pernyataan serta risalahnya seputar doktrin-doktrin dan sejarah
Shi’ah masih tetap tersimpan secara rapi. Satu dari beberapa risalahnya tersebut
meliputi klarifikasi serta eksposisinya tentang madzhab Shi’ah dalam jawabannya

34
Henry Corbin adalah orientalis asal Prancis yang menekuni kajian keislaman, di antaranya
adalah tasawus, filsafat Islam, dan juga ajaran-ajaran Syi’ah. Kepada Corbin inilah Ṭabāṭabā’ī sering
mendiskusikan tema-tema filsafat yang meliputi penyangkalanya terhadap dialektika Marxis atas
dasar filsafat Islam tradisional. Diskusi antara keduanya dilakukan dalam sesi-sesi mingguan di
Teheran selama musim gugur antara 1958 dan 1977.

MUMTAZ: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Keislaman, Vol. 4, No. 01, 2020, 30-60 | 42
Nur Arfiyah Febriani, Alfi Sachdeva Aziz Waktar, Badru Tamam

atas pertanyaan yang dilemparkan oleh orientalis Perancis terkenal, Henry Cobin.
Bukunya yang lain dalam tema ini adalah Shi’ah dar Islam yang telah diterjemahkan
ke dalam bahasa inggris oleh Sayyed Husain Nasr dalam judul Shi’ite Islam, yang
dibantu oleh William Chittick sebagai sebuah proyek dari Colgate University,
Hamilton, New York, Amerika. Buku tersebut disajikan sebagai ikhtiar baik untuk
meluruskan miss-konsepsi populer seputar Shi’ah yang juga dapat membuka jalan
untuk memperbaiki pemahaman inter-sektarian antar sekolah-sekolah Islam di
Amerika.
Di antara karya Ṭabāṭabā’ī yang paling terkemuka adalah al-Mizan fi Tafsiri al-
Qur’an yang lebih dikenal dengan Tafsir al-Mizan, yang merupakan hasil dari kerja
kerasnya yang cukup lama dalam ruang lingkup studi Qur’an. Metode, gaya, serta
pendekatannya yang unik sangat berbeda dengan para mufassif besar lainnya. Tafsir
al-Mizan pertama kali dicetak dalam bahasa arab sebanyak 20 jilid. Edisi pertama al-
Mizan dalam bahasa arab telah dicetak di Iran dan selanjutnya dicetak pula di
Bairut, Lebanon. Hingga sekarang, lebih dari tiga edisinya dalam bahasa arab telah
dicetak di Iran dan Beirut dalam bentuk besar.
Ṭabāṭabā’ī juga seorang penyair yang mahir. Dia telah menyusun sebagian
besar syair-syairnya dalam bahasa Persia, namun adakalanya pula dalam bahasa
Arab yang indah. Di samping itu ia juga seorang penulis diberbagai rubrik artikel
dan essai. Secara keseluruhan, buku-buku hasil karya tulisnya berkisar 44 judul.
Tiga diantaranya adalah hasil kumpulan dari koleksi makalah-makalahnya dalam
berbagai aspek keislaman dan al-Qur’an. Pada tanggal 15 November 1982 ‘Allamah
Sayyid Muhammad Husain Ṭabāṭabā’ī meninggal dunia dalam usianya yang ke-80.
Bertalian dengan setting kehidupan yang dialaminya, Ṭabāṭabā’ī mengalami
pergolakan intelektual dan politik yang dahsyat. Dalam pergolakan inetelektual, ia
mewarisi pertentangan antara mazhab Akhbariyyah, sebagai sebuah kecenderungan
tradisional dalam yurisprudensi Syi’ah, dan mazhab ushuliyyah, sebuah mazhab
hukum Syi’ah yang bersandar pada serangkaian proses rasional. Meskipun kota
Qum menjadi kubu awal tradisionalis, tetapi kecenderungan rasional yang
bertentangan denganya mendominasi selama berabad-abad.
Dalam tataran keilmuan, Iran menjadi simbol filsafat Islam dengan porosnya
berupa ajaran Isyraqiyyah Mulla Shadra (w. 1640 M). Tidak hanya ajaran Mulla
Shadra saja yang menjadi keganderungan orang Iran, ajaran Ibn Sina pun tak kalah
menarik dan banyak yang mendalaminya secara seksama, Ṭabāṭabā’ī adalah salah
satunya. Selama periode Qajar, Teheran secara bertahap meningkat menjadi pusat
studi filsafat Islam. Untuk selanjutnya, ia juga mengambil peranya tersendiri dalam
penyebaran filsafat Islam, khususnya ajaran Mulla Shadra, Ibn Sina, Ibn Arabi, dan
Suhrawardhi.
Adapun dalam pergolakan politik, al-Ṭabāṭabā’ī mengalami dua peristiwa
besar, yakni perang Dunia II dan Revolusi Islam Iran 1997. Pada bulan September,
1941, tentara Inggris dan Rusia menyerbu Iran. Hal ini memaksa munculnya paham-

43| MUMTAZ: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Keislaman, Vol. 4, No. 01, 2020, 30-60
Nur Arfiyah Febriani, Alfi Sachdeva Aziz Waktar, Badru Tamam

paham materialism dan kapitalisme. Kenyataan ini, tentu saja sangat


membahayakan bangsa Iran, terutama generasi muda.
John Esposito menggambarkan peristiwa perang tersebut. Menurutnya,
Perang Dunia II telah memporak-porandakan sendi-sendi ekonomi dan kehidupan
bangsa Iran. Namun, secara politik, pada periode ini terjadi liberalisasi besar-
besaran. Para tahanan politik dibebaskan, pers lebih bebas membuat berita, dll. Di
samping itu muncul pula partai-partai politik sebagai gejala kebebasan tadi.
Di masa tuanya, Ṭabāṭabā’ī mengalami peristiwa politik yang tak kalah
menarik dan paling dramatik, yang digambarkan oleh Montigomery Watt, sebagai
revolusi yang paling dramatis dan spektakuler yang terjadi di dunia Islam pada
abad ke-20, yaitu Revolusi Islam Iran 1979. Revolusi ini tidak saja merubah tatanan
social, ekonomi, budaya, dan politik masyarakat Iran secara internal, tetapi juga
memberikan pengaruh yang besar pada masyarakat Islam internasional.
Dalam Al-Mīzān, Ṭabāṭabā’ī mengelompokan empat golongan yang
menafsirkan al-Qur’an, yaitu teolog, filosof, sufi, dan ahli hadis. Setelah melakukan
pengelompokan, Thabathaba’i mengulas model penafsiran mereka, lalu
kemudian mengkritisi pandangan dan pendekatan mereka di dalam menafsirkan al-
Qur’an. Menurutnya, para ahli hadis di dalam menafsirkan al-Qur’an hanya
berdasarkan pada riwayat-riwayat yang bersumber dari para
pendahulunya saja, yakni para sahabat dan tabi’in. Sehingga mereka fanatik dan
hanya berpegang teguh pada riwayat-riwayat pendahulunya tanpa mau melibatkan
peran akal sebagai proses penafsiran.35 Dalam hal ini para ahli hadis memiliki
pandangan yang belum komprehensif, ini karena menurut Ṭabāṭabā’ī Allah tidak
pernah mengatakan dalam kitab-Nya bahwa akal tidak boleh digunakan sebagai
hujjah dan dalil. Bagaimana mungkin Allah melarang menggunakan argument akal,
sedangkan Dia sendiri menetapkan dalam kitab-Nya; afalā ta’qilūn, afalā tatadabbarūn,
dll. Dan di sisi lain, Allah tidak pernah memerintahkan menggunakan pendapat-
pendapat para sahabat dan tabi’in dan pandangan mereka yang bertentangan dan
tak dapat dipertanggungjawabkan, dan tidak memerintahkan mengikuti pendapat-
pendapat mereka yang saling bertentangan dan meniadakan satu sama lain.
Mengenai metode penafsiran, Ṭabāṭabā’ī mengemukakan tiga cara yang bisa
dilakukan untuk memahami al-Qur'an: Pertama, menafsirkan suatu ayat dengan
bantuan data ilmiah dan non-ilmiah; Kedua, menafsirkan al-Qur'an dengan hadis-
hadis Nabi yang diriwayatkan dari imam-imam suci; Ketiga, menafsirkan al-Qur'an
dengan jalan memanfaatkan ayat-ayat lain yang berkaitan. Di sini hadis dijadikan
sebagai tambahan. Metode tafsir seperti ini adalah metode Tahlili.
Meski memberikan rumusan tentang cara-cara menafsirkan al-Qur'an seperti
di atas, Ṭabāṭabā’ī tidak menganggap kesemua cara yang disebutkan tadi sebagai
valid dan akurat. Cara yang pertama tidak boleh diikuti karena menurutnya, cara itu
menggunakan pendapat pribadi. Menafsirkan al-Qur’an model ini lebih berpeluang

35
Ṭabāṭabā’ī, Tafsīr al-Mīzān, vol. I, 5.

MUMTAZ: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Keislaman, Vol. 4, No. 01, 2020, 30-60 | 44
Nur Arfiyah Febriani, Alfi Sachdeva Aziz Waktar, Badru Tamam

pada kesalahan. Cara yang kedua dianggapnya tidak cukup memadai, bukan saja
karena sangat terbatasnya jumlah hadis Nabi yang bisa dipertanggung-jawabkan
validitasnya, namun hadis-hadis itu sendiri tidak cukup memenuhi kebutuhan
untuk menjawab berbagai persoalan tentang al-Qur'an yang semakin berkembang.
Menurut Ṭabāṭabā’ī hanya cara ketiga, yakni menafsirkan al-Qur'an dengan ayat-
ayat lain yang berkaitan, yang bisa dipertanggung-jawabkan sebagai cara untuk
menafsirkan al-Qur'an. Dalam pandangan Ṭabāṭabā’ī, menafsirkan al-Qur'an dengan
al-Qur'an ini, tidak termasuk ke dalam penafsiran dengan ra’yu sebagaimana yang
dilarang Nabi. Menafsirkan al-Qur'an dengan cara mengaitkan satu ayat dengan
ayat-ayat yang lain (yang kemudian dikenal penafsiran al-Qur'an dengan al-Qur'an)
yang oleh Ṭabāṭabā’ī dinilai sebagai cara penafsiran yang paling valid.
Dalam kitab tafsirnya al-Mīzān ini Ṭabāṭabā’ī mengikuti sistematika tartib
mushafi, yaitu menyusun kitab tafsir berdasarkan susunan ayat-ayat dan surat-surat
dalam mushaf al-Quran, yang dimulai dari Surah al-Fātiḥah hingga berakhir pada
Surah al-Nās. Meski menempuh sistematika tartib mushafi, namun Ṭabāṭabā’ī dalam
penafsirannya membagi-baginya ke dalam beberapa tema. Sehingga dalam
menafsirkan al-Qur’an, Ṭabāṭabā’ī tidak melakukannya secara ayat per ayat,
melainkan mengumpulkan beberapa ayat untuk kemudian baru diberikan
penafsirannya. Dalam kaitan ini, Ṭabāṭabā’ī mengawalinya dengan tema penjelasan
yang meliputi kajian mufradat, i’rab, balaghah, kemudian tema kajian riwayat yang
di dalamnya berisi pandangan berbagai riwayat yang disikapi Ṭabāṭabā’ī secara
kritis, dilanjutkan kajian filsafat dan lain-lain.
Tafsir al-Mīzān sebagaimana pujian dari Ilyas Klantre dalam bukunya yang
bertitel Dalīl al-Mīzān adalah seperti sebuah ombak yang meninggi dari samudera
ilmu-ilmu al-Quran. Ilmu pengetahuan yang terdapat di dalamnya tak
terhingga.36 Seperti yang tertera dalam buku-buku ulum al-Quran bahwa sumber
penafsiran terbagi menjadi dua; bi al-ra’y dan bi al-ma’tsûr.37 Sementara kitab tafsir al-
Mīzān karya Ṭabāṭabā’ī ini sebagaimana diakuinya sendiri adalah sebuah tafsir yang
menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an. Klaim ini diamini oleh oleh Ilyas Klantre
dengan menuturkan, “Pengakuan Ṭabāṭabā’ī sesuai dengan bukti.”38
Di samping itu, Ṭabāṭabā’ī juga kerap mengutip pendapat-pendapat para
mufassir sebelumnya, baik klasik maupun kontemporer. Sebut saja seperti Ibnu
Abbas, Tafsir Thabari, Tafsir al-Kasyāf karya Zamakhsyarī, Tafsīr Mafātīh al-Ghaib
karya Fakhr al-Rāzī, Tafsīr al-Manār dan sejumlah tafsir lainnya. Selain merujuk
pada tafsir-tafsir lain, Ṭabāṭabā’ī juga menggunakan beberapa kitab gramatikal dan
kamus bahasa Arab, seperti Lisān al-‘Arab, Al-Muḥīth dan lainnya. Untuk

36
Ilyas Klantre, Dalīl al-Mīzān dialihbahasakan ke dalam bahasa Arab oleh Abbas Tarjuman,
cet 1 (Libanon; Mu’assasah al-A’lâmî Li al-Mathbû’at, 1985), 7.
37
Muhammad ‘Abd al-‘Azhim al-Zarānī, Manāhil al-‘Irfān Fī ‘Ulūm al-Qur’ān, vol. 2 (Beirut;
Dār al-Fikr, tth), 10-69.
38
Ilyas Klantre, Dalīl al-Mīzān, 7.

45| MUMTAZ: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Keislaman, Vol. 4, No. 01, 2020, 30-60
Nur Arfiyah Febriani, Alfi Sachdeva Aziz Waktar, Badru Tamam

mengkomparatifkan kajian agama-agama, Ṭabāṭabā’ī juga mengutip beberapa kitab-


kitab agama lain, seperti Taurat, Injil, Veda, dan lainnya.39
Mengenai corak penafsiran dalam kitab tafsir ini bisa dikatakan sebagai Tafsir
Falsafi. Karena di dalam tafsir tersebut banyak dikemukakan filsafat yang dijadikan
salah satu penunjang dalam menafsirkan al-Qur’an. Pengertian tafsir falsafi adalah
upaya penafsiran al-Qur’an yang dikaitkan dengan persoalan-persoalan filsafat. Ada
juga yang mendefisnisikan tafsir falsafi sebagai penafsiran ayat-ayat al-Qur’an
dengan menggunakan teori-teori filsafat. Pada saat ilmu-ilmu agama dan sain
mengalami kemajuan, kebudayaan-kebudayaan Islam berkembang di wilayah-
wilayah kekuasaan Islam dan penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab
digalakkan pada masa khalifah ‘Abbasiyah, diantara buku-buku yang
diterjemahkan adalah buku-buku karangan para filosof seperti Aristoteles dan Plato.
Pada perkembangan selanjutnya para ulama tafsir mencoba memahami al-Qur’an
dengan metode filsafat tersebut, maka lahirlah metode falsafi.
  Di atas penjelasan itu semua, ada juga yang menggolongkan model tafsir
Ṭabāṭabā’ī sebagai tafsir Syi’i, ini karena penulisnya beraliran Syi’ah dan ketika
menafsirkan al-Quran Ṭabāṭabā’ī banyak merujuk pada paham Syi’ah dan ulama-
ulama Syi’ah, khususnya perkataan atau ilham dari Imam dua belas. Meski begitu,
Ṭabāṭabā’ī juga mengambil pendapat-pendapat Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah
sebagai penyeimbang dalam menafsirkan al-Qur’an.

3. Ekologi dalam pandangan Ṭabārī dan Ṭabāṭabā’ī


Manusia dan alam, bagai dua sisi mata uang yang saling terikat satu sama
lain. Alam raya sebagai sumber kehidupan, manusia sebagai penjaga kelestarian
yang memakmurkannya. Fungsi manusia sebagai khalifah, salah satunya adalah
sebagai konservator bumi yang memakmurkannya.
Ahmad Thib Raya memberikan penjelasan tentang kata khalifah (‫ )خليفة‬yang
disebut dalam 2 (dua) konteks di dalam al-Quran. Pertama, dalam konteks
pembicaraan Nabi Adam as. (Q.S. al-Baqarah [2]: 30). Konteks ayat ini menunjukkan
bahwa manusia yang dijadikan khalifah di atas bumi ini bertugas
memakmurkannya atau membangunnya sesuai dengan konsep yang ditetapkan
oleh Allah sebagai yang menugaskannya. Kedua, di dalam konteks pembicaraan
Nabi Daud as. (Q.S. Ṣād [38]: 26), konteks ayat ini menunjukkan bahwa Daud
menjadi khalifah (‫ )خليفة‬yang diberi tugas mengelola wilayah yang terbatas.
Melihat penggunaan kata khalifah (‫ )خليفة‬di dalam kedua ayat di atas, dapat
dipahami bahwa kata ini di dalam al-Quran menunjuk kepada siapa yang diberi
kekuasaan untuk mengelola suatu wilayah di bumi. Dalam mengelola wilayah
kekuasaan itu, seorang khalifah tidak boleh berbuat sewenang-wenang atau
mengikuti hawa nafsunya (Q.S. Ṣād [38]: 26 dan Q.S. Ṭāhā [20]: 16).

39
Mengenai rujukan-rujukan Ṭabāṭabā’ī terhadap kitab tafsir, kamus, hadis, kitab-kitab
agama lainnya, lihat ‘Ali al-Awsiy, Al- Ṭabāṭabā’ī Wa Manhajuhu fi Tafsīrihi al-Mīzān, 49-70.

MUMTAZ: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Keislaman, Vol. 4, No. 01, 2020, 30-60 | 46
Nur Arfiyah Febriani, Alfi Sachdeva Aziz Waktar, Badru Tamam

Ahmad Thib Raya menambahkan penjelasannya bahwa, kekhalifahan


mengharuskan empat sisi yang saling berkaitan, yaitu: 1) pemberi tugas, yaitu Allah
swt.; 2) penerima tugas, yaitu manusia, baik sebagai perorangan maupun kelompok;
3) tempat atau lingkungan tempat manusia hidup; dan 4) materi-materi penugasan
yang harus dilaksanakan. Tugas kekhalifan yang diberikan itu tidak akan dinilai
berhasil apabila materi-materi penugasan tidak dilaksanakan atau apabila kaitan di
antara penerima tugas dengan lingkungannya tidak diperhatikan. Selanjutnya, agar
tugas itu berhasil, Allah memperlengkapi penerima tugas itu dengan potensi-
potensi tertentu, antara lain: 1) kemampuan untuk mengetahui sifat, fungsi dan
kegunaan segala macam benda (Q.S. al-Baqarah [2]: 31), dan 2) ditundukkannya
bumi, langit dan segala isinya oleh Allah swt. kepada khalifah itu (al-Jāthiyah [45]:
3). Untuk menjadi khalifah, al-Quran menjelaskan indikator khalifah dengan sifat
terpuji yang selayaknya dimiliki, yaitu: 1) kemampuan untuk menunjukkan jalan
kebahagiaan kepada yang dipimpinnya; 2) akhlak yang mulia; 3) iman yang kuat; 4)
taat beribadah; 5) sifat sabar; 6) sifat adil; dan 7) sifat tidak memperturutkan hawa
nafsu. Dari sini dapat dipahami bahwa, siapa yang sifatnya tidak sesuai dengan
deskripsi al-Quran, maka Ia tidak layak menyandang gelar sebagai khalifah di
bumi.40
Dengan demikian, paradigma antroposentris yang menjadi salah satu faktor
penyebab manusia mengeksploitasi sumber daya alam dengan kurang bijak
sebagaimana diungkap di awal, berseberangan dengan konsep manusia sebagai
khalifah yang meniscayakan interaksi harmonis antara manusia dengan lingkungan.
Manusia diperbolehkan menggunakan sumberdaya alam, namun tetap harus dapat
melakukan konservasi dan menghormati hak regenerasi makhluk ciptaan Tuhan.
Oleh sebab itu, meski manusia diciptakan untuk menjadi khalifah di bumi, namun
tidak lantas mengabsahkan manusia bertindak semena-mena terhadap bumi,
apalagi hanya dengan dalih demi kepentingan ekonomi. Seyogyanya konsep
kekhalifan manusia di bumi yang diungkap di atas juga harus dipahami betul dalam
arti sebagai pelindung dan pemakmur bumi. Demikian juga manusia harus
dipahami dimensi spiritual yang selalu ditekankan dalam setiap konsep yang tergali
dari dalam al-Quran, termasuk tentang kekhalifahan dan ekologi. Artinya, dimensi
responbilitas manusia dalam mengatur bumi, adalah sebagai salah satu bentuk
aplikasi ibadah kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Di antara isyarat ayat al-Quran yang mendeskripsikan tentang pola interaksi
antara manusia dan alam sebagai pelajaran bagi manusia yang mau berfikir,
terdapat dalam surat al-Jāthiyah [45]: 12-13 yang berbunyi:
         
         
           
41
 

40
Ahmad Thib Raya, “Khalifah”, dalam: Ensiklopedi al-Quran, cet. I, vol. 2 (Jakarta, Lentera
Hati, 2007), 451-453.

47| MUMTAZ: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Keislaman, Vol. 4, No. 01, 2020, 30-60
Nur Arfiyah Febriani, Alfi Sachdeva Aziz Waktar, Badru Tamam

Ṭabārī menafsirkan ayat di atas dengan menekankan aspek “syukur”


manusia kepada Allah atas segala bentuk kenikmatan yang Allah ciptakan bagi
manusia, alam yang dapat dimanfaatkan sumber dayanya. Bentuk syukur manusia
kepada nikmat Allah ditunjukkan dengan taat beribadah dan tunduk pada segala
ketentuan Allah dan menjauhi segala larangan-Nya, dengan kata kunci “ikhlas”.
Pengejewantahan bentuk syukur ini, untuk menjaga berbagai nikmat itu agar terus
konstan.42
Semetara Ṭabāṭabā’ī menafsirkan kedua ayat di atas dalam dengan
menyatakan bahwa, penundukkan alam raya ini untuk dapat dimanfaatkan
manusia justeru untuk menambah keimanan manusia akan Kemahabesaran Allah
dalam mengatur alam raya. Manusia dapat menaklukkan alam raya menggunakan
apa yang ada di alam raya karena izin dari Allah. Alam raya juga sebagai sarana dan
obyek manusia untuk berfikir dan menemukan ilmu pengetahuan di dalamnya. 43
Sedangkan menurut Muhammad Quraish Shihab, penundukkan langit dan bumi
dipahami dalam arti, semua bagian-bagian alam yang terjangkau dan berjalan atas
dasar satu sistem yang pasti, kait berkait dan dalam bentuk konsisten. Allah
menetapkan hal tersebut dan dari saat ke saat mengilhami manusia tentang
pengetahuan fenomena alam yang dapat mereka manfaatkan untuk kemaslahatan
dan kenyamanan hidup manusia.44 Namun tentu saja, dari ayat ini juga dapat
dipahami bahwa penundukkan alam raya bukan hanya untuk sebatas dimanfaatkan
manusia saja, akan tetapi juga sebagai bentuk tanggung jawab manusia sebagai
konservatornya.
Interaksi harmonis antara manusia dengan dirinya sendiri, dengan sesama
manusia, alam dan Tuhan yang dideskripsikan al-Qur’an, jelas mengindikasikan
adanya keterkaitan antara Tuhan, manusia, dan alam. Isyarat itu antara lain dapat
dilihat pada ayat yang berbunyi:
            
           
45
      

41
Artinya: 12. Allah-lah yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal dapat berlayar
padanya dengan seizin-Nya dan supaya kamu dapat mencari karunia -Nya dan Mudah-mudahan kamu
bersyukur. 13. Dan dia Telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya,
(sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
(kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir. (Q.S. al-Jāthiyah [45]: 13).
42
Abī Ja‘far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī al-Musammā Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl
al-Qur’ān, juz. XI (Beirūt: Dār al-Kutb al-‘Ilmiyyah, 1999 M/ 1420 H), 255.
43
Sayyid Muhammad Husain al-Ṭabāṭabā’ī, al-Mīzan fī Tafsīr al-Qur’ān, juz. XVIII (Beirut:
Mu’assasah al-A‘lamī li al-Mathbū‘āt, 1417 -1997), 164-165.
44
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. 13, 41.
45
Artinya: Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk
(kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir
dan batin. dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau
petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan. (Q.S. Luqmān [31]: 20).

MUMTAZ: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Keislaman, Vol. 4, No. 01, 2020, 30-60 | 48
Nur Arfiyah Febriani, Alfi Sachdeva Aziz Waktar, Badru Tamam

Dalam tafsirnya, Ṭabārī menjelaskan bahwa, Allah mengajarkan kepada


manusia: apakah manusia tidak memperhatikan segala nikmat Allah yang berada di
langit berupa; Bulan, Matahari, gugusan Bintang dan Awan, serta nikmat Allah
yang terhampar di Bumi berupa; binatang, pohon, air laut dan segala manfaat yang
dapat di ambil dari berbaagai sumberdaya alam, semuanya untuk kebaikan hidup
manusia, untuk dapat bertahan hidup dengan berbagai potensinya dan saling
member manfaat satu sama lain. Untuk nikmat yang Allah berikan secara yang
zhāhir (nampak), Thabary menjelaskan nikmat zhāhir itu berupa anggota tubuh
dengan segala fungsinya, adapun nikmat Allah yang bāthin (tersembunyi) adalah
nikmat hati yang dengaanya manusia mengecap manisnya iman dan kebahagiaan
memiliki ilmu pengetahuan.46 Hal senada dingkapkan Ṭabāṭabā’ī dengan
menjelaskan dalam tafsirnya bahwa, Allah menundukkan Langit dan Bumi bagi
manusia, yaitu bahwa manusia dapat melihat dan mempelajari keduanya dengan
berbagai ekosistem yang terdapat di antara keduanya, keseluruhan ekosistem itu
sedemikian teratur, dan manusia diberi seprangkat potensi untuk dapat
memahaminya.47
Jika ditelisik lebih lanjut tentang ayat ini, ternyata ada makna luar biasa dari
kata yang dipilih Allah dalam mengungkapkan interkoneksi antara manusia dengan
Allah, alam dan sesama manusia. Kata (‫خ َر‬ َّ ‫ ) َس‬sakhkhara, berarti menundukkan sesuatu
sehingga melakukan apa yang dikehendaki oleh yang menundukkannya. Persis seperti pena
yang ditundukkan seorang penulis. Ia akan menulis sesuai kehendak penulisnya.
Yang menundukkan alam raya adalah Allah SWT, penundukannya untuk manusia.
Allah menundukkan dengan menciptakan hukum-hukum alam, lalu manusia
diilhami-Nya pengetahuan sehingga mampu menggunakan hukum-hukum alam itu
untuk menjadikan alam dapat melakukan apa yang dikehendaki manusia atas izin
Allah SWT.
Selanjutnya, karena penundukkan Allah itu dimaksudkan untuk kepentingan
manusia, maka Allah memberikan kewenangan dan kemampuan untuk mengelola
alam raya. Dia Yang Maha Kuasa memerintahkan manusia untuk mengelolanya
sesuai “konsep” yang dikehendaki-Nya. Namun dalam saat yang sama, “konsep”
itu merupakan ujian bagi manusia. Dia dapat melaksanakannya dan untuk itu dia
mendapat ganjaran, atau mengabaikannya dan ini mengakibatkan kesengsaraan
paling tidak di akhirat nanti. Jadi sekali lagi yang menundukkan adalah Allah,
bukan manusia.
Kata (‫ )أسبغ‬asbagha terambil dari kata (‫ )سبغ‬sabagha yang pada mulanya berarti
sempurna dan luas. Yang dimaksud disini adalah nikmat-nikmat yang pada
hakikatnya sangat luas mencakupi bahkan melimpah melebihi apa yang dibutuhkan
manusia, jika mereka mau menggunakannya secara adil dan benar. Memang, boleh
jadi kini terasa bahwa nikmat Allah terbatas, tetapi sebab utamanya adalah

46
Abī Ja‘far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, juz. X, 217-218.
47
Sayyid Muhammad Husain al-Ṭabāṭabā’ī, al-Mīzan fī Tafsīr al-Qur’ān juz. XVI, 233.

49| MUMTAZ: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Keislaman, Vol. 4, No. 01, 2020, 30-60
Nur Arfiyah Febriani, Alfi Sachdeva Aziz Waktar, Badru Tamam

kepincangan distribusinya serta penggunaannya secara tidak benar. 48


Penafsiran di atas, merupakan penjelasan yang jika dipahami akan membuat
manusia merubah pola pikirnya, dalam etika bisnisnya yang bersumber dari alam.
Dari ayat ini, ada nilai spiritual yang di tekankan dalam ekonomi Islam, karena ayat
ini menjelaskan bagaimana seharusnya manusia dengan bijak menggunakan
kemudahan penggunaan sumber daya alam yang ada, sekaligus memperhitungkan
dampaknya pada masa kini dan yang akan datang. Artinya, harus ada perhitungan
ekonomis yang juga harus dipersiapkan dan diwariskan untuk generasi manusia
selanjutnya.49 Ini bisa jadi juga merupakan bentuk ungkapan terimakasih manusia
kepada Allah atas kemudahan dalam penggunaan sumber daya alam, yaitu dengan
menjaga kelestarian alam, sekaligus membuka kesadaran manusia akan konsekuensi
yang harus di pertanggung jawabkannya kelak (Q.S. al-Zalzalah [99]: 7-8).
Dalam bingkai Islam Yūsuf al-Qarḍāwī menjelaskan, prinsip sederhana
hubungan manusia dengan lingkungan serta dengan seluruh jagat raya adalah
upaya untuk menumbuhkan rasa cinta pada sekelilingnya yang terdiri makhluk
yang hidup dan makhluk yang dianggap benda mati. Nabi Muhammad SAW telah
memberikan contoh penjelasan tentang rasa sayang dan kasih untuk semua
makhluk dengan ungkapan yang sangat indah, yaitu lewat sebuah hadis yang beliau
ucapkan ketika baru kembali dari perang Tabuk dan hampir mendekati Madinah,
seraya menunjuk ke gunung Uhud, Nabi bersabda: “Ini adalah Thabah dan ini
Uhud, gunung yang mencintai kita dan kita juga mencintainya.”50
Dari ungkapan Nabi ini dapat dipahami, bahwa Nabi sangat menghargai
eksistensi suatu makhluk, apapun bentuknya, dalam hal ini adalah gunung.
Meskipun kebanyakan manusia memandang gunung hanya sebatas salah satu
ciptaan yang hanya diam, dianggap mati, tapi tidak dengan Rasulullah SAW. Hadis
ini mengindikasikan, bahwa gunung juga memiliki jiwa dan berbagai potensi yang
manfaatnya begitu besar bagi manusia bahkan dunia ini.51
Selain kedua pembahasan ayat di atas, pandangan Thabari dan Thabathabai
yang memiliki penafsiran senada dalam menafasirkan ayat yang berhubungan
dengan ekologi dan kepentingan ekonomi manusia, di antaranya dapat dilihat dari
salah satu contoh ayat dalam surat al-Qaṣaṣ [28]: 77. Ayat ini setidaknya

48
Disarikan dari: Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, vol. XI, 142-143.
49
Lihat tentang konsep ekonomi Islam yang ramah lingkungan dalam: Max Weber, Economy
and Society an Outline of Interpretive Sociology, vol. I (London: University of California Press, 1978), 632.
Lihat juga: Stephen Polasky, “Accounting For Nature,” Bioscience, Vol. 59, Iss. 3 (2009): 265.
50
Yūsuf al-Qarḍāwī, Ri‘āyah al-Bī’ah fī Sharī‘ah al-Islām (Kairo: Dār al-Shurūq, 1421 H/2001 M),
36. Redaksi lengkap hadis ini adalah:
‫ض َي هَّللا ُ َع ْن هُ يَقُ و ُل‬ ِ ‫ك َر‬ ٍ ‫َس بْنَ َما ِل‬ َ ‫ب أَنَّهُ َس ِم َع أَن‬ ٍ َ‫ب ب ِْن َح ْنط‬ ِ ‫يز بْنُ َع ْب ِد هَّللا ِ َح َّدثَنَا ُم َح َّم ُد بْنُ َج ْعفَ ٍر ع َْن َع ْم ِرو ب ِْن أَ ِبي َع ْم ٍرو َم وْ لَى ْال ُمطَّ ِل‬ ِ ‫َح َّدثَنَا َع ْب ُد ْال َع ِز‬
‫ار‬َ َ
‫ش‬ َ ‫أ‬ ‫م‬
َّ ُ ‫ث‬ ُ ‫ه‬ ‫ب‬
ُّ ‫ح‬ ُ
ِ َ ‫ن‬‫و‬ ‫ا‬ َ ‫ن‬ ‫ب‬
ُّ ‫ُح‬ ‫ي‬
ِ ََ ‫ل‬
ٌ ‫ب‬‫ج‬ ‫ا‬ َ
‫ذ‬ َ ‫ه‬ ‫ال‬
َ َ ‫ق‬ ٌ
‫د‬ ‫ح‬
ُ ُ ‫أ‬ ُ ‫ه‬َ ‫ل‬ ‫َا‬
‫د‬ ‫ب‬‫و‬ ‫ًا‬‫ع‬ ‫اج‬
ََ ِ َ َ َ َ ِ ‫ر‬ ‫م‬ َّ ‫ل‬ ‫س‬ ‫و‬ ‫ه‬ ْ
‫ي‬ َ ‫ل‬ ‫ع‬
َ ُ ‫هَّللا‬ ‫ى‬ َّ ‫ل‬ ‫ص‬ ‫ي‬
َ ُّ ِ َ ِ َّ ‫ب‬َّ ‫ن‬‫ال‬ ‫م‬ ‫د‬َ ‫ق‬ ‫ا‬ ‫م‬َ ‫ل‬َ ‫ف‬ ُ ‫ه‬ ‫م‬ُ ُ
‫د‬ ْ
‫خ‬ َ ‫أ‬ ‫ر‬
ََ ‫ب‬‫ي‬ْ َ‫خ‬ ‫ى‬ َ ‫ل‬ ‫إ‬ ‫م‬َّ
ِ َ َ َ ِ ‫ل‬ ‫س‬ ‫و‬ ‫ه‬ ْ
‫ي‬ َ ‫ل‬‫ع‬َ ُ ‫هَّللا‬ ‫ى‬ َّ ‫ل‬ ‫ص‬ ‫هَّللا‬
َ ِ ِ ‫ت َم َع َرس‬ ‫ُول‬ ُ ْ‫خَ َرج‬
‫اعنَا َو ُم ِّدنَا‬
ِ ‫ص‬
َ ‫ي‬ ‫ف‬
ِ ‫َا‬ ‫ن‬ َ ‫ل‬ ‫ك‬ْ ‫ار‬ َ ‫ب‬ ‫م‬
َّ ُ ‫ه‬َّ ‫الل‬ َ ‫ة‬ َّ
‫ك‬ ‫م‬ ‫م‬ ‫ي‬‫ه‬ ‫ا‬
َ َ ِ ِ ِ ِ ‫ْر‬َ ‫ب‬ ‫إ‬ ‫يم‬ ‫ر‬ ْ‫َح‬ ‫ت‬‫ك‬َ ‫ا‬ َ ‫ه‬ ْ
‫ي‬ َ ‫ت‬َ ‫ب‬ ‫اَل‬ ‫ي‬
َ‫ْن‬ َ ‫ب‬ ‫ا‬ ‫م‬
َ ُ ‫م‬ ِّ‫ر‬ ‫ح‬
َ ُ ‫أ‬ ‫ي‬ ِّ ‫ن‬ِ ‫إ‬ ‫م‬
َّ ُ ‫ه‬َّ ‫الل‬ ‫ال‬َ َ ‫ق‬ ‫ة‬ َ
ِ َِ‫ن‬‫ي‬‫د‬ ‫م‬ ْ
‫ال‬ ‫ى‬ َ‫ِبيَ ِد ِه ِإل‬
ِ
Lihat: hadis riwayat Bukhārī, hadis no. 2675, Kitāb: al-Jihād wa al-Siyār, Bab: Faḍl al-Khidmah fī
al-Ghazw. CD Room: Mausū‘ah al-Ḥadīth al-Sharīf, Kutub al-Tis‘ah.
51
Lihat pembahasan ini lebih lanjut dalam: Nur Arfiyah Febriani, Ekologi Berwawasan Gender,
77.

MUMTAZ: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Keislaman, Vol. 4, No. 01, 2020, 30-60 | 50
Nur Arfiyah Febriani, Alfi Sachdeva Aziz Waktar, Badru Tamam

mendeskripsikan empat etika ekonomi yang diisyaratkan di dalam al-Qur’an, yaitu:


(1) berlaku jujur dan adil, (2) dilarang merusak alam, (3) bersedekah, dan (4)
Bersyukur, dapat dilihat indikasinya di dalam ayat:
            
              
52
  
Ṭabārī menjelaskan ayat di atas dengan mengutip beberapa hadis, di
antaranya: 1) hadis riwayat ‘Āli ra yang menjelaskan makna “wa lā tansa nashībaka
min al-dunyā”, dengan ungkapan: jangan meninggalkan pekerjaan, lakukan
pekerjaan di dunia karena Allah; dan 2) hadis riwayat Ibn Wakī’, bahwa pekerjaan
manusia di dunia adalah ladang untuk akhirat kelak. Thabary menjelaskan, inti ayat
di atas adalah manusia dilarang meninggalkan mencari rizki yang halal di dunia,
untuk melaksanakan ritual ajaran agama.53
Menarik untuk memahami penafsiran Ṭabāṭabā’ī dalam ayat ini.
Menurutnya, ayat ini mengajarkan manusia untuk menyeimbangkan usahanya
untuk meraih kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat dengan segala potensi dan
kesempatan yang telah diberikan Allah dalam hidupnya. Namun pada tahap
dimana manusia mampu berdikari, mandiri, dan memiliki kekuatan atau
kekuasaan, manusia justeru harus menggunakan segala kemampuannya itu untuk
menjaga kestabilan ekosistem bumi, bukan merusaknya. Ini karena Allah
menciptakan alam raya sedemikian indah dan teratur demi kebahagiaan hidup
manusia, maka manusia dilarang untuk melakukan bentuk kerusakan apapun, baik
itu dalam kerusakan lingkungan dan kerusakan hubungan sosial dan spiritual. 54
Ayat di atas mengajarkan tentang pola relasi harmonis antara Allah, alam dan
manusia.
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa terdapat tuntunan praktis bagi
manusia dalam menjalani skenarionya di dunia ini. Antara ibadah kepada Allah dan
berjuang sekuat tenaga dan pikiran dalam mencari kehidupan yang layak justru
adalah hal yang perintahkan. Dengan catatan bahwa pencarian ini dalam batas yang
dibenarkan Allah untuk memperoleh harta dan hiasan duniawi.
Selanjutnya, dari apa yang dianugerahkan Allah dari hasil yang didapatkan
manusia, jangan membuat manusia lupa dengan kebahagiaan negeri akhirat melalui
infak dan penggunaannya sesuai dengan ajaran Allah. Manusia juga diperintahkan
untuk berbuat baik kepada semua pihak sebagaimana Allah telah berbuat baik
kepadanya, dengan aneka nikmat-Nya. Hal penting lainnya yang dapat dipahami

52
Artinya: Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka)
bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (Q.S. al-Qaṣaṣ [28]: 77).
53
Abī Ja‘far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, juz. X, 105-106.
54
Sayyid Muhammad Husain al-Ṭabāṭabā’ī, al-Mīzan fī Tafsīr al-Qur’ān, juz. XVI, 77.

51| MUMTAZ: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Keislaman, Vol. 4, No. 01, 2020, 30-60
Nur Arfiyah Febriani, Alfi Sachdeva Aziz Waktar, Badru Tamam

dari ayat ini adalah, manusia dilarang untuk berbuat kerusakan dalam bentuk
apapun di bagian bumi manapun di bumi ini, karena Allah tidak menyukainya.55
al-Ṭabārī menyatakan bahwa, ada pelajaran yang dapat diambil manusia dari
nasihat yang diberikan sebelumnya kepada kaum Qarun pada ayat di atas, yaitu
agar manusia mencari harta benda dengan cara yang baik untuk tabungannya kelak
di akhirat dengan mengamalkan/menginfakkan apa yang didapatkannya tersebut,
dengan tunduk kepada perintah Allah di dunia. Firman-Nya: ( ‫وال تنس نص يبك من‬
‫)الدنيا‬, agar manusia tidak melupakan kebutuhan hidupnya di dunia, dan jangan
lupa untuk beramal untuk tabungan di akhirat, manusia harus bekerja dengan baik
sekaligus mempersiapkan diri untuk mendapatkan hasil akhir dari apa yang
dikerjakannya kelak di akhirat dari Allah.
Sementara ayat yang berbunyi (‫)وأحسن كما أحسن هللا إليك‬, dipahami dalam arti
bahwa: perintah bagi manusia untuk berbuat baik selama hidup di dunia, di
antaranya dapat dilakukan dengan cara menafkahkan apa yang dimiliki dari
karunia yang dianugerahkan Allah kepadanya, sebagaimana Allah berbuat baik
kepada manusia dengan memberikan keluasan rezeki dan memberikan kebahagiaan
kepada manusia dengan rezeki tersebut. Manusia dilarang berbuat kerusakan di
muka bumi dengan melakukan perbuatan yang Allah haramkan dalam etika
mencari rezeki, dengan berbuat dosa seperti curang di antara manusia. 56
Dari pembahasan beberapa ayat yang berhubungan dengan pola interaksi
antara manusia dan lingkungan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa: ekologi
dalam perspektif Thabari dan Ṭabāṭabā’ī memiliki pemahaman yang senada, bahkan
saling melengkapi satu sama lain. Dari kedua mufassir ternama ini dapat
dirumuskan tentang konsep ekologi yang dapat dipahami dalam arti: “Ilmu yang
mempelajari tentang interaksi antara suatu orgamisme dengan organisme lainnya
dalam sebuah ekositem yang saling memberi manfaat dan terbingkai dalam satu
tujuan yang sama untuk beribadah kepada Allah”.
Dalam ayat lain Allah juga mengajarkaan kepada manusia agar taat
beribadah kepada Allah, karena Allah adalah pencipta manusia dan alam raya:
        
         
           
57
    
Ṭabārī berpendapat ayat di atas terkait tentang 2 golongan manusia, yaitu
golongan yang tidak menerima ajaran Allah dan golongan orang munafik yang

55
Disarikan dari: Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-
Qur’an, vol. 10, 405.
56
Sayyid Muhammad Ḥusain al-Ṭabāṭabā’ī, al-Mīzan fī Tafsīr al-Qur’ān, juz. X, 105-106.
57
Artinya: Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang
sebelummu, agar kamu bertakwa, 21. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit
sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala
buah-buahan sebagai rizki untukmu; karena itu janganlah kamu Mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah,
Padahal kamu mengetahui. 22. (Q.S. al-Baqarah [2]: 21-22).

MUMTAZ: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Keislaman, Vol. 4, No. 01, 2020, 30-60 | 52
Nur Arfiyah Febriani, Alfi Sachdeva Aziz Waktar, Badru Tamam

manis di lisan namun dalam hatinya mengingkari ajaran Allah. Kedua jenis manusia
ini sangat buruk, karena mereka mengingkari Allah sebagai Tuhan. Terkait dengan
bukti kekuasaan Allah yang menciptakan bumi sebagai hamparan, Allah juga telah
menurunkan hujan dan karena hujan muncullah aneka tumbuhan yang
menghasilkan aneka buah-buahan yang menjadi rizki dan nutrisi bagi manusia.
Semua aneka makanan yang ada di bumi adalah ciptaan Allah, bukan ciptaan
tandingan-tandingan Allah yaitu berhala yang disembah oleh orang-orang kafir. 58
Ṭabāṭabā’ī menafsirkan ayat diatas dengan ungkapan bahwa, sehebat apapun
manusia, pada dasarnya pengetahuan manusia sangat terbatas. Oleh sebab itu,
manusia tidak patut mengadakan sekutu bagi Allah, jika manusia menyadari bahwa
Allah yang telah menciptakan apa yang ada di langit dan di bumi, maka manusia
akan menyadari bahwa Allah juga telah mengatur dan mengelola sistem dalam alam
semesta ini sebagai rizki dan sebagai sumber daya alam yang menjamin
kelangsungan eksistensi hidup manusia. 59 Menariknya, Ṭabāṭabā’ī juga menjelaskan
kiadah umum sebab akibat dalam hukum alam. Di mana menurutnya, sesuatu
terjadi di alam raya pasti karena sebabnya. Peristiwa kebakaran, pasti diakibatkan
api, dst. Demikian manusia dengan segala keterbatasan tidak dapat terlepas dari
hukum sebab akibat dalam kehidupannya. Jika terjadi penyimpangan dari fungsi
utamanya, maka akan terjadi kekisruhan dan aneka kerusakan di bumi. 60
Ada hikmah yang dapat diambil dibalik rentetan penyebutan obyek ciptaan
Allah pada ayat 21-22 dari surat al-Baqarah ini. Pertama, Allah menyebutkan
penciptaan diri manusia; Kedua) berasal dari kedua orang tua; Ketiga penciptaan
bumi sebagai daratan yang menghampar; Keempat langit sebagai atap yang
dipelihara dan kelima, hasil yang didapatkan dari proses perkawinan langit dan
bumi, berupa berbagai macam tumbuhan.
Sebab runtutan dari kelima poin di atas menurutnya, mengandung beberapa
alasan. Pertama, bahwa yang paling diketahui/dikenal oleh manusia adalah dirinya
sendiri. Oleh sebab itu, penyebutan tentang diri manusia secara pribadi lebih
ditekankan di awal. Kedua, yaitu orang tua. Karena dari perkawinan kedua orang
tua, manusia dapat terlahir ke dunia, ada kedekatan emosional antara anak dan
orangtua yang akan selalu dipujanya. Ketiga, bumi sebagai tempat tinggal manusia.
Pada umumnya, manusia jauh mengenal bumi lebih baik daripada langit. Keempat,
langit sebagai atap bumi.61 Biasanya, manusia lebih mengenal yang lebih dekat
(bumi) baru kemudian mempelajari selainnya yang lebih jauh (langit). Sedangkan
yang kelima, didahulukannya penyebutan langit daripada bumi, karena langit
memiliki peran penting dalam menurunkan air hujan agar dapat membasahi bumi,
58
Abī Ja‘far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, juz. I, 195-198.
59
Sayyid Muhammad Ḥusain al- Ṭabāṭabā’ī, al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur’ān, juz. I,123.
60
Sayyid Muhammad Ḥusain al- Ṭabāṭabā’ī, al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur’ān juz. I, 159.
61
Secara bahasa, kata al-samā’ berarti segala sesuatu yang berada di atas yang menaungi di
bawahnya. Sedangkan secara istilah, al-samā’ adalah angkasa luas yang tinggi di atas bumi, berfungsi
sebagai pembungkus bumi dan terdiri dari beberapa lapis gas. Lihat: Zaghlūl al-Najjār, “al-Samā’
Laisat Firāghan kamā kāna Yu’taqad,” al-Mujāhid 22, no 253 (Jumādī al-Ūlā 1422 H/ Agustus 2001), 10.

53| MUMTAZ: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Keislaman, Vol. 4, No. 01, 2020, 30-60
Nur Arfiyah Febriani, Alfi Sachdeva Aziz Waktar, Badru Tamam

yang akhirnya dari air ini akan menumbuhkan berbagai macam spesies tumbuhan
sebagai bahan makanan dan kebutuhan hidup manusia.62
Dari ayat ini, dapat ditangkap adanya dekripsi tentang interaksi harmonis
dalam ekologi manusia dan ekologi alam yang diisyaratkan al-Qur’an. Rentetan dari
penyebutan jenis ciptaan Allah ini, mengajak manusia untuk dapat lebih mengenal
dirinya sendiri, orang tua sebagai orang terdekat yang berjasa melahirkannya di
dunia, bumi sebagai tempat tinggal mereka, langit sebagai atap hidup di dunia, serta
manfaat yang dapat dinikmati manusia dari proses perkawinan antara langit dan
bumi berupa berbagai macam jenis tumbuhan yang menghasilkan buah dan
makanan.
Sebagai satu kesatuan dari ekosistem yang tidak terpisahkan di bumi ini, al-
Qur’an mengajak manusia untuk mengenal dirinya, orangtua, bumi, langit dan
berbagai nikmat yang diraih dari perkawinan langit dan bumi, agar manusia
menyadari akan kebesaran Allah dalam menciptakan segala sesuatu. Salah satu
pelajaran terpenting lain dari perpaduan ayat ini adalah, manusia mengetahui
bahwa dari proses perkawinan dari kedua orang tua menghasilkan dirinya,
sementara perkawinan langit dan bumi menghasilkan berbagai macam tumbuhan di
bumi.63
Tidak hanya sampai di situ kajian tentang ekologi dalam Islam, al-Quran juga
menghormati semangat kebersamaan dalam usaha manusia memperbaiki tatanan
lingkungan yang rusak. Rekomendasi konservasi lingkungan ini, dapat ditemukan
dalam sejumlah ayat seperti:
Ÿwur (#r߉šøÿè? †Îû ÇÚö‘F{$# y‰÷èt/ $ygÅs»n=ô¹Î) çnqãã÷Š$#ur $]ùöqyz $·èyJsÛur 4 ¨bÎ)
64
|MuH÷qu‘ «!$# Ò=ƒÌs% šÆÏiB tûüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇÎÏÈ
Ṭabārī menafsirkan larangan berbuat kerusakan di bumi, dengan mengutip
hadis riwayat Abu Ja’far yang menjelaskan larangan menyukutukan Allah di bumi
dan berbuat maksiyat/yang dilarang Allah di muka bumi. Itulah yang dimaksud
dengan dilarang berbuat kerusakan di bumi. Sedangkan redaksi “setelah Allah
memperbaikinya” yaitu memperbaiki bumi untuk orang yang taat, dengan
mengutus para Rasul dengan mengajak kepada kebenaran dengan argumen-
argumen yang mereka butuhkan. 65
Bentuk larangan dari berbuat kerusakan di bumi dalam ayat ini bersifat
umum, yang dapat dipahami dalam arti aneka bentuk kerusakan termasuk

62
Muḥammad al-Rāzī Fakhr al-Dīn, Tafsīr Fakhr al-Rāzī al-Mushtahr bi al-Tafsīr al-Kabīr wa
Mafātīh al-Ghaib, juz. I (Beirūt: Dār al-Fikr, 1415 H/1995 M), 112.
63
Nur Arfiyah Febriani, Ekologi Berwawasan Gender, 190.
64
Artinya: Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya
dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan).
Sesungguhnya rahmat Allah Amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. (Q.S. Al-A‘rāf [7]: 56).
Sayyid Quṭb, menafsirkan kata khauf dengan takut akan murka Allah dengan siksa-Nya, sedangkan
kata ṭama’ ditafsirkannya dengan mengharap rida-Nya dan harapan dikabulkan permohonannya.
Lihat: Sayyid Qutub, Fī Ẓilāl al-Qur’ān, juz. 3, 1298.
65
Abī Ja‘far Muḥammad Ibn Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, juz. V, 515.

MUMTAZ: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Keislaman, Vol. 4, No. 01, 2020, 30-60 | 54
Nur Arfiyah Febriani, Alfi Sachdeva Aziz Waktar, Badru Tamam

kerusakan lingkungan yang dapat mempengaruhi kenyamanan hidup manusia dan


ekosistemnya.
Sementara Ṭabāṭabā’ī dalam menafsirkan ayat di atas, mengutip kitab al-Kafi
karangan Abu Ja’far Muhammad Ibn Ya’qub al-Kulayni yang menyertakan hadis
riwayat Maisir dari Abi Ja’far as tentang penjelasan ayat di atas: sesungguhnya bumi
telah rusak, lalu Allah menghidupkannya disebabkan kehadiran Nabinya, oleh
sebab itu manusia dilarang merusak lagi setelah Allah memperbaikinya. Ṭabāṭabā’ī
juga mengutip Al-Suyuṭī dalam al-Durur al-Manthūr yang mengutip hadis riwayat
Imam Bukhari dan muslim tentang tafsiran Rasulullah dalam ayat di atas,
Rasulullah bersabda yang artinya: Allah mengutusku seperti air yang banyak
menimpa tanah kemudian karena air itu tumbuhlah aneka pepohonan yang rimbun.
Allah menyimpan air itu di tanah, air itu bisa digunakan untuk minum, lahan
pertanian dan kebutuhan manusia lainnya. Perumpamaan ini adalah ajaran
Rasulullah yang diterima dan dilaksanakan oleh orang yang beriman. Namun ada
juga, tanah yang tidak menyimpan air tersebut, sehingga tidak tumbuh pepohonan,
ini adalah perumpamaan bagi manusia yang tidak mau menerima ajaran Rasulullah.
Begitulah manusia dapat mengambil pelajaran dari kehadiran Rasulullah dan ilmu
yang dibawanya untuk kemaslahatan hidup manusia. 66
Analogi dari penjelasan Rasulullah ini, mengajarkan manusia agar menjadi
tanah yang aktif dan produktif. Aktif dalam menyerap ilmu pengetahuan dan
produktif dalam mengaplikasikan ajaran Rasulullah tersebut. Ini menjadi ajaran
tentang implikasi penafsiran dari pemahaman teks sebagaimana diungkap Gracia.
Muslim sejati, seperti tanah yang mampu memberi manfaat dengan menjadi media
tanam yang menumbuhkan aneka tumbuhan dan aneka hasilnya. Tanah yang
produktif dan membahagiakan siapa yang berinteraksi dengannya.
Idealnya, manusia baik laki-laki dan perempuan diajak al-Quran untuk
menjadi manusia yang dapat memberi manfaat dalam kehidupannya dan
mengemban amanah konservasi/pelestarian dan pemakmuran lingkungan.
Pandangan senada juga diungkap oleh Sayyid Quṭb menafsirkan ayat di atas
dengan ungkapan bahwa, perintah Allah kepada manusia baik laki-laki dan
perempuan untuk berdoa dengan khusū’ hanya karena Allah dan dengan harapan
penuh untuk dikabulkan, selain itu manusia dilarang untuk melawan perintah
Allah, larangan ini juga beriringan dengan larangan Allah agar manusia jangan
merusak bumi dengan ‘hawa nafsu’nya.67
Allah memberikan hidayah-Nya kepada pribadi manusia yang taḍarru’

66
Sayyid Muhammad Ḥusain al- Ṭabāṭabā’ī, al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur’ān , juz. V, 176.
67
Karakter yang arogan/dominatif yang merusak, dalam penelitian Febriani dikategorikan ke
dalam al-nafsu al-fujūriyyah (karakter yang tidak baik), karakter ini adalah karakter maskulin negatif.
Lihat: Nur Arfiyah Febriani, Ekologi Berwawasan Gender, 168-178.

55| MUMTAZ: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Keislaman, Vol. 4, No. 01, 2020, 30-60
Nur Arfiyah Febriani, Alfi Sachdeva Aziz Waktar, Badru Tamam

(tunduk/submisif)68 dan khusyuk (konsentrasi/konsisten)69 kepada ajaran agama


Allah. Pribadi yang memiliki karakter ini, tidak akan melakukan perbuatan apapun
yang akan dapat menimbulkan kerusakan di muka bumi. Ayat ini menekankan
dimensi ruhani, otak dan hati nurani manusia yang teraplikasi dalam bentuk
aktifitas fisik. Kesatuan empat potensi manusia ini dalam mengaplikasikan syari’at
agama Allah, menurut Sayyid Quṭb akan membawa kepada sosok pribadi yang
akan meraih kesuksesan di dunia dan akhirat.70
Inti dari penjelasan para mufassir di atas terkhusus pendapat Ṭabārī dan
Ṭabāṭabā’ī tentang ekologi adalah, bahwa dengan taskhīr/penundukkan alam raya
yang dilakukan oleh Allah bertujuan untuk: 1) Memberi stimulus dan informasi
kepada manusia agar lebih mengenal Allah melalui makhluk ciptaan-Nya di alam
raya; 2) Agar manusia bersyukur dengan merawat kelestarian dan memiliki
tanggungjawab dalam penggunaannya; 3) Menjadikan alam raya sebagai media
ilmu pengetahuan, sehingga dengan ini manusia dapat mengetahui hukum alam
(sebab akibat), agar dengan ini manusia dapat memahami bagaimana sumber daya
alam itu dapat digunakan dengan lebih mudah bagi manusia; dan 4) al-Quran
menghargai eksistensi manusia dan alam sebagai sesama makhluk ciptaan Allah,
seluruhnya beribadah kepada Allah dengan cara masing-masing.
Dari beberapa poin di atas, dapat dipahami juga bahwa penggunaan sumber
daya alam harus di atur dengan bijak. Penghargaan hak asasi alam dapat dilakukan
dengan menjaga kelestariannya dan upaya regenerasinya. Sehingga, meski manusia
menggunakannya, bukan hanya generasi dari sumber daya alam saja yang terjaga,
namun generasi manusia di masa datang juga dapat merasakan kekayaan sumber
daya alam yang dapat mereka lihat, nikmati dan pelihara pula bagi generasi-
generasi selanjutnya.

D. KESIMPULAN
Dari beberapa pembahasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa,
pertama: ekologi dalam perspektif Ṭabārī dan Ṭabāṭabā’ī memiliki pemahaman yang
senada, bahkan saling melengkapi satu sama lain. Dari kedua mufassir ternama ini
dapat dirumuskan tentang konsep ekologi yang dapat dipahami dalam arti: “Ilmu
yang mempelajari tentang pola interaksi antara alam dan manusia dalam
ekosistemnya yang saling memberi manfaat dan terbingkai dalam satu tujuan yang
sama yaitu untuk beribadah kepada Allah”.
Kedua, manusia tidak dibenarkan merusak tatanan alam. Bentuk syukur
68
Dalam kajian Febriani, karakter ini menggambarkan karakter yang berhubungan dengan
kebaikan dan menyenangkan, maka karakter ini masuk dalam kategori karakter feminin yang positif.
Lihat: Nur Arfiyah Febriani, Ekologi Berwawsan Gender, 160-161.
69
Menurut Febriani, karakter ini menggambarkan karakter yang berhubungan keagungan
dan kewibawaan, maka karakter ini masuk dalam kategori karakter maskulin yang positif. Lihat: Nur
Arfiyah Febriani, Ekologi Berwawsan Gender, 158-159.
70
Lihat: Sayyid Quṭub, Fī Ẓilāl al-Qur’an, juz. III, 1298. Lihat juga: Nur Arfiyah Febriani,
Ekologi Berwawasan Gender, 233.

MUMTAZ: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Keislaman, Vol. 4, No. 01, 2020, 30-60 | 56
Nur Arfiyah Febriani, Alfi Sachdeva Aziz Waktar, Badru Tamam

manusia kepada nikmat Allah ditunjukkan dengan taat beribadah dan tunduk pada
segala ketentuan Allah dan menjauhi segala larangan-Nya, dengan kata kunci
“ikhlas”. Pengejewantahan bentuk syukur ini, untuk menjaga berbagai nikmat yang
terhampar di alam raya agar terus konstan. Berbagai bentuk pengerusakan di bumi
adalah bentuk pembelotan manusia dan ketidakbersyukuran manusia kepada
Tuhan, sehingga alam merespon yang sama kepada manusia, dengan berbagai
bentuk bencana alam dan kerusakan lingkungan yang mengancam keselamatan jiwa
manusia.
Ketiga, sebagai sesama makhluk ciptaan Allah, Al-Quran menggambarkan
pola interaksi yang harmonis antara alam dan manusia. Hanya saja, manusia
diberikan amanah mengelola dunia beserta isinya. Untuk mengemban amanah itu,
manusia diberikan berbagai potensi/kemampuan untuk memakmurkan bumi,
bukan merusaknya tanpa batas. Untuk berbagai bentuk kerusakan di bumi yang
telah terjadi akibat ulah umat manusia di masa lalu, al-Quran mengajak manusia
untuk mengambil pelajaran dan memerintahkan manusia berupaya melakukan
konservasi. Ini, agar manusia kembali kepada ajaran Allah demi kebahagiaan dan
kenyamanan hidup manusia, dan jangan mengulang kesalahan yang sama.

DAFTAR PUSTAKA

‘Atiyyah, Mamdūḥ Ḥāmid. Innahum Yaqtulūn al-Bī’ah, Cairo: Maktabah al-Usrah,


1998.
al-Awsi, Ali. al-Ṭabāṭabā’ī wa Manhajuh fi Tafsīrih al-Mīzān, Teheran: Mu’awaniyah al-
Riasah li al-’alaqat al-Daulah, 1985.
Amsyari, Fuad. Prinsip-Prinsip Masalah Pencemaran Lingkungan, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1981.
CD Room: Mausū‘ah al-Ḥadīth al-Sharīf, Kutub al-Tis‘ah.
al-Daghāmain, Ziyād Khalīl Muḥammad, Manhajiyyah al-Baḥth fī al-Tafsīr al-Mauḍū‘ī
li al-Qur’ān al-Karīm, Amman: Dār al-Bashīr, 1955.
al-Dhahabī, Muḥammad Ḥusain, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, Qāhirah: Maktabah
Wahbah, 1413 H/1992.
Duwaidirī, Rajā’ Waḥīd. al-Bī’ah Mafhūmihā al-‘Ilm al-Mu‘āṣir wa ‘Umuqihā al-Fikrī al-
Turāthī, Damshīq: Dār al-Fikr, 2004, cet. I.
al-Farmawī, ‘Abd al-Ḥayy, al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-Maudū‘ī: Dirāsah Manhajiyah
Maudū‘iyyah, Mesir: Maktabah al-Jumhūriyyah, t.th.
Febriani, Nur Arfiyah. Ekologi Berwawasan Gender dalam Perspektif al-Quran, Bandung:
Mizan, 2014.
G. A. Yarrangton. “Plant Ecology: an Univying Model”, Journal of Ecology, 57, 254-
250, 1969.
Gassing, A. Qadir. “Perspektif Hukum Islam tentang Lingkungan Hidup”, Disertasi
di Uiniversitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2001.

57| MUMTAZ: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Keislaman, Vol. 4, No. 01, 2020, 30-60
Nur Arfiyah Febriani, Alfi Sachdeva Aziz Waktar, Badru Tamam

Gilpin, Alan (Ed), Dictionary of Environment Terms.


Hanat, Rodrik. Munhīnāt Numū al-Nabāt, Baghdād: Wizārah al-Ta‘līm al-‘Āli wa al-
Baḥth al-‘Ilmī Jāmi‘ah Baghdād, 1989 M/1410 H.
Harjasoemantri, Koesnadi. Hukum Tata Lingkungan, Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1994, cet. 11.
Ḥasan, ‘Abd al-Hādī. Ḥimāyah al-Bī’ah al-Tulūth bi al-Mubayyidāt al-Kīmāwiyyah wa
Afḍal al-Ḥulūl, Sūriyah: Dār ‘Alā’ al-Dīn, 2003, cet. III.
http://aa-den.blogspot.com/2009/10/metodologi-tafsir-ibnu-jarir_9987.html. Diakses
pada tanggal 31 maret 2015.
http://kajianbersama.blogspot.com/2012/12/tafsir-thabathabai.html.
https://www.ipcc.ch/site/assets/uploads/sites/2/2019/06/SR15_Full_Report_High_Res.pdf .
Diakses pada 26 Mei 2020.
http://www.oxforddictionaries.com/definition/english/anthropocentric. Diakses
pada tanggal 6 maret 2014.
Hunti, Roderick dan R.L. Colasanti, “Self-assembling Plants and Integration across
Ecological Scales”, Oxford Journals, Annals of Botany 99: 1023–1034, 2007,
www.aob.oxfordjournals.org. Diakses: 2 Pebruari, 2010.
Ja’far, Khudhair. Tafsīr al-Qur’ān bi al-Qur’ān ‘inda al-‘Allamah al- al-Ṭabāṭabā’ī, Qum:
Dar al-Qur’an al-Karim, 1411 H.
al-Jīrah, ‘Abd al-Raḥmān. al-Islam wa al-Bī’ah, Qāhirah: Dār al-Salām, 2000 M/1420 H.
Klantre, Ilyas. Dalīl al-Mīzān, dialihbahasakan ke dalam bahasa Arab oleh Abbas
Tarjuman, Libanon; Mu’assasah al-A’lâmî Li al-Mathbû’at, 1985, cet 1.
Leenen, H.J.J. Milieuhygienerecht, Samson: Alphen aan den Rijn, 1971.
Lipietz, Alain. Cultural Geography, Political Economy and Ecology, Europian
Planning Studies, Abingdon: Feb 1999: Vol. 7, Iss, 1.
Muhdlor, Atabik Ali A. Zuhdi. Kamus Kontemporer Arab Indonesia, 1836.
al-Najjār, Zaghlūl “al-Samā’ Laisat Firāghan kamā kāna Yu’taqad,” al-Mujāhid 22, no
253 (Jumādī al-Ūlā 1422 H/ Agustus 2001), 10.
Partanto, Pius A. dan M Dahlan al-Barry. Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Penerbit
Arkola, 1994.
Purwanto, Agus. Ayat-Ayat Semesta, Sisi –Sisi al-Qur’an yang Terlupakan, Bandung:
Mizan, 2008, cet. I.
Polasky, Stephen. “Accounting For Nature,” Bioscience (Washington: Mar 2009): Vol.
59, Iss. 3.
al-Qarḍāwī, Yūsuf. Ri‘āyah al-Bī’ah fī Sharī‘ah al-Islām, Kairo: Dār al-Shurūq, 1421
H/2001 M.
al-Qattan, Manna'. Mabāhits fī ‘Ulūm al-Qur'ān, Beirut: Mansyurat al-‘Ashr al-Hadits,
1393H/1973M.
Quṭub, Sayyid. Fī Ẓilāl al-Qur’ān, Qāhirah: Dār al-Shurūq, 1419 M/1998 M.
Raya, Ahmad Thib. “Khalifah”, dalam: Ensiklopedi al-Quran, Jakarta, Lentera Hati,
2007), cet. I, vol. 2.

MUMTAZ: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Keislaman, Vol. 4, No. 01, 2020, 30-60 | 58
Nur Arfiyah Febriani, Alfi Sachdeva Aziz Waktar, Badru Tamam

al-Rāzī, Muḥammad Fakhr al-Dīn, Tafsīr Fakhr al-Rāzī al-Mushtahr bi al-Tafsīr al-Kabīr
wa Mafātīh al-Ghaib, Beirūt: Dār al-Fikr, 1415 H/1995 M.
Rice, Stanley A. Green Planet: How Plants Keep The Earth Alive, New Brunswick:
Rutgers University Press, 2009.
Ricklefs, Robert E. Ecology, New York: Chiron Press, 1973.
Salim, Peter. The Cotemporary English – Indonesian Dictionary, Jakarta: Modern English
Press, 1996, cet. VII.
Shidqy al-Athar, Muqaddimah Tafsīr Al Thabārī, Beirut: Dār al-Fikr, 1995.
Shihab, M. Quraish. "Ibn Jarir al-Tabari: Guru Besar para Ahli Tafsir", dalam jurnal
Ulumil Qur'an, Vol. I, No. I, 1989, 5.
--------. dalam kata pengantar buku karangan: Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir
al-Qur’an Kontemporer dalam Pandangan Fazlul Rahman Jambi: Sulthan Thaha
Press, 2007, cet. I.
--------. Tafsir al-Mishbah, Pesan Kesan Keserasian al-Quran, Jakarta: Lentera Hati, 2005.
Soemarwoto, Otto. Etika Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Jakarta: Jambatan,
1989.
al-Suḥaibānī, ‘Abdullāh Ibn ‘Umar Ibn Muḥammad. Aḥkām al-Bī’ah fī Fiqh al-Islāmī,
Saudi ‘Arabia: Dār Ibn al-Jauziyyah, 2008 M/1429 H.
al-Ṣālih, Subḥi. Mabāhīth fī 'Ulūm al-Qur'ān, Beirut: Dar al-'Ilm, 1972, cet. VII.
al-Ṭabarī, Abī Ja‘far Muḥammad Ibn Jarīr. Tafsīr al-Ṭabarī al-Musammā Jāmi‘ al-Bayān
fī Ta’wīl al-Qur’ān, Beirūt: Dār al-Kutb al-‘Ilmiyyah, 1999 M/ 1420 H.
al-Ṭabāṭabā’ī, Sayyid Muhammad Husain. al-Mīzan fī Tafsīr al-Qur’ān, Beirut:
Mu’assasah al-A‘lamī li al-Mathbū‘āt, 1417 -1997.
Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an, Jakarta:
Paramadina, 2001, cet. II.
Wahabī, Ṣāliḥ. al-Insān wa al-Bī’ah wa al-Tulūth al-Bī’ī, Damshīq, Dār al-Fikr, 2004,
cet. II.
Weber, Max. Economy and Society an Outline of Interpretive Sociology, London:
University of California Press, 1978, vol. I.
Yusuf, Muhammad. Studi Kitab Tafsir, Yogyakarta: Teras, 2004.
al-Zarānī, Muhammad ‘Abd al-‘Azhim. Manāhil al-‘Irfān Fī ‘Ulūm al-Qur’ān, Beirut;
Dār al-Fikr, tth, vol. 2.
al-Zarkasyi, Badr al-Dīn al-Burhān fī ‘Ulūm al-Qur ān, Tahqiq: Muḥammad Abū al-
Faḍl Ibrāhīm, Kairo: Dar al-Ihya' al-Kutub al-'Arabiyah, 4 jilid 1376H/
1957M, vol. II.

59| MUMTAZ: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Keislaman, Vol. 4, No. 01, 2020, 30-60

Anda mungkin juga menyukai