E-ISSN: 2621-9549
Vol. 4, No. 01, 2020, 30-60
Abstrak
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada akhir tahun 2019 melansir temuan
tentang pemanasan global yang semakin meningkat 0.5%. Gaya hidup manusia modern
yang berawal dari paradigma antroposentris kerap dikatakan sebagai pemicu kerusakan
lingkungan. Menariknya, antroposentris justeru berdalih ajaran agama samawi yang
menjadi dasar pemikirannya. Tulisan ini bertujuan untuk melakukan upaya rekonsiderasi
terhadap paradigma antroposentris dengan memberikan penjelasan tentang pandangan al-
Quran yang dibaca melalui pemikiran Ṭabārī dan Ṭabāṭabā’ī terkait pola interaksi manusia
dan alam. Dengan metode tafsir maudu’i dan dilandasi argumen ilmiah melalui kajian
Ekologi, paper ini menemukan pandangan Ṭabārī dan Ṭabāṭabā’ī, tentang konsep ekologi
yang dapat dipahami dalam arti: “Ilmu yang mempelajari tentang interaksi antara alam dan
manusia dalam ekosistem di mana tempat ia tumbuh dan berkembang serta saling memberi
manfaat dengan satu tujuan yang sama yaitu beribadah kepada Allah”. Hal ini berdasarkan
temuan tentang dimensi spiritual antara alam dan manusia dalam aktivitas dan tujuan
penciptaannnya yang diungkap al-Quran. Dengan pandangan ini, manusia dapat
menggunakan sumber daya alam sekaligus menjaga kelestariannya sebagai khalīfah fī al-
Arḍ/konservator alam, sebagaimana amanah Allah kepada manusia dalam al-Quran.
Abstract
The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) at the end of 2019 launched
findings on global warming which increased by 0.5%. The lifestyle of modern humans
starting from the anthropocentric paradigm is often said to be a trigger for environmental
damage. Interestingly, anthropocentric precisely argued the teachings of celestial religion
which became the basis of his thought. This paper aims to make a reconciliation effort
towards the anthropocentric paradigm by providing an explanation of the views of the
Koran which are read through the thoughts of Ṭabārī and Ṭabāṭabā'ī related to the pattern of
human and natural interaction. Using the maudu'i interpretation method and based on
scientific arguments through Ecology studies, this paper discovers Ṭabārī and Ṭabāṭabā'ī's
views on ecological concepts that can be understood in the sense of: "The study of the
interactions between nature and humans in the ecosystem where they grow and develop
and benefit each other with the same goal, namely to worship God ". This is based on
findings about the spiritual dimension between nature and humans in the activities and
purposes of creation revealed by the Koran. With this view, humans can use natural
30
Nur Arfiyah Febriani, Alfi Sachdeva Aziz Waktar, Badru Tamam
URL: http://jurnalptiq.com/index.php/mumtaz
https://doi.org/10.36671/mumtaz.v3i2.45
A. PENDAHULUAN
Paradigma antroposentris adalah paradigma yang memandang bahwa alam
semesta tercipta untuk kebahagiaan hidup umat manusia sebagai pusatnya. 1
Paradigma yang kering nilai spiritual ini, memiliki implikasi logis terhadap ulah
manusia dalam mengeksploitasi sumber daya alam serta perilaku manusia yang
kurang menghormati eksistensi alam sebagai sesama makhluk ciptaan Tuhan.
Dampak dari paradigma antroposentris adalah, sikap konsumtivisme dan
materialism berlebih masyarakat dunia yang sungguh mengganggu keselarasan
ekosistem alami yang saat ini sedang diambang kehancuran. Data kerusakan alam di
daratan, lautan dan udara menggambarkan bumi dalam keadaan yang sangat
memprihatinkan. Berbagai anggapan faktor penyebab kerusakan lingkunganpun
mulai mencuat. Faktor penyebab terjadinya krisis lingkungan dan global warming2
adalah gaya hidup manusia yang membuat meningkatnya produksi gas rumah kaca
(GRK), hal ini mengakibatkan panas berlebih pada suhu bumi. 3
Perdebatan ilmiyah tentang ekologi dan kerusakan lingkungan banyak
bermunculan dengan tawaran solusi yang beragam. Namun harus diakui, mufassir
klasik dan modern belum banyak mengeksplor makna kedahsyatan ayat-ayat
kauniyah. Syaikh Ṭanṭāwī Jauharī seorang Guru Besar Tafsir di Universitas Cairo
menyatakan, bahwa di dalam al-Qur’an terdapat lebih dari 750 ayat kauniah, dan
hanya sekitar 150 ayat fiqih. Tapi anehnya, para ulama telah menulis ribuan kitab
fiqih, tetapi nyaris tidak memperhatikan serta menulis kitab tentang alam raya dan
isinya.4 Namun dalam pandangan penulis, hal ini bisa jadi disebabkan karena di
1
Di antara makna antroposentris adalah: “Regarding humankind as the central or most
important element of existence, especially as opposed to God or animals”. Lihat:
http://www.oxforddictionaries.com/definition/english/anthropocentric. Diakses pada tanggal 6 maret
2014. Lihat juga: Pius A Partanto dan M Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Penerbit
Arkola, 1994), 38.
2
Global Warming/pemanasan global adalah peningkatan suhu rata-rata atmosfir, laut dan
dataran bumi. Suhu rata-rata global pada permukaan bumi telah meningkat 0,74 + 0,18 C. selama
seratus tahun terakhir Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa,
sebagian besar peningkatan temperature rata-rata terjadi sejak pertengahan abad ke-20.
3
Lihat mengenai beberapa faktor penyebab utama kerusakan lingkungan yang dilakukan
oleh IPCC sampai akhir tahun 2019 dalam:
https://www.ipcc.ch/site/assets/uploads/sites/2/2019/06/SR15_Full_Report_High_Res.pdf . Diakses pada 26
Mei 2020. Lihat juga: ‘Abd al-Hādī Ḥasan, Ḥimāyah al-Bī’ah al-Tulūth bi al-Mubayyidāt al-Kīmāwiyyah
wa Afḍal al-Ḥulūl, cet. III. (Sūriyah: Dār ‘Alā’ al-Dīn, 2003)
4
Muḥammad Ḥusain al-Dhahabī al-Tafsīr wa al-Mufassirūn (Qāhirah: Maktabah Wahbah, 1413
31| MUMTAZ: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Keislaman, Vol. 4, No. 01, 2020, 30-60
Nur Arfiyah Febriani, Alfi Sachdeva Aziz Waktar, Badru Tamam
masa buku ini dibuat, saat itu kajian tentang ilmu fiqih lebih mendesak.
Oleh sebab itu, tulisan ini mencoba untuk memberikan kontribusi ilmiah
dalam penggalian konsep ekologi Qurani yang dibaca melalui kacamata mufassir
kenamaan dalam dunia tafsir al-Quran, Ṭabārī dan Ṭabāṭabā’ī. Pemilihan kedua
mufassir ini, dengan alasan bahwa: 1) Kedua mufassir ini memiliki metode yang
sama dalam penafsiran, yaitu metode tahlilī, 2) Dengan perbedaan mazhab sunni
dan syi’ah di antara kedua mufassir ini, ekologi bisa menjadi salah satu ajaran
universal al-Quran yang dapat diaplikasikan oleh semua umat manusia dari
background apapun, termasuk sebagai pemersatu di tengah-tengah perbedaan
golongan dari umat Islam, 3). Imam Ṭabāṭabā’ī meski sebagai mufassir dalam
golongan Syi’ah, namun juga mengutip hadis dari perawi Sunni. Sehingga dengan
ini, diharapkan dapat memberi sedikit oase ditengah perbedaan antara kedua
mazhab dalam Islam ini.
Hal yang perlu digarisbawahi dalam tulisan ini adalah, tulisan ini tidak
membahas permasalahan perbedaan ideologi dan politik antara Sunni dan Syi’ah.
Tulisan ini justeru ingin mencari titik persamaan dalam kedua mazhab dalam Islam
ini dengan mengkaji konsep ekologi dari kedua mufassir kenamaan dalam tradisi
ilmiah Sunni dan Syi’ah. Tulisan ini mencoba memberikan solusi aplikatif yang
dapat mengakomodir semua pandangan sehingga keterkaitan antara satu disiplin
ilmu dengan disiplin ilmu lainnya, adalah hubungan yang bersifat komplementer
namun tidak kompulsif (bersifat memaksakan).
B. METODE
Metode yang digunakan dalam paper ini adalah metode tafsir Maudu’i. Menurut
Shihab, dengan metode ini mufassir berusaha mengkoleksi ayat-ayat al-Qur’an yang
bertebaran di beberapa surat dan mengkaitkannya dengan satu tema yang telah
ditentukan. Selanjutnya mufassir melakukan analisis terhadap kandungan ayat-ayat
tersebut sehingga tercipta satu kesatuan yang utuh. Metode ini pertama kali digagas
oleh Aḥmad Sayyid al-Kūmī ketua jurusan tafsir Universitas al-Azhar sampai tahun
1981. Namun langkah-langkah operasional metode ini secara gamblang dikemukakan
oleh ‘Abd al- Ḥayy al-Farmāwī dalam bukunya al-Bidāyah fi al-Tafsīr al-Mauḍū‘ī (1977).5
Prosedur penafsiran al-Qur’an dengan metode tematik dalam format dan
prosedur yang diperkenalkan oleh Aḥmad Sayyid al-Kūmī, menggunakan prosedur
sebagai berikut:
H/1992), 417. Berbeda dengan Agus Purwanto yang menjelaskan ayat kauniyah berjumlah 800 ayat.
Artinya, ayat tentang kosmologi mengambil 13% porsi dari keseluruhan ayat al-Qur’an. Dalam
bukunya, Agus Purwanto membuat list ayat tentang kosmologi yang berjumlah 800 tersebut
berdasarkan abjad dari “a” seperti air, sampai “z” seperti zaitun. Lihat: Agus Purwanto, Ayat-Ayat
Semesta, Sisi –Sisi al-Qur’an yang Terlupakan, cet. I. (Bandung: Mizan, 2008), cet. I.
5
Menafsirkan al-Qur'an dengan metode ini juga seperti yang pernah dilakukan oleh Amīn
Khūlī (w.1966) dan isterinya Bint al-Shāṭi’ dalam menafsirkan al-Qur’an melalui pendekatan bahasa
dan sastra. Lihat: Muhammad Quraish Shihab dalam kata pengantar buku karangan: Ahmad Syukri
Saleh, Metodologi Tafsir al-Qur’an Kontemporer dalam Pandangan Fazlul Rahman, cet. I (Jambi: Sulthan
Thaha Press, 2007),. Lihat juga: Aḥmad Sa‘īd al-Kumi, al-Tafsīr al-mauḍū‘ī. Lihat juga: Abd al-Ḥayy al-
Farmawi, al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-Mauḍū‘iyyah: Dirāsah Manhajiyyah Mauḍū‘iyyah, 51.
MUMTAZ: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Keislaman, Vol. 4, No. 01, 2020, 30-60 | 32
Nur Arfiyah Febriani, Alfi Sachdeva Aziz Waktar, Badru Tamam
6
Perlu diketahui bahwa penafsiran ayat al-Qur’an secara tematis, meski berbeda dalam
sistematika penyajian, sebenarnya telah dirintis dalam sejarah. Misalnya, Ibn Qayyim al-Jauziyyah
(w. 751 H) menulis tentang sumpah dalam al-Qur’an dalam karyanya al-Tibyān Aqsām al-Qur’ān,
Majāz al-Qur’ān oleh Abū ‘Ubaidah (w. 210-824), Mufradāt al-Qur’ān oleh al-Rāghib al-Isfahāni
(w.502/1108), Mushtabihāt al-Qur’ān karya al-Kisā’ī (w. 804 M), Ma‘ānī al-Qur’ān karya al-Farrā’ (w.
207/822), Faḍā’il al-Qur’ān karya Abū ‘Ubaid (w. 224/438), dan sebagainya. Lihat: Ziyād Khalīl
Muḥammad al-Daghāmain, Manhajiyyah al-Baḥth fī al-Tafsīr al-Mauḍū‘ī li al-Qur’ān al-Karīm (Amman:
Dār al-Bashīr, 1955), 18.
7
Lihat juga kajian tentang interkoneksi antar makhluk dalam alam raya yang saling
mempengaruhi, di antaranya dalam: Rodrik Hanat, Munhīnāt Numū al-Nabāt (Baghdād: Wizārah al-
Ta‘līm al-‘Āli wa al-Baḥth al-‘Ilmī Jāmi‘ah Baghdād, 1989 M/1410 H); G. A. Yarrangton, “Plant
Ecology: an Univying Model”, Journal of Ecology, 57, 254-250 (1969); Stanley A. Rice, Green Planet:
How Plants Keep The Earth Alive (New Brunswick: Rutgers University Press, 2009), dan Roderick Hunti
dan R.L. Colasanti, “Self-assembling Plants and Integration across Ecological Scales”, Oxford Journals,
Annals of Botany 99: 1023–1034, 2007, www.aob.oxfordjournals.org (diakses: 2 Pebruari, 2010).
33| MUMTAZ: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Keislaman, Vol. 4, No. 01, 2020, 30-60
Nur Arfiyah Febriani, Alfi Sachdeva Aziz Waktar, Badru Tamam
8
Koesnadi Harjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, cet (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1994), 11, 1-2.
9
Lihat: Fuad Amsyari, Prinsip-Prinsip Masalah Pencemaran Lingkungan (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1981), 11., Otto Soemarwoto, Etika Lingkungan Hidup dan Pembangunan (Jakarta: Jambatan,
1989), 14., dan Koesnadi Harjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, 2.
Ekologi dapat juga dipahami sebagai ilmu yang mempelajari hubungan antara semua benda
hidup dengan keadaan sekelilingnya. Lihat: Peter Salim, The Cotemporary English – Indonesian
Dictionary cet. VII (Jakarta: Modern English Press, 1996), 581.
10
Robert E. Ricklefs, Ecology (New York: Chiron Press, 1973), 11.
11
Koesnadi Harjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, 2.
12
Alain Lipietz, Cultural Geography, Political Economy and Ecology, Europian Planning
Studies, Vol. 7, Iss, 1 (1999): 9.
MUMTAZ: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Keislaman, Vol. 4, No. 01, 2020, 30-60 | 34
Nur Arfiyah Febriani, Alfi Sachdeva Aziz Waktar, Badru Tamam
berhenti dan menetap. Bentuk isim dari kata fi‘il ini adalah ( )البيئةyang berarti
rumah/tempat tinggal.13 Sedangkan secara terminologi “’Ilm al-Bī’ah/ ”علم البيئة
adalah ilmu yang mempelajari tentang lingkungan. Mamdūḥ Ḥāmid ‘Atiyyah secara
ringkas menjelaskan tentang definisi dari kata “bī’ah” tersebut dengan ungkapan:
“ “ َح ْي ُز ْال َحيَا ِة َوإطَاِرهَا
Dari sini dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan kata البيئةadalah
lingkungan hidup dan keseluruhan ekosistem yang tercakup didalamnya. Dari
pengertian ini Mamdūḥ Ḥāmid ‘Atiyyah menyatakan bahwa “’ilm al-bī’ah” adalah:
ilmu yang mendalami tentang interaksi makhluk hidup dengan lingkungan
sekitarnya. Namun dalam arti yang lebih spesifik dan komprehensif, ‘Atiyyah
menyatakan ekologi/ علم البيئةadalah ilmu yang mempelajari tentang interkoneksi
konstan antara manusia dan keseluruhan ekosistem yang terdapat di dalam dunia. 14
Ekologi juga dipahami sebagai keseluruhan ekosistem tempat di mana manusia
tinggal bersama makhluk lain, ekosistem ini saling terkait satu sama lain dalam
melakukan aktifitas masing-masing.15
Dari keseluruhan pendapat para ahli mengenai ekologi di atas, ekologi juga
dapat dipahami dalam arti: ilmu yang mempelajari tentang pola relasi mutual antar
makhluk di dalam sebuah ekosistem tempat dimana ia tumbuh dan berkembang.
Sebagaimana telah diungkapkan, salah satu konsep inti dalam ekologi
adalah ekosistem, yaitu suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal
balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya. 16 Menurut Otto Soemarwoto,
suatu sistem terdiri atas komponen-komponen-komponen yang bekerja secara
teratur sebagai suatu kesatuan. Ekosistem terbentuk oleh komponen hidup dan tak
hidup di suatu tempat yang berinteraksi membentuk suatu kesatuan yang teratur.
Keteraturan itu terjadi oleh adanya arus materi dan energi yang terkendalikan oleh
arus informasi antara komponen dalam ekosistem itu. Masing-masing komponen
memiliki fungsi dan relung. Selama masing-masing komponen itu melakukan
fungsinya dan bekerjasama dengan baik, keteraturan ekosistempun terjaga.
Keteraturan ekosistem itu menunjukkan, bahwa ekosistem tersebut ada dalam suatu
keseimbangan tertentu. Keseimbangan itu tidaklah bersifat statis, melainkan
13
Lihat: Atabik Ali A. Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, 1836.
14
Disarikan dari: Mamdūḥ Ḥāmid ‘Atiyyah, Innahum Yaqtulūn al-Bī’ah (Cairo: Maktabah al-
Usrah, 1998), 9. Lihat juga: ‘Abd al-Raḥmān al-Jīrah, al-Islam wa al-Bī’ah (Qāhirah: Dār al-Salām, 2000
M/1420 H), 13; Ṣāliḥ Wahabī, al-Insān wa al-Bī’ah wa al-Tulūth al-Bī’ī, cet. II (Damshīq, Dār al-Fikr,
2004), 19, dan Rajā’ Waḥīd Duwaidirī, al-Bī’ah Mafhūmihā al-‘Ilm al-Mu‘āṣir wa ‘Umuqihā al-Fikrī al-
Turāthī, cet. I (Damshīq: Dār al-Fikr, 2004), 31-32.
15
‘Abdullāh Ibn ‘Umar Ibn Muḥammad al-Suḥaibānī, Aḥkām al-Bī’ah fī Fiqh al-Islāmī (Saudi
‘Arabia: Dār Ibn al-Jauziyyah, 2008 M/1429 H), 21-25. Buku ini adalah Disertasi yang dibuat oleh al-
Suḥaibānī. Dalam buku ini, al- Suḥaibānī, mengupas tentang pandangan Islam mengenai kerusakan
lingkungan dalam beberapa wilayah, yaitu: lingkungan hidrologi, atmosfir, geologi, fauna dan flora.
Rekomendasi yang diberikan al- Suḥaibānī, adalah agar manusia dapat menjalin hubungan harmonis
dengan lingkungan sekitarnya.
16
Alan Gilpin, (Ed), Dictionary of Environment Terms, 49. Lihat juga: Koesnadi Harjasoemantri,
Hukum Tata Lingkungan, cet. (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1994), 11, 3.
35| MUMTAZ: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Keislaman, Vol. 4, No. 01, 2020, 30-60
Nur Arfiyah Febriani, Alfi Sachdeva Aziz Waktar, Badru Tamam
MUMTAZ: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Keislaman, Vol. 4, No. 01, 2020, 30-60 | 36
Nur Arfiyah Febriani, Alfi Sachdeva Aziz Waktar, Badru Tamam
tidak hanya bertindak sebagai penguasa terhadap alam, akan tetapi sebagai
pengabdinya. Dengan kekuasannya atas alam ia tidak dapat melepaskan diri dari
ketergantungannya kepada alam. Kehidupan manusia memuat dalam dirinya
sebagian alam dan ketergantungan kepada lingkungan materiel. Dengan demikian
alam memperoleh wajah manusiawi dan tidak hanya sebagai tempat pengurasan
oleh homo faber. Manusia mempengaruhi alam, alam mempengaruhi manusia.
Dengan demikian, alam dimasukkan dalam evolusi manusia dan sebaliknya. 21
Ungkapan Leenen ini sangat menarik karena ungkapan ini ini senada
dengan konsep kekhalifahan yang diisyaratkan al-Qur’an dalam surat al-An‘ām [6]:
165).22 Demikian dengan adanya isyarat bahwa terdapat interkoneksi antara alam
dan manusia yang saling membutuhkan dan mempengaruhi seperti yang tersirat
dalam Q.S. Luqmān [31]: 20, Ibrāhīm [14]: 32-34, al-Naḥl [16]: 5-8 dan 10-13, dan
Yāsīn [36]: 33-35.
37| MUMTAZ: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Keislaman, Vol. 4, No. 01, 2020, 30-60
Nur Arfiyah Febriani, Alfi Sachdeva Aziz Waktar, Badru Tamam
MUMTAZ: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Keislaman, Vol. 4, No. 01, 2020, 30-60 | 38
Nur Arfiyah Febriani, Alfi Sachdeva Aziz Waktar, Badru Tamam
26
Badr al-Dīn al-Zarkasyi, al-Burhān fī ‘Ulūm al-Qur ān, Tahqiq: Muḥammad Abū al-Faḍl
Ibrāhīm, vol. II (Kairo: Dar al-Ihya' al-Kutub al-'Arabiyah, 4 jilid 1376H/ 1957M), 159.
27
Shidqy al-Athar, Muqaddimah Tafsīr Al Thabārī (Beirut: Dār al-Fikr, 1995).
28
Shidqy al-Athar, Muqaddimah Tafsir Al Thabārī, 2.
39| MUMTAZ: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Keislaman, Vol. 4, No. 01, 2020, 30-60
Nur Arfiyah Febriani, Alfi Sachdeva Aziz Waktar, Badru Tamam
29
Manna' al-Qattan, Mabāhits fī ‘Ulūm al-Qur'ān (Beirut: Mansyurat al-‘Ashr al-Hadits,
1393H/1973M), 363.
30
M. Quraish Shihab, "Ibn Jarir al-Tabari: Guru Besar para Ahli Tafsir", Jurnal Ulumil Qur'an,
Vol. I, No. I (1989): 5.
MUMTAZ: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Keislaman, Vol. 4, No. 01, 2020, 30-60 | 40
Nur Arfiyah Febriani, Alfi Sachdeva Aziz Waktar, Badru Tamam
31
Shidqy al-‘Athar, Muqaddimah Tafsīr Ibn Jarīr, 3.
32
Biografi Ṭabāṭabā’ī diambil dan disarikan dari makalah karya Asrori yang telah
dipresentasikan dalam matakuliah: “Tafsir al-Qur’an Kontemporer di Timur Tengah dengan judul:
AL-MIZAN FI TAFSIR AL-QUR’AN Allamah Sayyid Muhammad Husein Thabathaba’i”, di
Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta 2011. Makalah ini diakses tanggal 31 Maret 2015. Lebih
lengkap tentang pembahasan ini dapat diakses melalui:
http://kajianbersama.blogspot.com/2012/12/tafsir-thabathabai.html.
33
Ali al-Awsi, al-Ṭabāṭabā’ī wa Manhajuh fi Tafsīrih al-Mīzān (Teheran: Mu’awaniyah al-Riasah
li al-’alaqat al-Daulah, 1985), 44. Lihat juga Khudhair Ja’far, Tafsīr al-Qur’ān bi al-Qur’ān ‘inda
al-‘Allamah al- al-Ṭabāṭabā’ī (Qum: Dar al-Qur’an al-Karim, 1411 H), 10.
41| MUMTAZ: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Keislaman, Vol. 4, No. 01, 2020, 30-60
Nur Arfiyah Febriani, Alfi Sachdeva Aziz Waktar, Badru Tamam
bertukar pikiran dengan Henry Corbin34 dan Sayed Hosein Nasr. Mereka bukan
hanya telah mendiskusikan teks-teks klasik dari wahyu ke-Tuhan-an dan gnosis,
namun juga keseluruhan disiplin yang disebut oleh Nasr sebagai gnosis komparatif,
yang mana pada setiap satu sesi teks sakral dari agama-agama utama mengandung
ajaran mistik dan pengetahuan spiritual; seperti Tao Te Ching, Upanishads (salah satu
seri teks sakral Hindu), Gospel of John, yang telah didiskusikan dan di komparasikan
dengan sufisme dan doktrin-doktrin pengetahuanIslam secara umum.
Ṭabāṭabā’ī adalah seorang filosof, penulis yang produktif, dan guru inspirator
bagi para muridnya, yang telah mengabdikan sebagian besar hidupnya untuk studi
islam non-politik. Banyak dari muridnya yang diantaranya menjadi penggagas
ideologi di Republik Islam Iran, seperti Murthada Mutahhari, Beheshti, dan
Muhammad Mofatteh. Sementara yang lainnya, seperti Sayyed Hosein Nasr dan
Hasanzadeh Amuli masih tetap meneruskan studinya pada lingkup intelektual non-
politik.
Ketika berada di Najaf, Ṭabāṭabā’ī mengembangkan kontribusi utamanya
dalam bidang tafsir (interpretation), filsafat, dan sejarah madzhab Shi’ah. Dalam
bidang filsafat, ia mempunyai sebuah karya penting, Usul-i Falsafeh va Ravesh-e-
realism (The Principles of Philosophy and The method of Realism), yang mana telah
diterbitkan dalam 5 jilid dengan catatan penjelas dan komentar oleh Murtadha
Motahhari. Deal penerbitan tersebut dengan disertakannya islamic outlook dunia,
tidak hanya dihadapkan pada idealisme yang mengingkari realitas wujud dunia,
namun juga dihadapkan pada konsep materialisme dunia, dengan mereduksi semua
realitas menuju ambiguitas konsep mitos-mitos materialisme serta pemalsuannya.
Poin tersebut menjadi mapan ketika sudut pandang dunia islam adalah realitas,
sementara keduanya (pandangan idealistis dan materialistis) adalah tidak realistis.
Karya utama lainnya dalam bidang filsafat adalah ulasan luasnya
terhadap Asfar al-Arba’ah, magnum opus karya Mulla Sadra, yang merupakan
seorang pemikir muslim besar Persia terakhir pada abad pertengahan. Di samping
itu dia juga menulis secara ekstensif seputar tema-tema dalam filsafat.
Pendekatannya secara humanis dapat terlihat dari ketiga karyanya; the nature of
man–before the world, in this world, and after this world. Filsafatnya terfokus pada
pendekatan sosiologis guna menemukan solusi atas problem-problem kemanusiaan.
Dua hasil karyanya yang lain adalah kitab Bidayat al-Hikmah dan Nihayat al-
Hikmah, yang terhitung sebagai karya besar dalam bidang filsafat islam.
Beberapa pernyataan serta risalahnya seputar doktrin-doktrin dan sejarah
Shi’ah masih tetap tersimpan secara rapi. Satu dari beberapa risalahnya tersebut
meliputi klarifikasi serta eksposisinya tentang madzhab Shi’ah dalam jawabannya
34
Henry Corbin adalah orientalis asal Prancis yang menekuni kajian keislaman, di antaranya
adalah tasawus, filsafat Islam, dan juga ajaran-ajaran Syi’ah. Kepada Corbin inilah Ṭabāṭabā’ī sering
mendiskusikan tema-tema filsafat yang meliputi penyangkalanya terhadap dialektika Marxis atas
dasar filsafat Islam tradisional. Diskusi antara keduanya dilakukan dalam sesi-sesi mingguan di
Teheran selama musim gugur antara 1958 dan 1977.
MUMTAZ: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Keislaman, Vol. 4, No. 01, 2020, 30-60 | 42
Nur Arfiyah Febriani, Alfi Sachdeva Aziz Waktar, Badru Tamam
atas pertanyaan yang dilemparkan oleh orientalis Perancis terkenal, Henry Cobin.
Bukunya yang lain dalam tema ini adalah Shi’ah dar Islam yang telah diterjemahkan
ke dalam bahasa inggris oleh Sayyed Husain Nasr dalam judul Shi’ite Islam, yang
dibantu oleh William Chittick sebagai sebuah proyek dari Colgate University,
Hamilton, New York, Amerika. Buku tersebut disajikan sebagai ikhtiar baik untuk
meluruskan miss-konsepsi populer seputar Shi’ah yang juga dapat membuka jalan
untuk memperbaiki pemahaman inter-sektarian antar sekolah-sekolah Islam di
Amerika.
Di antara karya Ṭabāṭabā’ī yang paling terkemuka adalah al-Mizan fi Tafsiri al-
Qur’an yang lebih dikenal dengan Tafsir al-Mizan, yang merupakan hasil dari kerja
kerasnya yang cukup lama dalam ruang lingkup studi Qur’an. Metode, gaya, serta
pendekatannya yang unik sangat berbeda dengan para mufassif besar lainnya. Tafsir
al-Mizan pertama kali dicetak dalam bahasa arab sebanyak 20 jilid. Edisi pertama al-
Mizan dalam bahasa arab telah dicetak di Iran dan selanjutnya dicetak pula di
Bairut, Lebanon. Hingga sekarang, lebih dari tiga edisinya dalam bahasa arab telah
dicetak di Iran dan Beirut dalam bentuk besar.
Ṭabāṭabā’ī juga seorang penyair yang mahir. Dia telah menyusun sebagian
besar syair-syairnya dalam bahasa Persia, namun adakalanya pula dalam bahasa
Arab yang indah. Di samping itu ia juga seorang penulis diberbagai rubrik artikel
dan essai. Secara keseluruhan, buku-buku hasil karya tulisnya berkisar 44 judul.
Tiga diantaranya adalah hasil kumpulan dari koleksi makalah-makalahnya dalam
berbagai aspek keislaman dan al-Qur’an. Pada tanggal 15 November 1982 ‘Allamah
Sayyid Muhammad Husain Ṭabāṭabā’ī meninggal dunia dalam usianya yang ke-80.
Bertalian dengan setting kehidupan yang dialaminya, Ṭabāṭabā’ī mengalami
pergolakan intelektual dan politik yang dahsyat. Dalam pergolakan inetelektual, ia
mewarisi pertentangan antara mazhab Akhbariyyah, sebagai sebuah kecenderungan
tradisional dalam yurisprudensi Syi’ah, dan mazhab ushuliyyah, sebuah mazhab
hukum Syi’ah yang bersandar pada serangkaian proses rasional. Meskipun kota
Qum menjadi kubu awal tradisionalis, tetapi kecenderungan rasional yang
bertentangan denganya mendominasi selama berabad-abad.
Dalam tataran keilmuan, Iran menjadi simbol filsafat Islam dengan porosnya
berupa ajaran Isyraqiyyah Mulla Shadra (w. 1640 M). Tidak hanya ajaran Mulla
Shadra saja yang menjadi keganderungan orang Iran, ajaran Ibn Sina pun tak kalah
menarik dan banyak yang mendalaminya secara seksama, Ṭabāṭabā’ī adalah salah
satunya. Selama periode Qajar, Teheran secara bertahap meningkat menjadi pusat
studi filsafat Islam. Untuk selanjutnya, ia juga mengambil peranya tersendiri dalam
penyebaran filsafat Islam, khususnya ajaran Mulla Shadra, Ibn Sina, Ibn Arabi, dan
Suhrawardhi.
Adapun dalam pergolakan politik, al-Ṭabāṭabā’ī mengalami dua peristiwa
besar, yakni perang Dunia II dan Revolusi Islam Iran 1997. Pada bulan September,
1941, tentara Inggris dan Rusia menyerbu Iran. Hal ini memaksa munculnya paham-
43| MUMTAZ: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Keislaman, Vol. 4, No. 01, 2020, 30-60
Nur Arfiyah Febriani, Alfi Sachdeva Aziz Waktar, Badru Tamam
35
Ṭabāṭabā’ī, Tafsīr al-Mīzān, vol. I, 5.
MUMTAZ: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Keislaman, Vol. 4, No. 01, 2020, 30-60 | 44
Nur Arfiyah Febriani, Alfi Sachdeva Aziz Waktar, Badru Tamam
pada kesalahan. Cara yang kedua dianggapnya tidak cukup memadai, bukan saja
karena sangat terbatasnya jumlah hadis Nabi yang bisa dipertanggung-jawabkan
validitasnya, namun hadis-hadis itu sendiri tidak cukup memenuhi kebutuhan
untuk menjawab berbagai persoalan tentang al-Qur'an yang semakin berkembang.
Menurut Ṭabāṭabā’ī hanya cara ketiga, yakni menafsirkan al-Qur'an dengan ayat-
ayat lain yang berkaitan, yang bisa dipertanggung-jawabkan sebagai cara untuk
menafsirkan al-Qur'an. Dalam pandangan Ṭabāṭabā’ī, menafsirkan al-Qur'an dengan
al-Qur'an ini, tidak termasuk ke dalam penafsiran dengan ra’yu sebagaimana yang
dilarang Nabi. Menafsirkan al-Qur'an dengan cara mengaitkan satu ayat dengan
ayat-ayat yang lain (yang kemudian dikenal penafsiran al-Qur'an dengan al-Qur'an)
yang oleh Ṭabāṭabā’ī dinilai sebagai cara penafsiran yang paling valid.
Dalam kitab tafsirnya al-Mīzān ini Ṭabāṭabā’ī mengikuti sistematika tartib
mushafi, yaitu menyusun kitab tafsir berdasarkan susunan ayat-ayat dan surat-surat
dalam mushaf al-Quran, yang dimulai dari Surah al-Fātiḥah hingga berakhir pada
Surah al-Nās. Meski menempuh sistematika tartib mushafi, namun Ṭabāṭabā’ī dalam
penafsirannya membagi-baginya ke dalam beberapa tema. Sehingga dalam
menafsirkan al-Qur’an, Ṭabāṭabā’ī tidak melakukannya secara ayat per ayat,
melainkan mengumpulkan beberapa ayat untuk kemudian baru diberikan
penafsirannya. Dalam kaitan ini, Ṭabāṭabā’ī mengawalinya dengan tema penjelasan
yang meliputi kajian mufradat, i’rab, balaghah, kemudian tema kajian riwayat yang
di dalamnya berisi pandangan berbagai riwayat yang disikapi Ṭabāṭabā’ī secara
kritis, dilanjutkan kajian filsafat dan lain-lain.
Tafsir al-Mīzān sebagaimana pujian dari Ilyas Klantre dalam bukunya yang
bertitel Dalīl al-Mīzān adalah seperti sebuah ombak yang meninggi dari samudera
ilmu-ilmu al-Quran. Ilmu pengetahuan yang terdapat di dalamnya tak
terhingga.36 Seperti yang tertera dalam buku-buku ulum al-Quran bahwa sumber
penafsiran terbagi menjadi dua; bi al-ra’y dan bi al-ma’tsûr.37 Sementara kitab tafsir al-
Mīzān karya Ṭabāṭabā’ī ini sebagaimana diakuinya sendiri adalah sebuah tafsir yang
menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an. Klaim ini diamini oleh oleh Ilyas Klantre
dengan menuturkan, “Pengakuan Ṭabāṭabā’ī sesuai dengan bukti.”38
Di samping itu, Ṭabāṭabā’ī juga kerap mengutip pendapat-pendapat para
mufassir sebelumnya, baik klasik maupun kontemporer. Sebut saja seperti Ibnu
Abbas, Tafsir Thabari, Tafsir al-Kasyāf karya Zamakhsyarī, Tafsīr Mafātīh al-Ghaib
karya Fakhr al-Rāzī, Tafsīr al-Manār dan sejumlah tafsir lainnya. Selain merujuk
pada tafsir-tafsir lain, Ṭabāṭabā’ī juga menggunakan beberapa kitab gramatikal dan
kamus bahasa Arab, seperti Lisān al-‘Arab, Al-Muḥīth dan lainnya. Untuk
36
Ilyas Klantre, Dalīl al-Mīzān dialihbahasakan ke dalam bahasa Arab oleh Abbas Tarjuman,
cet 1 (Libanon; Mu’assasah al-A’lâmî Li al-Mathbû’at, 1985), 7.
37
Muhammad ‘Abd al-‘Azhim al-Zarānī, Manāhil al-‘Irfān Fī ‘Ulūm al-Qur’ān, vol. 2 (Beirut;
Dār al-Fikr, tth), 10-69.
38
Ilyas Klantre, Dalīl al-Mīzān, 7.
45| MUMTAZ: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Keislaman, Vol. 4, No. 01, 2020, 30-60
Nur Arfiyah Febriani, Alfi Sachdeva Aziz Waktar, Badru Tamam
39
Mengenai rujukan-rujukan Ṭabāṭabā’ī terhadap kitab tafsir, kamus, hadis, kitab-kitab
agama lainnya, lihat ‘Ali al-Awsiy, Al- Ṭabāṭabā’ī Wa Manhajuhu fi Tafsīrihi al-Mīzān, 49-70.
MUMTAZ: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Keislaman, Vol. 4, No. 01, 2020, 30-60 | 46
Nur Arfiyah Febriani, Alfi Sachdeva Aziz Waktar, Badru Tamam
40
Ahmad Thib Raya, “Khalifah”, dalam: Ensiklopedi al-Quran, cet. I, vol. 2 (Jakarta, Lentera
Hati, 2007), 451-453.
47| MUMTAZ: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Keislaman, Vol. 4, No. 01, 2020, 30-60
Nur Arfiyah Febriani, Alfi Sachdeva Aziz Waktar, Badru Tamam
41
Artinya: 12. Allah-lah yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal dapat berlayar
padanya dengan seizin-Nya dan supaya kamu dapat mencari karunia -Nya dan Mudah-mudahan kamu
bersyukur. 13. Dan dia Telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya,
(sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
(kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir. (Q.S. al-Jāthiyah [45]: 13).
42
Abī Ja‘far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī al-Musammā Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl
al-Qur’ān, juz. XI (Beirūt: Dār al-Kutb al-‘Ilmiyyah, 1999 M/ 1420 H), 255.
43
Sayyid Muhammad Husain al-Ṭabāṭabā’ī, al-Mīzan fī Tafsīr al-Qur’ān, juz. XVIII (Beirut:
Mu’assasah al-A‘lamī li al-Mathbū‘āt, 1417 -1997), 164-165.
44
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. 13, 41.
45
Artinya: Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk
(kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir
dan batin. dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau
petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan. (Q.S. Luqmān [31]: 20).
MUMTAZ: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Keislaman, Vol. 4, No. 01, 2020, 30-60 | 48
Nur Arfiyah Febriani, Alfi Sachdeva Aziz Waktar, Badru Tamam
46
Abī Ja‘far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, juz. X, 217-218.
47
Sayyid Muhammad Husain al-Ṭabāṭabā’ī, al-Mīzan fī Tafsīr al-Qur’ān juz. XVI, 233.
49| MUMTAZ: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Keislaman, Vol. 4, No. 01, 2020, 30-60
Nur Arfiyah Febriani, Alfi Sachdeva Aziz Waktar, Badru Tamam
48
Disarikan dari: Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, vol. XI, 142-143.
49
Lihat tentang konsep ekonomi Islam yang ramah lingkungan dalam: Max Weber, Economy
and Society an Outline of Interpretive Sociology, vol. I (London: University of California Press, 1978), 632.
Lihat juga: Stephen Polasky, “Accounting For Nature,” Bioscience, Vol. 59, Iss. 3 (2009): 265.
50
Yūsuf al-Qarḍāwī, Ri‘āyah al-Bī’ah fī Sharī‘ah al-Islām (Kairo: Dār al-Shurūq, 1421 H/2001 M),
36. Redaksi lengkap hadis ini adalah:
ض َي هَّللا ُ َع ْن هُ يَقُ و ُل ِ ك َر ٍ َس بْنَ َما ِل َ ب أَنَّهُ َس ِم َع أَن ٍ َب ب ِْن َح ْنط ِ يز بْنُ َع ْب ِد هَّللا ِ َح َّدثَنَا ُم َح َّم ُد بْنُ َج ْعفَ ٍر ع َْن َع ْم ِرو ب ِْن أَ ِبي َع ْم ٍرو َم وْ لَى ْال ُمطَّ ِل ِ َح َّدثَنَا َع ْب ُد ْال َع ِز
ارَ َ
ش َ أ م
َّ ُ ث ُ ه ب
ُّ ح ُ
ِ َ نو ا َ ن ب
ُّ ُح ي
ِ ََ ل
ٌ بج ا َ
ذ َ ه ال
َ َ ق ٌ
د ح
ُ ُ أ ُ هَ ل َا
د بو ًاع اج
ََ ِ َ َ َ َ ِ ر م َّ ل س و ه ْ
ي َ ل ع
َ ُ هَّللا ى َّ ل ص ي
َ ُّ ِ َ ِ َّ بَّ نال م دَ ق ا مَ لَ ف ُ ه مُ ُ
د ْ
خ َ أ ر
ََ بيْ َخ ى َ ل إ مَّ
ِ َ َ َ ِ ل س و ه ْ
ي َ لعَ ُ هَّللا ى َّ ل ص هَّللا
َ ِ ِ ت َم َع َرس ُول ُ ْخَ َرج
اعنَا َو ُم ِّدنَا
ِ ص
َ ي ف
ِ َا ن َ ل كْ ار َ ب م
َّ ُ هَّ الل َ ة َّ
ك م م يه ا
َ َ ِ ِ ِ ِ ْرَ ب إ يم ر َْح تكَ ا َ ه ْ
ي َ تَ ب اَل ي
َْن َ ب ا م
َ ُ م ِّر ح
َ ُ أ ي ِّ نِ إ م
َّ ُ هَّ الل الَ َ ق ة َ
ِ َِنيد م ْ
ال ى َِبيَ ِد ِه ِإل
ِ
Lihat: hadis riwayat Bukhārī, hadis no. 2675, Kitāb: al-Jihād wa al-Siyār, Bab: Faḍl al-Khidmah fī
al-Ghazw. CD Room: Mausū‘ah al-Ḥadīth al-Sharīf, Kutub al-Tis‘ah.
51
Lihat pembahasan ini lebih lanjut dalam: Nur Arfiyah Febriani, Ekologi Berwawasan Gender,
77.
MUMTAZ: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Keislaman, Vol. 4, No. 01, 2020, 30-60 | 50
Nur Arfiyah Febriani, Alfi Sachdeva Aziz Waktar, Badru Tamam
52
Artinya: Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka)
bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (Q.S. al-Qaṣaṣ [28]: 77).
53
Abī Ja‘far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, juz. X, 105-106.
54
Sayyid Muhammad Husain al-Ṭabāṭabā’ī, al-Mīzan fī Tafsīr al-Qur’ān, juz. XVI, 77.
51| MUMTAZ: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Keislaman, Vol. 4, No. 01, 2020, 30-60
Nur Arfiyah Febriani, Alfi Sachdeva Aziz Waktar, Badru Tamam
dari ayat ini adalah, manusia dilarang untuk berbuat kerusakan dalam bentuk
apapun di bagian bumi manapun di bumi ini, karena Allah tidak menyukainya.55
al-Ṭabārī menyatakan bahwa, ada pelajaran yang dapat diambil manusia dari
nasihat yang diberikan sebelumnya kepada kaum Qarun pada ayat di atas, yaitu
agar manusia mencari harta benda dengan cara yang baik untuk tabungannya kelak
di akhirat dengan mengamalkan/menginfakkan apa yang didapatkannya tersebut,
dengan tunduk kepada perintah Allah di dunia. Firman-Nya: ( وال تنس نص يبك من
)الدنيا, agar manusia tidak melupakan kebutuhan hidupnya di dunia, dan jangan
lupa untuk beramal untuk tabungan di akhirat, manusia harus bekerja dengan baik
sekaligus mempersiapkan diri untuk mendapatkan hasil akhir dari apa yang
dikerjakannya kelak di akhirat dari Allah.
Sementara ayat yang berbunyi ()وأحسن كما أحسن هللا إليك, dipahami dalam arti
bahwa: perintah bagi manusia untuk berbuat baik selama hidup di dunia, di
antaranya dapat dilakukan dengan cara menafkahkan apa yang dimiliki dari
karunia yang dianugerahkan Allah kepadanya, sebagaimana Allah berbuat baik
kepada manusia dengan memberikan keluasan rezeki dan memberikan kebahagiaan
kepada manusia dengan rezeki tersebut. Manusia dilarang berbuat kerusakan di
muka bumi dengan melakukan perbuatan yang Allah haramkan dalam etika
mencari rezeki, dengan berbuat dosa seperti curang di antara manusia. 56
Dari pembahasan beberapa ayat yang berhubungan dengan pola interaksi
antara manusia dan lingkungan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa: ekologi
dalam perspektif Thabari dan Ṭabāṭabā’ī memiliki pemahaman yang senada, bahkan
saling melengkapi satu sama lain. Dari kedua mufassir ternama ini dapat
dirumuskan tentang konsep ekologi yang dapat dipahami dalam arti: “Ilmu yang
mempelajari tentang interaksi antara suatu orgamisme dengan organisme lainnya
dalam sebuah ekositem yang saling memberi manfaat dan terbingkai dalam satu
tujuan yang sama untuk beribadah kepada Allah”.
Dalam ayat lain Allah juga mengajarkaan kepada manusia agar taat
beribadah kepada Allah, karena Allah adalah pencipta manusia dan alam raya:
57
Ṭabārī berpendapat ayat di atas terkait tentang 2 golongan manusia, yaitu
golongan yang tidak menerima ajaran Allah dan golongan orang munafik yang
55
Disarikan dari: Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-
Qur’an, vol. 10, 405.
56
Sayyid Muhammad Ḥusain al-Ṭabāṭabā’ī, al-Mīzan fī Tafsīr al-Qur’ān, juz. X, 105-106.
57
Artinya: Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang
sebelummu, agar kamu bertakwa, 21. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit
sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala
buah-buahan sebagai rizki untukmu; karena itu janganlah kamu Mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah,
Padahal kamu mengetahui. 22. (Q.S. al-Baqarah [2]: 21-22).
MUMTAZ: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Keislaman, Vol. 4, No. 01, 2020, 30-60 | 52
Nur Arfiyah Febriani, Alfi Sachdeva Aziz Waktar, Badru Tamam
manis di lisan namun dalam hatinya mengingkari ajaran Allah. Kedua jenis manusia
ini sangat buruk, karena mereka mengingkari Allah sebagai Tuhan. Terkait dengan
bukti kekuasaan Allah yang menciptakan bumi sebagai hamparan, Allah juga telah
menurunkan hujan dan karena hujan muncullah aneka tumbuhan yang
menghasilkan aneka buah-buahan yang menjadi rizki dan nutrisi bagi manusia.
Semua aneka makanan yang ada di bumi adalah ciptaan Allah, bukan ciptaan
tandingan-tandingan Allah yaitu berhala yang disembah oleh orang-orang kafir. 58
Ṭabāṭabā’ī menafsirkan ayat diatas dengan ungkapan bahwa, sehebat apapun
manusia, pada dasarnya pengetahuan manusia sangat terbatas. Oleh sebab itu,
manusia tidak patut mengadakan sekutu bagi Allah, jika manusia menyadari bahwa
Allah yang telah menciptakan apa yang ada di langit dan di bumi, maka manusia
akan menyadari bahwa Allah juga telah mengatur dan mengelola sistem dalam alam
semesta ini sebagai rizki dan sebagai sumber daya alam yang menjamin
kelangsungan eksistensi hidup manusia. 59 Menariknya, Ṭabāṭabā’ī juga menjelaskan
kiadah umum sebab akibat dalam hukum alam. Di mana menurutnya, sesuatu
terjadi di alam raya pasti karena sebabnya. Peristiwa kebakaran, pasti diakibatkan
api, dst. Demikian manusia dengan segala keterbatasan tidak dapat terlepas dari
hukum sebab akibat dalam kehidupannya. Jika terjadi penyimpangan dari fungsi
utamanya, maka akan terjadi kekisruhan dan aneka kerusakan di bumi. 60
Ada hikmah yang dapat diambil dibalik rentetan penyebutan obyek ciptaan
Allah pada ayat 21-22 dari surat al-Baqarah ini. Pertama, Allah menyebutkan
penciptaan diri manusia; Kedua) berasal dari kedua orang tua; Ketiga penciptaan
bumi sebagai daratan yang menghampar; Keempat langit sebagai atap yang
dipelihara dan kelima, hasil yang didapatkan dari proses perkawinan langit dan
bumi, berupa berbagai macam tumbuhan.
Sebab runtutan dari kelima poin di atas menurutnya, mengandung beberapa
alasan. Pertama, bahwa yang paling diketahui/dikenal oleh manusia adalah dirinya
sendiri. Oleh sebab itu, penyebutan tentang diri manusia secara pribadi lebih
ditekankan di awal. Kedua, yaitu orang tua. Karena dari perkawinan kedua orang
tua, manusia dapat terlahir ke dunia, ada kedekatan emosional antara anak dan
orangtua yang akan selalu dipujanya. Ketiga, bumi sebagai tempat tinggal manusia.
Pada umumnya, manusia jauh mengenal bumi lebih baik daripada langit. Keempat,
langit sebagai atap bumi.61 Biasanya, manusia lebih mengenal yang lebih dekat
(bumi) baru kemudian mempelajari selainnya yang lebih jauh (langit). Sedangkan
yang kelima, didahulukannya penyebutan langit daripada bumi, karena langit
memiliki peran penting dalam menurunkan air hujan agar dapat membasahi bumi,
58
Abī Ja‘far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, juz. I, 195-198.
59
Sayyid Muhammad Ḥusain al- Ṭabāṭabā’ī, al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur’ān, juz. I,123.
60
Sayyid Muhammad Ḥusain al- Ṭabāṭabā’ī, al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur’ān juz. I, 159.
61
Secara bahasa, kata al-samā’ berarti segala sesuatu yang berada di atas yang menaungi di
bawahnya. Sedangkan secara istilah, al-samā’ adalah angkasa luas yang tinggi di atas bumi, berfungsi
sebagai pembungkus bumi dan terdiri dari beberapa lapis gas. Lihat: Zaghlūl al-Najjār, “al-Samā’
Laisat Firāghan kamā kāna Yu’taqad,” al-Mujāhid 22, no 253 (Jumādī al-Ūlā 1422 H/ Agustus 2001), 10.
53| MUMTAZ: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Keislaman, Vol. 4, No. 01, 2020, 30-60
Nur Arfiyah Febriani, Alfi Sachdeva Aziz Waktar, Badru Tamam
yang akhirnya dari air ini akan menumbuhkan berbagai macam spesies tumbuhan
sebagai bahan makanan dan kebutuhan hidup manusia.62
Dari ayat ini, dapat ditangkap adanya dekripsi tentang interaksi harmonis
dalam ekologi manusia dan ekologi alam yang diisyaratkan al-Qur’an. Rentetan dari
penyebutan jenis ciptaan Allah ini, mengajak manusia untuk dapat lebih mengenal
dirinya sendiri, orang tua sebagai orang terdekat yang berjasa melahirkannya di
dunia, bumi sebagai tempat tinggal mereka, langit sebagai atap hidup di dunia, serta
manfaat yang dapat dinikmati manusia dari proses perkawinan antara langit dan
bumi berupa berbagai macam jenis tumbuhan yang menghasilkan buah dan
makanan.
Sebagai satu kesatuan dari ekosistem yang tidak terpisahkan di bumi ini, al-
Qur’an mengajak manusia untuk mengenal dirinya, orangtua, bumi, langit dan
berbagai nikmat yang diraih dari perkawinan langit dan bumi, agar manusia
menyadari akan kebesaran Allah dalam menciptakan segala sesuatu. Salah satu
pelajaran terpenting lain dari perpaduan ayat ini adalah, manusia mengetahui
bahwa dari proses perkawinan dari kedua orang tua menghasilkan dirinya,
sementara perkawinan langit dan bumi menghasilkan berbagai macam tumbuhan di
bumi.63
Tidak hanya sampai di situ kajian tentang ekologi dalam Islam, al-Quran juga
menghormati semangat kebersamaan dalam usaha manusia memperbaiki tatanan
lingkungan yang rusak. Rekomendasi konservasi lingkungan ini, dapat ditemukan
dalam sejumlah ayat seperti:
wur (#rßÅ¡øÿè? Îû ÇÚöF{$# y÷èt/ $ygÅs»n=ô¹Î) çnqãã÷$#ur $]ùöqyz $·èyJsÛur 4 ¨bÎ)
64
|MuH÷qu «!$# Ò=Ìs% ÆÏiB tûüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇÎÏÈ
Ṭabārī menafsirkan larangan berbuat kerusakan di bumi, dengan mengutip
hadis riwayat Abu Ja’far yang menjelaskan larangan menyukutukan Allah di bumi
dan berbuat maksiyat/yang dilarang Allah di muka bumi. Itulah yang dimaksud
dengan dilarang berbuat kerusakan di bumi. Sedangkan redaksi “setelah Allah
memperbaikinya” yaitu memperbaiki bumi untuk orang yang taat, dengan
mengutus para Rasul dengan mengajak kepada kebenaran dengan argumen-
argumen yang mereka butuhkan. 65
Bentuk larangan dari berbuat kerusakan di bumi dalam ayat ini bersifat
umum, yang dapat dipahami dalam arti aneka bentuk kerusakan termasuk
62
Muḥammad al-Rāzī Fakhr al-Dīn, Tafsīr Fakhr al-Rāzī al-Mushtahr bi al-Tafsīr al-Kabīr wa
Mafātīh al-Ghaib, juz. I (Beirūt: Dār al-Fikr, 1415 H/1995 M), 112.
63
Nur Arfiyah Febriani, Ekologi Berwawasan Gender, 190.
64
Artinya: Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya
dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan).
Sesungguhnya rahmat Allah Amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. (Q.S. Al-A‘rāf [7]: 56).
Sayyid Quṭb, menafsirkan kata khauf dengan takut akan murka Allah dengan siksa-Nya, sedangkan
kata ṭama’ ditafsirkannya dengan mengharap rida-Nya dan harapan dikabulkan permohonannya.
Lihat: Sayyid Qutub, Fī Ẓilāl al-Qur’ān, juz. 3, 1298.
65
Abī Ja‘far Muḥammad Ibn Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, juz. V, 515.
MUMTAZ: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Keislaman, Vol. 4, No. 01, 2020, 30-60 | 54
Nur Arfiyah Febriani, Alfi Sachdeva Aziz Waktar, Badru Tamam
66
Sayyid Muhammad Ḥusain al- Ṭabāṭabā’ī, al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur’ān , juz. V, 176.
67
Karakter yang arogan/dominatif yang merusak, dalam penelitian Febriani dikategorikan ke
dalam al-nafsu al-fujūriyyah (karakter yang tidak baik), karakter ini adalah karakter maskulin negatif.
Lihat: Nur Arfiyah Febriani, Ekologi Berwawasan Gender, 168-178.
55| MUMTAZ: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Keislaman, Vol. 4, No. 01, 2020, 30-60
Nur Arfiyah Febriani, Alfi Sachdeva Aziz Waktar, Badru Tamam
D. KESIMPULAN
Dari beberapa pembahasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa,
pertama: ekologi dalam perspektif Ṭabārī dan Ṭabāṭabā’ī memiliki pemahaman yang
senada, bahkan saling melengkapi satu sama lain. Dari kedua mufassir ternama ini
dapat dirumuskan tentang konsep ekologi yang dapat dipahami dalam arti: “Ilmu
yang mempelajari tentang pola interaksi antara alam dan manusia dalam
ekosistemnya yang saling memberi manfaat dan terbingkai dalam satu tujuan yang
sama yaitu untuk beribadah kepada Allah”.
Kedua, manusia tidak dibenarkan merusak tatanan alam. Bentuk syukur
68
Dalam kajian Febriani, karakter ini menggambarkan karakter yang berhubungan dengan
kebaikan dan menyenangkan, maka karakter ini masuk dalam kategori karakter feminin yang positif.
Lihat: Nur Arfiyah Febriani, Ekologi Berwawsan Gender, 160-161.
69
Menurut Febriani, karakter ini menggambarkan karakter yang berhubungan keagungan
dan kewibawaan, maka karakter ini masuk dalam kategori karakter maskulin yang positif. Lihat: Nur
Arfiyah Febriani, Ekologi Berwawsan Gender, 158-159.
70
Lihat: Sayyid Quṭub, Fī Ẓilāl al-Qur’an, juz. III, 1298. Lihat juga: Nur Arfiyah Febriani,
Ekologi Berwawasan Gender, 233.
MUMTAZ: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Keislaman, Vol. 4, No. 01, 2020, 30-60 | 56
Nur Arfiyah Febriani, Alfi Sachdeva Aziz Waktar, Badru Tamam
manusia kepada nikmat Allah ditunjukkan dengan taat beribadah dan tunduk pada
segala ketentuan Allah dan menjauhi segala larangan-Nya, dengan kata kunci
“ikhlas”. Pengejewantahan bentuk syukur ini, untuk menjaga berbagai nikmat yang
terhampar di alam raya agar terus konstan. Berbagai bentuk pengerusakan di bumi
adalah bentuk pembelotan manusia dan ketidakbersyukuran manusia kepada
Tuhan, sehingga alam merespon yang sama kepada manusia, dengan berbagai
bentuk bencana alam dan kerusakan lingkungan yang mengancam keselamatan jiwa
manusia.
Ketiga, sebagai sesama makhluk ciptaan Allah, Al-Quran menggambarkan
pola interaksi yang harmonis antara alam dan manusia. Hanya saja, manusia
diberikan amanah mengelola dunia beserta isinya. Untuk mengemban amanah itu,
manusia diberikan berbagai potensi/kemampuan untuk memakmurkan bumi,
bukan merusaknya tanpa batas. Untuk berbagai bentuk kerusakan di bumi yang
telah terjadi akibat ulah umat manusia di masa lalu, al-Quran mengajak manusia
untuk mengambil pelajaran dan memerintahkan manusia berupaya melakukan
konservasi. Ini, agar manusia kembali kepada ajaran Allah demi kebahagiaan dan
kenyamanan hidup manusia, dan jangan mengulang kesalahan yang sama.
DAFTAR PUSTAKA
57| MUMTAZ: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Keislaman, Vol. 4, No. 01, 2020, 30-60
Nur Arfiyah Febriani, Alfi Sachdeva Aziz Waktar, Badru Tamam
MUMTAZ: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Keislaman, Vol. 4, No. 01, 2020, 30-60 | 58
Nur Arfiyah Febriani, Alfi Sachdeva Aziz Waktar, Badru Tamam
al-Rāzī, Muḥammad Fakhr al-Dīn, Tafsīr Fakhr al-Rāzī al-Mushtahr bi al-Tafsīr al-Kabīr
wa Mafātīh al-Ghaib, Beirūt: Dār al-Fikr, 1415 H/1995 M.
Rice, Stanley A. Green Planet: How Plants Keep The Earth Alive, New Brunswick:
Rutgers University Press, 2009.
Ricklefs, Robert E. Ecology, New York: Chiron Press, 1973.
Salim, Peter. The Cotemporary English – Indonesian Dictionary, Jakarta: Modern English
Press, 1996, cet. VII.
Shidqy al-Athar, Muqaddimah Tafsīr Al Thabārī, Beirut: Dār al-Fikr, 1995.
Shihab, M. Quraish. "Ibn Jarir al-Tabari: Guru Besar para Ahli Tafsir", dalam jurnal
Ulumil Qur'an, Vol. I, No. I, 1989, 5.
--------. dalam kata pengantar buku karangan: Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir
al-Qur’an Kontemporer dalam Pandangan Fazlul Rahman Jambi: Sulthan Thaha
Press, 2007, cet. I.
--------. Tafsir al-Mishbah, Pesan Kesan Keserasian al-Quran, Jakarta: Lentera Hati, 2005.
Soemarwoto, Otto. Etika Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Jakarta: Jambatan,
1989.
al-Suḥaibānī, ‘Abdullāh Ibn ‘Umar Ibn Muḥammad. Aḥkām al-Bī’ah fī Fiqh al-Islāmī,
Saudi ‘Arabia: Dār Ibn al-Jauziyyah, 2008 M/1429 H.
al-Ṣālih, Subḥi. Mabāhīth fī 'Ulūm al-Qur'ān, Beirut: Dar al-'Ilm, 1972, cet. VII.
al-Ṭabarī, Abī Ja‘far Muḥammad Ibn Jarīr. Tafsīr al-Ṭabarī al-Musammā Jāmi‘ al-Bayān
fī Ta’wīl al-Qur’ān, Beirūt: Dār al-Kutb al-‘Ilmiyyah, 1999 M/ 1420 H.
al-Ṭabāṭabā’ī, Sayyid Muhammad Husain. al-Mīzan fī Tafsīr al-Qur’ān, Beirut:
Mu’assasah al-A‘lamī li al-Mathbū‘āt, 1417 -1997.
Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an, Jakarta:
Paramadina, 2001, cet. II.
Wahabī, Ṣāliḥ. al-Insān wa al-Bī’ah wa al-Tulūth al-Bī’ī, Damshīq, Dār al-Fikr, 2004,
cet. II.
Weber, Max. Economy and Society an Outline of Interpretive Sociology, London:
University of California Press, 1978, vol. I.
Yusuf, Muhammad. Studi Kitab Tafsir, Yogyakarta: Teras, 2004.
al-Zarānī, Muhammad ‘Abd al-‘Azhim. Manāhil al-‘Irfān Fī ‘Ulūm al-Qur’ān, Beirut;
Dār al-Fikr, tth, vol. 2.
al-Zarkasyi, Badr al-Dīn al-Burhān fī ‘Ulūm al-Qur ān, Tahqiq: Muḥammad Abū al-
Faḍl Ibrāhīm, Kairo: Dar al-Ihya' al-Kutub al-'Arabiyah, 4 jilid 1376H/
1957M, vol. II.
59| MUMTAZ: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Keislaman, Vol. 4, No. 01, 2020, 30-60