Anda di halaman 1dari 11

HUBUNGAN MANUSIA DAN ALAM DALAM ISLAM

(SEBUAH ANALISIS TEORI HAK ALAM ETIKA LINGKNGAN)

Oleh :

Muhammad Thufeil Ad-Dausi


18/426786/FI/04492

FAKULTAS FILSAFAT
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Permasalahan

Indonesia adalah salah satu Negara dengan begitu melupanya kekayaan


keragaman hayati, hal ini dibuktikan dengan penemuan-penemuan berbagai macam
jenis tumbuhan yang muncul, dan bisa hidup di hutan Indonesia. Hutan tropis
merupakan ekosistem daratan terkaya di bumi. menjadi keuntungan tersendiri bagi
Indonesia yang berada tepat di tengah garis katulistiwa, dan bagi Negara tropis lainya.
Hutan yang menjadi salah satu kekayaan Indonesia ini, mulai mengalami pengurangan
jumlah dari tahun ke tahun. Banyaknya pembakaran hutan yang ditujukan untuk
pengalih gunaan lahan dalam bidang perindustrian ataupun perkebunan, disinyalir
mengakibatkan spesies asli hutan semakin berkurang setiap tahunnya. Disamping
masih banyaknya kebijakan daerah yang disalah artikan ataupun kebijakan yang
memang kurang bijak dalam hal ini adalah terkait kelestarian hutan, banyak para
pemangku jabatan di daerah yang merasa berhak memanfaatkan hasil hutan wilayahnya
secara besar-besaran tanpa memikirkan nasib generasi mendatang dan kelestarian
lingkungannya. pemerintah daerah mencoba mendongkrak pendapatan asli daerah
melalui ekploitasi sumber daya alam secara berlebihan (Suliantoro, 2011: 112).

Menurut salah satu pengamat kehutanan Nusantara Titus Sarijanto, menyatakan


bahwa terdapat tiga faktor utama dalam masalah kerusakan hutan di Indonesia yakni,
adanya kerancuan kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah,
sehingga muncul ketimpang tindihan perizinan antara pusat dan daerah. Kedua belum
terealisasinya keikutsertaan masyarakkat dalam pengelolaan hutan. Ketiga adalah
lemahnya penegakan hukum terutama dalam hal penyelundupan kayu. Keberadaan
peraturan pemerintah No 34 tahun 2002 tentang pengelolaan hutan ternyata sangat
sentralistik, semakin rancu dengan adanya undang-undang No 22 tahun 1999 tentang
otonomi daerah (Syaukani, 2004: 64).
Berbagai kasus lingkungan hidup yang sering terjadi, baik dalam lingkup
nasional maupun global, sebagian besar bersumber dari perilaku dan cara pandang
manusia. Berbagai kerusakan dan pencemaran yang di lakukan manusia sering tidak
ada tanggung jawab dan tidak peduli, hanya mementingkan kepentingan pribadi.
Seperti apa yang dikatakan oleh Arne Naess seorang filsuf Norwegia, bahwa terjadinya
krisis lingkungan hanya bisa dilakukan dengan cara merubah cara pandang dan perilaku
manusia terhadap alam dengan secara fundamental dan radikal (Keraff, 2009: 3).
Kesalahan cara pandang dan perilaku manusia bersumber dari apa yang disebut etika
antroposentrisme, salah satu paham atau aliran etika lingkungan yang memandang
bahwa manusia adalah pusat dari alam semesta. Hanya manusia yang memiliki nilai
dan alam beserta isinya hanya sebagai objek kebutuhan manusia.

Terjadinya kerusakan alam lingkungan yang berasal dari cara pandang lama
antroposentrisme masyarakat modern. Ini menuntut untuk adanya perubahan radikal
dalam etika masyarakat modern, maka diperlukan etika baru tidak hanya dalam
interaksi antar manusia akan tetapi, interaksi manusia dengan seluruh kehidupan bumi.
Sebuah etika yang menggerakan semua secara global untuk merawat bumi sebagai
sebuah rumah tangga untuk menjadi tempat tinggal yang nyaman bagi semua
kehidupan. Muncul kemudian apa yang dinamakan dengan etika lingkungan hidup
yakni sebuah disiplin filsafat yang berbicara mengenai hubungan moral manusia
dengan alam semesta, bagaimana seharusnya manusia bertindak dan berperilaku
terhadap lingkungan hidup. Etika lingkungan dipahami juga sebagai ilmu yang
berbicara mengenai norma dan kaidah moral yang mengatur perilaku manusia dalam
interaksinya dengan alam. Muncul kemudian etika lingkunggan yakni etika
antroposentrisme, biosentrisme dan ekosentrisme. Dan salah satu etika lingkungan
yang lahir dari biosentrisme dan ekosentrisme adalah hak asasi alam. Menurut Arne
Naess, sulit ditolak bahwa semua mahluk hidup berhak atas kehidupan. Sejak lahir
mahluk hidup memiliki hak asasi atas kehidupan yang di berikan kepadanya. Semua
mahluk hidup mempunyai hak untuk hidup dan berkembang yaitu sama untuk semua.
Atas dasar inilah Naess mengklaim bahwa “hak semua bentuk kehidupan untuk hidup
adalah suatu hak universal yang tidak bisa di tiadakan (Naess, 1993: 166-172).
Adanya kecenderungan manusia akan merusak alam sudah di ceritakan dalam
Al-quran yakni terdapat dalam surat Al-a’raf ayat 56 yang artinya: “Dan janganlah
kamu berbuat kerusakan di bumi (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya
dengan rasa takut dan penuh harap. Sesunggguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan
orang yang berbuat kebaikan. Peringatan-peringatan kepada manusia dalam hal
perusakan lingkungan terdapat juga dalam surat Al-baqarah ayat 60.

Cara pandang Antroposentris juga muncul dengan dilandasi faktor agama yaitu
ajaran Yahudi dan Kristiani, yang kurang lebihnya menjelaskan bahwa manusia diberi
kewenangan penuh oleh Allah mengekploitasi alam untuk kepentingannya. Allah
memberi hak kepada manusia untuk menguasai alam semesta untuk kehidupannya.
Ajaran inilah yang kemudian manusia bersifat arogan dan bertindak sebagai penguasa
yang lalim terhadap alam (Timm, 2003: 99). Penulis berdasarkan hal-hal di atas
kemudian tertarik untuk mencoba menggali dan menyelidiki tentang apakah ada Hak
asasi alam dalam ajaran Islam, kemudian apakah ada ayat, hadist atau literature resmi
lain yang membenarkan ekploitasi alam.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan yang ada, penulis kemudian merumuskan maslalah


penelitian dengan susunan sebagai berikut:

1. Bagaimana Islam memandang manusia dan alam?


2. Bagaimana relevansi teori hak dengan ajaran Islam?
BAB II
OBJEK MATERIAL

A. Alam menurut Islam

Dalam hal kisah penciptaan Al-quran tidak menggambarkan secara lengkap seperti
halnya yang ada dalam kitab kejadian, inilah perbedaan yang sangat menonjol diantara
keduanya. Al-quran lebih banyak memuat petunjuk berulang pada unsur-unsur dari kisah
penciptaan yang bersifat umum. Dalam hal penciptaan dunia Al-quran maupun Al-kitab
sama-sama menyatakan, bahwa Allah menciptakan dunia dalam enam hari. 1 Dalam hal
penciptaan manusia pertama baik al-quran atau Al-kitab sama-sama menyebut bahwa
manusia pertama yang di ciptakan tuhan adalah adam, sebagai mahluk yang di ciptakan
dari tanah atau debu. Ada perbedaan diantara keduanya yakni Al-quran menolak bahwa
manusia diciptakan dalam gambar Allah, jika demikian maka akan menurunkan keagungan
Allah. Dalam Al-quran ada beberapa ayat yang menyatakan tentang penciptaan.
Diantaranya surat Al-syu’ara ayat 23-24 yang artinya:
23. Fir'aun bertanya: "Siapa Tuhan semesta alam itu?"
24. Musa menjawab: "Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa-apa yang di antara
keduanya (Itulah Tuhanmu), jika kamu sekalian (orang-orang) mempercayai-Nya".

Surat As-shaffat ayat 4 dan surat Al-anbiya ayat 56. Al-quran menekan tidak hanya
keesaan Allah, juga tentang kedaulatan dan kuasa Allah atas seluruh ciptaan.
Tujuan penciptaan alam disebutkan dalam surat Al-Anbiya ayat 16 yang artinya ”Dan
kami tidak menciptakan langit dan bumi dan segala apa yang ada di antara keduanya
dengan main-main”.
Jelaslah disini bahwa bagaimana Allah mempunyai tujuan yang serius bagi penciptaan.
Tujuan utama penciptaan dalam Al-quran adalah menyediakan ayat (tanda) akan kuasa
dan kebaikan Allah. Seperti halnya pada surat Al-imron ayat 190 sebagai tanda kekuasaan
Allah bagi yang berakal. Surat Ar-rum ayat 22 tanda kekuasaan Allah bagi yang
mengetahui. Surat Yunus ayat 6 tanda kekuasaan Allah bagi yang bertakwa.
BAB III
LANDASAN TEORI

A. Hak Asasi Alam

Dalam perkembangannya dalam pemikiran tentang etika lingkungan hidup, ada


tiga teori yang sekaligus menentukan pola perilaku manusia terhadap alam, yakni teori
Antroposentrisme, Biosentrisme dan Ekosentrisme (Keraf, 2010: 41). Ketiga teori ini
memiliki cara pandang yang berbeda tentang alam, manusia dan hubungan manusia
dengan alam. Selain teori ini ada satu teori yang perlu kita bahas menggenai hak alam,
kurang lebih hak hidup, hak berada dan berkembang. Teori ini adalah teori hak asasi
alam yang banyak di singgung oleh teori biosentrisme dan ekosentrisme, khususnya
Deep Ecology, yaitu suatu etika baru yang menuntut tidak berpusat pada manusia, akan
tetapi berpusat pada makhluk hidup seluruhnya dalam upaya menggatasi persoalan
lingkungan hidup.

Mengenai apakah alam mempunyai hak atau tidak, masih menjadi kontroversi
atau pro kontra, karena selama ini etika dan paham politik kita masih antroposentris
sehingga hanya manusia yang memiliki hak. Dalam prespektif etika barat yang
antroposentris berlaku sekarang ini, bahwa hak asasi adalah sebuah konsep moral yang
hanya berlaku untuk manusia. Lahirnya pengakuan akan hak asasi manusia, karena
muncul kesadaran bahwa semua orang sama status moralnya, sehingga harus di
perlakukan sama secara moral. Leopad dan mayoritas penganut etika lingkungan
biosentris dan ekosentris, kemudian meneruskan perluasan etika tahap berikutnya
menyangkup semua komunitas biotis dan ekologis seluruhnya. Dengan adanya
perluasaan etika ini, maka etika tidak hanya berlaku untuk manusia akan tetapi bagi
komunitas biotis dan ekologis seluruhnya.

Pro-kontra dalam memahami dan menerima bahwa binatang dan tumbuhan


mempunyai hak asasi yang sama dengan manusia. Sebagaimana dikatakan Paul Taylor
argumennya yang sering diajukan untuk membuktikan bahwa binatang dan tumbuhan
tidak memiliki hak moral karena hal semacam itu tidak dapat dipahami. Dan dalam
pandanga ini bahwa berbicara mengenai hak moral binatang dan tumbuhan adalah
suatu yang membingungkan secara konseptual dan absurd secara logis.
Hal lain yang dianggap membingungkan dalam hak asasi alam adalah bahwa
alam tidak bisa di kategorikan sebagai pelaku moral seperti halnya manusia. Akan tetapi
dalam pemahaman Naess dan Deep Ecology bahwa subyek moral yang menuntut dan
melakukan kewajiban dan tanggung jawab tertentu dari pelaku moral, dalam hal ini
manusia yang mampu melakukannya. Beberapa konsep dalam hal hak asasi yakni
subyek harus secara sadar mengklaim dan mempertahankannya dari pelanggaran oleh
pihak lain, atau ia secara sadar mempertahankan sekaligus menuntut pihak lain untuk
menghormati dan mengakuinya. Dan hal semacam ini tidak berlaku bagi mahluk di luar
manusia. Konsep hak asasi selanjutnya bahwa, harus adanya kewajiban pemilik hak
asasi tersebut untuk menghargai hak asasi pihak lain secara seimbang, atau dengan kata
lain hak asasi selalu mengandung pengertian resiprositas.

Menurut James A Nash mengenai argumen moral hak asasi alam ada sebuah
konsep Conatus Esend yang di temukan dari Barukh Spinoza adalah sebuah
kecenderungan dan dorongan alamiah untuk bertahan hidup dan berada. Semua mahluk
hidup memiliki kecenderungan ini, dan mahluk abiotis tidak memiliki kecenderungan
ini akan tetapi mereka harus di jaga dan di lestarikan, karena kehhidupan organisme
tergantung dari keutuhan benda-benda abiotis (Nash, 1999: 472).

Paul Taylor membedakan antar hak legal dan hak moral yakni hak legal adalah
hak yang di berikan, diakui dan disahkkan oleh hhukum suatu negara sedangkan hak
moral adalah hak yang di miliki oleh pihak tertentu dan diakui sah berdasarkan prinsip-
prinsip moral. menurut Taylor, banyak filsuf dan termasuk dirinya tidak mengakui
adanya hak moral pada binatang adan tumbuhan, karena mengacu pada arti hak asasi
secara tradisional yang hanya di miliki oleh manusia. Taylor bisa menerima dua macam
hak legal tumbuhan dan binatang sejauh Negara mengatur tentang hak ini, tetapi
berbeda halnya dengan hak moral, taylor menolak adanya hak moral terhadap binatang
dan tumbuhan, seperti kebanyakan filsuf yang menolak hak moral kepada binatang
dengan berbagai alasan yang kuat untuk menolak ini (Ibid, 2009: 266).
BAB IV
ANALISS

A. Hak Asasi Alam Dalam Islam

Islam adalah Agama yang mengajarkan dan mneyerukan untuk bagaimana


manusia agar bisa hidup selaras dengan alam. Dimana dalam islam ada dua ajaran dasar
yang perlu di perhatikan oleh manusia dalam sisi kehidupannya. Pertama kalimat
Rabbul ‘alamin bahwa allah adalah tuhan seluruh alam, bukan tuhan untuk sekelompok
manusia atau sekelompok makhluk yang beragama Islam saja. Kedua adalah kata
rahmatalill’alamin, dalam arti manusia diberikan amanat untuk mewujudkan perilaku
kasih sayang terhadap seluruh alam. Dalam Alquran ada ayat yang mengatakan ”Laa
tufsiduu fil ardhi ba’da ishlahiha (jangan merusak alam ini, merusak bumi ini sesudah
ditata sedemikian baik). Munculnya teori keseimbangan yang banyak di singgung oleh
para filsuf barat, sesungguhnya sudah ada dalam islam pada ayat tadi yakni, pada
kalimat Ba’da Islaahiha. Meminjam bahasa vandana shiva bahwa manusia dan
keseluruhan struktruk kosmis merupakan satu keluarga (Shiva, 2005).

Adapun pandangan tasawuf terhadap alam bahwa, alam sebagai wahyu allah
(ayat) bukan realitas independen akan tetapi sebagai ayat-ayat tuhan untuk
memahaminya sebagai sebuah realitas absolute. Adanya alam sebagai kesatuan yang
saling berhubungan menuju kelanggengan. Keindahan dan keselarasan alam adalah
sebuah aspek ontologi alam dalam arti, alam semesta sebagai sumber pelajaran dan
ajaran bagi manusia, dengan adanya pengamatan terhadap alam semesta yang memiliki
keserasian dan keharmonisan dan ketertiban. Alam semesta di ciptakan sebagai yang
hak tidak sebagai yang batil, tidak dalam keadaan kacau balau melainkan secara tertib
dan indah (Julaiha, 2002: 30).
Kemudian dalam ilmu tasawuf, orang-orang sufi menjadikan alam sebagai
tempat bagi perjalanan spritualnya. Mereka mengatakan bahwa penciptaan alam sama
halnya dengan penciptaan manusia sebagai wujud dari kebaikan dan rahmat allah, dan
sebagai kehendak tuhan. Maka seperti halnya manusia kesempurnaan alam haruslah
berpusat pada kesempurnaan tuhan. Dan pada hakikatnya alam dan manusia adalah
milik allah dan akan kembali kepada-Nya. Tuhan dan alam memiliki hubungan
structural yakni sebagai pecipta dan pemilik lingkungan. Bukti bahwa tuhan sebagai
pecipta alam terdapat dalam surat Al- imran ayta 190-191, yang Artinya: Sesungguhnya
dalam penciptaan seluruh langit dan bumi (jagat raya) pastilah terdapat ayat-ayat bagi
mereka yang berakal budi”. "(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah saat berdiri,
duduk atau atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan
langit dan bumi sambil berkata “wahai tuhan kami, tidaklah engkau menciptakan semua
ini sia-sia; maha suci engkau, lindungilah kami dari azab neraka”. Dalam ayat ini Allah
memberi tangung jawab pewalian kepada manusia terhadap alam. Itu berarti bukan
dalam arti penaklukan atau perebutan dan dominasi terhadap alam, akan tetapi ini
adalah perintah untuk hidup selaras dengan alam.

Ada tiga hak asasi alam yang bisa disimpulkan yakni pertama, hak hidup, setiap
orang berhak untuk sekali mereka di ciptakan. Senada apa yang di lontarkkan oleh Arne
Naess bahwa hak untuk hidup adalahh satu dan sama untuk semua individu, apapun
spesiesnya. Kedua, kebebasan, setiap orang memang berhak untuk melakukan apa saja
dengan tidak melanggar hak yang pertama dan yang ketiga, Estate atau hak atas milik
pribadi, semua orang berhak untuk memiliki semua yang mereka buat atau
mendapatkan melalui hadiah atau perdagangan, dengan tidak melanggar atau
bertentangan dengan hak pertama dan kedua.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan

Islam mengajarkan hidup selaras dengan alam, Keindahan dan keselarasan alam
adalah sebuah aspek ontologi alam dalam arti, alam semesta sebagai sumber pelajaran
dan ajaran bagi manusia, dengan adanya pengamatan terhadap alam semesta yang
memiliki keserasian dan keharmonisan dan ketertiban. Harus diakui bahwa hak asasi
atas ekkosistem atau habitatnya, sebuah hak yang penting yang sama pentingnya
dengan hak asasi manusia atas milik pribadi. Manusia tanpa rumah dan milik pribadi
tidak bisa hidup dan berkembang sempurna sebagai manusia, sama halnya dengan
mahluk hidup lain. Tanpa ekosistem dan habitat yang nyaman dan kondusif sesuai
habitatnya masing-masing, maka semua mahluk hidup tidak akan bertahan hidup dan
berkembang secara baik. Hak alam ini pun tidak bersifat absolute sama halnya dengan
hak asasi manusia. Dalam keadaan tertentu bisa di benarkan secara moral untuk
membatasi hak asasi pihak lain, untuk memungkinkan terjaminnya hak asasi semua
orang dan hak asasi alam.

Dalam islam Allah menciptakan langit dan bumi dan segala apa yang ada di
antara keduanya dengan tidak main-main”. jelaslah bahwa bagaimana Allah
mempunyai tujuan yang serius bagi penciptaan. Tujuan utama penciptaan dalam Al-
quran adalah menyediakan ayat (tanda) akan kuasa dan kebaikan Allah juga sebagai
tanda kekuasaan Allah. Alam di ciptakan bukan suatu kebetulan atau ketidaksengajaan.
Alam di ciptakan secara sempurna dan begitu harmonis untuk suatu tujuan universal.
Sejalan dengan etika biosentrisme dan ekosentrisme bahwa hak asasi pada mahluk
hidup lain ini dibatasi hanya pada lingkup kolektif. Tidak membela hak binatang atau
tumbuhan secara individual, melainkan hak asasi secara kolektif pada binatang dan
tumbuhan. Hak spesies secara kolektif untuk tumbuh dan berkembang secara alamiah
tanpa intervensi manusia termasukk intervensi tekknologi. Satu hal yang perlu di ingat
adalah bahwa hal yang terpenting nilai ekologinya bukan sekedar nilai harga kayunya.
Hutan tropis Indonesia suatu ekosistem yang kaya akkan keanekaragaman jenis
hayatinya yang amat mahal nilai ekosistemnya. Hutan adalah mata rantai ekosistem
kehidupan bumi yang sanggat penting keberadaannya dan kelestariannya perlu di jaga.
DAFTAR PUSTAKA

Suliantoro, Bernadus Wibowo, Rekonstruksi Etika Lingkungan Ekofeminisme Sebagai


Pondasi Pengelolahan Hutan Lestari, Jurnal Bumi Lestari, Volume II No,1, Februari
2011
Hadi S, Ali Kodra, Syaukani, Bumi Makkin Panas Banjir Makin Luas,(Bandung:
Nuansa 2004
Keraf, Sony, Etika Lingkungan Hidup, (Jakarta: Kompas 2009)
Timm,Roger E, Dampak Ekologis Teologi Penciptaan Menurut Islam, dalam Agama,
Filsafat dan Lingkungan Hidup,Yogyakarta: Kanisius 2003
Naess, Arne, Ecology, Community and Lifesyle,(Cambridge: Cambridge Univ Press,
1993
Nash, James A, On Bioresponsibility dalam Darrell Addison Posey (ed), Cultural and
Spiritual Values of Biodiversity; A Complementary Contribution to the Global
Biodiverity Assessment (London; Intermediate Technology Pub. And UNEP, 1999)
Shiva, Vandana, M Mies, Ecofeminisme: Prespektif Gerakan Perempuan dan
Lingkungan (ter), Kelik Ismunanto dan Lilik,(Yogyakarta: IRE Press, 2005)
Julaiha, Eka, Etika Ekologi, Prespektif Tasawuf Nasr, Tesis Sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002,h 30-36.

Anda mungkin juga menyukai