LINGKUNGAN
Artikel
Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Filsafat Lingkungan
pada Program Studi Magister Ilmu Lingkungan
Universitas Padjadjaran
dijadikan alasan untuk mengeksploitasi alam. Dari ketiga agama tersebut, tentu saja terdapat
perbedaan mengenai batas-batas toleransi pengeksploitasian alam guna kepentingan manusia.
Untuk itu mari kita teliti lebih dalam pandangan nilai-nilai yang ditanamkan agama agam
samawi terhadap pemeluknya.
Yahudi merupakan agama samawi tertua yang diturunkan di Mesir. Sebelumnya di Mesir
dan Mesopotamia masyarakat benar-benar terikat dengan konsep kosmologi. Konsep ini
menyatakan bahwa dunia manusia terikat kepada susunan kosmik yang meliputi seluruh jagat
raya tanpa ada pemisah antara dunia manusia dan non-manusia, empiris dan non-empiris.
Pemahaman ini untuk pertama kalinya dipatahkan oleh ajaran Yahudi. Tuhan dari bangsa Israel
terdahulu dianggap sangat transdental dan supranatural. Selain itu dalam ajaran agama ini mitosmitos tentang kosmologi mulai dihapuskan. Tuhan dianggap sebagai pencipta segala sesuatu
yang terpisah dari dunia itu sendiri
But ask the beasts, and they will teach you; the birds of the sky, and they
will tell you; or speak to the earth and it will teach you; the fish of the sea, they will
inform you. Who among all these does not know that the hand of the Eternal has
done this? (Job 12:7-9).
Dalam tulisannya, David Vogel menyatakan bahwa tradisi Yahudi merupakan
tradisi kompleks yang mengandung element green dan non-green . Di satu sisi mereka
menganggap bahwa alam dapat mengancam manusia dan sebaliknya manusia dapat memberi
ancaman pada alam sehingga para pengikut Yahudi terdahulu membangun sebuah pandangan
ekosentrik dalam pengelolaan alam. Namun di lain pihak terdapat pula pandangan antroposentrik
yang terdapat pada Midrash (kisah penciptaan) yang dijabarkan di awal abad pertengahan. Di
dalamnya terdapat kisah ketika Tuhan memperlihatkan Taman syurga Eden kepada Adam dan
berkata padanya Segala yang telah Aku ciptakan, Aku ciptakan untukmu. Kalimat ini diartikan
oleh sebagian orang Yahudi sebagai ajakan untuk menikmati dan mengeksploitasi ciptaan Tuhan
untuk kepentingan manusia sepenuhnya.
Perbedaan persfektif ekosentris dan antroposentris dalam ajaran Yahudi diperkuat
dengan ayat :
When you besiege a town for many days, waging-war against it, to seize it: you
are not to bring-ruin upon its trees, by swinging-away (with) an ax against them, for from
them you eat, them you are not to cut-down for are the trees of the field human beings,
(able) to come against you in a siege? Only those trees of which you know that they are
not trees for eating, them you may bring- to-ruin and cut-down, that you may build siegeworks
against the town that is making war against you, until its downfall. (Deuteronomy
20:19-20)
Berdasarkan ayat di atas, persfektif antroposentris menyatakan bahwa manusia dapat menebang
pohon apapun kecuali pohon penghasil makanan yang diperlukan manusia untuk menjaga
kelangsungan hidupnya. Sedangkan penganut pandangan ekosentris menyatakan bahwa melalui
surat ini Tuhan menyatakan bahwa pohon adalah ciptaan yang tidak dapat menyelamatkan
dirinya sendiri dari bahaya peperangan sehingga manusia tidak boleh menebangnya. Pada
akhirnya pandangan Yahudi terombang ambing antara pandangan antroposentris dimana
manusia dapat memanfaatkan alam semaksimal mungkin dan pandangan ekosentris dimana
manusia harus dapat melindungi alamnya.
Berbeda dengan pandangan Yahudi yang masih berada di dua sisi, Lynn White dalam
essainya yang berjudul Historical Roots of our Ecological Crisis menyatakan bahwa ajaran
Kristen merupakan ajaran agama yang paling antroposentris.. Pernyataan ini diambil dari sebuah
ayat di injil yang berbunyi :
Be fruitful, multiply, fill the earth, and subdue it. Have dominion over the
fish of the sea, over the birds of the sky, and over every living thing that moves on
the earth. (Genesis 1:28).
Ayat ini diartikan oleh sebagian besar penganut Kristen di barat sebagai legitimasi untuk
mendominasi dan mengeksploitasi alam. Dilanjutkan Lynn dalam essainya kerusakan alam ini
terjadi akibat terpengaruhinya ajaran Kristen Barat oleh tradisi-tradisi sehingga membentuk
tradisi Judeo-Cristian . Tradisi ini menganggap bahwa manusia dipisahkan dari alam sehingga
manusia berhak mendominasi alam. Selain itu, penjelmaan Tuhan sebagai manusia dalam wujud
Yesus Kristus dianggap mendukung pandangan antroposentris yang berkembang di kalangan
Kristen.
Sebagai agama samawi terakhir Islam dianggap oleh pengikutnya sebagai agama yang
paling sempurna. Kitabnya dianggap sebagai penyempurna kitab-kitab terdahulu dan tidak akan
ada lagi kitab-kitab setelahnya. Selain Al-Quran sebagai kitab sucinya, umat Islampun merujuk
hadist sebagai sumber hukum kedua. Di dalamnya, Al-Quran dan Hadist banyak menyinggung
tentang alam dan ciptaan Tuhan YME. Ajaran Islam melalui Al-Quran menyatakan bahwa alam
beserta isinya merupakan ciptaan dan keajaiban dari-Nya. Al-Quran juga banyak menyinggung
mengenai sumber daya air, udara, tanah serta melarang berlebih-lebihan. Islam bahkan mengajak
penganutnya untuk mendalami kebesaran Tuhan YME melalui ciptaannya yang ada di alam.
Dalam Al-Quran terdapat sebuah ayat yang juga memandang mengenai keberlanjutan sumber
daya :
Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, kapal yang
berlayar di laut dengan (muatan) yang bermanfaat bagi manusia,apa yang diturunkan Allah
dari langit berupa air, lalu dengan itu dihidupkannya bumi setelah mati (kering), dan Dia
tebarkan di dalamnya bermacam-macam binatang, dan perkisaran angin dan awan yang
dikendalikan antara langit dan bumi (semua itu) sungguh merupakan tanda-tanda (kebesaran
Allah) bagi orang-orang yang mengerti Q.S 2 : 164
Islam memerintahkan umatnya untuk memperhatikan alam dan menyatakan bahwa bumi
dan segala isinya merupakan pertanda dari Tuhan dan dengan mempelajarinya manusia
diharapkan dapat memperdalam keimanannya. Dari sini kita dapat melihat bahwa sedari awal
Islam sudah memiliki hubungan yang kuat dengna alam.
Sebagaimana ajaran Yahudi dan Nasrani, Islam memisahkan antara manusia dengan alam.
Dalam ajaran Islam manusia dianggap sebagai khalifah atau pemimpin di muka bumi yang
bertugas menjaga dan mengelola bumi dan segala isinya. Kalifah bertugas sebagai tangan Tuhan
di bumi sehingga seharusnya tidaklah mungkin bagi seorang khalifah untuk menghianati tugas
yang diberikan oleh tuannya dan merusak keseimbangan alam. Islam mengajarkan umatnya
untuk melestarika alam melalui penanaman pohon sebagaimana terdapat dalam sebuah Hadist
Nabi Muhammad saw yang berbunyi
Tak ada seorang muslim yang menanam pohon atau menanam tanaman, lalu burung
memakannya atau manusia atau hewan, kecuali ia akan mendapatkan sedekah karenanya". [HR.
Al-Bukhoriy dalam Kitab AL-Muzaroah (2320), dan Muslim dalam Kitab Al-Musaqoh (3950)]
Islampun melarang untuk membuang-buang dan berlebih lebihan dalam pemanfaatan
sumber daya alam sebagaimana tercantum dalam Al-Quran surah Taha : 81
Makanlah dari rezeki yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu dan janganlah
melampaui batas, yang menyebabkan kemurkaan-Ku menimpamu. Barangsiapa ditimpa
kemurkaan-ku maka seseungguhnya binasahlah dia
Salah satu bukti penerapan ajaran Islam yang ekosentris terdapat pada jurnal seorang
Perancis yang melakukan perjalanan menuju kesultanan Utsmani pada abad ke 17. Saat itu beliau
menyatakan bahwa umat Islam di kesultanan Utsmani merawat kucing dan anjing terluka di
rumah sakit-rumah sakitnya. Hal ini menunjukkan keselarasan hubungan Islam dengan makhluk
hidup lainnya; menguatkan pandangan Islam sebagai agama dengan sudut pandang ekosentris.
Dari ketiga agama samawi tersebut kita dapat melihat adanya perbedaan pandangan
terhadap alam meskipun agama-agama tersebut berangkat dari akar yang sama. Terdapat
pandangan antroposentris, kontradiksi antara antroposentris dan ekosentris serta agama dengan
pandangan ekosentris. Namun ketiganya memiliki pandangan yang sama mengenai kedudukan
manusia yang dianggap berada di luar ekosistem dan memiliki hak untuk mengelola
lingkungannya. Adanya pandangan antroposentris atau kontradiksi antara antroposentris dan
ekosentris menjelaskan adanya segolongan manusia yang memanfaatkan sumber daya secara
berlebihan. Namun pandangan agama biosentrispun tidak sepenuhnya dapat menjadikan
penganutnya sebagai penjaga lingkungan, karena dapat kita temukan negara dengan mayoritas
penduduk muslim yang seharusnya berpemahaman ekosentris malah merusak alamnya. Hal ini
tentu saja bukanlah kesalahan dari ajaran agamanya, melainkan muncul dari ketidakfahaman
penganut dalam mengaplikasikan ajaran agamanya.
Selain agama-agama samawi di atas cara pandang manusiapun dipengaruhi oleh agamaagama non samawi yang mungkin saja muncul sebelum kedatangan beberapa agama samawi di
atas. Hindu, Budha, Konfusius, ataupun Taofisme pada dasarnya memiliki dasar yang sama,
yaitu pandangan kosmologis. Pandangan ini menyatakan bahwa alam dan segala isinya
merupakan penjelmaan dari spirit yang mempengaruhi kehidupan manusia. Spirit dapat berada di
dalam tumbuhan, hewan, sungai, gunung, bahkan manusia itu sendiri. Karena penjelmaannya
sebagai segala sesuatu di bumi inilah penganut ajaran ini menganggap bahwa merusak alam
dapat merusak keseimbangan kosmologi di bumi dan menjadi bencana bagi diri mereka sendiri
sehingga mereka sangat berhati-hati dalam berinteraksi dengan alam.
Mayoritas ajaran agama non samawipun mempercayai adanya reinkarnasi, yaitu proses
terlahirnya kembali manusia setelah kematian yang didasarkan pada perbuatannya semasa hidup.
Berangkat dari konsep reinkarnasi ini manusia dituntut untuk berbuat baik terhadap alam dan
sesama karena apa yang dilakukannnya kini akan berdampak pada masa depan reinkarnasinya.
Dalam ajaran Budha terdapat tiga filosofi utama, yaitu karma, samsara, dan nirvana dimana
ketiganya menyatakan hubungan langsung antara perbuatan manusia dengan alam. Merusak
alam dipercayai akan mengakibatkan terjadinya hal buruk pada manusia sehingga manusia
dituntuk untuk hidup selaras dengan alam. Para penganut Budha masa kini menyatakan bahwa
Budha tidak memandang manusia berstara-strata, sebagai implikasinya manusia dan lingkungan
dianggap berada dalam satu lingkup dan tida ada pembatas diantaranya. Sebagai konsekuensi
dari pernyataan itu, manusia dianggap tidak memiliki hak untuk mendominasi sumber daya yang
berada di alam. Pandangan Budha dewasa ini banyak dilirik oleh environmentalist dan
dinyatakan sebagai sumber berkembangnya pemahaman deep-deep ecologist. Dimana alam
dipercayai harus dilindungi sepenuhnya dan sama sekali tidak boleh dimanfaatkan untuk
kepentingan manusia.
Berdasarkan pandangan di atas dapat kita lihat bahwa perbedaan pandangan terbesar
berda dalam agama samawi, antara Yahudi, Nasrani dan Islam ketiganya memiliki pandangan
yang benar-benar berbeda satu sama lain menskipun berasal dari sumber yang sama. Lain halnya
dengan agama non samawi yang sebagian besar memiliki cara pandang yang hampir sama
terhadap alam dan sekitarnya. Agama-agama samawi memandang manusia memiliki hak untuk
memanfaatkan sumber daya untuk bertahan hidup dan meningkatkan kesejahteraannya
sedangkan agama non samawi menganggap bahwa Spirit terbesar menjelama ke dalam seluruh
benda di alam sehingga dalam pemanfaatannya manusia harus sangat berhati-hati.
Kegagalan sebagian agama untuk mencegah kerusakan di muka bumi tidak boleh
menjadi dasar bagi manusia untuk meninggalkan agamanya dalam upaya melindungi lingkungan.
Sebaliknya manusia harus terus belajar untuk memandang ajaran agamanya dari beragam
persfektif atau dalam kasus Islam pemeluk agamanya harus belajar cara megaplikasikan ajaran
agamanya ke dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun agama non-samawi dianggap paling
berkompetensi untuk menjaga kelestarian lingkungan tidak berarti pula bahwa pandangan ini
merupakan pandangan yang paling tepat bagi manusia modern dewasa ini. Kedua golongan
agam ini memiliki dasar serta pendekatan yang berbeda sehingga mungkin saja suatu saat nanti
pemahaman kedua golongan agama ini dapat bertemu pada titik tengah yang membawa ke dalam
kebaikan dan pelestarian lingkungan .
Referensi
Al-Qur'an dan Terjemahannya, Syamil, Jakarta: Bumi Restu, 2008.
Go Green, Sebuah Amal Jariah http://almakassari.com/artikel-islam/akhlak/go-green-sebuahamal-jariyah.html
Horenstein, A. 2012. The Relationship between Attituds and Concern for the Environment.
Thesis.
Matson I, et al. 2011. Islam, Christianity and The Environment. English Monograph Series :
Jordan
Kirman, A. 2008. Religious and Secularist Viewa of Nature and The Environment. The Journal
Of International Social Research, Vol 1/3. Spring 2008, p266-277.
Vogel, D. 1999. How Green Is Judaism? Exploring Jewish Environmental Ethics. University of
California : Berkley.