Anda di halaman 1dari 8

Asuhan Keperawatan Pada Klien 

KDRT
BAB I
PENDAHULUAN
 
1. Latar Belakang
Akhir-akhir ini, kasus kekerasan (termasuk pembunuhan) dalam rumah tangga di Indonesia
cenderung meningkat. Di dalam rumah tangga, ketegangan maupun konflik merupakan hal yang
biasa. Namun, apabila ketegangan itu berbuah kekerasan, seperti: menampar, menendang, memaki,
menganiaya dan lain sebagainya, ini adalah hal yang tidak biasa. Hal itulah yang sering disebut
dengan  KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dlm UU
N0. 23/2004 pasal 1 adalah perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat
timbulnya penderitaan fisik, seksual, psikologis, penelantaran rumah tangga, ancaman, pemaksaan,
atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam rumah tangga.
Pada tanggal 14 September 2004 telah disahkan Undang-Undang No. 23 tahun 2004 mengenai
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang terdiri dari 10 bab dan 56 pasal, yang
diharapkan dapat menjadi payung perlindungan hukum bagi anggota dalam rumah tangga,
khususnya perempuan, dari segala tindak kekerasan. Dengan menimbang :
1. Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk
kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
2. Bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan
pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk
diskriminasi yang harus di hapus.
3. Bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perempuan, harus
mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari
kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau per lakuan yang meren dahkan derajat
dan mar tabat kemanusiaan.
4. Bahwa dalam kenyataannya kasus ke keras an dalam rumah tangga banyak terjadi,
sedangkan  sistem hukum di Indonesia  belum menjamin perlin dungan terhadap korban
kekerasan dalam rumah tangga.
5. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud  dalam huruf a, huruf b, huruf c,
dan huruf d, perlu dibentuk Undang-Undang tentang Peng ha pus an Kekerasan Dalam Rumah
Tangga.
 
1. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Agar mampu memahami secara menyeluruh tentang tindakan kekerasan pada istri dalam
rumah tangga.
2. Agar mahasiswa dapat mengidentifikasi bentuk serta factor-faktor yang menyebabkan
terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
3. Dapat mengimplikasikan dan mengetahui bagaimana proses asuhan keperawatan dalam
masalah kekerasan rumah tangga.
 
 
 
 
 
 
 

 
 
 
 
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Kekerasan merupakan tindakan agresi dan pelanggaran (penyiksaan, pemukulan, pemerkosaan, dan
lain-lain) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti
orang lain, dan hingga batas tertentu tindakan menyakiti binatang dapat dianggap sebagai kekerasan,
tergantung pada situasi dan nilai-nilai sosial yang terkait dengan kekejaman terhadap binatang
(Gunawan Wibisono, 2009).
Undang-Undang PKDRT ini menyebutkan bahwa Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap
perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman
untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum
dalam lingkup rumah tangga (Pasal 1 ayat 1).
Menurut WHO (WHO, 1999), kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan,  ancaman
atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan  atau sekelompok orang  atau masyarakat yang
mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian
psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak.
Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan kekerasan verbal maupun fisik, pemaksaan
atau ancaman pada nyawa yang dirasakan pada seorang perempuan, apakah masih anak-anak atau
sudah dewasa, yang menyebabkan kerugian fisik atau psikologis, penghinaan atau perampasan
kebebasan dan yang melanggengkan subordinasi perempuan (Citra Dewi Saputra, 2009).
Adapun pengertian kekerasan dalam rumah tangga, sebagaimana tertuang dalam rumusan pasal 1
Deklarasi Penghapusan Tindakan Kekerasan terhadap Perempuan (istri) PBB dapat disarikan sebagai
setiap tindakan berdasarkan jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan
secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau
perampasan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan
pribadi (Citra Dewi Saputra, 2009).
Lebih tegas lagi dapat dikatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga
terutama digunakan untuk mengontrol seksualitas perempuan dan peran reproduksi mereka. Hal ini
sebagaimana biasa terjadi dalam hubungan seksual antara suami dan istri di mana suami adalah
pihak yang membutuhkan dan harus dipenuhi kebutuhannya, dan hal ini tidak terjadi sebaliknya.
Lebih jauh lagi Maggi Humm menjelaskan bahwa beberapa hal di bawah ini dapat dikategorikan
sebagai unsur atau indikasi kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga yaitu:
1. Setiap tindakan kekerasan baik secara verbal maupun fisik, baik berupa tindakan atau
perbuatan, atau ancaman pada nyawa.
2. Tindakan tersebut diarahkan kepada korban karena ia perempuan. Di sini terlihat pengabaian
dan sikap merendahkan perempuan sehingga pelaku menganggap wajar melakukan tindakan
kekerasan terhadap perempuan.
3. Tindakan kekerasan itu dapat berbentuk hinaan, perampasan kebebasan, dll.
4. Tindakan kekerasan tersebut dapat merugikan fisik maupun psikologis perempuan.
5. Tindakan kekerasan tersebut terjadi dalam lingkungan keluarga atau rumah tangga
(Gunawan Wibisono, 2009).
Kekerasan dalam rumah tangga adalah pola perilaku yang penuh penyerangan dan pemaksaan,
termasuk penyerangan secara fisik, seksual, dan psikologis, demikian pula pemaksaan secara ekonomi
yang digunakan oleh orang dewasa atau remaja terhadap pasangan intim mereka dengan tujuan
untuk mendapatkan kekuasaan dan kendali atas diri mereka (Ichamor, 2009).
1. Ruang Lingkup dan Macam-macam Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi (Pasal 2 ayat 1):
1. Suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri).
2. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud
karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap
dalam rumah tangga (mertua, menantu, ipar dan besan); dan/atau
3. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut
(Pekerja Rumah Tangga).
Menurut Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tindak kekerasan istri dalam rumah tangga dibedakan
kedalam empat (4) macam yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikologis, kekerasan seksual, kekerasan
emosional (Kompas.com ,2007).
Selain itu macam-macam bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) juga tercantum dalam
Undang-Undang KDRT Pasal 5.
1. Kekerasan Fisik
Menurut Pasal 6 kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau
luka berat.
Menurut Magetan,2010. Kekerasan Fisik adalah kekerasan yang pelakunya melakukan penyerangan
secara fisik atau menunjukkan perilaku agresif yang dapat menyebabkan terjadinya memar hingga
terjadinya pembunuhan. Tindakan ini seringkali bermula dari kontak fisik yang dianggap sepele dan
dapat dimaafkan yang kemudian meningkat menjadi tindakan penyerangan yang lebih sering dan
lebih serius. Kekerasan fisik meliputi perilaku seperti mendorong, menolak, menampar, merusak
barang atau benda-benda berharga, meninggalkan pasangan di tempat yang berbahaya, menolak
untuk memberikan bantuan saat pasangan sakit atau terluka, menyerang dengan senjata, dan
sebagainya. Berikut ini ada beberapa pembagian dari kekerasan fisik itu sendiri :
1)      Kekerasan Fisik Berat. Kekerasan ini berupa penganiayaan berat  seperti menendang, memukul,
melakukan percobaan pembunuhan atau pembunuhan dan semua perbuatan lain yang dapat
mengakibatkan :
a)      Cedera berat
b)      Tidak mampu menjalankan tugas sehari-hari
c)      Pingsan
d)     Luka berat pada tubuh korban dan atau luka yang sulit disembuhkan atau yang menimbulkan
bahaya mati
e)      Kehilangan salah satu panca indera.
f)       Mendapat cacat.
g)      Menderita sakit lumpuh.
h)      Terganggunya daya pikir selama 4 minggu lebih
i)        Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan
j)        Kematian korban.
2)      Kekerasan Fisik Ringan. Kekerasan ini berupa menampar, menjambak, mendorong, dan
perbuatan lainnya yang mengakibatkan :
a)      Cedera ringan
b)      Rasa sakit dan luka fisik yang tidak masuk dalam kategori berat .
 
1. Kekerasan psikologis atau emosional (Psikis)
Menurut pasal 7 kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa
percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis
berat pada seseorang.
Kekerasan psikologis atau emosional meliputi semua tindakan yang berdampak pada kesehatan
mental dan kesejahteraan pasangan, seperti: menghina, kritik yang terus menerus, pelecehan,
menyalahkan korban atas segala sesuatunya, terlalu cemburu atau posesif, mengucilkan dari keluarga
dan teman-teman, intimidasi dan penghinaan.
1)      Kekerasan Psikis Berat. Kekerasan ini berupa tindakan pengendalian, manipulasi, eksploitasi,
perendahan dan penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan dan isolasi social, tindakan dan
atau ucapan yang merendahkan atau menghina, ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomis, yang
masing-masingnya bisa mengakibatkan penderitaan psikis berat berupa salah satu atau beberapa hal
berikut :
a)      Gangguan tidur atau gangguan makan atau ketergantungan obat atau disfungsi seksual yang
salah satu atau kesemuanya berat dan atau menahun.
b)      Gangguan stress pasca trauma.
c)      Gangguan fungsi tubuh berat (seperti tiba-tiba lumpuh atau buta tanpa indikasi medis)
d)     Depresi berat atau destruksi diri
e)      Gangguan jiwa dalam bentuk hilangnya kontak dengan realitas seperti skizofrenia dan atau
bentuk psikotik lainnya
f)       Bunuh diri (www.lbh-apik.or.id).
2)      Kekerasan Psikis Ringan. Kekerasan ini berupa tindakan pengendalian, manipulasi, eksploitasi,
kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan, dan isolasi
social, tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau menghina, ancaman kekerasan fisik yang
masing-masingnya bisa mengakibatkan penderitaan psikis ringan, berupa salah satu atau beberapa
hal di bawah ini :
a)      Ketakutan dan perasaan terteror
b)      Rasa tidak berdaya, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak
c)      Gangguan tidur atau gangguan makan atau disfungsi seksual
d)     Gangguan fungsi tubuh ringan (misalnya, sakit kepala, gangguan pencernaan tanpa indikasi
medis)
e)      Fobia atau depresi temporer.
 
1. Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual yaitu kekerasan yang penyerangannya secara fisik oleh pelaku seringkali diikuti,
atau diakhiri dengan kekerasan seksual dimana korban dipaksa untuk melakukan hubungan seksual
dengan pelaku atau berpartisipasi dalam suatu kegiatan seksual yang tidak diinginkannya, termasuk
hubungan seks tanpa pelindung.
1)      Kekerasan Seksual Berat, berupa :
a)         Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh organ seksual, mencium
secara paksa, merangkul serta perbuatan lain yang menimbulkan rasa muak/jijik, terteror, terhina
dan merasa dikendalikan.
b)         Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat korban tidak
menghendaki.
c)         Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai, merendahkan dan  atau menyakitkan.
d)        Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan pelacuran dan atau tujuan
tertentu.
e)         Terjadinya hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan posisi ketergantungan korban
yang seharusnya dilindungi.
f)          Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa bantuan alat yang menimbulkan
sakit, luka,atau cedera.
2)      Kekerasan Seksual Ringan. Kekerasan ini berupa pelecehan seksual secara verbal seperti
komentar verbal, gurauan porno, siulan, ejekan dan julukan dan atau secara non verbal, seperti
ekspresi wajah, gerakan tubuh atau pun perbuatan lainnya yang meminta perhatian seksual yang
tidak dikehendaki korban bersifat melecehkan dan atau menghina korban.
      Kekerasan seksual menurut pasal 8 meliputi :
 Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup
rumah tangga tersebut.
 Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya
dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
 
 
1. Kekerasan Ekonomi
Kekerasan ekonomi termasuk pasal 9  yang meliputi berbagai tindakan yang dilakukan untuk
mempertahankan kekuasaan dan kendali atas keuangan, seperti: melarang pasangan mereka untuk
mendapatkan atau tetap mempertahankan pekerjaan, membuat pasangan mereka harus meminta
uang untuk setiap pengeluaran, membatasi akses pasangan mereka terhadap keuangan dan informasi
akan keadaan keuangan keluarga, dan mengendalikan keuangan pasangan.
1)      Kekerasan Ekonomi Berat, yakni tindakan eksploitasi, manipulasi dan pengendalian lewat
sarana ekonomi berupa :
a)         Memaksa korban bekerja dengan cara eksploitatif termasuk pelacuran.
b)         Melarang korban bekerja tetapi menelantarkannya.
c)         Mengambil tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban, merampas dan atau
memanipulasi harta benda korban.
2)      Kekerasan Ekonomi Ringan, Kekerasan ini berupa melakukan upaya-upaya sengaja yang
menjadikan korban tergantung atau tidak berdaya secara ekonomi atau tidak terpenuhi kebutuhan
dasarnya.
 
1. Gabungan dari berbagai kekerasan sebagaimana disebutkan di atas baik fisik, psikologis,
maupun ekonomis.
 
1.
2.
3. Faktor-faktor yang mendorong terjadinya tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Ada faktor-faktor terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga khususnya yang
dilakukan oleh suami terhadap istri, yaitu :
1. Adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan istri.
Anggapan bahwa suami lebih berkuasa dari pada istri telah terkonstruk sedemikian rupa dalam
keluarga dan kultur serta struktur masyarakat. Bahwa istri adalah milik suami oleh karena harus
melaksanakan segala yang diinginkan oleh yang memiliki. Hal ini menyebabkan suami menjadi
merasa berkuasa dan akhirnya bersikap sewenang-wenang terhadap istrinya.
1. Ketergantungan ekonomi.
Faktor ketergantungan istri dalam hal ekonomi kepada suami memaksa istri untuk menuruti semua
keinginan suami meskipun ia merasa menderita. Bahkan, sekalipun tindakan keras dilakukan
kepadnya ia tetap enggan untuk melaporkan penderitaannya dengan pertimbangan demi
kelangsungan hidup dirinya dan pendidikan anak-anaknya. Hal ini dimanfaatkan oleh suami untuk
bertindak sewenang-wenang kepada istrinya.
1. Kekerasan sebagai alat untuk menyelesaiakan konflik.
Faktor ini merupakan faktor dominan ketiga dari kasus kekerasan dalam rumah tangga. Biasanya
kekerasan ini dilakukan sebagai pelampiasan dari ketersinggungan, ataupun kekecewaan karena tidak
dipenuhinya keinginan, kemudian dilakukan tindakan kekerasan dengan tujuan istri dapat memenuhi
keinginannya dan tidak melakukan perlawanan. Hal ini didasari oleh anggapan bahwa jika
perempuan rewel maka harus diperlakukan secara keras agar ia menjadi penurut. Anggapan di atas
membuktikan bahwa suami sering menggunakan kelebihan fisiknya dalam menyelesaikan problem
rumah tangganya.
1. Persaingan.
Di sisi lain, perimbangan antara suami dan istri, baik dalam hal pendidikan, pergaulan, penguasaan
ekonomi baik yang mereka alami sejak masih kuliah, di lingkungan kerja, dan lingkungan masyarakat
di mana mereka tinggal, dapat menimbulkan persaingan dan selanjutnya dapat menimbulkan
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Bahwa di satu sisi suami tidak mau kalah, sementara di
sisi lain istri juga tidak mau terbelakang dan dikekang.
1. Frustasi.
Terkadang pula suami melakukan kekerasan terhadap istrinya karena merasa frustasi tidak bisa
melakukan sesuatu yang semestinya menjadi tanggung jawabnya. Hal ini biasa terjadi pada pasangan-
pasangan seperti dibawah ini :
1. Belum siap kawin.
2. Suami belum memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap yang mencukupi kebutuhan rumah
tangga.
3. Serba terbatas dalam kebebasan karena masih menumpang pada orang tua atau mertua.
4. Kesempatan yang kurang bagi perempuan dalam proses hokum.
Pembicaraan tentang proses hukum dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga tidak terlepas dari
pembicaraan hak dan kewajiban suami istri. Hal ini penting karena bisa jadi laporan korban kepada
aparat hukum dianggap bukan sebagai tindakan kriminal tapi hanya kesalahpahaman dalam
keluarga. Hal ini juga terlihat dari minimnya KUHAP membicarakan mengenai hak dan kewajiban
istri sebagai korban, karena posisi dia hanya sebagai saksi pelapor atau saksi korban. Dalam proses
sidang pengadilan, sangat minim kesempatan istri untuk mengungkapkan kekerasan yang ia alami.
 
1. Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Dalam hal ini banyak dampak yang ditimbulkan oleh kekerasan itu sendiri. Dampak kekerasan dalam
rumah tangga akan terjadi pada istri, anak, bahkan suami.
1. Dampak  pada istri :
1. Perasaan rendah diri, malu dan pasif
2. Gangguan kesehatan mental seperti kecemasan yang berlebihan, susah makan dan
susah tidur
3. Mengalami sakit serius, luka parah dan cacat permanen
4. Gangguan kesehatan seksual
5. Menderita rasa sakit fisik dikarenakan luka sebagai akibat tindakan kekerasan
6. Kekerasan seksual dapat mengakibatkan turun atau bahkan hilangnya gairah seks,
karena istri menjadi ketakutan dan tidak bisa merespon secara normal ajakan
berhubungan seks
2. Dampak pada anak :
1. Mengembangkan prilaku agresif dan pendendam
2. Mimpi buruk, ketakutan, dan gangguan kesehatan
3. Kekerasan menimbulkan luka, cacat mental dan cacat fisik
3. Dampak pada suami :
1. Merasa rendah diri, pemalu, dan pesimis
2. Pendiam, cepat tersinggung, dan suka menyendiri
Selain itu menurut Suryasukma efek psikologis penganiyaan bagi banyak perempuan lebih parah
disbanding efek fisiknya. Rasa takut, cemas, letih, kelainan stress post traumatic, serta gangguan
makan dan tidur merupakan reaksi panjang dari tindak kekerasan terhadap istri juga mengakibatkan
kesehatan reproduksi terganggu secara bilologis yang pada akhirnya terganggu secara sosiologis. Istri
yang teraniaya sering mengisolasi diri dan menarik diri karena berusaha menyembunyikan bukti
penganiyaan mereka.
Perempuan terganggu kesehatan reproduksinya bila pada saat tidak hamil mengalami gangguan
menstruasi seperti menorhagia, hipomenohagia atau metrohagia bahkan wanita dapat mengalami
menopause lebih awal, dapat mengalami penurunan libido, ketidakmampuan mendapatkan orgasme.
Diseluruh dunia satu diantara empat perempuan hamil yang mengalami kekerasan fisik dan
kekerasan seksual oleh pasangannya. Pada saat hamil, dapat terjadi keguguran/abortus, persalinan
immature, dan bayi meninggal dalam rahim. Pada saat bersalin, perempuan akan mengalami penyulit
persalinan seperti hilangnya kontraksi uterus, persalinan lama, persalinan dengan alat bahkan
pembedahan. Hasil dari kehamilan dapat melahirkan bayi dengan BBLR. Terbelakang mental, bayi
lahir cacat fisik atau bayi lahir mati.
Dampak lain yang juga mempengaruhi kesehatan organ reproduksi istri dalam rumah tangga
diantaranya perubahan pola pikir, emosi dan ekonomi keluarga. Dampak terhadap pola pikir istri
misalnya tidak mampu berpikir secara jernih karena selalu merasa takut, cenderung curiga
(paranoid), sulit mengambil keputusan, tidak bias percaya dengan apa yang terjadi. Istri yang menjadi
korban kekerasan memiliki masalah kesehatan fisik dan mental dua kali lebih besar dibandingkan
yang tidak menjadi korban termasuk tekanan mental, gangguan fisik, pusing, nyeri haid, terinfeksi
penyakit menular (www.depkes.go.id).
Dampak terhadap ekonomi keluarga adalah persoalan ekonomi, hal ini terjadi tidak saja pada wanita
yang tidak bekerja tetapi juga pada wanita yang bekerja atau mencari nafkah. Seperti terputusnya
akses mendadak , kehilangan kendali ekonomi rumah tangga, biaya tak terduga untuk tempat tinggal,
kepindahan, pengobatan, terapi serta ongkos untuk kebutuhan yang lain.
1. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
2. Pengkajian
 Kecemasan
o Perilaku : Gelisah, ketegangan fisik, tremor, gugup, bicara cepat, menarik diri dari
hubungan personal, mengahalangi,  menarik diri dari  hubungan interpersonal, melarikan
diri dari hubungan intrapersonal.
o Stresor Pecetus : Stesor penscetus mungkin berasal dari sumber internal dan sumber
eksternal. Stressor pencetus dibagi menjadi dua  kategori. Kategori pertama yaitu ancaman
terhadap integritas seseorang meliputi ketidakmampuan fisiologis yang akan datang atau
menurunnya kkapasitas untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari. Katagori kedua yaitu
ancaman terhadap system diri seseorang dapat membahayakan identitas, harga diri, dan
fungsi social yang terintegrasi seseorang.
o Mekanisme koping : Tingkat kecemasan seseorang dapat menimbulkan dua
mekanisme koping. Mekanisme yang pertama adalah mekanisme yang berorientasi pada
tugas yaitu upaya yang disadari, dan berorientasi pada tindakan untuk memenuhi secara
realistic tuntutan situasi stress(Perilaku menyerang untuk mengatasi hambatan
pemenuhan, perilaku menarik diri secara fisik maupun psikologik untuk memindahkan
sumber stress, perilaku kompromi untuk mengubah tujuan). Mekanisme yang kedua
adalah mekanisme pertahan ego yang membantu mengatasi ansietas.
o Gangguan Tidur
 Perilaku
 Sumber koping : dukungan social dari keluarga, teman, dan pemberi
pelayanan juga merupakan sumber yang penting.
 Mekanisme koping : represi perasaan, konflik, menyangkal masalah
psikologis.
 Gangguan Seksual
 Perilaku
 Factor predisposisi
 Faktoer pencetus
 Mekanisme koping
 
1. Diagnosa Keperawatan
 Kecemasan
 Ansietas
 Inefektif koping
 Ketakutan
 Gangguan Tidur
o Gangguan cerita tubuh
o Proses perubahan keluarga
o Gangguan pola tidur
o Kerusakan interaksi sosial
o Gangguan Seksual
o Gangguan citra tubuh
o Ketakutan
o Ketidakberdayaan
o Nyeri
o Gangguan harga diri
o Perubahan peforma peran
o Resiko terhadap kesepian
o Distress spiritual
o Kerusakan interaksi sosial
1. Identifikasi Hasil
 Kecemasan
 Pasien akan menunjukkan cara adaptif dalam mengatasi stress
 Gangguan tidur
o Pasien akan mengekspresikan perasaannya secara verbal daripada melalui
perkembangan gejala-gejala fisik.
o Gangguan seksual
 Pasien akan mencapai tingkat maksimal respons seksual yang adaptif untuk
meningkatkan atau mempertahankan kesehatan.
1. Perencanaan
 Kecemasan
o Pasien harus mengembangkan kapasitasnya untuk mentoleransi ansietas.
o Gangguan tidur
 Penyuluhan untuk pasien tentang strategi koping yang adaptif.
 Gangguan seksual
 Lakukan penyuluhan.
1. Implementasi
 Kecemasan
 Memecahkan masalah yang membuat pasien cemas
 Gangguan tidur
o Memenuhi kebutuhan fisiologis pasien.
o Memenuhi kebutuhan dasar akan rasa aman dan keselamatan.
o Gangguan Seksual
 Sebelum melakukan penyuluhan perawat harus memeriksa nilai dan
keyakinannya sendiri tentang pasien yang berperilaku seksual yang mungkin
berebda.
1. Evaluasi
 Kecemasan
o Sudahkah ancaman terhadap integritas fisik atau system diri pasien berkurang dalam
sifat, jumlah, asal, atau waktunya?
o Apakah perilaku pasien menunjukkan ansietas?
o Sudahkah sumber koping pasien dikaji dan dikerahkan dengan adekuat?
o Apakah pasien menggunakan respon koping adaptif?
o Gangguan tidur
 Sudahkah pola tidurnya telah normal kemabali?
 Apakan kecemasan masih mengganggu tidur pasien?
 Gangguan seksual
 Apakah pengakajian keperawatan tentang seksualitas telah lengkap,
akurat, dan dilakukan secara professional?
 Apakah pasien merasakan perbaikan selama perbaikan?
 Apakah hubungan interpersonal pasien telah meningkat?
 Apakah penyuluhan kesehatan tentang ekspresi seksual telah
dilakukan dengan benar?
 Apakah perasaan perawat sendiri tentang seksual telah digali
semua pada pasien?
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
BAB III
PENUTUP
 Kesimpulan
1. Undang-Undang PKDRT ini menyebutkan bahwa Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah
setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah
tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Pasal 1 ayat 1).
2. Menurut Pasal 6 kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit
atau luka berat.
3. Menurut pasal 7 kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya
rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau
penderitaan psikis berat pada seseorang.
4. Menurut Suryasukma efek psikologis penganiyaan bagi banyak perempuan lebih parah
disbanding efek fisiknya. Rasa takut, cemas, letih, kelainan stress post traumatic, serta gangguan
makan dan tidur merupakan reaksi panjang dari tindak kekerasan terhadap istri juga
mengakibatkan kesehatan reproduksi terganggu secara bilologis yang pada akhirnya terganggu
secara sosiologis.
 
 
 
 
DAFTAR PUSTAKA
Stuart, Gail Wiscarz. 1998. Buku Saku Kperawatan Jiwa. Jakarta : EGC.
http://nersjiwa.blogspot.com/2008_04_20_archive.html
http://kdrt.webs.com/pendahuluandefinisibent.htm
http://magetanonline.com/bentuk-bentuk-kdrt-kekerasan-dalam-rumah-tangga/
http://ichamor.blogspot.com/2009/11/apa-yang-dimaksud-dengan-kekerasan.htmlfikirjernih
 

Anda mungkin juga menyukai