Anda di halaman 1dari 90

LAPORAN KASUS

Chronic Kidney Disease

dengan

Efusi Pleura Masif Sinistra

Oleh :
MARIA SINTA D Y LUMBAN GAOL
NIM :196100802017

Pembimbing :
dr. Suyanto, Sp.PD. FINASIM

Program Studi Pendidikan Dokter


Fakultas Kedokteran Universitas Palangka Raya
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD dr. Doris Sylvanus
Palangka Raya
2020

i
LEMBAR PENGESAHAN

Chronic Kidney Disease

dengan

Efusi Pleura Masif Sinistra

MARIA SINTA DWI Y. LUMBAN GAOL


206100802017

LAPORAN KASUS

Diajukan sebagai salah satu syarat mengikuti Ujian Akhir di SMF Ilmu Penyakit
Dalam

ii
Laporan Kasust ini disahkan oleh :

Nama Tanggal Tanda Tangan

dr. Suyanto, Sp.PD. FINASIM ........................

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat, rahmat serta karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan kasus yang berjudul “Chronic Kidney Disease dan Efusi Pleura Masif
Sinistra”. laporan kasus ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam
kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Penyakit Dalam di RSUD dr. Doris Sylvanus
Palangka Raya. Penulis sadar bahwa dalam proses penyelesaian penulisan laporan
kasus ini banyak mengalami kendala namun semua ini tidak terlepas dari bantuan,
bimbingan, kerjasama, dan dukungan dari berbagai pihak sehingga kendala-
kendala yang dihadapi tersebut dapat diatasi.

Pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan terima kasih kepada dr.

iii
Suyanto, Sp.PD. FINASIM sebagai pembimbing saya yang telah banyak
memberikan arahan, motivasi, saran, meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran serta
perhatiannya selama penyusunan, kedua orang tua saya yang selalu mendukung,
memberikan motivasi dan juga teman-teman yang selalu memberikan semangat
kepada saya dalam penyusunan laporan kasus ini hingga dapat terselesaikan.
Demikian yang dapat penulis sampaikan. Kiranya laporan kasus ini dapat
berguna dan membantu dokter-dokter muda selanjutnya maupun mahasiswa-
mahasiswi jurusan kesehatan lain yang sedang dalam menempuh pendidikan,
laporan kasus ini berguna sebagai referensi dan sumber bacaan untuk menambah
ilmu pengetahuan.
Palangka Raya, Oktober 2020

Penulis

iv
DAFTAR ISI

v
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Chronic kidney disease atau penyakit ginjal kronis merupakan suatu


gangguan pada ginjal yang ditandai dengan keadaan abnormalitas struktur ataupun
fungsi ginjal yang berlangsung lebih dari 3 bulan.1 Chronic Kidney Disease
(CKD) atau gagal ginjal kronis merupakan suatu proses patofisiologis dengan
etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif,
dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Penyakit CKD terjadi apabila
kedua ginjal sudah tidak mampu mempertahankan lingkungan dalam yang cocok
untuk kelangsungan hidup. Kerusakan pada kedua ginjal bersifat ireversibel.
Hasil Riskesdas 2013 juga menunjukkan prevalensi meningkat seiring dengan
bertambahnya umur, dengan peningkatan tajam pada kelompok umur 35-44 tahun
dibandingkan kelompok umur 25-34 tahun. Prevalensi pada laki-laki (0,3%) lebih
tinggi dari perempuan (0,2%), prevalensi lebih tinggi terjadi pada masyarakat
perdesaan (0,3%), tidak bersekolah (0,4%), pekerjaan wiraswasta,
petani/nelayan/buruh (0,3%).2
Pada derajat awal, Penyakit ginjal kronik belum menimbulkan gejala dan
tanda, bahkan hingga laju filtrasi glomerulus sebesar 60% pasien masih
asimtomatik namun sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.3
Menurut beberapa sumber penyebab kerusakan ginjal pada PGK adalah
multifaktorial dan kerusakannya bersifat ireversibel.7 Penyebab PGK pada pasien
hemodialisis baru di Indonesia adalah glomerulopati primer 14%, nefropati
diabetika 27%, nefropati lupus/SLE 1%, penyakit ginjal hipertensi 34%, ginjal
polikistik 1%, nefropati asam urat 2%, nefropati obstruksi 8%, pielonefritis
kronik/PNC 6%, lain-lain 6%, dan tidak diketahui sebesar 1%. Penyebab
terbanyak adalah penyakit ginjal hipertensi dengan persentase 34 %.

Efusi pleura adalah masalah klinis yang umum ditemui dan sering muncul
sebagai penyakit sekunder terhadap penyakit lain diantaranya adalah pada
Penyakit Ginjal Kronis, sehingga efusi pleura sebagai komplikasi pada pasien
dengan penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan dilema bagi nefrologi dan
pulmonologi apakah disebabkan dari gangguan fungsi ginjal ataukah oleh karena
sebab lain yaitu infeksi.

Efusi pleura adalah akumulasi cairan yang abdormal pada ruang pleura. Efusi
pleura menunjukkan suatu proses patologis yang mungkin secara primer berasal
dari paru itu sendiri ataupun terkait dengan sistem organ lain dan kadang-kadang
bisa merupakan manifestasi dari beberapa penyakit sistemik.

Meskipun spektrum etiologi dari efusi pleura sangat luas, kebanyakan efusi
pleura disebabkan oleh gagal jantung kongestif, pneumonia, keganasan, atau
emboli paru, penyakit ginjal. Efusi pleura umumnya diklasifikasikan sebagai
transudat atau eksudat, berdasarkan mekanisme pembentukan cairan dan kimia
cairan pleura. Transudat terjadi akibat ketidakseimbangan tekanan onkotik dan
hidrostatik, sedangkan eksudat disebabkan oleh peradangan pada pleura atau
penurunan drainase limfatik. Dalam beberapa kasus, cairan pleura mungkin
memiliki kombinasi karakteristik transudatif dan eksudatif.

Etiologi efusi pleura pada pasien GGK masih menjadi suatu dilemma apakah
disebabkan dari GGK itu sendiri seperti kelebihan cairan, sindrom nefrotik,
pleuritik uremik, infeksi yang menyertai terutama, tuberkulosis (TB) di negara
endemik TB, emboli paru atau penyakit yang menyebabkan sindrom pleuro-
ginjal, seperti sistemik lupus erythematosus.
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien

a. Nama : Ny. N
b. Jenis Kelamin : Perempuan
c. Usia : 41Tahun
d. Agama : Islam
e. Alamat : jl. G. obos XVI
f. Pendidikan : SMA
g. Status : Menikah
h. Pekerjaan : IRT
i. No. RM : 13.93.14
j. Anak :-
k. Masuk Rumah Sakit : 25 september 2020

2.2 Anamnesis

1. Keluhan utama :

Sesak nafas

2. Riwayat Penyakit sekarang :

Pasien datang ke instalansi gawat darurat RS. Doris Sylavanus Palangka raya
dari ruang hemodialisis dengan keluhan sesak nafas sejak 3 hari sebelum masuk
rumah sakit dan memberat setelah melakukan hemodialisis. Keluhan berlangsung
terus menerus dan tidak disertai suara mengi. Sesak nafas tidak membaik dengan
atau tanpa aktivitas. Keluhan lemas kadang muncul.
Pasien menceritakan 5 hari sebelum masuk rumah sakit sempat di rawat di
bangsal Bougenville dengan keluhan badan terasa lemas disertai mual dan
didiagnosis Chronic Kidney Disease St. V, pasien rutin melakukan cuci darah 2
kali dalam seminggu sejak tahun 2018.
Pasien mengeluhkan perutnya membesar dan terasa kencang, seperti terisi
cairan. Pasien menyangkal adanya nyeri dada, batuk berdahak, pilek, mual,
muntah, diare, BAB hitam, BAK batu, BAK sakit, berdebar-debar, lemas dan
nyeri perut.

3. Riwayat Penyakit Dahulu

- Hipertensi sejak 10 tahun yang lalu dan rutin minum obat


- DM sejak 15 tahun yang lalu tidak rutin minum obat
- CKD sejak tahun 2018 dan rutin pengobatan serta cuci darah 2 kali dalam 1
minggu (selasa dan jumat)
- TB (-)
- Asam urat (-)
- Asma (-)
- Penyakit jantung (-)
- ISK (-)
- Stroke (-)

4. Riwayat Penyakit Keluarga

- Hipertensi : (+)
- DM : (+)
- CKD : (-)
- Penyakit jantung : (-)
5. Riwayat Kebiasaan

- Merokok : (-)
- Alkohol : (-)
- Minum soda : (-)
- Minuman manis : (+)
- Minuman saset dan kemasan : (-)

2.3 Pemeriksaan Fisik

a. Keadaan Umum

- Keadaan umum : Tampak sesak


- Kesadaran : Compos Mentis
- Tekanan Darah : 160/70 mmHg
- Denyut nadi : 120 kali/menit, reguler, kuat angkat.
- Laju Nafas :34 kali/menit. Reguler. Thorako-Abdominal.
Takipnea
- Suhu : 37,20C , axilla

b. Antropometri

- Berat Badan : 65 kg
- Tinggi Badan : 156 cm
- IMT : 26,7 kg/m2 (obesitas I)

C. Status Generalis

 Kepala : normocephal, bekas luka (-), rambut hitam distribusi


merata.
 Mata :
o Palpebra edema (-)
o Kornea jernih, ulkus (-)
o Pupil isokor 3mm/3mm reaktif RCL +/+ RCTL+/+
o konjungtiva anemis (+/+)
o sklera ikterik (-/-)
 Hidung : septum deviasi (-), sekret (-/-), hiperemis (-/-)
 Telinga : normotia (+/+), serumen (-/-), sekret(-/-), pendengaran kedua
telinga normal
 Mulut ,bibir : dalam batas normal
 Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-), pembesaran
kelenjar tiroid (-), deviasi trakea (-), peningkatan JPV
(-) 5+2 cmH2O
 Jantung :
I : Ictus cordis tidak terlihat
P : teraba di ISC 5 linea midclavicula sinistra
A : S1/S2 reguler, Murmur (-), Gallop (-)

 Paru :
Pulmo Anterior Posterior
Inspeksi Dextra : massa (-), Dextra : massa (-),
ketinggalan gerak (-) ketinggalan gerak (-)
Sinistra : masaa (-), Sinistra : masaa (-),
ketinggalan gerak (+) ketinggalan gerak (+)
Palpasi Dextra : Taktil fremitus Dextra : Taktil
vokal dalam batas fremitus vokal dalam
normal batas normal
Sinistra : taktik fremitus Sinistra : taktik
vokal melemah fremitus vokal
melemah
Perkusi Dextra : seluruh lapang Dextra : seluruh
pulmo dextra anterior lapang pulmo dextra
sonor posterior sonor
Sinistra : seluruh lapang Sinistra : seluruh
pulmo sinistra anterior lapang pulmo sinistra
redup posterior redup
Auskultasi Dextra : vesikuler (+), Dextra : vesikuler (+),
wheezing (-), ronkhi (-) wheezing (-), ronkhi
Sinistra : vesikuler (↓), (-)
wheezing (-), ronkhi (-) Sinistra : vesikuler (↓),
wheezing (-), ronkhi
(-)

 Abdomen :
o Inspeksi : cembung, capus medusae(-), bekas luka (-), massa (-)
o Auskultasi : BU (+) 10x/menit.
o Perkusi : dull pada lateral abdomen, shifting dullness (+).
o Palpasi : Supel, massa (-).

 Ekstremitas : Akral hangat, CRT< 2 detik, pitting edema -/-/-/-

2.4 Pemeriksaan Penunjang

a. Laboratorium :

29/9/20 01/10/20 02/10/20 Nilai


Pemeriksaan 25/9/20
Normal
Hemoglobin 7.1 8.1 9.4 9.0 10.00-18.00

Hematokrit 22.1 25.3 29.3 28.1 37.00-48.00

Eritrosit (RBC) 2.68 3.01 3.46 3.33 4.00-6.00 x


106
Leukosit 12.67 11.06 9.79 8.69 4.50-11.00 x
(WBC) 103
Platelet count 381 387 393 333 150-400 x103
MCV 82.5 84.1 84.7 84.4 86.00 –
102.00
MCH 26.5 26.9 27.2 27.0 25.60 –
30.70
MCHC 32.1 32.0 32.1 32.0 28.20 –
31.50
SGOT (AST) 5 – 34
SGPT (ALT) 0 – 55
Ureum 76 67 47 21-53
Creatinine 4.73 6.66 5,07 0.7 – 1.5
eGFR > 60.00
Gula Darah 135 131 131 < 200.0
Sewaktu
Natrium 135-148
Kalium 3.5-5.5
Clorida
Calcium 0.98-1.2

b. Foto Thorax

AP/PA : 25 september 2020

Interpretasi :
X-ray Thorax AP
- Terpasang CDL di hemitgorax dextra dengan kedudukan baik
- Posisi cor terdorong di hemitorax dextra, batas cor tertutup lesi opositas
- Tampak sebaran infiltra pada lapang paru dextra
- Sinus costofrenikus dextra nampak tumpul dan sinus costofrenikus sinistra
tertutup lesi opak
- Pulmo hilus sinistra = dextra tertutup
- Tampak ground glass opacity pada lapang atas -bawah paru sinistra
Kesan : efusi pleura masif sinistra dengan peradangan organ mediastinum

2.5 Diagnosis

- Chronic Kidney Disease St. V On HD


- Efusi Pleura Masif (s)
- Anemia Normokromik Makrositik
- Hipertensi St. II

2.6 Tatalaksana Awal

Inj furosemide
Inj. S. Cefriaxone 2 x 1 gr (H4)
Transfusi PRC 2 Kolf (1kolf/24 jam)
Amlodipin 10 mg 1 x 1
Condesartan 8 mg 1 x 1 (1-0-0)
CaCo3 3 x 1
Asam folat 3 x 1
Concor 2,5 mg 1x1 (0-1-0)

2.7 Follow Up

25/9/20 S : Sesak (+), pusing (+), demam (-)


O : TSS, CM
- TD = 216/105 mmHg N=123 x/m RR=30 x/m S = 37,2℃
- Mata = CA +/+
- Thorax = Cor S1-S2 normal, mur-mur (-), gallop (-)
- Pulmo Ves +/↓ Rh -/- Wh -/-
- Abd = BU (+), asites
- Ext = Edema -/-/-/-, akral hangat
A:
- CKD st. V on HD
- Anemia Normokromik Makrositik
- Hipertensi st. II

P:
- Inj. Furosemid 3 x 1 ampul
- S. Cefriaxone 2 x 1 gr (H4)
- PRC 2 Kolf (1 klof / 24 jam)
- Konsul baca foto thorax
- HD rutin selasa & jumat jam 07.00 WIB
- Hasil Laboratorium: Hb 7.1, Leukosit 12.67 x 10 3, MCV 82.5,
MCH 26.5, MCHC 32.1, ureum 76, creatinin 4.73
Po. :
amlodipin 10 mg 1x1
Condesartan 8 mg 1x1
Calos 3 x 1
Asam folat 3 x 1

26/9/20 S : Sesak (+), lemas (+), demam (-)


O : TSS, CM
- TD = 160/100 mmHg N=117 x/m P=28x/m S =36,9℃
- Mata = CA +/+
- Thorax = Cor S1-S2 normal, mur-mur (-), gallop (-)
- Pulmo Ves +/↓ Rh -/- Wh -/-
- Abd = BU (+), asites
- Ext = Edema -/-/-/-, akral hangat
A:
- CKD st. V on HD
- Anemia Normokromik makrosiitk
- Hipertensi St. II
P:

- Inj. Furosemid 3 x 1 ampul


- S. Cefriaxone 3 x 1 gr (H4)
- PRC 2 Kolf (1 klof / 24 jam)
- Konsul baca foto thorax hari senin 28 september 2020
dengan dr.Sp.P
- HD rutin selasa & jumat jam 07.00 WIB
Po. :
amlodipin 10 mg 1x1
Condesartan 8 mg 1x1
CaCo3 3 x 1
Asam folat 3 x 1

27/9/20 S : sesal(↓), demam (-)


O : TSS, CM
- TD = 165/106 mmHg N=116x/m P=25 x/m S =36,2℃
- Mata = CA +/+
- Thorax = Cor S1-S2 normal, mur-mur (-), gallop (-)
- Pulmo Ves +/↓ Rh -/- Wh -/-
- Abd = BU (+), nyeri perut (+)
- Ext = Edema -/-/-/-
A:
- CKD on HD
- Anemia Normokromik Makrositik
- Hipertensi St. II
P:

- Inj. Furosemid 3 x 1 ampul


- S. Cefriaxone 2 x 1 gr (H4)
- PRC 2 Kolf (1 klof / 24 jam)
Po. :
amlodipin 10 mg 1 x 1
Condesartan 8 mg 1 x 1
CaCo3 3 x 1
Asam folat 3 x 1

28/9/20 S : Sesak (↓) , demam (-)


O : TSS, CM
- TD = 140/90 mmHg N= 116x/m P=24x/m S =36,7℃
- Mata = CA -/- SI -/-
- Thorax = Cor S1-S2 tunggal, mur-mur (-), gallop (-)
- Pulmo Ves +/↓ Rh -/- Wh -/-
- Abd = BU (+), asites
- Ext =’ Edema -/-/-/-, akral hangat
A:
- CKD stage V on HD
- Anemia normokromik makrositik
- Hipertensi St. II
- Efusi Pleura Masif sinitra

P:
- Inj. Furosemid 3x1 ampul
- Inj. Ceftriaxone 2x1 gr (H4)
- Transfusi PRC 2 Kolf < 1 kolf (1kolf/24jam)
- Pungsi pleura dengan dr.Sp.P hasil cairan 1000 cc,
besok cek cairan ke PA
- Hasil baca Rontgen : kesan efusi pleura masif sinistra

Po. :
amlodipin 10 mg 1 x 1
Condesartan 8 mg 1 x 1
CaCo3 3 x 1
Asam folat 3 x 1

29/9/20 S : Sesak (↓), lemas (-), demam (-)


O : TSS, CM
- TD = 130/70 mmHg N=108 x/m P=20 x/m S =37,0℃
- Mata = CA -/-
- Thorax = Cor S1-S2 normal, mur-mur (-), gallop (-)
- Pulmo Ves +/↓ Rh -/- Wh -/-
- Abd = BU (+), asites
- Extre = Edema -/-/-/-. akral hangat
- Hasil pemeriksaan Lab post HD : Hb : 8,1 , HCT:
25,3%, GDS: 131, Ur: 67, Cr: 6.6
A:
- CKD stage V on HD
- Efusi Pleura masif sinistra
- Anemia Normokromis Makrositik
- Hipertensi St. II

P:
- Inj. Furosemid 3x1 ampul
- Inj. Ceftriaxone 2x1 gr (H4)
- Transfusi PRC 2 Kolf < 1 kolf (1kolf/24jam)

Po. :
amlodipin 10 mg 1 x 1
Condesartan 8 mg 1 x 1
CaCo3 3 x 1
Asam folat 3 x 1

30/9/20 S : Sesak (-) , demam (-), batuk (-)


O : TSS, CM
- TD = 133/78 mmHg N=114x/m P=18x/m S = 37,0℃
- Mata = CA -/-
- Thorax = Cor S1-S2 normal, mur-mur (-), gallop (-)
- Pulmo Ves +/↓ Rh -/- Wh -/-
- Abd = BU (+), asites
- Ext = Edema -/-/-/-, akral hangat
A:
- CKD st. V on HD
- Efusi Pleura masif sinistra
- Anemia Normokromik Makrositik
- Hipertensi St. II
P:
- Inj. Furosemid 3x1 ampul
- Inj. Ceftriaxone 2x1 gr (H4)
- Transfusi PRC 2 Kolf < 1 kolf (1kolf/24jam)
- Kolf ke II masuk pukul 22.00 WIB selesai pukul
01.00 WIB
- Hasil baca pemeriksaan sitopatologi : peradangan
kronis nonspesifik tidak ditemukan sel tumor ganas
- Cek DL

Po. :
amlodipin 10 mg 1 x 1
Condesartan 8 mg 1 x 1
CaCo3 3 x 1
Asam folat 3 x 1
Concor 2,5 mg 1x1
01/10/20 S : sesak (↓), demam (-)
O : TSS, CM
- TD = 180/170 mmHg N=113x/m P=22x/m S = 37,1℃
- Mata = CA -/-
- Thorax = Cor S1-S2 normal, mur-mur (-), gallop (-)
- Pulmo Ves +/↓ Rh -/- Wh -/-
- Abd = BU (+), asites
- Ext = Edema -/-/-/-, akral hangat
A:
- CKD st. Von HD
- Efusi Pleura masif sinistra
- Anemia Normokromik Makrositik
- HT st. II
P:
- Inj. Furosemid 3x1 ampul
- Transfusi PRC 2 Kolf < 1 kolf (1kolf/24jam)
- Rencana pungsi pleura ke 2 dengan dr.Sp.P
- Hasil cek DL (+), Hb: 9,4 g/dL, Ht: 29,3%, MCV:
84,7fl, MCH: 27,2 pg

Po. :
amlodipin 10 mg 1 x 1
Condesartan 16 mg 1 x 1 (1-0-0)
CaCo3 3 x 1
Asam folat 3 x 1
Concor 2,5 mg 1x1 (0-1-0)
02/10/20 S : sesak (+), Demam (-)
O : TSS, CM
- TD = 135/105 N=102x/m P=27 x/m S = 36,9
- Mata = CA -/-
- Thorax = Cor S1-S2 normal, mur-mur (-), gallop (-)
- Pulmo Ves +/↓ Rh -/- Wh -/-
- Abd = BU (+) , asites
- Ext = Edema -/-/-/-, akral hangat
A:
- CKD st. V on HD
- Efusi pleura masif sinistra
- Anemia Normokromik Makrositik
- Hipertensi St. II
P:
- Inj. Furosemide 3x1 ampul
- HD rutin selasa & jumat pukul 07.00 WIB
- Cek Darah lengkap post HD → Hb 9.0 Ht 28.1,
leukosit 8.69, Ur 47, Cr 5.07
- Pungsi pleura ke II dengan Sp,P → cairan ± 1000 cc

Po. :
amlodipin 10 mg 1 x 1
Condesartan 16 mg 1 x 1 (1-0-0)
CaCo3 3 x 1
Asam folat 3 x 1
Concor 2,5 mg 1x1 (0-1-0)
03/10/20 S : sesak (-), Demam (-)
O : TSS, CM
- TD =130/90 N=108x/m P=18x/m S =37,2
- Mata = CA -/-
- Thorax = Cor S1-S2 normal, mur-mur (-), gallop (-)
- Pulmo Ves +/+ Rh -/- , Wh -/-
- Abd = BU (+) , asites
- Ext = Edema -/-/-/-, akral hangat
A:
- CKD st. Von HD
- Efusi pleura masif sinistra
- Anemia Normokromik Makrositik
- Hipertensi St. II
P:
- Inj. Furosemide 3x1 ampul

Po. :
amlodipin 10 mg 1 x 1
Condesartan 16 mg 1 x 1 (1-0-0)
CaCo3 3 x 1
Asam folat 3 x 1
Concor 2,5 mg 1x1 (0-1-0)
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Fisiologi ginjal

Ginjal merupakan bagian dari sistem perkemihan, dimana sistem perkemihan


terdiri dari sepasang ginjal, sepasang ureter, satu kandung kemih dan uretra,
Sistem ini berperan dalam menjaga homeostasis melalu proses yang cukup rumit
yakni filtrasi, absorbsi dan sekresi.

Fungsi yang diperankan ginjal sangat penting untuk kehidupan manusia,


yaitu menyaring (filtrasi) sisa hasil metabolisme dan toksin dari darah,
mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit tubuh, yang selanjutnya akan
dikeluarkan melalui urin. Fungsi tersebut antara lain mengontrol sekresi hormon
aldosteron dan ADH (Anti Diuretic Hormone) yang berperan dalam mengatur
jumlah cairan tubuh, mengatur metabolisme ion kalsium dan vitamin D, serta
menghasilkan beberapa hormon yaitu eritropoetin yang mempunyai peran dalam
pembentukan eritrosit, renin yang mempunyai peran dalam mengatur tekanan
darah, dan hormon prostaglandin yang berguna dalam berbagai mekanisme tubuh

Pada awalnya, ginjal yang normal mempunyai kemampuan untuk


mempertahankan nilai Glomerulus Filtration Rate (GFR). Namun, karena
beberapa faktor, ginjal mengalami penurunan jumlah nefron.
3.1 Chronic Kidney Disease

3.1.1 Difinisi

Chronic kidney disease atau penyakit ginjal kronis merupakan suatu


gangguan pada ginjal yang ditandai dengan keadaan abnormalitas struktur
ataupun fungsi ginjal yang berlangsung lebih dari 3 bulan. 1 Penyakit ginjal kronis
awalnya tidak menunjukkan tanda dan gejala namun dapat berjalan progresif
menjadi gagal ginjal. Penyakit ginjal bisa dicegah dan ditanggulangi dan
kemungkinan untuk mendapatkan terapi yang efektif akan lebih besar jika
diketahui lebih awal.2 Chronic Kidney Disease (CKD) adalah kerusakan ginjal
yang terjadi selama lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau
petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria. Berbagai faktor yang mempengaruhi
kecepatan kerusakan serta penurunan fungsi ginjal dapat berasal dari genetik,
perilaku, lingkungan maupun proses degeneratif.1

3.1.2 Epidemiologi

Penyakit ginjal kronis (PGK) merupakan masalah kesehatan masyarakat


global dengan prevalens dan insidens gagal ginjal yang meningkat, prognosis
yang buruk dan biaya yang tinggi. Prevalensi PGK meningkat seiring
meningkatnya jumlah penduduk usia lanjut dan kejadian penyakit diabetes
melitus serta hipertensi.2 Saat ini banyak studi menunjukkan bahwa prevalensi
PGK meningkat di berbagai wilayah di seluruh dunia. Prevalensi PGK derajat II
sampai V terus meningkat sejak tahun 1988 sejalan dengan peningkatan
prevalensi penyakit diabetes dan hipertensi yang juga merupakan penyebab PGK.
3

Prevalensi gagal ginjal kronik (sekarang disebut PGK) di Indonesia pada


pasien usia lima belas tahun keatas di Indonesia yang didata berdasarkan jumlah
kasus yang didiagnosis dokter adalah sebesar 0,2%. Prevalensi gagal ginjal
kronik meningkat seiring bertambahnya usia, didapatkan meningkat tajam pada
kelompok umur 25-44 tahun (0,3%), diikuti umur 45-54 tahun (0,4%), umur 55-
74 tahun (0,5%), dan tertinggi pada kelompok umur ≥ 75 tahun (0,6%).
Prevalensi pada laki-laki (0,3%) lebih tinggi dari perempuan (0,2%).4

Hasil Riskesdas 2013, populasi umur ≥ 15 tahun yang terdiagnosis gagal


ginjal kronis sebesar 0,2%. Angka ini lebih rendah dibandingkan prevalensi PGK
di negara-negara lain, juga hasil penelitian Perhimpunan Nefrologi Indonesia
(Pernefri) tahun 2006, yang mendapatkan prevalensi PGK sebesar 12,5%. Hal ini
karena Riskesdas 2013 hanya menangkap data orang yang terdiagnosis PGK
sedangkan sebagian besar PGK di Indonesia baru terdiagnosis pada tahap lanjut
dan akhir.2

Hasil Riskesdas 2013 juga menunjukkan prevalensi meningkat seiring


dengan bertambahnya umur, dengan peningkatan tajam pada kelompok umur 35-
44 tahun dibandingkan kelompok umur 25-34 tahun. Prevalensi pada laki-laki
(0,3%) lebih tinggi dari perempuan (0,2%), prevalensi lebih tinggi terjadi pada
masyarakat perdesaan (0,3%), tidak bersekolah (0,4%), pekerjaan wiraswasta,
petani/nelayan/buruh (0,3%), dan kuintil indeks kepemilikan terbawah dan
menengah bawah masing-masing 0,3%.2

3.1.3 Etiologi

Penyakit ginjal dijuluki sebagai silent disease karena seringkali tidak


menunjukkan tanda-tanda peringatan. Hal tersebut akan memperburuk kondisi
penderita dari waktu kewaktu dan akhirnya jatuh kedalam kondisi penyakit
chronic kidney disease (CKD).5,6
Terdapat tiga kategori ARF (Acute Renal Failure) atau gagal ginjal akut,
yaitu prerenal, renal dan postrenal dengan mekanisme patofisiologi berbeda.
a). Prerenal

Prerenal ditandai dengan berkurangnya pasokan darah ke ginjal. Penyebab


umumnya yaitu terjadinya penurunan volume intravaskular karena kondisi seperti
perdarahan, dehidrasi, atau hilangnya cairan gastrointestinal. Kondisi
berkurangnya curah jantung misalnya gagal jantung kongestif atau infark
miokard dan hipotensi juga dapat mengurangi aliran darah ginjal yang
mengakibatkan penurunan perfusi glomerulus dan prerenal ARF (Stamatakis,
2008). Penurunan aliran darah ginjal ringan sampai sedang mengakibatkan
tekanan intraglomerular yang disebabkan oleh pelebaran arteriola aferen (arteri
yang memasok darah ke glomerulus), penyempitan arteriola eferen (arteri yang
membawa darah dari glomerulus), dan redistribusi aliran darah ginjal ke medula
ginjal. Fungsional ARF terjadi ketika mekanisme adaptif terganggu dan hal
tersebut sering disebabkan oleh obat-obatan, antara lain: NSAID (Non Steroid
Anti Inflammatory Drug) merusak dilasi mediator prostaglandin dari arteriola
aferen. ACEI (Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor) dan ARB (Angiotensin
Receptor Blocker) menghambat angiotensin II dimediasi oleh penyempitan
arteriola eferen. Siklosporin dan takrolimus terutama dalam dosis tinggi
merupakan vasokonstriktor ginjal yang poten. Semua agen tersebut dapat
mengurangi tekanan intraglomerular dengan penurunan GFR (Glomerular
Filtration Rate) (Stamatakis, 2008).

b). Renal
Gagal ginjal intrinsik, disebut juga sebagai intrarenal ARF disebabkan oleh
penyakit yang dapat mempengaruhi integritas tubulus, pembuluh glomerulus,
interstitium, atau darah. ATN (Acute Tubular Necrosis) merupakan kondisi
patofisiologi yang dihasilkan dari obat (aminoglikosida atau amfoterisin B) atau
iskemik terhadap ginjal.

c). Postrenal
Postrenal terjadi karena obstruksi aliran kemih oleh beberapa sebab, antara
lain: hipertrofi prostat jinak, tumor panggul, dan pengendapan batu ginjal.

Penyakit gagal ginjal kronis ini disebabkan oleh kerusakan ginjal dari
penyebab yang bermacam-macam antara lain pada kista renal yang menyebabkan
penyakit polisistik ginjal. Kerusakan ginjal disebakan karena kehilangan massa
nefron, proteinuria serta hipertensi pada kapiler glomerulus. Tekanan kapiler
glomerulus meningkat dimediasi oleh angiotensin II untuk menjaga hiperfiltrasi
dari fungsi nefron. Angiotensin II yang bertindak sebagai vasokonstriktor pada
arteriola aferen dan arteriola eferen, namun lebih dominan pada arteriola eferen.
Sehingga dapat menaikkan tekanan kapiler pada glomerulus. Peningkatan
tekanan kapiler glomerulus dapat menyebabkan pori-pori membran glomerulus
semakin luas dan mengubah ukuran barier selektif yang memungkinkan protein
disaring melalui glomerulus. Protein disaring dan diserap pada tubulus ginjal,
proses tersebut mengaktifkan sel-sel tubular yang menghasilkan vasoaktif sitokin
dan inflamasi yang akan menyebabkan kerusakan interstitial pada tubulus ginjal
sehingga nefron akan banyak hilang dan menyebabkan penurunan fungsi ginjal.
Sehingga etiologi paling sering gagal ginjal kronis disebabkan oleh
glomerulonefritis kronis, diabetes nefropati, hipertensi, penyakit renovaskuler,
interstitial nefritis kronis, penyakit ginjal keturunan, dan penyempitan saluran
kemih berkepanjangan. Gambaran klinis gagal ginjal kronis meliputi nokturia,
edema, anemia, gangguan elektrolit, hipertensi, penyakit tulang, perubahan
neurologis, gangguan fungsi otot, dan uremia.
Chronic Kidney Disease biasanya dapat menyebabkan penuruna fungsi ginjal
secara progresif meskipun penyebab pemicunya dapat diidentifikasi dan diobati.
Beberapa etiologi yang biasanya terjadi :

Tabel 3.1 Etiologi CKD

Penyakit Glomerular
 Penyakit glomerulus primer

Glomerulosklerosis segmental fokal

Glomerulonefritis membranopoloferatif

Nefropati IgA

Nefropati membranosa

Nefritis heredites

 Penyakit glomerulus sekunder

Nefropati diabetik

Amiloidosis ginjal

Glomerulonefrtis pasca infeksi

Nefropati akibat HIV

SLE

Glomerulonefrtis membranopoliferatif terkait HCV


Nefritis Tubulointestinal
Hipersenisitivitas obat

Logam analgesik

Pielonefrtis kronis
Nefropati

Idiopatik
Penyakit kistik
Penyakit ginjal polikistik

Penyakit kistik meduler


Nefropati obstruksi
Prostat

Nefrolitiasis

Fibrosis / tumor retroperitoneal

kongenital
Penyakit vaskular
Nefrosklerosis hipertensi

Stenosis arteri ginjal

3.1.4 Klasifikasi

Klasifikasi KDIGO (Kidney Disease Improving Global Outcomes)


diterbitkan dari tahap penyakit ginjal kronis, sebagai berikut:8
Tabel 3.1. Klasifikasi Chronic Kidney Disease8
Stadium GFR (ml/mnt/1,73 m2) Deskripsi

1 ≥90 Kerusakan ginjal dengan GFR


normal /meningkat

2 60-89 Kerusakan ginjal dengan penuruna GFR


ringan
3a 45-59 Kerusakan ginjal dengan penurunan
GFR ringan ke sedang
3b 30-44 Kerusakan ginjal dengan penurunan
GFR sedang ke berat
4 15-29 Kerusakan ginjal dengan penurunan
GFR berat
5 <15 Gagal ginjal

3.1.5 Patofisiologi

Ginjal normal terdiri dari sekitar 1 juta nefron, yang masing-masing


berkontribusi pada laju filtrasi glomerulus total (GFR). Mekanisme terjadi
penyakit ginjal kronik adalah adanya cedera jaringan (terlepas dari etiologinya),
ginjal memiliki kemampuan bawaan untuk mempertahankan GFR, meskipun
terjadi kerusakan nefron yang progresif, karena nefron sehat yang tersisa
menunjukkan hiperfiltrasi dan hipertrofi kompensasi. Kemampuan beradaptasi
nefron ini memungkinkan pembersihan normal lanjutan dari larutan plasma.
Kadar zat dalam plasma seperti urea dan kreatinin mulai menunjukkan
peningkatan yang dapat diukur hanya setelah GFR total menurun 50%.10

Peningkatan tekanan kapiler glomerulus dapat merusak kapiler, yang pada


awalnya menyebabkan glomerulosklerosis fokal dan segmental sekunder (FSGS)
dan akhirnya menjadi glomerulosklerosis global.11

A. Patofisiologi gagal ginjal kronik dengan etiologi Hipertensi 2,13

Hipertensi ditandai dengan adanya peningkatan dari tekanan darah yaitu


sistol ≥140 mmHg dan diastole ≥90 mmHg. Hipertensi sangat berpengaruh
terhadap organ ginjal. Keadaan tersebut menyebabkan rusaknya pembuluh darah
dari ginjal. Pembuluh darah di ginjal yang disebut juga arteri renalis mengalami
kerusakan sehingga fungsi ginjal akan mengalami penurunan.35

Hipertensi pada penyakit ginjal kronis disebabkan karena ketidakmampuan


ekskresi garam dan air. Ekspansi pada volume ekstraselular mengeluarkan
hormon natriuretik dari sistem saraf pusat untuk kompensasi dan juga bertindak
sebagai vasokontriktor perifer. Hipertensi juga bertindak sebagai peningkatan
dari renin yang memproduksi angiotensin II dan mengurangi produksi dari
hormon ginjal vasodepressor.20,36

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kompensasi diperantarai oleh


molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factor. Hal tersebut menyebabkan
terjadinya hiperinfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran
darah glomerulus. Proses tersebut berlangsung singkat dan diikuti dengan
penurunan fungsi nefron yang progresif. Kompensasi pada aliran glomerulus
meningkatkan fungsi filtrasi glomerulus dengan menurunkan resistensi pembuluh
darah, sehingga aliran darah ginjal dan filtrasi meningkat.19,25

Sistem renin angiotensin aldosterone (RAA) memberikan kontribusi terhadap


terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas. Renin dihasilkan di sel
jukstaglomerulus menghasilkan angiotensin I. angiotensin I diubah menjadi
angiotensin II oleh Angiotensin Converting Enzyme (ACE). Aktivasi jangka
panjang pada renin angiotensin aldosteron diperantarai oleh growth factor seperti
transforming growth factor β (TGF-βI). Angiotensin II setelah berikatan dengan
angiotensin I menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatnya transpor natrium
sehingga terjadi glomerulosklerosis dan tubulointestinal sklerosis.19,25

B. Patofisiologi gagal ginjal kronis dengan etiologi diabetes melitus

Diabetes melitus adalah suatu penyakit metabolik yang berlangsung secara


kronik dan progresif yang ditandai dengan adanya hiperglikemi yang disebabkan
oleh gangguan sekresi insulin, gangguan kerja insulin, dan/atau keduanya.13
Beberapa gejala klasik dari diabetes melitus adalah polidipsi (rasa haus berlebih),
polifagi (rasa lapar berlebih), dan poliuri (pengeluaran urin berlebih).
Salah satu komplikasi dari diabetes melitus adalah penyakit ginjal yang juga
dikenal dengan istilah nefropati diabetik. Nefropati diabetik adalah suatu
sindroma klinis pada pasien diabetes melitus yang ditandai dengan albuminuria
menetap (>300 mg/24 jam atau >200μg/menit) pada minimal dua kali
pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan15. Meskipun albuminuria
adalah tanda pertama dari diabetik nefropati namun gejala yang pertama kali
dapat diamati dari pasien adalah edema perifer.16

Hiperfiltrasi masih dianggap sebagai awal dari mekanisme patogenik dalam


laju kerusakan ginjal. Hiperfiltrasi yang terjadi pada nefron yang tersisa
kemudian akan menyebabkan sklerosis dari nefron tersebut. Mekanisme
terjadinya hiperfiltrasi glomerulus pada diabetik nefropati masih belum jelas,
namun kemungkinan disebabkan oleh dilatasi arteriol aferen oleh efek yang
tergantung glukosa, yang diperantarai oleh hormon vasoaktif, IGF-1, Nitric
oxide, prostaglandin, dan glukagon. Efek langsung dari hiperglikemi adalah
rangsangan hipertrofi sel, sintesis matriks ekstraseluler, serta produksi TGF-β
yang diperantarai oleh aktivasi protein kinase-C (PCK). Hiperglikemi kronik
dapat menyebabkan terjadinya glikasi nonenzimatik asam amino dan protein
(reaksi Mallard dan Bowning) yang awalnya reversible namun bila terus berlanjut
akan terbentuk Advanced Glycation End-Products (AGEs) yang irreversible.
AGEs diperkirakan menjadi perantara untuk beberapa kegiatan seluler seperti
ekspresi adhesi molekul dalam penarikan sel-sel mononuclear, hipertrofi sel,
sintesa matriks ekstraseluler, serta inhibisi Nitric oxide yang akan terus berlanjut
hingga terjadi ekspansi mesangium dan pembentukan nodul serta fibrosis
tubulointerstitial
3.1.6 Diagnosis

Ginjal berperan penting dalam fungsi tubuh, tidak hanya dengan menyaring
darah dan mengeluarkan produk-produk sisa, mengekskresikan zat-zat yang
merugikan bagi tubuh, antara lain: urea, asam urat, amoniak, kreatinin, garam
anorganik, bakteri dan juga obat-obatan. namun juga dengan menyeimbangkan
tingkat-tingkat elektrolit dalam tubuh, mengontrol tekanan darah, dan
menstimulasi produksi dari sel-sel darah merah. Ginjal mempunyai kemampuan
untuk memonitor jumlah cairan tubuh yaitu mempertahankan tekanan osmotik
ekstraseluler, konsentrasi dari elektrolit-elektrolit seperti sodium dan potasium,
serta keseimbangan asam-basa dari tubuh.

Ginjal pasien PGK dengan ureum darah kurang dari 150 mg/dl, biasanya
tanpa keluhan maupun gejala. Gambaran klinis akan terlihat nyata bila ureum
darah lebih dari 200 mg/dl karena konsentrasi ureum darah merupakan indikator
adanya retensi sisa-sisa metabolisme protein di dalam tubuh. Uremia
menyebabkan gangguan fungsi hampir semua sistem organ, seperti gangguan
cairan dan elektrolit, metabolik-endokrin, neuromuskular, kardiovaskular dan
paru, kulit, gastrointestinal, hematologi serta imunologi.6,14

1. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala penyakit ginjal kronik yang diakibatkan karena adanya
kerusakan pada ginjal antara lain:1,8,15

a. Uremia dapat menyebabkan mual, muntah malaise


b. Akibat retensi cairan dan natrium dari aktivitas sisyem renin
angiotensin aldosteron dapat menyebabkan kondisi Hipertensi
c. Gagal jantung kongestive dan edema pulmo : volume overload
d. Anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi
eritopoetin, sehingga rangsangan eritopoesis pada sum – sum tulang
berkurang, hemolisis akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam
suasana uremia toksik, dapat juga terjadi gangguan fungsi trombosis
dan trombositopeni
e. Gejala gangguan gastrointestinal seperti mual, muntah, nyeri
epigastrium, anoreksia, dan gejala dispepsia lainnya hal ini
diakibatkan peningkatan konsentrasi berbagai hormon polipeptida
seperti gastrin, kolesistokinin, polipeptida pankreatik, motilin,
polipeptida tirosin, dan gastric inhibitory peptide (GIP)
Hipergastrinemia pada CKD diduga karena ekskresinya oleh ginjal
berkurang dan produksi berlebihan sel G di lambung yang dipicu oleh
penurunan konsentrasi asam lambung akibat dinetralisir amonia.
f. Hiperfosfatemia terjadi karena penurunan GFR menyebabkan
ekskresi fosfat meningkat dan fosfat akan berikatan dengan Ca2+
yang membentuk kalsium fosfat akibat defisiensi vitamin D
g. Nyeri sendi dan pruritus disebabkan Kalsium fosfat yang
terpresipitasi akan mengendap
h. Hiperkalemia menyebabkan Kelemahan otot karena asidosis
metabolik meningkatkan konsentrasi ion H+ dalam sel ginjal sehingga
meningkatkan sekresi hidrogen sedangkan sekresi kalium berkurang.

Pasien dengan gagal ginjal kronis sangat penting diidentifikasi dan


mengoreksi semua penyebab yang mungkin dapat muncul dalam manifestasi
klinis dan dapat memperburuk keadaan pasien. Seperti infejsi saluran kemih,
obstruksi, hipovolemian, hipotensi, nefrotoksin (NSAID, Aminoglikosida, atau
PPI), hipertensi berat, gagal jantung.
2. Pemeriksaan Penunjang

Didalam memberikan pelayanan keperawatan terutama intervensi maka perlu


pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan baik secara medis ataupun kolaborasi
antara lain :

1. pemeriksaan laboratorium darah

 Hematologi : Hemoglobin, hematokrit, eritrosit, leukosit, trombosit

 RFT (renal fungsi test) : ureum dan kreatinin. Untuk menilai laju filtrasi
glomerulus dapat digunakan rumus : Clearance creatinin ( ml/ menit ) =
[( 140-umur ) x berat badan ( kg ) ]/ 72 x ScrPada wanita hasil tersebut
dikalikan dengan 0,85

 Elektrolit : klorida, kalium, kalsium

 Koagulasi studi : PTT, PTTK

 BGA (blood gas analisa)

2. Pemeriksaan radiologi dapat membantu menegakkan diagnosis CKD dan


memberikan petujuk kearah penyebab CKD.

 Foto polos: untuk melihat batu yang bersifat radioopak atau nefrokalsinosis.

 Ultrasonografi: merupakan pemeriksaan penunjang yang sering dilakukan


karena aman, mudah, dan cukup memberikan informasi. USG merupakan
modalitas terpilih untuk kemungkinan penyakit ginjal obstruktif. Meskipun
USG kurang sensitif dibandingkan CT untuk mendeteksi massa, tetapi USG
dapat digunakan untuk membedakan kista jinak dengan tumor solid, juga
sering digunakan untuk menentukan jenis penyakit ginjal polikistik.
Tabel 3. penyebab ginjal dan cara diagnostik

Faktor reversibel diagnsotik


Infeksi Kultur dan sensitivitas tes urin
Obstruksi USG
Ekstraseluler fluid volume Tekanan darah (TTV)
Hipokalemia, hiperkalsemia, dan Elektrolit serum, kalsium, fosfat, asam
hiperuresemia urat
Agen neftrotoksik Riwayat pengobatan
Hipertensi TTV, foto thorak
Gagal jantung Pemeriksaan fisik, foto thorax, EKG

3.1.7 Komplikasi

Komplikasi pasien CKD juga dapat berhubungan dengan sistem


kardiovaskular, gangguan keseimbangan cairan, natrium, kalium, kalsium, fosfat,
asidosis metabolik, osteodistrofi renal, dan anemia.16

Berikut komplikasi yang terjadi pada pasien CKD menurut derajat penyakit
di tabel 3.2

Tabel 3.2 Komplikasi CKD10,16

Derajat Penjelasan GFR (ml/menit) Komplikasi

1 Kerusakan ginjal dengan ≧90


GFR normal
2 Kerusakan ginjal dengan 60-89 Tekanan darah
penurunan GFR ringan mulai↑
3 Penurunan GFR sedang 30-59 - hiperfosfatemia
- hipokalemia

- anemia

- hipertensi

-hiperhomosistinemia
4 Penurunan GFR berat 15-29 - malnutrisi

- asidosis metabolik

- hiperkalemia

- dislipidemia
5 Gagal ginjal <15 - gagal jantung

- uremia

3.1.8 Penatalaksanaan

Tatalaksana Manifestasi Patologis pasien PGK, pengobatan manifestasi


patologis penyakit ginjal kronis (PGK) ini sebagai berikut:14,17
a. Anemia: Jika kadar hemoglobin di bawah 10 g / dL, obati dengan agen
perangsang eritropoiesis (ESA) seperti epoetin alfa atau darbepoetin alfa;
perhatian harus dilakukan pada pasien dengan keganasan
b. Hiperfosfatemia: Rawat dengan pengikat fosfat makanan dan pembatasan
fosfat makanan, yaitu kalsium karbonat atau kalsium asetat
c. Hipokalsemia: Obati dengan suplemen kalsium dengan atau tanpa kalsitriol
d. Hiperparatiroidisme: Rawat dengan kalsitriol, analog vitamin D, atau
kalsimimetik
e. Kelebihan volume: Rawat dengan diuretik loop
f. Kontrol asidosis metabolik dengan targert HCO3 20-22 MeQ/l
g. Manifestasi uremik: Rawat dengan terapi penggantian ginjal jangka panjang
(hemodialisis, dialisis peritoneal, atau transplantasi ginjal)
h. Kontrol tekanan darah :
- penghambat ACE atau antagonis reseptor Angiotensin II : evaluasi kreatinin dan
kalium serum, bila terdapat peningkatan kreatinin >35% atau timbul hiperkalemia
harus dihentikan
-penghambat kalisum
- diuretik
i. Kontrol dislipidemia dengan target LDL <100 mg/dl, dianjurkan golongan
statin
j. Terapi ginjal pengganti
Pengobatan anemia18
Anemia pada GGK terutama disebabkan karena defisiensi relatif dari
eritropoietin (EPO), namun ada faktor-faktor lain yang dapat mempermudah
terjadinya anemia, antara lain memendeknya umur sel darah merah, inhibisi
sumsum tulang, dan paling sering defisiensi zat besi dan folat.Anemia yang
terjadi pada pasien GGK dapat menyebabkan menurunnya kualitas hidup pasien.
Selain itu anemia pada pasien GGK juga meningkatkan terjadinya morbiditas dan
mortalitas. Tujuan penatalaksanaan anemia pada GGK adalah mencapai target Hb
> 10 g/dL dan Ht > 30 %.Target Hb tersebut dapat dicapai dengan cara
pengelolaan konservatif ataupun dengan terapi eritropoetin (EPO). Apabila pada
terapi konservatif target Hb tidak tercapai maka dilanjutkan dengan terapi
EPO.Pada pasien ini terdapat riwayat dirawat di rumah sakit karena keluhan
lemah badan dan pucat. Hal ini menandakan bahwa anemia pada pasien sudah
terjadi berulang selama pasien menjalani hemodialisis. Karena target Hb tidak
dapat dicapai dengan cara konservatif maka pada pasien ini dilakukan terapi
eritropoetin.
Eritropoetin diindikasikan untuk pengobatan anemia pada GGK. Pemberian
terapi EPO dilakukan apabila penyebab anemia adalah karena defisiensi
eritropoetin. Eritropoetin secara konsisten menjaga dan memperbaiki kadar Hb
dan Ht, penggunaan EPO juga dapat menurunkan kebutuhan transfusi pada
pasien GGK. Menurut rekomendasi KDIGO, terapi EPO diindikasikan apabila
pada beberapa kali pemeriksaan didapatkan Hb <10 g/dl dan Ht <30%, selain itu
juga harus sudah disingkirkan penyabab lain dari anemia.
Terapi EPO pada pasien GGK dengan anemia diberikan dengan syarat kadar
feritin serum > 100 mcg/L dan saturasi transferin > 20 %, pasien juga disyaratkan
tidak sedang mengalami infeksi berat. Terapi EPO dibagi menjadi 2 fase yaitu
fase koreksi dan fase pemeliharaan. Tujuan fase koresi adalah untuk mengoreksi
anemia renal hingga target Hb dan Ht tercapai.Rekomendasi KDOQI
menyebutkan bahwa target hemoglobin pada pasien GGK adalah 11 hingga 12
g/dL. Menurut beberapa penelitian klinik hemoglobin pada level tersebut terbukti
meningkatkan kualitas hidup dan menurunkan morbiditas.
Dengan pengobatan eritropoietin, tujuannya adalah kadar hemoglobin 10-12
g / dL, karena normalisasi hemoglobin pada pasien CKD stadium 4-5 telah
dikaitkan dengan peningkatan risiko hasil yang merugikan. Sebelum memulai
eritropoietin, penyimpanan zat besi pasien harus diperiksa. Tujuannya adalah
untuk menjaga saturasi besi pada 30-50% dan feritin pada 200-500 ng / mL.
Sebuah studi oleh Shurraw et al menunjukkan bahwa pada orang dengan
CKD yang tidak tergantung hemodialisis, tingkat hemoglobin A1c (HbA1c) yang
lebih tinggi dari 9% dikaitkan dengan hasil klinis yang lebih buruk. Kadar HbA1c
yang lebih rendah juga tampaknya terkait dengan kematian yang berlebihan.
Kontrol yang tepat dan tepat waktu dari tingkat HbA1c pada diabetisi mellitus
dan CKD mungkin lebih penting daripada yang disadari sebelumnya, tetapi
temuan juga menunjukkan bahwa kontrol glikemik yang intensif dapat
menyebabkan peningkatan mortalitas.
Penangan Anemia menurut National Institut for Health and Care
Excellence.19
- Penanganan anemia pada CKD harus dilakukan saat Hb <11 g/dl (atau 10
g/dl pada usia <2 tahun).
- Menentukan apakah anemia disebabkan oleh CKD atau bukan. Dengan
memperhatikan LFG <60 ml/min/1,73 m2.
- Anemia defisiensi besi biasanya pada:
 Orang dengan CKD stadium 5 dengan level ferritin <100
mikrogram/L.
 Orang dengan CKD stadium 3 dan 4 dengan level ferritin <100
mikrogram/L.
- Penganan anemia
 Suplementasi eritropoetin
Terapi yang sangat efektif dan menjanjikan setelah tersedia
menggunakan recombinant human eritropoetin yang telah diproduksi
untuk aplikasi terapi. Human recombinant eritropoetin diberikan
intravena kepada pasien hemodialisa, telah dibuktikan menyebabkan
peningkatan eritropoetin yang drastis. Hal ini memungkinkan untuk
mempertahankan kadar Hb normal setelah transfusi darah berakhir pada
pasien bilateral nefrektomi yang membutuhkan transfusi regular.
Sejumlah eritropoetin diberikan IV 3x seminggu setelah setiap dialis,
pasien regular hemodialisis merespon dengan peningkatan Ht dengan
dosis tertentu dalam beberapa minggu. Percobaan menunjukkan bahwa
AB yang melawan materi rekombinan dan menghambat terhadap
penggunaan eritropoetin tidak terjadi. Efek samping utamanya adalah
meningkatkan tekanan darah dan memerlukan dosis heparin yang tinggi
untuk mencegah pembekuan pada sirkulasi ekstra korporial selama
dialisis. Pada beberapa pasien, trombosit pada pembuluh darah dapat
terlihat.19
Peningkatan tekanan darah bukan hanya akibat peningkatan
viskositas darah tetapi juga peningkatan tonus vascular perifer.
Komplikasi trombosit juga berkaitan dengan tingginya viskositas arah
bagaimanapun sedikitnya satu kelompok investigator terlihat
peningkatan trombosit. Penelitian in vitro menunjukkan efek stimulasi
human recombinant eritropoetin pada diferensiasi megakariosit. Lalu
trombositosis mungkin mempengaruhi hiperkoagulabilitas. Konsentrasi
serum predialisis ureum kreatinin yang meningkat dan hiperkalemia
dapat mengakibatkan berkurangnya efisiensi dialyzer karena tingginya
Ht dan peningkatan nafsu makan karena peningkatan keadaan umum.
Kecepatan eritropoesis yang dipengaruhi oleh eritropoetin dapat
menimbulkan defisiensi besi khususnya pada pasien dengan peningkatan
blood loss. Indikasi terapi EPO adalah bila Hb <10 g/dl, Ht <30% pada
beberapa kali pemeriksaan dan penyebab lain anemia sudah disingkirkan.
Syarat pemberian adalah: ferritin serum >100 mcg/L, saturasi transferrin
>20%, tidak ada infeksi berat. Kontraindikasinya adalah adanya
hipersensitivitas EPO.19
Agar pemberian terapi eritropoetin optimal, perlu diberikan terapi
penunjang yang berupa pemberian:
o asam folat: 5 mg/hari
o vitamin B6: 100-150 mg
o vitamin B12: 0,25 mg/bulan
o vitamin C: 300 mg IV pasca HD pada anemia defisiensi besi
fungsional yang mendapat terapi EPO
o Vitamin D: mempunyai efek langsung terhadap precursor eritrosit
o Vitamin E: 1200 IU untuk mencegah efek induksi stress oksidatif
yang diakibatkan terapi besi intravena
o Preparat androgen (2-3x/minggu) untuk mengurangi kebutuhan EPO
tapi tidak dianjurkan pada wanita19
 Transfusi darah
Indikasi transfusi darah adalah:
o Perdarahan akut dengan gejala gangguan hemodinamik.
o Tidak memungkinkan penggunaan EPO dan Hb <7 g/dL.
o Hb <8 g/dL dengan gangguan hemodinamik.
o Pasien dengan defisiensi besi yang akan deprogram terapi EPO
ataupun yang telah mendapat EPO tetapi respons belum adekuat,
sementara preparat besi IV/IM belum tersedia, dapat diberikan
transfusi darah dengan hati-hati.
Target pencapaian Hb dengan transfusi darah adalah 7-9 g/dL. Transfusi
diberikan secara bertahap untuk menghindari bahaya overhidrasi, hiperkatabolik
9asidosis) dan hyperkalemia. Bukti klinis menunjukkan bahwa pemberian
transfusi darah sampai kadar Hb 10-12 g/dL, berhubungan dengan peningkatan
mortalitas dan tidak terbukti bermanfaat. Pada kelompok pasien yang di
rencanakan untuk transplantasi ginjal, pemberian transfusi darah sedapat
mungkin dihindar.18,19
Transfusi Darah
Transfusi darah dapat diberikan pada keadaan khusus. Indikasi transfusi darah
adalah:
 Perdarahan akut dengan gejala gangguan hemodinamik.
 Tidak memungkinkan penggunaan EPO dan Hb < 7 g /dL.
 Hb < 8 g/dL dengan gangguan hemodinamik.
 Pasien dengan defisiensi besi yang akan diprogram terapi EPO ataupun
yang telah mendapat EPO tetapi respon belum adekuat, sementara preparat besi
IV/IM belum tersedia, dapat diberikan transfusi darah dengan hati-hati.
Target pencapaian Hb dengan transfusi darah adalah: 7-9 g/dL (tidak sama
dengan target Hb pada terapi EPO). Transfusi diberikan secara bertahap untuk
menghindari bahaya overhidrasi, hiperkatabolik (asidosis), dan hiperkalemia.
Bukti klinis menunjukkan bahwa pemberian transfusi darah sampai kadar Hb 10-
12 g/dL berhubungan dengan peningkatan mortalitas dan tidak terbukti
bermanfaat, walaupun pada pasien dengan penyakut jantung. Pada kelompok
pasien yang direncakan untuk transplantasi ginjal, pemberian transfusi darah
sedapat mungkin dihindari. Transfusi darah memiliki resiko penularan Hepatitis
virus B dan C, infeksi HIV serta potensi terjadinya reaksi transfusi.
Mengatasi anemia adalah bagian penting untuk meningkatkan kulaitas hidup
dan kesehatan bagi penderita gagal ginjal kronik dan pasien dialisis. Segera
bicarakan dengan dokter dan tim perawatan kesehatan anda untuk mempelajari
lebih lanjut mengenai pengobatan anemia anda.
Penatalaksanaan gangguan mineral dan tulang20
Pengobatan homeostasis mineral abnormal pada pasien CKD meliputi :
 Menurunkan kadar fosfor serum yang tinggi
 Mempertahankan kadar kalsium serum
 Menurunkan kadar hormon paratiroid serum
 Memberikan profilaksis osteoporosis
Metabolisme tulang dan osteoporosis14
- Melakukan pengukuran rutin untuk kalsium, fosfat, paratiroid hormone
(PTH) dan level vitamin D pada orang dengan GGK stadium 1,2,3A/3B,
tidak direkomendasikan.
- Melakukan pengukuran kalsium, fosfat, konsentrasi PTH pada orang
dengan CKD stadium 4 dan 5 (LFG <30 ml/min/1,73 m2).
- Memberikan bisphosphonate, apabila ada indikasi untuk mencegah dan
mengobati osteoporosis pada orang dengan CKD stadium 1,2,3A,3B.
- Monitor konsentrasi serum kalsium dan fosfat pada orang yang
mendapatkan terapi 1,25-dihydroxycholecalciferol (calcitriol) atau 1–
alpha-hydroxycholecalciferol (alacidol).
- Pemberian suplemen vitamin D:
 CKD stadium 1,2,3A/3B diberikan cholecalciferol atau ergocalciferol
 CKD stadium 4 dan 5 diberikan 1-alpha-hydroxycholecalciferol
(alfacalcidol) atau 1,25-dihydroxycholecalciferol (calcitriol calsium
carbonate).
Penatalaksanaan asidosis metabolik21,22
Bukti yang terbatas tetapi berkembang menunjukkan bahwa koreksi asidosis
metabolik pada pasien CKD mungkin memiliki efek menguntungkan pada
protein dan metabolisme tulang. Para ahli merekomendasikan terapi alkali untuk
menjaga konsentrasi bikarbonat serum di atas 22 mEq / L.
De Brito-Ashurst et al menemukan bahwa pasien dengan CKD yang
menerima suplementasi bikarbonat menunjukkan penurunan fungsi ginjal yang
lebih lambat.20 Dalam penelitian ini, 134 pasien dewasa dengan CKD (yaitu,
bersihan kreatinin [CrCl], 15-30 mL / menit / 1,73 m2; bikarbonat serum, 16-20
mmol / L) secara acak ditugaskan untuk menerima suplementasi natrium
bikarbonat oral. atau perawatan standar selama 2 tahun. Penurunan CrCl yang
lebih lambat diamati pada kelompok bikarbonat (1,88 mL / menit / 1,73 m2)
dibandingkan pada kelompok kontrol (5,93 mL / menit / 1,73 m2).
Pasien dalam kelompok bikarbonat juga lebih kecil kemungkinannya untuk
mengalami perkembangan penyakit yang cepat (9%) dibandingkan dengan
anggota kelompok kontrol (45%), dan lebih sedikit pasien yang menerima
suplementasi bikarbonat mengembangkan ESRD dari pada kontrol (masing-
masing 6,5% vs 33%. ). Selain itu, parameter nutrisi ditingkatkan dengan
suplementasi bikarbonat.
Koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat dikaitkan dengan progresi CKD yang
secara signifikan lebih lambat dalam percobaan penggunaan Bikarbonat secara
acak dan tidak buta dalam percobaan Insufisiensi Ginjal Kronis (UBI). Semua
740 pasien di UBI, yang sebagian besar menderita CKD stadium 3b atau 4,
menerima perawatan standar; 376 pasien dalam kelompok pengobatan juga
menerima natrium bikarbonat. Mencapai kadar bikarbonat serum target (24-28
mmol / L) membutuhkan rata-rata sekitar 6 g / hari natrium bikarbonat — beban
pil yang sangat signifikan yaitu empat hingga tujuh pil dua kali sehari.22
Manajemen risiko kardiovaskular
Pedoman yang dikeluarkan pada bulan Desember 2013 oleh Kidney Disease:
Improving Global Outcomes (KDIGO) merekomendasikan penggunaan statin
yang lebih luas di antara pasien dengan CKD. Rekomendasi khusus termasuk
yang berikut23,24:
 Orang dewasa berusia 50 tahun atau lebih dengan perkiraan laju filtrasi
glomerulus (GFR) kurang dari 60 mL / menit / 1,73 m2 yang tidak dirawat
dengan dialisis jangka panjang atau transplantasi ginjal harus diobati dengan
statin atau statin plus ezetimibe
 Pengobatan dengan statin atau statin / ezetimibe tidak boleh dimulai pada
orang dewasa dengan CKD yang tergantung dialisis
 Pasien yang sudah diobati dengan statin pada saat dialisis harus melanjutkan
 Pasien transplantasi ginjal dewasa harus diobati dengan statin karena
peningkatan risiko kejadian koroner
 Orang dewasa berusia 18-49 tahun dengan GFR diperkirakan kurang dari 60
mL / menit / 1,73 m2 yang tidak dirawat dengan dialisis atau transplantasi
ginjal harus diobati dengan statin jika mereka menderita penyakit koroner,
diabetes, stroke iskemik sebelumnya, atau diperkirakan Risiko kematian
koroner 10 tahun atau infark miokard nonfatal melebihi 10%
 Kolesterol lipoprotein densitas rendah adalah tes yang tidak memadai untuk
risiko kardiovaskular pada individu dengan CKD, dan orang dewasa dengan
CKD yang baru didiagnosis harus menjalani pengujian profil lipid
 Orang dewasa berusia 50 tahun atau lebih dengan CKD dan GFR
diperkirakan 60 mL / menit / 1,73 m2 atau lebih tinggi harus diobati dengan
statin.
Pasien dengan CKD mungkin memerlukan antikoagulasi untuk berbagai
indikasi, seperti fibrilasi atrium, tromboemboli vena, atau pencegahan trombosis
akses dialisis. Tinjauan sistematis dan meta-analisis antikoagulasi oral pada
pasien dewasa dengan CKD menyimpulkan bahwa pada CKD tahap awal, profil
manfaat-risiko antikoagulan oral non-vitamin K (NOACs; yaitu, dabigatran,
rivaroxaban, apixaban, edoxaban) lebih unggul dengan antagonis vitamin K
(misalnya, warfarin).25
Dalam studi tersebut, yang mencakup 45 uji coba acak strategi antikoagulasi
oral pada 34.082 pasien dengan penyakit ginjal kronis atau dialisis, NOAC
memberikan pencegahan yang lebih baik terhadap stroke dan emboli sistemik
pada pasien CKD dengan fibrilasi atrium dan penyakit tahap awal. Namun, pada
pasien CKD dengan penyakit stadium lanjut atau stadium akhir, penulis
menemukan bukti yang tidak cukup untuk merekomendasikan penggunaan
antikoagulan secara luas untuk meningkatkan hasil. Bukti dengan kepastian
rendah menunjukkan risiko perdarahan mayor yang lebih rendah dengan NOAC
dibandingkan antagonis vitamin K.22,25
 Pemilihan agen antihipertensi19
First line pada anti hipertensi adalah ACE inhibitor/ARB, ACE inhibitor /
ARB diberikan pada:19
- Pada CKD dengan diabetes dan ACR lebih dari 2,5 mg/mmol (pria) atau
lebih dari 3,5 mg/mmol (wanita), tanpa adanya hipertensi atau stadium
CKD. Perbedaan kedua batas ACR berbeda diberikan disini untuk
memulai pengobatan ACE Inhibitor pada orang CKD dan proteinuria.
Potensi manfaat ACE Inhibitor dalam konteks ini sangat meninkat jika
seseorang juga memiliki diabetes dan hipertensi dan dalam keadaan ini,
sebuah batas yang lebih rendah diterapkan.
- CKD pada non diabetik dengan hipertensi dan ACR 30 mg/mmol atau
lebih (kira-kira ekuivalen dengan PCR 50 mg/mmol atau lebih,
proteinuria 0,5 gr/24 jam atau lebih).
- CKD pada non diabetic dan ACR 70 mg/mmol atau lebih (kira-kira
ekuivalen dengan PCR 100 mg/mmol atau lebih, proteinuria 1 gr/24 jam
atau lebih), tanpa adanya hipertensi atau penyakit kardiovaskular.
- CKD pada non diabetic dengan hipertensi dan ACR <30 mg/mmol (kira-
kira ekuivalent dengan PCR <50 mg/mmol), atau proteinuria <0,5
gram/24 jam.
- Saat menggunakan ACE Inhibitor / ARBs, upayakan agar mencapai dosis
terapi maksimal yang masih dapat ditoleransi sebelum menambahkan
terapi second line (spironolakton).
- Hal-hal yang perlu diingat saat menggunakan ACE Inhibitor/ARBs
 Orang dengan CKD, harus mengetahui konsentrasi serum potassium
dan perkiraan LFG sebelun memulai terapi ACE Inhibitor/ARBs.
Pemeriksaan ini diulang antara 1 sampai 2 minggu setelah
penggunaan obat, dan setelah peningkatan dosis.
 Terapi ACE Inhibitor/ARBs tidak boleh dimulai apabila konsentrasi
serum potassium secara signifikan ≥5,0 mmol/L.
 Keadaan hiperkalemia menghalangi dimulainya terapi tersebut,
karena menurut hasil penelitian tersebut dapat mencetuskan
hiperkalemia
 Obat-obat lain yang digunakan saat terapi ACE Inhibitor/ARBs yang
dapat juga mencetuskan hiperkalemia, bukan kontraindikasi
penggunaan terapi tersebut, tapi harus menjaga konsentrasi serum
potassium.
 Stop terapi tesebut, bila konsentrasi serum potassium meningkat >6,0
mmol/L atau lebih dan obat lain yang diketahui dapat meningkatkan
hiperkalemia sudah tidak digunakan.
 Dosis terapi tidak boleh ditingkatkan bila batas LFG saat sebelum
terapi kurang dari 25% atau kreatinin plasma meningkat dari batas
awal kurang dari 30%.
 Apabila perubahan LFG 25% atau lebih atau perubahan kreatinin
plasma 30% atau lebih yaitu dengan investigasi adanya deplesi
volume ataupun penggunaan NSAIDs. Apabila tidak ada penyebab
(yang diatas), stop terapi atau dosis harus diturunkan dan alternatif
antihipertensi lain bisa digunakan.19
Hemodialisis
Hemodialisis adalah proses pertukaran zat terlarut dan produk sisa tubuh. Zat
sisa yang menumpuk pada pasien PGK ditarik dengan mekanisme difusi pasif
membran semipermeabel. Perpindahan produk sisa metabolik berlangsung
mengikuti penurunan gradien konsentrasi dari sirkulasi ke dalam dialisat. Dengan
metode tersebut diharapkan pengeluaran albumin yang terjadi pada pasien PGK
dapat diturunkan, gejala uremia berkurang, sehingga gambaran klinis pasien juga
dapat membaik.1,11 Hemodialisis dapat mempengaruhi gambaran klinis
penderita PGK, berupa gejala mual muntah, anoreksia, anemia, pruritus,
pigmentasi, kelainan psikis, insomnia, hipertensi, maupun gejala lainnya.26

Indikasi hemodialisis dibedakan menjadi 2 yaitu : hemodialisis emergency


atau hemodialisis segera dan hemodialisis kronik. Keadaan akut tindakan dialisis
dilakukan pada : Kegawatan ginjal dengan keadaan klinis uremik berat,
overhidrasi, oliguria (produksi urine <200 ml/12 jam), anuria (produksi urine <50
ml/12 jam), hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan EKG, biasanya K >6,5
mmol/I), asidosis berat (PH <7,1 atau bikarbonat <12 meq/I), uremia (BUN >150
mg/dL), ensefalopati uremikum, neuropati/miopati uremikum, perikarditis
uremikum, disnatremia berat (Na>160 atau <115 mmol/I), hipertermia, keracunan
akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati membran dialisis.26

Indikasi hemodialisis kronis adalah hemodialisis yang dilakukan


berkelanjutan seumur hidup penderita dengan menggunakan mesin hemodialisis,
dialisis dimulai jika GFR <15 ml/mnt, keadaan pasien yang mempunyai GFR <15
ml/mnt tidak selalu sama, sehingga dialisis dianggap baru perlu dimulai jika
dijumpai salah satu dari : 1) GFR <15 ml/mnt, tergantung gejala klinis, 2) gejala
uremia meliputi: lethargi, anoreksia, nausea dan muntah, 3) adanya malnutrisi
atau hilangnya massa otot, 4) hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya
kelebihan cairan, 5) komplikasi metabolik yang refrakter.26
3.1.9 Prognosis

Gambar 3.1
Prognosis pasien CKD menurut GFR dan kategori Albuminuria :
KDIGO 201217

Keterangan :
Hijau : risiko rendah (bila tidak ditemukan manifestasi lain, bisa
menyingkirkan diagnosis CKD)

Kuning : risiko cukup berbahaya

Orange : risiko berbahaya

Merah : risiko sangat berbahaya

3.2 Efusi Pleura

3.2.1 Definisi

Efusi pleura merupakan kondisi di mana terdapat akumulasi cairan berlebih


pada cavitas pleuralis yang disebabkan oleh meningkatnya produksi atau
berkurangnya absorpsi cairan pleura.27 Cairan biasanya bersumber dari pembuluh
darah atau pembuluh limfe, kadang juga disebabkan karena adanya abses atau lesi
yang didrainase ke cavitas pleuralis.Efusi pleura merupakan manifestasi dari
banyak penyakit, mulai dari penyakit paru sampai inflamasi sistemik atau
malignansi.28,29
Pada keadaan normal rongga pleura hanya mengandung cairan sebanyak 10-
20 m.l. Penyakit-penyakit yang dapat menimbulkan efusi pleura adalah
tuberkulosis, infeksi paru non tuberkulosis, keganasan, sirosis hati, gagal ginjal,
trauma tembus atau tumpul pada daerah ada, infark paru, serta gagal jantung
kongestif.30

3.2.2 Etiologi

Rongga pleura normal berisi sekitar 10 mL cairan, mewakili keseimbangan


antara (1) gaya hidrostatik dan onkotik di pembuluh pleura viseral dan parietal
dan (2) drainase limfatik yang luas. Efusi pleura disebabkan oleh gangguan
keseimbangan ini.

Efusi pleura umumnya diklasifikasikan sebagai transudat atau eksudat,


berdasarkan mekanisme pembentukan cairan dan kimia cairan pleura. Transudat
terjadi akibat ketidakseimbangan tekanan onkotik dan hidrostatik, sedangkan
eksudat disebabkan oleh peradangan pada pleura atau penurunan drainase
limfatik. Dalam beberapa kasus, cairan pleura mungkin memiliki kombinasi
karakteristik transudatif dan eksudatif.37 Efusi pleura transudatif adalah efusi
pleura dengan kadar protein <30g/l atau tidak memenuhi kriteria Light. Efusi
pleura eksudatif adalah efusi pleura dengan kadar protein >30g/l atau memenuhi
kriteria Light

Beberapa etiologi efusi pleura yang di sebabkan karena gagal ginjal kronik
antara lain :
1. Efusi uremik pada keadaan gagal ginjal kronis on hemodialisis dengan
kelebihan cairan tanpa adanya gejala gagal jantung dengan analisis cairan
pleura menunjukan eksudatif dengan kadar glukosa mendekati kadar glukosa
serum, dengan dominasi limfosit setelah menyingkirkan kemungkinan
etiologi lain. Pasien dengan ckd yang menjalani hemodialisis mungkin
menderita efusi pleura uremik atau pleuritis uremia.39 Pleuritis uremik terjadi
akibat peradangan pada membran pleura dan patogenesisnya kurang
dipahami. Meskipun toksin seperti fosfat, asam uremik dan kompleks imun
yang tertahan telah disarankan sebagai etiologi, tidak ada hubungan yang
terbukti antara toksin uremik dan perkembangan pleuritis uremik. Cairan
pleura biasanya serosa atau serosanguinous dengan dominasi limfosit atau
neutrofil. Hasil analisis cairan pleura yang mendukung efusi uremik meliputi
kultur steril dan eksudat fibrinosa. Perbedaan sel cairan pleura sering
menunjukkan dominasi limfositik dengan jumlah total neutrofil
polimorfonuklear yang lebih rendah daripada yang terlihat pada efusi
parapneumonik.40 Biopsi pleura sangat penting untuk diagnosis dan
menunjukkan peradangan fibrinous kronis nonspesifik. Secara umum,
pleuritis uremik merespons pengobatan termasuk hemodialisis teratur atau
drainase efusi pleura. Sebuah penelitian sebelumnya telah melaporkan bahwa
efusi pleura meningkat pada 94% pasien dengan kelanjutan hemodialisis
dengan atau tanpa drainase chest.
2. Efusi pleura karena CHF, merupakan penyebab paling umum dari efusi
pleura pada penyakit ginjal kronis. Akumulasi cairan pleura di CHF
disebabkan oleh peningkatan tekanan di kapiler pleura viseral atau parietal
yang mengakibatkan masuknya cairan ke dalam rongga pleura dari pleura
parietal dan penurunan pengeluaran cairan melalui pleura viseral. Efusi
pleura karena CHF menyebabkan sesak saat beaktivitas, edema parifer,
orthopnea, atau dispnea nokturnal paroksimal. Tes yang digunakan untuk
menegakan diagnosis CHF adalah pengukuran serum atau cairan pleura pro-
brain natriuretic peptide (pro-BNP), pemeriksaan radiologi terlihat terjadi
pembesaran jantung (kardiomegali), pada analisis cairan paru leukosit
normal.41
3. Efusi pleura emboli pumonal dapat terjadi pada sisi paru yang terkena emboli
pulmonal. Keadaan ini dapat disertai infark paru maupun tanpa infark.
Emboli menyebabkan turunnya aliran darah arteri pulmonalis, sehingga
terjadi iskemia maupun kerusakan parenkim paru dan memberikan
peradangan dengan efusi yang berdarah. Disamping itu permeablitias antara
satu atau kedua bagian pleura akan meningkat, sehingga cairan efusi mudah
terbentuk.
Cairan efusi biasanya bersifat eksudat, jumlahnya banyak dan biasanya
sembuh secara spontan, tanpa disertai penyakit pulmonal lainnya.
4. Tuberculosis merupakan infeksi bakteri pada paru; efusi pleura tuberculosis
merupakan bentuk yang sering ditemukan pada tuberculosis ekstrapulmonari.
Peningkatan risiko infeksi seperti tuberculosis yang disebabkan oleh
immunosupresi pada pasien CKD yang menjalani hemodialisa rutin
berkontribusi besar sebagai penyebab efusi pleura khususnya pada efusi
pleura eksudatif. Pasien HD mengalami peningkatan risiko terhadap TB aktif
setelah infeksi primer, aktivasi dari “silent disease” atau reaktivasi infeksi TB
lama. Insiden kerentanan yang relatif tinggi ini disebabkan, setidaknya
sebagian, akibat imunosupresi yang diinduksi oleh gagal ginjal kronis.
Uremia sendiri diketahui menyebabkan gangguan imunitas seluler yang
merupakan mekanisme pertahanan host utama terhadap infeksi TB. Pasien
dengan GGK memiliki disfungsi imun yang disebabkan oleh penurunan Cell
Mediated Immunity (CMI). Kerusakan CMI ini membuat infeksi
Mycobacterium tuberculosis lebih sulit untuk dideteksi dan lebih mungkin
untuk berkembang menjadi penyakit TB daripada pada individu yang
memiliki kekebalan tubuh. Secara radiologis ditemukan gambaran unilateral,
pasien pernah mengalami riwayat tuberculosis, analisis cairan pleura
menunjukan peningkatan jumlah leukosit. Disertai pemeriksaan biopsi pleura
dengan hasil nekrosis perkejuan, pemeriksaan sputum dengan BTA positif.
5. Efusi parapneumonia, pasien dengan CKD stage akhir memiliki risiko infeksi
yang cukup besar. Diantara infeksi paru empiema memilik prevalensi yang
cukup tinggi, biasanya merupakan komplikasi dari pneumonia. Ditandai
dengan nyeri dada, batuk, demam, sesak. Secara radiologi semua efusi
unilateral, pada pemeriksaan analisis cairan pleura didapatkan peningkatan
jumlah leukosit, dominan polimorfonuklear, kadar pemeriksaan ADA
53±6,40, kadar glukosa 21,75 ± 5,40 dan kadar protein total 3,57 ± 0,28.
Cairan paru untuk kultur dan sensitivitas menunjukan pertumbuhan klebsiella
pada dua kasus, streptococcus pneumonia pada satu kasus dan pseudomonas
pada kasus ketiga.41

3.2.3 Diagnosis

a. Anamnesis
Anamnesis dan pemeriksaan fisik menjadi acuan untuk mengevaluasi awal
efusi pleura. Tanda dan gejala bervariasi tergantung pada penyebabnya seperti
dispnea, batuk, dan nyeri dada pleuritik. Gejala tambahan seperti demam,
ortopnea, atau arthralgia bersamaan dapat memberikan petunjuk etiologi yang
mendasarinya dan dapat membantu mempersempit diferensial diagnosis. Riwayat
perjalanan, riwayat pekerjaan sebelum dan saat ini, penggunaan obat, riwayat
operasi sebelumnya (seperti bedah bypass arteri coroner; CABG), keganasan,
tempat tinggal, dan paparan asbes sebelumnya juga dapat menimbulkan efusi
pleura.43
Pada anamnesis, pasien dengan efusi pleura biasanya memiliki sesak, batuk,
nyeri dada yang bersifat tajam. Riwayat gagal jantung, gagal ginjal, dan penyakit
hati dapat mengarahkan kepada efusi pleura yang bersifat transudat. Sedangkan
riwayat kanker dapat mengarah pada efusi akibat keganasan. Pembengkakan pada
ekstermitas, atau deep vein thrombosis menunjukkan efusi yang berhubungan
dengan embolisme paru. Riwayat infeksi seperti pneumonia menununjukkan
efusi parapneumonik.44
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan fremitus taktil yang menurun
terutama pada daerah basal. Perkusi tumpul, kemudian suara nafas vesikular yang
menurun atau tidak ada suara nafas tambahan paru yang terdapat efusi. Suara
pleural friction rub mungkin juga terdengar selama akhir inspirasi.45 Temuan ini
umumnya hanya terjadi pada efusi yang lebih besar dari 300 mL. Petunjuk lain
pada pemeriksaan fisik meliputi distensi vena leher, edema perifer, pembesaran
ventrikel kanan atau trombosis vena dalam, stigmata penyakit hati stadium akhir,
kelainan bentuk sendi, atau sinovitis. Setiap temuan ini dapat membantu
mempersempit diagnosis banding dan perencanaan pengujian tambahan.43
c. Pemeriksaan Penunjang
Radiologi
Pemeriksaan radiografi postero anterior dan lateral menjadi standar pada
diagnosis radiologi paru. Pada posisi berdiri atau duduk tegak, cairan bebas pada
rongga pleura akan memenuhi lateral kubah diafragma yang menyebabkan
gambaran sudut kostofrenikus yang tumpul.46 Foto posteroanterior umumnya
akan menunjukkan adanya efusi pleura ketika ada sekitar 200 ml cairan pleura,
dan foto lateral akan terinterpretasi abnormal ketika terdapat sekitar 50 ml cairan
pleura.43 Elevasi hemidiafragma yang tampak, perpindahan kubah ke samping
diafragma, atau peningkatan jarak antara hemidiafragma kiri dan gelembung
udara lambung menunjukkan efusi subpulmonik.

Ultrasonografi thoraks juga memiliki peran yang semakin penting dalam


evaluasi efusi pleura karena sensitivitasnya yang lebih tinggi dalam mendeteksi
cairan pleura dari pada pemeriksaan klinis atau radiografi toraks. Karakteristik
yang juga dapat dilihat pada USG dapat membantu menentukan apakah terjadi
efusi sederhana atau kompleks. Efusi sederhana dapat diidentifikasi sebagai
cairan dalam rongga pleura dengan echotexture homogen seperti yang terlihat
pada sebagian besar efusi transudatif, sedangkan efusi yang kompleks bersifat
echogenic, sering terlihat septasi di dalam cairan, dan selalu eksudat. Bedside
Ultrasound dianjurkan saat melakukan thoracentesis untuk meningkatkan akurasi
dan keamanan prosedural.47,48
Torakosintesis
Thorakosintesis diindikasikan untuk efusi pleura baru yang tidak tau
penyebabnya. Obeservasi dan optimal medical therapy (OMT) tanpa dilakukan
thorasentesis merupakan hal yang wajar dalam penanganan efusi pleura karena
gagal jantung atau setelah operasi CABG. Namun manifestasi lain (seperti
demam, pleuritis; radang selaput dada) atau kegagalan untuk menanggapi terapi
pada pasien harus segera dipertimbangkan dilakukan thorasentesis diagnostik.43
Torakosintesis dengan analisis cairan dapat mempersempit diagnosis
diferensial dari efusi. Setelah cairan disedot, cairan tersebut akan dianalisis untuk
biokimia, mikrobiologi dan analisis sitologi. Dengan menggunakan kriteria Light,
maka efusi dapat dibedakan menjadi transudat dan eksudat. Kriteria Light
memiliki sensitivitas sebesar 90,1-100% dengan spesifisitas 83,3-97,2%.49
Pemeriksaan laboratorium analisis cairan pleura, penampilan makroskopis
cairan pleura harus diperhatikan saat dilakukan thoracentesis, karena dapat
menegakkan diagnosis. Cairan bisa sifatnya serosa, serosanguineous (ternoda
darah), hemoragik, atau bernanah. Cairan berdarah (hemoragik) sering terlihat
pada keganasan, emboli paru dengan infark paru, trauma, efusi asbes jinak, atau
sindrom cedera jantung.43 Cairan purulen dapat dilihat pada empiema dan efusi
lipid. Sebagai tambahan. bau busuk dapat menyebabkan infeksi anaerob dan bau
amonia menjadi urinothorax. Karakterisasi cairan pleura sebagai transudat atau
eksudat membantu menyingkirkan diagnosis banding dan mengarahkan
pemeriksaan selanjutnya. Kriteria yang paling umum digunakan untuk membuat
diferensiasi ini adalah kriteria Light.43
Tabel 3.3 Kriteria Light43
Rasio protein Rasio laktat Serum laktak
cairan pleura dehidrogenase dehidrogenase
cairan pleura
transudat ≤0,5 ≤0,6 ≤200 U/L
eksudat >0,5 >0,6 >200 U/L
Kontraindikasi relatif terhadap torasentesis diagnostik termasuk volume
kecil cairan (ketebalan <1 cm pada film dekubitus lateral), diatesis perdarahan
atau antikoagulasi sistemik, ventilasi mekanis, dan penyakit kulit pada lokasi
tusukan yang diusulkan. Pembalikan koagulopati atau trombositopenia mungkin
tidak diperlukan selama prosedur dilakukan dengan panduan ultrasound oleh
operator yang berpengalaman. Ventilasi mekanis dengan tekanan ekspirasi akhir
positif tidak meningkatkan risiko pneumotoraks setelah thoracentesis, tetapi
meningkatkan kemungkinan komplikasi parah (pneumotoraks tegangan atau
fistula bronkopleural persisten) jika paru-paru tertusuk. Pasien yang tidak
kooperatif merupakan kontraindikasi mutlak untuk prosedur ini.

Pemeriksaan Kimia Darah

Kadar LDH cairan pleura yang lebih dari 1000 IU / L menunjukkan adanya
empiema, efusi maligna, efusi reumatoid, atau paragonimiasis pleura. Kadar LDH
cairan pleura juga meningkat pada efusi dari pneumonia Pneumocystis jiroveci
(sebelumnya, P carinii). Diagnosis ditegakkan dengan rasio LDH cairan pleura /
serum lebih besar dari 1, dengan rasio cairan pleura / protein serum kurang dari
0,5.50
Pada pemeriksaan kimia darah konsentrasi glukosa dalam cairan pleura
berbanding lurus dengan kelainan patologi pada cairan pleura. Asidosis cairan
pleura (pH rendah berkorelasi dengan prognosis buruk dan memprediksi
kegagalan pleurodesis. Pada dugaan infeksi pleura, pH kurang dari 7,20 harus
diobati dengan drainase pleura. Amilase cairan pleura meningkat jika rasio cairan
amilase terhadap serum pleura lebih besar dari 1,0 dan biasanya menunjukkan
penyakit pankreas, ruptur esofagus, dan efusi yang ganas. Seharusnya tidak
diukur secara rutin tetapi dapat berguna ketika esofagus atau pankreas
menyebabkan efusi. Jika tingkat trigliserida cairan pleura lebih besar dari 110 mg
dL (1,2-l mmol / L) merupakan karakteristik dari chylothorax, dan kadar kurang
dari 50 mg/dl (0,56 mmol/L) tidak dapat disimpulkan diagnosisnya. Tingkat
menengah (antara 50110 mg / dL [0,56-1,24 mmol/L]) harus diselidiki dengan
pemeriksaan analisis lipoprotein untuk melihat angka kilomikron. Ini juga bukan
studi cairan pleura rutin tetapi sesuai pada pasien dengan dugaan chylothorax.43
Pleuritis TB terus menjadi masalah umum di seluruh dunia dan harus
dianggap sebagai bagian dari diagnosis banding pada pasien dengan efusi
eksudatif dominan limfosit yang tidak terdiagnosis. Kultur cairan pleura untuk
basil tahan asam sangat spesifik tetapi memiliki sensitivitas rendah (masing-
masing 5% dan 20%). Adenosine deaminase adalah enzim yang terdapat dalam
limfosit yang meningkat pada sebagian besar efusi pleura akibat tuberkulosis
(sensitivitas 95%). Di negaranegara dengan insiden TB yang rendah, tes untuk
adenosine deaminase dapat bermanfaat sebagai tes untuk menyingkirkan TB.
Biopsi pleura adalah tes yang paling mungkin untuk menghasilkan kultur
mikobakteri positif (> 70%).51
Pemeriksaan sitologi52
Dianjurkan pada efusi apa pun di mana keganasan diduga. Ketika kecurigaan
untuk keganasan tinggi, <7,30) merupakan komplikasi dari efusi parapneumonik,
keganasan, pleuritis tuberkulosis. rheumatoid dan lupus pleuritis dan pecahnya
esofagus. Pada keganasan, pH pantas untuk mengulangi sitologi jika spesimen
pertama negatif. Tingkat diagnostik lebih tinggi untuk adenokarsinoma daripada
mesothelioma dan limfoma. Jika diduga limfoma, flow cytometry harus
dilakukan untuk lebih mengkarakterisasi sel yang ada. Thoracoscopy adalah
langkah selanjutnya dalam evaluasi efusi pleura eksudatif yang dicurigai
keganasan. Thoracoscopy memungkinkan untuk visualisasi langsung atau
permukaan pleura dan memungkinkan untuk biopsi bagian pleura yang
cenderung memiliki hasil diagnostik yang tinggi. Oleh karena itu memiliki
sensitivitas diagnostik untuk penyakit ganas lebih dari 90%.52,53
BAB IV

PEMBAHASAAN

A. Kerangka Diagnostik

Ny. N 41 th

Riwayat Diabetes melitus 15


thn

Riwayat Hipertensi sekunder


10 thn

Riwayat CKD dan HD sejak


2018

Efusi Pleura masif

B. Daftar Masalah

Anamnesis

- Dispnea

- Lemas

- Asites

- Riwayat Hipertensi 10 tahun


- Riwayat DM 15 tahun

- Hemodialis 2 kali seminggu Sejak 2018

Pemeriksaan fisik

- TD : Hipertensi st. II

- Laju nafas : takipnea, kussmaul (-)

- Denyut nadi : takikardia

- IMT : obesitas I

Mata

- Konjungtiva anemis / pucat (+/+)

Pulmo

Pulmo Anterior Posterior

Inspeksi Dextra : massa (-), Dextra : massa (-),

ketinggalan gerak (-) ketinggalan gerak (-)

Sinistra : masaa (-), Sinistra : masaa (-),

ketinggalan gerak (+) ketinggalan gerak (+)

Palpasi Dextra : Taktil fremitus Dextra : Taktil

vokal dalam batas fremitus vokal dalam

normal batas normal

Sinistra : taktik Sinistra : taktik

fremitus vokal fremitus vokal


melemah melemah

Perkusi Dextra : seluruh lapang Dextra : seluruh

pulmo dextra anterior lapang pulmo dextra

sonor posterior sonor

Sinistra : seluruh Sinistra : seluruh

lapang pulmo sinistra lapang pulmo sinistra

anterior redup posterior redup

Auskultasi Dextra : vesikuler (+), Dextra : vesikuler

wheezing (-), ronkhi (-) (+), wheezing (-),

Sinistra : vesikuler (↓), ronkhi (-)

wheezing (-), ronkhi (-) Sinistra : vesikuler

(↓), wheezing (-),

ronkhi (-)

Abdomen

- asites

- shiffting dullness (+)

Ekstremitas

Edema superior -/-, edema inferior -/-

Pemeriksaan Laboratorium

- anemia
- leukositosis

- uremia

- peningkatan creatinin

Radiologi

Efusi pleura masif sinistra

B. Analisis Penyebab Masalah

Sindrom CKD

Anamnesis :

Dispnea

Lemas

Mual muntah

Riwayat hipertensi

Hemodialisis reguler 2 kali seminggu sejak 2018

Pemeriksaan fisik :

Tekanan darah 160/70 mmHg

Asites

Pemeriksaan penunjang :

Hb 7.1 (anemia)

Hiperuremia 76 mg/dL
Peningkatan kreatinin serum 4.73 mg/dL

LFG : 14 ml/menit/1,73 m2

Efusi pleura masif sinistra et causa suspek pleuritis uremik

Anamnesis :

Dispnea

Hemodialisis reguler 2 kali seminggu sejak 2018

CKD sejak 2018

Pemeriksaan fisik :

Takipnea

Pulmo : inspeksi asimetris kedua lapang paru, fremitus vokal lapang paru sinistra

melemah, perkusi lapang paru sinistra redup, auskultasi suara paru sinistra vasikuler

menurun tanpa disertai suara paru tambahan.

Pemeriksaan penunjang :

Leukosit : 12.67

Radiologi : kesan efusi pleura masif sinistra

Sitopatologi : gambaran limfosit yang menyebar, peradangan kronis non spesifik

Sindrom Anemia on chronic disease

Anamnesis :

Lemas

Pemeriksaan fisik :

Konjungtiva anemis, Hb 7,1 mg/dL,


Sindrom Asites et causa chronic kidney disease

Anamnesis

Dispnea

Hemodialisis rutin 2 kali seminggu sejak 2018

Pemeriksaan fisik :

Shiffting dullness (+)

Sindrom Hipertensi sekunder st. II

Anamnesis :

Riwayat hipertensi sejak 10 tahun lalu

Riwayat Diabetes Melitus sejak 15 tahun lalu

Pemeriksaan fisik :

Obesitas I

Tekanan darah 160/70 mmHg

Sindrom CHF NYHA II

Anamnesis :

Riwayat hipertensi sejak 10 tahun

Riwayat diabetes melitur 15 tahun

Pemeriksaan fisik :

TD 160/70 mmHg

Obesitas I

Foto Rontgen : kesan efusi pleura


Sindrom Emboli paru

Anemesis :

Dispnea

Pemeriksaan fisik :

Takipnea

Gallop (-)

Ronkhi (-)

Foto Rontgen : efusi pleura masif (+) , Kardiomegali (-)

D. Kriteria Diagnosis

Chronic Kidney Disease

Gambaran Klinis :

Riwayat diabetes melitus, Riawayat hipertensi, Hiperuresemia, Lemah, Latergi,

anoreksia, mual, muntah, volumen overload, prutitus, perikarditis, anemia,

asidosis metabolik, gangguan keseimbangan

Gambaran Laboratorium :

Pengingkatan ureum dan kreatinin, penurun LFG yang dihitung dengan rumus

kockcroft-gault, penurunan kadar hemoglobin, peningkatan asam urat, hiper atau


hipokalemia, hiperosfatemia, asidosis metabolik, leukosuria

Gambaran radiologis

a. Foto abdomen : nampak batu radio-opak

b. Usg : ginjal yang mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau

batu ginjal, kista, massa

Efusi pleura masif sinistra et causa suspek pleuritis uremik

Anamnesis :

Dispnea

Hemodialisis reguler 2 kali seminggu sejak 2018

CKD sejak 2018

Pemeriksaan fisik :

Takipnea

Pulmo : inspeksi asimetris kedua lapang paru, fremitus vokal lapang paru sinistra

melemah, perkusi lapang paru sinistra redup, auskultasi suara paru sinistra

vasikuler menurun tanpa disertai suara paru tambahan.

Pemeriksaan penunjang :
Leukosit : 12.67

Radiologi : kesan efusi pleura masif sinistra

Sitopatologi : gambaran limfosit yang menyebar, peradangan kronis non spesifik

Sindrom Anemia on chronic disease

Gambaran klinis :

Asimptomatik , konjungtiva pucat, lemas,

Gambaran laboratorium :

Hemoglobin rendah, retikulosit absolut dalam batas normal atau sedikit

meningkat, perubahan leukosit dan trombosit tidak konsisten, penurunan Fe

serum,

Sindrom Hipertensi

Gambaran klinis :

Riwayat hipertensi, keturunan, merokok, dislipidemia, diabetes, inakitivitas fisik,

pemeriksaan fisik tekanan darah diatas ambang normal,

Pemeriksaan penunjang : -

Sindrom CHF NYHA II

Anamnesis :
Riwayat hipertensi sejak 10 tahun

Riwayat diabetes melitur 15 tahun

Pemeriksaan fisik :

TD 160/70 mmHg

Obesitas I

Foto Rontgen : kesan efusi pleura

Sindrom Emboli paru

Anemesis :

Dispnea

Pemeriksaan fisik :

Takipnea

Gallop (-)

Ronkhi (-)

Foto Rontgen : efusi pleura masif (+) , Kardiomegali (-)

E. Diagnosis Kerja

- Chronic Kidney Disease st. V on HD et causa hipertensi sekunder st. II


- Efusi pleura masif sinistra et causa suspek pleuritik uremik

F. Diagnosis Banding

- CHF NYHA II

- Emboli Pulmo

G. Terapi

Terapi non-farmakologi

Protein : pasien hemodialisis 1-1,2 gram/kgBB/hari

Pengaturan lemak: 30-40% dari kalori total dan mengandung jumlah yang sama

antara asam lemak bebas jenuh dan tidak jenuh

Pengaturan karbohidrat: 50-60% dari kalori total

Natrium: <2 gram (dalam bentuk garam <6 gram/hari)

Kalium: 40-70 mEq/hari

Fosfor : 5-10 mg/kgbb/hari pasien HD : 17 mg/hari

Kalsium : 1400-1600 mg/hari

Air : jumlah urin 24 jam + 500 ml


Farmakologi

1. Chronic Kidney Disease st. V on HD et causa hipertensi sekunder st. II

 Inj. furosemide 3 x 1 ampul

Merupakan obat antidiuretik. Obat ini digunakan atas dasar indikasi tekanan

darah pasien yang tinggi. Hingga saat ini furosemid menjadi pilihan yang paling

sering digunakan pada pasien PGK karena dianggap dapat peningkatan

pengeluaran natrium hingga 20% karena efikasi tidak bergantung pada LFG.

Diuretik kuat bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi elektrolit Na+ /K+ /Cl-

di ansa henle asendens bagian epitel tebal, dimana tempat kerjanya berada di

permukaan sel epitel bagian luminal. Perubahan hemodinamik ini akan

menyebabkan turunnya reabsorpsi cairan dan elektrolit di tubuli proksimal dan

meningkatkan efek awal diuresis sehingga tekanan darah dapat menurun.

 CaCO3 3 x 1 tablet

CaCO3 juga digunakan dalam penanganan kondisi hiperfosfatemia pasien.

Hiperfosfatemia pada pasien gagal ginjal terjadi akibat pelepasan fosfat dari
dalam sel karena kondisi asidosis dan uremik yang sering terjadi. CaCO3 bekerja

dengan mengikat fosfat pada saluran pencernaan sehingga mengurangi absorpsi

fosfat.

 Asam folat 3x1 tablet

Terapi dengan asam folat digunakan dalam penanganan kondisi anemia yang

muncul pada pasien kondisi uremia, defisiensi asam folat, defisiensi besi,

defisiensi vitamin B12, dan akibat fibrosis sumsum tulang belakang yang terdapat

pada pasien CKD

 Candesartan 1 x 8 mg malam (1-0-0)

Candesartan merupakan golongan angiotensin II receptor blockers (ARBs)

yang mampu mengikat reseptor AT1 dengan afinitas tinggi secara selektif yang

berfungsi sebagai agen anti-hipertensi. Pada pasien ini diberikan dengan indikasi

adanya hipertensi. Target tekanan darah sistolik 130-139 mmHg dan diastolik 85-

89 mmHg.

 Amlodipin 1 x 10 mg pagi
Amlodipin digunakan untuk pengobatan hipertensi dan pencegahan angina.

Obat ini hanya sedikit dikeluarkan melalui ginjal. Efek samping amlodipin adalah

jantung berdebar, nyeri dada atau perasaan berat, mual, pusing , mengantuk,

lelah.

 Concor 2,5 mg 1 x 1 (0-1-0)

Concor merupakan obat yang mengandung bisoprolol, bisoprolol adalah

antihipertensi golongan Beta blocker mengurangi denyut jantung dan

kontraktilitas miokard. Disamping itu, hambatan sekresi renin dari ginjal melalui

reseptor juga menimbulkan efek hipotensif. Sebagian sekresi renin akibat diet

rendah natrium juga diblok oleh Beta Bloker.

 Hemodialisa rutin 2x dalam seminggu

Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif.

Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis,

ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak


responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood

Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%.

2. Efusi Pleura Masif sinistra et causa suspek pleurtik uremik

 Kortikosteroid

Pemberikan kortikosteroid pada pasien ini secara empiris untuk mengontrol

peradangan nonspesifik. Pada bebrapa penelitian mulai 50mg prednisolone dan

menghilangnya efusi total diamati 6 minggu setelah pengobatan. Dalam kasus

lain, mereka menggunakan rejimen yang sama dan pleuritis atau

pleuropericarditis sembuh dalam satu bulan. Demikian pula, kami menggunakan

40 mg metilprednisolon pada awalnya dan mencatat respons yang hampir lengkap

dalam 2 minggu pengobatan. Kesimpulannya, kasus ini menunjukkan bahwa

kortikosteroid mungkin memiliki manfaat dan dapat dianggap sebagai pilihan

terapeutik untuk pleuritis uremik yang resisten terhadap pengobatan

konvensional.
G. Planning

- pemeriksaan AGD

- pemeriksaan urin

-biopsi pleura, memastikan kasusnya sebagai pleuritis uremik, untuk

menyingkirkan etiologi infeksi dan keganasan dengan biopsi pleura.

H. Edukasi

- mengurangi berat badan pasien sesuai dengan indeks massa tubuh ideal

- mengontrol air yang masuk dalam tubuh (jumlah urin + 500 ml)

- mengonsumsi asupan natrium sesuai takaran

- menghindari alkohol dan kopi,kafein dapat memacu jantung bekerja lebih cepat,

sehingga mengalirkan lebih banyak cairan pada setiap detiknya. Sementara

konsumsi alkohol lebih dari 2-3 gelas/hari dapat meningkatkan risiko hipertensi.

- rutin HD 2 x/seminggu

- rutin minum obat antihipertensi


I. Resume

Ny. N usia 41 tahun datang ke IGD dengan keluhan sesak nafas sejak 3 hari

SMRS dan memberat setelah di lakukan hemodialisis. Keluhan dirasakan pada

saat aktivitas tetapi tidak membaik dengan istrirahat.

Sebelum masuk rumah sakit 5 hari yang lalu pasien sempat dirawat di Ruang

B RSDS dengan keluhan lemas dan disertai mual. Pasien juga mengeluhkan perut

terasa membengkak dan kencang seperti terisi cairan. Pasien memiliki riwayat

penyakit dahulu hipertensi sejak 10 tahun yang lalu dan diabetes melitus sejak 15

tahun yang lalu.

Dari hasil pemeriksaan fisik dengan kesadaran compos mentis, tekanan darah

meningkat 160/70 mmHg masuk dalam golongan hipertensi sekunder st.II, laju

nafas diatas normal 34 x/menit (takipnea), dan denyut nadi 120 x/menit

(takikardia). Pada pemeriksaan kepala di dapat konjungtiva anemis (+/+), leher

dalam batas normal, pemeriksaan thorak inspeksi kedua lapang paru asimetris,
suara vesikuler menurun pada paru sinistra, perkusi dullness pada lapang paru

sinistra dan sonor pada lapang paru dextra. Abdomen tampak cembung, kenjang

dan tidak terdapat nyeri tekan, pada pemeriksaan shiftting dullness (+),

ekstremitas bawah edema (-/-) pitting edema (-/-).

Dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan hasil pemeriksaan darah

pertama kali masuk rumah sakit Hb dalam keadaan kurang/ anemia (7,1 dL/g),

leukositosis (12.67 x 103) Uremia (76 mg/dL), kreatinin meningkat (4.73 mg/dL),

limfosit rendah (14%), pemeriksaan darah lainnya dalam batas normal.

Pemeriksaan radiologi X-ray thorax AP dengan kesan efusi pleura masif sinistra.

Dilakukan pemeriksaan tambahan untuk evaluasi yaitu pemeriksaan sitopatologi

cairan merah tanpa disertai pus atau nanah, pleura didapatkan peradangan kronis

non spesifik pada cairan pleura dan tidak didapatkan sel tumor ganas.

Dengan diagnosis CKD st. V on et causa hipertensi sekunder st. II, dan efusi

pleura masif sinistra et causa suspek pleuritis uremik.


Diagnosis CKD ditegakan dengan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang yang dapat dikaitkan sesuai dengan tinjauan pustaka

bahwa pasien dengan keluhan sesak nafas, dan ditemukan tanda trias CKD yaitu

anemia serta terdapat peningkatan ureum disertai penurunan LFG 14

ml/menit/1,73 m2 masuk dalam kategori CKD stage V menurut kidney disease

improving global outcomes (KDIGO). Efusi pleura merupakan masalah umum

yang terjadi pada pasien dengan gagal ginjal kronis dengan hemodialisis. Pada

kasus ini pasien didiagnosis efusi et causa suspek pleuritis uremik ditegakan

dengan hasil anamnesis pasien mengeluh sesak, dari pemeriksaan fisik paru

terdapat pemeriksaan fremitus vokal melemah dan terdengar suara vesikuler

menurun disertai hasil perkusi paru sinistra meredup. Pada pemeriksaan

laboratorium di temukan hasil leukositosis adalah tanda inflamasi. Pada kasus

uremia pasien dapat menunjukan gejala leukositosis yaitu inflmasi. Peradangan

yang terjadi pada pasien akibat pleuritis uremik belum diketahui penyebabnya
dan menetap atau berulang dengan hemodialisis agresif. Pada pemeriksaan

sitopatologi dengan cairan pleura berwarna merah tanpa pus, dan hasil analisis

Perbedaan sel cairan pleura sering menunjukkan dominasi limfositik dengan

jumlah total neutrofil polimorfonuklear yang lebih rendah daripada yang terlihat

pada efusi parapneumonik, sehingga tidak menunjukan sebaran polimorfonuklear,

tidak ada riwayat pengobatan TB dan kontak dengan pasien TB menyingkirkan

diagnosis efusi pleura et causa parapneumonia dan tuberculosis, dan tidak terjadi

kelainan pada pemeriksaan jantung maupun adanya tanda overload sehingga

dapat menyingkirkan diagnosis CHF maupun emboli paru.

Sehingga sesuai dengan tinjauan pustaka bahwa pemberian antibiotik pada

pasien ini tidak sesuai indikasi. Pemberian antibiotik pada pasien dengan chronic

kidney disease harus sesuai dengan indikasi atau tanda-tanda adanya inflamasi

karena infeksi yang disebabkan karena bakteri, pada pasien ini setelah dilakukan

perawatan selama 5 hari dan tidak ditemukan tanpa membaik sehingga dilakukan
pemeriksaan tambahan dengan hasil tidak didapatkan adanya tanpa infeksi

bakteri atau SIRS sehingga tidak dianjurkan untuk diberikan lebih lanjut.

Pemberian Transfusi PRC pada pasien Chronic kidney disease dengan

anemia harus sesuai dengan indikasi. Transfusi darah pada pasien CKD hanya

diberikan bila pasien dengan gejala gangguan hemodinamik, tidak

memungkinkan pemberian EPO dan Hb < 7 g/dL, Hb <8 g/dL dengan gangguan

hemodinamik. Pada hasil laboratorium pasien ini didapatkan Hb 7.1 dengan

gangguan hemodinamik berupa hipertensi sekunder st. II.

Pemberian diuretik yaitu furosemid pada kasus ini, pengobatan hipertensi

pada pasien adalah furosemid yang merupakan jenis loopdiuretic derivat asam

antrianiat. Furosemid yang merupakan loop diuretic adalah diuretik yang paling

banyak digunakan pada CKD terutama CKD stage 4-5. Furosemid diberikan

dengan dosis yang lebih besar pada pasien CKD karena furosemid terikat 91%

sampai 99% total protein sehingga dapat menghambat diuresis (KDOQI


Guidelines, 2013). Pasien CKD dengan hipovolemia dimana kondisi adanya

peningkatan volume cairan di intravaskuler, intisial dan intraseluler sehingga

dapat mengakibatkan bengkak atau edema. Etiologinya karena adanya retensi

natrium dan air yang disebabkan karena penurunan jumlah nefron yang

mengakibatkan laju LFG menurun. Perpindahan cairan ini mengakibatkan

penurunan sirkulasi volume darah yang mengaktifkan sistem imun angitensin.

Kondisi overload yang muncul pada pasien ckd biasanya adalah keadaan edema

perifer, edema paru dan hipertensi.

Diagnosis banding pada kasus ini adalah chronic Hearth Disease dan emboli

pulmo. CHF merupakan sindorm klinis yang terjadi karena abnormalitas struktur

dan/atau fungsi jantung yang diturunkan atau didapat, disingkirkan karena tidak

memenehu kriteria dari diagnosis CHF yaitu Framingham. Salah satunya adalah

sesak dirasakan terus menerus dan tidak membaik pada saat istirahat.
BAB V

KESIMPULAN

Pasien Ny. N usia 41 datang ke IGD dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang, didiagnosis CKD st V on HD ditegakan dengan hasil
LFG 14 ml/menit/1,73 m2 disertai pasien sudah rutin terjadwal HD. Disertai
dengan diagnosis anemia yang ditegakan dengan hasil pemeriksaan laboratorium
Hb 7.1 mg/dL. Tekanan darah 160/70 mmHg masuk dalam hipertensi sekunder st.
II dengan riwayat Diabetes melitus sejak 15 tahun lalu menurut JNC VIII. Setelah
dilakukan evaluasi setiap hari dan dilakukan pemeriksaan penunjang tambahan
pasien didiagnosis Efusi pleura masif sinistra ditegakan dengan pemeriksaan fisik
ditemukan fremitus vokal paru sinitra melemah, suara vesikuler paru sinitra
menurun dan perkusi didepatkan suara redup/dullness pada bagian paru sinitra
serta pada pemeriksaan penunjang radiologi thorak ditemukan kesan efusi pleura
masif sinitra et causa suspek pleuritis uremik, hasil sitopatologi dengan
peradangan kronis non spesifik tidak ditemukan sel tumor ganas.
Sehingga setelah dilakukan evaluasi selama 9 hari pasien mendapatkan terapi
berupa diuretik, yaitu Inj furosemide 3 x 1 ampul, kortokosteorid dengan
prednison 50 mg selama 1 bulan, antihipertensi golongani CCB yaitu amlodipin
10 mg 1 x 1, antihipertensi golongan ARB yaitu Condesartan 8 mg 1 x 1 (1-0-0),
untuk mengkontrol kondisi hiperfosfatemia CaCo3 3 x 1, Asam folat berperan
dalam pemulihan dan pemeliharaan hematopoiesis normal sehingga diberikan
asam folat 3 x 1 untuk menangani kondisi anemianya, antihipertensi golongan β-
Blocker yaitu Concor 2,5 mg 1x1 (0-1-0) dan Hemodialisa 2 kali / minggu.
Edukasi pasien untuk menjaga keseimbangan cairan dengan tetap mengontrol
cairan yang masuk kedalam tubuh, diet kontrol natrium, pastikan pasien
melakukan HD 2x/seminggu, hindari minuman beralkohol dan mengandung
caffein, mengurangi berat badan hingga sesuai Indeks massa tubuh ideal pasien.
DAFTAR PUSTAKA

1. KDIGO. Clinical practice guideline for the evaluation and


management of chronic kidney disease. 2012 (diunduh Februari
2016). Tersedia dari: http://www.kdigo.org/clinical_practice
_guide lines/ pdf/CKD/KDIGO_2012_CKD_GL.pdf
2. Kemenkes, RI. Situasi Penyakit Ginjal Kronis. Pusat Informasi
kementrian kesehatan RI. 2017. ISSN 2442-7659
3. Henry Ford Health System. Chronic kidney disease: Clinical
practice recommendations for primary care physcians and
healthcare providers. Edition 6.0. 2011 (diunduh Februari 2016).
Tersedia dari: https://www.asn-online.org/educati on/t
raining/fellows/HFH S_CKD_V6.pdf
4. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian
Kesehatan RI. Riset kesehatan dasar. Bakti Husada; 2013.
5. Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri). 2014. 7th Report Of
Indonesian Renal Registry. Available at:
https://www.indonesianrenalregistry.or g/data/INDONESIAN
%20RENAL%2 0REGISTRY%202014.pdf
6. Arianti. Rachmawati, anisa. Marfianti, erlina. KARAKTERISTIK
FAKTOR RISIKO PASIEN CHRONIC KIDNEY DISEASE
(CKD) YANG MENJALANI HEMODIALISA DI RS X
MADIUN. Biomedika, Volume 12 No 1, Februari 2020
7. SIGN. Diagnosis and management of chronic kidney disease: A
national clinical guideline. 2008 (diunduh Februari 2016). Tersedia
dari: http://www.sign.ac.uk/pdf/sign103.pdf

1
8. Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) CKD
Work Group. KDIGO Clinical Practice Guideline for the
Evaluation and Management of Chronic Kidney Disease. Kidney
International, Supplement. 2013;3: 1-150.
9. Thakar CV, Christianson A, Himmelfarb J, Leonard AC. Acute
kidney injury episodes and chronic kidney disease risk in diabetes
mellitus. Clin J Am Soc Nephrol. 2011 Nov. 6(11):2567-
72. [Medline].
10. Suwitra K. Penyakit ginjal kronik. Dalam: Setiati S, Alwi I,
Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF (eds). Buku
ajar ilmu penyakit dalam jilid 1. Edisi ke-6. Jakarta: Interna
Publishing; 2014.
11. MD, Vecihi Batuman. Chronic Kidney Disease. Medscape. 2019
agustus. (diakses: 01 oktober 2020)
https://emedicine.medscape.com/article/238798-overview#a3
12. Caudhry sultan. Chronic Kidney Disease. McMaster
Pathophysiology Review Nephrology. 2012: 80-165
13. Liang R, Ghaffari S. Advances in understanding the mechanisms
of erythropoiesis in homeostasis and disease. Br J Haematol. 2016
Jul 21. [Medline].
14. Bargman JM, Skorecki K. Chronic kidney disease. Dalam:
Jameson JL, Loscalzo J, editor (penyunting). Harrison’s
nephrology and acid- base disorders. Edisi ke-1. New York: The
MacGraw-Hill Companies; 2010
15. Setiati, Siti et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi VI.
Jakarta:Interna Publishing. 2015: 2161-2167

1
2
16. Barg,am J, Scorecki K, Chronic kidney disease. In : Longo DL,
Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J,
Horrison’s Principles of internal medicine. 18th edition. New York,
Mcgraw-hill. 2012
17. Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) CKD
Work Group. KDIGO 2012 clinical practice guideline for the
evaluation and management of chronic kidney disease. Kidney Int
Suppl. 2013;3:1-150.
18. Shurraw S, Hemmelgarn B, Lin M, Majumdar SR, Klarenbach S,
Manns B, et al. Association Between Glycemic Control and
Adverse Outcomes in People With Diabetes Mellitus and Chronic
Kidney Disease: A Population-Based Cohort Study. Arch Intern
Med. 2011 Nov 28. 171(21):1920-1927.
19. National Institut for Health and Care Excellence. Chronic Kidney
Disease in Adults Assessment and Management. NICE. 2014:60:1-
60
20. [Guideline] Ketteler M, Block GA, Evenepoel P, Fukagawa M,
Herzog CA, McCann L, et al. Diagnosis, Evaluation, Prevention,
and Treatment of Chronic Kidney Disease-Mineral and Bone
Disorder: Synopsis of the Kidney Disease: Improving Global
Outcomes 2017 Clinical Practice Guideline Update. Ann Intern
Med. 2018 Feb 20. S1-130
21. de Brito-Ashurst I, Varagunam M, Raftery MJ, Yaqoob MM.
Bicarbonate supplementation slows progression of CKD and
improves nutritional status. J Am Soc Nephrol. 2009 Sep.
20(9):2075-84

1
3
22. Harrison P. Sodium Bicarbonate Slows Chronic Kidney Disease
Safely. Medscape Medical News. Available
at https://www.medscape.com/viewarticle/914574. June 18, 2019;
Accessed: July 19, 2019.
23. Barclay L. CKD: KDIGO Guidelines Recommend Wider Use of
Statins. Medscape Medical News. Available
at http://www.medscape.com/viewarticle/817504. Accessed:
December 16, 2013.
24. [Guideline] Tonelli M, Wanner C. Lipid Management in Chronic
Kidney Disease: Synopsis of the Kidney Disease: Improving
Global Outcomes 2013 Clinical Practice Guideline. Ann Intern
Med. 2013 Dec 10. [Medline].
25. Ha JT, Neuen BL, Cheng LP, Jun M, Toyama T, Gallagher MP, et
al. Benefits and Harms of Oral Anticoagulant Therapy in Chronic
Kidney Disease: A Systematic Review and Meta-analysis. Ann
Intern Med. 2019 Jul 16. [Medline].
26. Sukandar E. Nefrologi klinik. Edisi ke-3. Bandung: Pusat
Informasi Ilmiah bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran UNPAD/RS. Dr. Hasan Sadikin; 2006.
27. Hooper, C. Lee, Y.C.G. Maskell, N. Investigation of a unilateral
pleural effusion in adults: British Thoracic Society pleural disease
guideline 2010. Thorax. 2010;65(2):ii4-ii17.
28. Brashers, V. L. Alterations of Pulmonary Function. Dalam
McCance, K. L. & Huether, S. E. Pathophysiology : The Biologic
Basis for Disease in Adults and Children. 5 th Edition. Elsevier
Mosby; 2006:1205-1245.

1
4
29. Rubbins, J. Pleural Effusion. 2013. Melalui
http://emedicine.medscape.com/ article/299959 [diakses pada 7
oktober 2020].
30. Halim, Hadi. 2007. Penyakit-penyakit Pleura. Dalam: Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam, Sudoyo AW, et al. Edisi 4, Jilid II. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI; hal. 1056-60.
31. Desalew, M. Amanuel, A. Addis, A. Zewdu, H. Jemal, A. Pleural
effusion: Presentation, causes and treatment outcome in a resource
limited area, Ethiopia. Health. 2012; 4(1):15-19.
32. Mattison L, Coppage L, Alderman D. Pleural effusion: prevalence,
causes, and clinical implications. Br. J Cancer. 2010;111(04): 810-
14.
33. Depkes RI. Profil Kesehatan 2006. Jakarta: Depkes RI; 2006.
34. Diaz-Guzman E, Dweik RA. Diagnosis and management of
pleural effusions: a practical approach. Compr Ther. 2007 Winter.
33(4):237-46. [Medline]. 
35. Noppen M. Normal volume and cellular contents of pleural
fluid. Curr Opin Pulm Med. 2001 Jul. 7(4):180-2. [Medline]. 
36. Sahn SA. The differential diagnosis of pleural effusions. West J
Med. 1982 Aug. 137(2):99-108. [Medline]. [Full Text].
37. Light RW. The undiagnosed pleural effusion. Clin Chest Med.
2006 Jun. 27(2):309-19. [Medline]. 
38. Culotta R, Taylor D. Diseases of the pleura. Ali J, Summer WR,
Levitzky MG, eds. Pulmonary Pathophysiology. 2nd ed. New
York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2005. 194-212.
39. Askegard-Giesmann JR, Caniano DA, Kenney BD. Rare but
serious complications of central line insertion. Semin Pediatr Surg.
2009 May. 18(2):73-83. [Medline].

1
5
40. Garcia-Vidal C, Carratalà J. Early and late treatment failure in
community-acquired pneumonia. Semin Respir Crit Care Med.
2009 Apr. 30(2):154-60.
41. Heffner JE. Diagnosis and management of malignant pleural
effusions. Respirology. 2008 Jan. 13(1):5-20. [Medline]. 
42. Bouros D, Pneumatikos I, Tzouvelekis A. Pleural involvement in
systemic autoimmune disorders. Respiration. 2008. 75(4):361-71
43. Pranita, Ni PN . Wellness and Healthy Magazine, 2(1), February
2020, – 71
44. Hour CE. Diagnosis of pleural effusion ; a systematic approach. J
Am. Crit. Care. 2011;20(3):199-218.
45. Hooper C, Lee G, Maskell N. Investigation of a unilateral pleural
effusiom in adults. J Internationalof Respiration Medicine.
2013;65(2): 145-54.
46. Rasad S. Radiologi diagnostik. Jakarta: Balai Penerbit FK
Universitas Indonesia; 2015.
47. Light RW. Tuberculous pleural effusion. Turk Torak's Derg.
2015;16(1):1–9.
48. Oudart JB, Pax C, Bennani-Smires B, Ramont L. Milky pleural
fluid. Clin Chem. 2016;62(2):315–7. 17.
49. Terler K, Semra B, Berna K. Diagnostic value of pleural light’s
criteria, the protein gradient and the albumin gradient alone or in
combination in differentiation of exudates and transudates. J Int
Clin Exp. Pathol. 2012;26(1):105–15.
50. Wilcox ME, Chong CA, Stanbrook MB, Tricco AC, Wong C,
Straus SE. Does this patient have an exudative pleural effusion?
The Rational Clinical Examination systematic review. JAMA.
2014 Jun 18. 311(23):2422-31. [Medline].

1
6
51. Metintas M, Ak G, Dundar E, et al. Medical thoracoscopy vs CT
scan-guided Abrams pleural needle biopsy for diagnosis of
patients with pleural effusions: a randomized, controlled
trial. Chest. 2010 Jun. 137(6):1362-8.
52. Swiderek J, Morcos S, Donthireddy V, et al. Prospective study to
determine the volume of pleural fluid required to diagnose
malignancy. Chest. 2010 Jan. 137(1):68-73. [Medline].
53. Wai W, Migliori GB, Lange C. Invited review series : tuberculosis
update on tuberculous pleural effusion. J Int Respir Med.
2010;15(1):451–8.
54. Khan F, Aisamawi M, Ibrahim A. Etiology of pleural effusion
among adults in the State of Qatar : a 1-year hospital-based study.
East. J M
55. Wong JW. Cytology of effusion fluids. J Br Cancer.
2012;6(3):350–7.
56. Goligher EC, Leis JA, Fowler RA, et al. Utility and safety of
draining pleural effusions in mechanically ventilated patients: a
systematic review and meta-analysis. Crit Care. 2011 Feb 2.
15(1):R46. [Medline]
57. Desai NR, Lee HJ. Diagnosis and management of malignant
pleural effusions: State of the art in 2017. J Thorac Dis. 2017;9(7):
S1111-22.
58. Villena Garrido V, Cases Viedma E, Fernández Villar A, de Pablo
Gafas A, Pérez Rodríguez E, Porcel Pérez JM, et al.
Recommendations of diagnosis and treatment of pleural effusion.
Update. Arch Bronconeumol. 2014;50(6):235– 49.

1
7
59. DeBiasi EM, Pisani MA, Murphy TE, Araujo K, Kookoolis A,
Argento AC, et al. Mortality among patients with pleural effusion
undergoing thoracocentesis. Eur Respir J. 2015; 46(2): 495-502. 
60. Boka K. Pleural effusion. Medscape [2018 Dec 28].
https://emedicine.medscape.com/article/299959-overview.
61. Perki 2015
62. Patel SK, Velkoska E, Freeman M, Wai B, Lancefield TF, Burrell
LM. From gene to protein-experimental and clinical studies of
ACE2 in blood pressure control and arterial hypertension. Front
Physiol. 2014. 5:227. [Medline]. [Full Text].
63. Shimbo D, Muntner P, Mann D, Barr RG, Tang W, Post W, et al.
Association of left ventricular hypertrophy with incident
hypertension: the multi-ethnic study of atherosclerosis. Am J
Epidemiol. 2011 Apr 15. 173(8):898-905. [Medline]. 
64. von Lueder TG, Atar D, Krum H. Current role of neprilysin
inhibitors in hypertension and heart failure. Pharmacol Ther. 2014
Oct. 144(1):41-49. [Medline].
65. Kadir, Akmarawita. Hubungan Patofisiologi Hipertensi Dan
Hipertensi Renal. Jurnal Ilmiah Kedokteran. 2016:1(5):15-25

1
8

Anda mungkin juga menyukai