Sampul Lapsus
Sampul Lapsus
dengan
Oleh :
MARIA SINTA D Y LUMBAN GAOL
NIM :196100802017
Pembimbing :
dr. Suyanto, Sp.PD. FINASIM
i
LEMBAR PENGESAHAN
dengan
LAPORAN KASUS
Diajukan sebagai salah satu syarat mengikuti Ujian Akhir di SMF Ilmu Penyakit
Dalam
ii
Laporan Kasust ini disahkan oleh :
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat, rahmat serta karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan kasus yang berjudul “Chronic Kidney Disease dan Efusi Pleura Masif
Sinistra”. laporan kasus ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam
kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Penyakit Dalam di RSUD dr. Doris Sylvanus
Palangka Raya. Penulis sadar bahwa dalam proses penyelesaian penulisan laporan
kasus ini banyak mengalami kendala namun semua ini tidak terlepas dari bantuan,
bimbingan, kerjasama, dan dukungan dari berbagai pihak sehingga kendala-
kendala yang dihadapi tersebut dapat diatasi.
Pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan terima kasih kepada dr.
iii
Suyanto, Sp.PD. FINASIM sebagai pembimbing saya yang telah banyak
memberikan arahan, motivasi, saran, meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran serta
perhatiannya selama penyusunan, kedua orang tua saya yang selalu mendukung,
memberikan motivasi dan juga teman-teman yang selalu memberikan semangat
kepada saya dalam penyusunan laporan kasus ini hingga dapat terselesaikan.
Demikian yang dapat penulis sampaikan. Kiranya laporan kasus ini dapat
berguna dan membantu dokter-dokter muda selanjutnya maupun mahasiswa-
mahasiswi jurusan kesehatan lain yang sedang dalam menempuh pendidikan,
laporan kasus ini berguna sebagai referensi dan sumber bacaan untuk menambah
ilmu pengetahuan.
Palangka Raya, Oktober 2020
Penulis
iv
DAFTAR ISI
v
BAB I
PENDAHULUAN
Efusi pleura adalah masalah klinis yang umum ditemui dan sering muncul
sebagai penyakit sekunder terhadap penyakit lain diantaranya adalah pada
Penyakit Ginjal Kronis, sehingga efusi pleura sebagai komplikasi pada pasien
dengan penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan dilema bagi nefrologi dan
pulmonologi apakah disebabkan dari gangguan fungsi ginjal ataukah oleh karena
sebab lain yaitu infeksi.
Efusi pleura adalah akumulasi cairan yang abdormal pada ruang pleura. Efusi
pleura menunjukkan suatu proses patologis yang mungkin secara primer berasal
dari paru itu sendiri ataupun terkait dengan sistem organ lain dan kadang-kadang
bisa merupakan manifestasi dari beberapa penyakit sistemik.
Meskipun spektrum etiologi dari efusi pleura sangat luas, kebanyakan efusi
pleura disebabkan oleh gagal jantung kongestif, pneumonia, keganasan, atau
emboli paru, penyakit ginjal. Efusi pleura umumnya diklasifikasikan sebagai
transudat atau eksudat, berdasarkan mekanisme pembentukan cairan dan kimia
cairan pleura. Transudat terjadi akibat ketidakseimbangan tekanan onkotik dan
hidrostatik, sedangkan eksudat disebabkan oleh peradangan pada pleura atau
penurunan drainase limfatik. Dalam beberapa kasus, cairan pleura mungkin
memiliki kombinasi karakteristik transudatif dan eksudatif.
Etiologi efusi pleura pada pasien GGK masih menjadi suatu dilemma apakah
disebabkan dari GGK itu sendiri seperti kelebihan cairan, sindrom nefrotik,
pleuritik uremik, infeksi yang menyertai terutama, tuberkulosis (TB) di negara
endemik TB, emboli paru atau penyakit yang menyebabkan sindrom pleuro-
ginjal, seperti sistemik lupus erythematosus.
BAB II
LAPORAN KASUS
a. Nama : Ny. N
b. Jenis Kelamin : Perempuan
c. Usia : 41Tahun
d. Agama : Islam
e. Alamat : jl. G. obos XVI
f. Pendidikan : SMA
g. Status : Menikah
h. Pekerjaan : IRT
i. No. RM : 13.93.14
j. Anak :-
k. Masuk Rumah Sakit : 25 september 2020
2.2 Anamnesis
1. Keluhan utama :
Sesak nafas
Pasien datang ke instalansi gawat darurat RS. Doris Sylavanus Palangka raya
dari ruang hemodialisis dengan keluhan sesak nafas sejak 3 hari sebelum masuk
rumah sakit dan memberat setelah melakukan hemodialisis. Keluhan berlangsung
terus menerus dan tidak disertai suara mengi. Sesak nafas tidak membaik dengan
atau tanpa aktivitas. Keluhan lemas kadang muncul.
Pasien menceritakan 5 hari sebelum masuk rumah sakit sempat di rawat di
bangsal Bougenville dengan keluhan badan terasa lemas disertai mual dan
didiagnosis Chronic Kidney Disease St. V, pasien rutin melakukan cuci darah 2
kali dalam seminggu sejak tahun 2018.
Pasien mengeluhkan perutnya membesar dan terasa kencang, seperti terisi
cairan. Pasien menyangkal adanya nyeri dada, batuk berdahak, pilek, mual,
muntah, diare, BAB hitam, BAK batu, BAK sakit, berdebar-debar, lemas dan
nyeri perut.
- Hipertensi : (+)
- DM : (+)
- CKD : (-)
- Penyakit jantung : (-)
5. Riwayat Kebiasaan
- Merokok : (-)
- Alkohol : (-)
- Minum soda : (-)
- Minuman manis : (+)
- Minuman saset dan kemasan : (-)
a. Keadaan Umum
b. Antropometri
- Berat Badan : 65 kg
- Tinggi Badan : 156 cm
- IMT : 26,7 kg/m2 (obesitas I)
C. Status Generalis
Paru :
Pulmo Anterior Posterior
Inspeksi Dextra : massa (-), Dextra : massa (-),
ketinggalan gerak (-) ketinggalan gerak (-)
Sinistra : masaa (-), Sinistra : masaa (-),
ketinggalan gerak (+) ketinggalan gerak (+)
Palpasi Dextra : Taktil fremitus Dextra : Taktil
vokal dalam batas fremitus vokal dalam
normal batas normal
Sinistra : taktik fremitus Sinistra : taktik
vokal melemah fremitus vokal
melemah
Perkusi Dextra : seluruh lapang Dextra : seluruh
pulmo dextra anterior lapang pulmo dextra
sonor posterior sonor
Sinistra : seluruh lapang Sinistra : seluruh
pulmo sinistra anterior lapang pulmo sinistra
redup posterior redup
Auskultasi Dextra : vesikuler (+), Dextra : vesikuler (+),
wheezing (-), ronkhi (-) wheezing (-), ronkhi
Sinistra : vesikuler (↓), (-)
wheezing (-), ronkhi (-) Sinistra : vesikuler (↓),
wheezing (-), ronkhi
(-)
Abdomen :
o Inspeksi : cembung, capus medusae(-), bekas luka (-), massa (-)
o Auskultasi : BU (+) 10x/menit.
o Perkusi : dull pada lateral abdomen, shifting dullness (+).
o Palpasi : Supel, massa (-).
a. Laboratorium :
b. Foto Thorax
Interpretasi :
X-ray Thorax AP
- Terpasang CDL di hemitgorax dextra dengan kedudukan baik
- Posisi cor terdorong di hemitorax dextra, batas cor tertutup lesi opositas
- Tampak sebaran infiltra pada lapang paru dextra
- Sinus costofrenikus dextra nampak tumpul dan sinus costofrenikus sinistra
tertutup lesi opak
- Pulmo hilus sinistra = dextra tertutup
- Tampak ground glass opacity pada lapang atas -bawah paru sinistra
Kesan : efusi pleura masif sinistra dengan peradangan organ mediastinum
2.5 Diagnosis
Inj furosemide
Inj. S. Cefriaxone 2 x 1 gr (H4)
Transfusi PRC 2 Kolf (1kolf/24 jam)
Amlodipin 10 mg 1 x 1
Condesartan 8 mg 1 x 1 (1-0-0)
CaCo3 3 x 1
Asam folat 3 x 1
Concor 2,5 mg 1x1 (0-1-0)
2.7 Follow Up
P:
- Inj. Furosemid 3 x 1 ampul
- S. Cefriaxone 2 x 1 gr (H4)
- PRC 2 Kolf (1 klof / 24 jam)
- Konsul baca foto thorax
- HD rutin selasa & jumat jam 07.00 WIB
- Hasil Laboratorium: Hb 7.1, Leukosit 12.67 x 10 3, MCV 82.5,
MCH 26.5, MCHC 32.1, ureum 76, creatinin 4.73
Po. :
amlodipin 10 mg 1x1
Condesartan 8 mg 1x1
Calos 3 x 1
Asam folat 3 x 1
P:
- Inj. Furosemid 3x1 ampul
- Inj. Ceftriaxone 2x1 gr (H4)
- Transfusi PRC 2 Kolf < 1 kolf (1kolf/24jam)
- Pungsi pleura dengan dr.Sp.P hasil cairan 1000 cc,
besok cek cairan ke PA
- Hasil baca Rontgen : kesan efusi pleura masif sinistra
Po. :
amlodipin 10 mg 1 x 1
Condesartan 8 mg 1 x 1
CaCo3 3 x 1
Asam folat 3 x 1
P:
- Inj. Furosemid 3x1 ampul
- Inj. Ceftriaxone 2x1 gr (H4)
- Transfusi PRC 2 Kolf < 1 kolf (1kolf/24jam)
Po. :
amlodipin 10 mg 1 x 1
Condesartan 8 mg 1 x 1
CaCo3 3 x 1
Asam folat 3 x 1
Po. :
amlodipin 10 mg 1 x 1
Condesartan 8 mg 1 x 1
CaCo3 3 x 1
Asam folat 3 x 1
Concor 2,5 mg 1x1
01/10/20 S : sesak (↓), demam (-)
O : TSS, CM
- TD = 180/170 mmHg N=113x/m P=22x/m S = 37,1℃
- Mata = CA -/-
- Thorax = Cor S1-S2 normal, mur-mur (-), gallop (-)
- Pulmo Ves +/↓ Rh -/- Wh -/-
- Abd = BU (+), asites
- Ext = Edema -/-/-/-, akral hangat
A:
- CKD st. Von HD
- Efusi Pleura masif sinistra
- Anemia Normokromik Makrositik
- HT st. II
P:
- Inj. Furosemid 3x1 ampul
- Transfusi PRC 2 Kolf < 1 kolf (1kolf/24jam)
- Rencana pungsi pleura ke 2 dengan dr.Sp.P
- Hasil cek DL (+), Hb: 9,4 g/dL, Ht: 29,3%, MCV:
84,7fl, MCH: 27,2 pg
Po. :
amlodipin 10 mg 1 x 1
Condesartan 16 mg 1 x 1 (1-0-0)
CaCo3 3 x 1
Asam folat 3 x 1
Concor 2,5 mg 1x1 (0-1-0)
02/10/20 S : sesak (+), Demam (-)
O : TSS, CM
- TD = 135/105 N=102x/m P=27 x/m S = 36,9
- Mata = CA -/-
- Thorax = Cor S1-S2 normal, mur-mur (-), gallop (-)
- Pulmo Ves +/↓ Rh -/- Wh -/-
- Abd = BU (+) , asites
- Ext = Edema -/-/-/-, akral hangat
A:
- CKD st. V on HD
- Efusi pleura masif sinistra
- Anemia Normokromik Makrositik
- Hipertensi St. II
P:
- Inj. Furosemide 3x1 ampul
- HD rutin selasa & jumat pukul 07.00 WIB
- Cek Darah lengkap post HD → Hb 9.0 Ht 28.1,
leukosit 8.69, Ur 47, Cr 5.07
- Pungsi pleura ke II dengan Sp,P → cairan ± 1000 cc
Po. :
amlodipin 10 mg 1 x 1
Condesartan 16 mg 1 x 1 (1-0-0)
CaCo3 3 x 1
Asam folat 3 x 1
Concor 2,5 mg 1x1 (0-1-0)
03/10/20 S : sesak (-), Demam (-)
O : TSS, CM
- TD =130/90 N=108x/m P=18x/m S =37,2
- Mata = CA -/-
- Thorax = Cor S1-S2 normal, mur-mur (-), gallop (-)
- Pulmo Ves +/+ Rh -/- , Wh -/-
- Abd = BU (+) , asites
- Ext = Edema -/-/-/-, akral hangat
A:
- CKD st. Von HD
- Efusi pleura masif sinistra
- Anemia Normokromik Makrositik
- Hipertensi St. II
P:
- Inj. Furosemide 3x1 ampul
Po. :
amlodipin 10 mg 1 x 1
Condesartan 16 mg 1 x 1 (1-0-0)
CaCo3 3 x 1
Asam folat 3 x 1
Concor 2,5 mg 1x1 (0-1-0)
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1.1 Difinisi
3.1.2 Epidemiologi
3.1.3 Etiologi
b). Renal
Gagal ginjal intrinsik, disebut juga sebagai intrarenal ARF disebabkan oleh
penyakit yang dapat mempengaruhi integritas tubulus, pembuluh glomerulus,
interstitium, atau darah. ATN (Acute Tubular Necrosis) merupakan kondisi
patofisiologi yang dihasilkan dari obat (aminoglikosida atau amfoterisin B) atau
iskemik terhadap ginjal.
c). Postrenal
Postrenal terjadi karena obstruksi aliran kemih oleh beberapa sebab, antara
lain: hipertrofi prostat jinak, tumor panggul, dan pengendapan batu ginjal.
Penyakit gagal ginjal kronis ini disebabkan oleh kerusakan ginjal dari
penyebab yang bermacam-macam antara lain pada kista renal yang menyebabkan
penyakit polisistik ginjal. Kerusakan ginjal disebakan karena kehilangan massa
nefron, proteinuria serta hipertensi pada kapiler glomerulus. Tekanan kapiler
glomerulus meningkat dimediasi oleh angiotensin II untuk menjaga hiperfiltrasi
dari fungsi nefron. Angiotensin II yang bertindak sebagai vasokonstriktor pada
arteriola aferen dan arteriola eferen, namun lebih dominan pada arteriola eferen.
Sehingga dapat menaikkan tekanan kapiler pada glomerulus. Peningkatan
tekanan kapiler glomerulus dapat menyebabkan pori-pori membran glomerulus
semakin luas dan mengubah ukuran barier selektif yang memungkinkan protein
disaring melalui glomerulus. Protein disaring dan diserap pada tubulus ginjal,
proses tersebut mengaktifkan sel-sel tubular yang menghasilkan vasoaktif sitokin
dan inflamasi yang akan menyebabkan kerusakan interstitial pada tubulus ginjal
sehingga nefron akan banyak hilang dan menyebabkan penurunan fungsi ginjal.
Sehingga etiologi paling sering gagal ginjal kronis disebabkan oleh
glomerulonefritis kronis, diabetes nefropati, hipertensi, penyakit renovaskuler,
interstitial nefritis kronis, penyakit ginjal keturunan, dan penyempitan saluran
kemih berkepanjangan. Gambaran klinis gagal ginjal kronis meliputi nokturia,
edema, anemia, gangguan elektrolit, hipertensi, penyakit tulang, perubahan
neurologis, gangguan fungsi otot, dan uremia.
Chronic Kidney Disease biasanya dapat menyebabkan penuruna fungsi ginjal
secara progresif meskipun penyebab pemicunya dapat diidentifikasi dan diobati.
Beberapa etiologi yang biasanya terjadi :
Penyakit Glomerular
Penyakit glomerulus primer
Glomerulonefritis membranopoloferatif
Nefropati IgA
Nefropati membranosa
Nefritis heredites
Nefropati diabetik
Amiloidosis ginjal
SLE
Logam analgesik
Pielonefrtis kronis
Nefropati
Idiopatik
Penyakit kistik
Penyakit ginjal polikistik
Nefrolitiasis
kongenital
Penyakit vaskular
Nefrosklerosis hipertensi
3.1.4 Klasifikasi
3.1.5 Patofisiologi
Ginjal berperan penting dalam fungsi tubuh, tidak hanya dengan menyaring
darah dan mengeluarkan produk-produk sisa, mengekskresikan zat-zat yang
merugikan bagi tubuh, antara lain: urea, asam urat, amoniak, kreatinin, garam
anorganik, bakteri dan juga obat-obatan. namun juga dengan menyeimbangkan
tingkat-tingkat elektrolit dalam tubuh, mengontrol tekanan darah, dan
menstimulasi produksi dari sel-sel darah merah. Ginjal mempunyai kemampuan
untuk memonitor jumlah cairan tubuh yaitu mempertahankan tekanan osmotik
ekstraseluler, konsentrasi dari elektrolit-elektrolit seperti sodium dan potasium,
serta keseimbangan asam-basa dari tubuh.
Ginjal pasien PGK dengan ureum darah kurang dari 150 mg/dl, biasanya
tanpa keluhan maupun gejala. Gambaran klinis akan terlihat nyata bila ureum
darah lebih dari 200 mg/dl karena konsentrasi ureum darah merupakan indikator
adanya retensi sisa-sisa metabolisme protein di dalam tubuh. Uremia
menyebabkan gangguan fungsi hampir semua sistem organ, seperti gangguan
cairan dan elektrolit, metabolik-endokrin, neuromuskular, kardiovaskular dan
paru, kulit, gastrointestinal, hematologi serta imunologi.6,14
1. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala penyakit ginjal kronik yang diakibatkan karena adanya
kerusakan pada ginjal antara lain:1,8,15
RFT (renal fungsi test) : ureum dan kreatinin. Untuk menilai laju filtrasi
glomerulus dapat digunakan rumus : Clearance creatinin ( ml/ menit ) =
[( 140-umur ) x berat badan ( kg ) ]/ 72 x ScrPada wanita hasil tersebut
dikalikan dengan 0,85
Foto polos: untuk melihat batu yang bersifat radioopak atau nefrokalsinosis.
3.1.7 Komplikasi
Berikut komplikasi yang terjadi pada pasien CKD menurut derajat penyakit
di tabel 3.2
- anemia
- hipertensi
-hiperhomosistinemia
4 Penurunan GFR berat 15-29 - malnutrisi
- asidosis metabolik
- hiperkalemia
- dislipidemia
5 Gagal ginjal <15 - gagal jantung
- uremia
3.1.8 Penatalaksanaan
Gambar 3.1
Prognosis pasien CKD menurut GFR dan kategori Albuminuria :
KDIGO 201217
Keterangan :
Hijau : risiko rendah (bila tidak ditemukan manifestasi lain, bisa
menyingkirkan diagnosis CKD)
3.2.1 Definisi
3.2.2 Etiologi
Beberapa etiologi efusi pleura yang di sebabkan karena gagal ginjal kronik
antara lain :
1. Efusi uremik pada keadaan gagal ginjal kronis on hemodialisis dengan
kelebihan cairan tanpa adanya gejala gagal jantung dengan analisis cairan
pleura menunjukan eksudatif dengan kadar glukosa mendekati kadar glukosa
serum, dengan dominasi limfosit setelah menyingkirkan kemungkinan
etiologi lain. Pasien dengan ckd yang menjalani hemodialisis mungkin
menderita efusi pleura uremik atau pleuritis uremia.39 Pleuritis uremik terjadi
akibat peradangan pada membran pleura dan patogenesisnya kurang
dipahami. Meskipun toksin seperti fosfat, asam uremik dan kompleks imun
yang tertahan telah disarankan sebagai etiologi, tidak ada hubungan yang
terbukti antara toksin uremik dan perkembangan pleuritis uremik. Cairan
pleura biasanya serosa atau serosanguinous dengan dominasi limfosit atau
neutrofil. Hasil analisis cairan pleura yang mendukung efusi uremik meliputi
kultur steril dan eksudat fibrinosa. Perbedaan sel cairan pleura sering
menunjukkan dominasi limfositik dengan jumlah total neutrofil
polimorfonuklear yang lebih rendah daripada yang terlihat pada efusi
parapneumonik.40 Biopsi pleura sangat penting untuk diagnosis dan
menunjukkan peradangan fibrinous kronis nonspesifik. Secara umum,
pleuritis uremik merespons pengobatan termasuk hemodialisis teratur atau
drainase efusi pleura. Sebuah penelitian sebelumnya telah melaporkan bahwa
efusi pleura meningkat pada 94% pasien dengan kelanjutan hemodialisis
dengan atau tanpa drainase chest.
2. Efusi pleura karena CHF, merupakan penyebab paling umum dari efusi
pleura pada penyakit ginjal kronis. Akumulasi cairan pleura di CHF
disebabkan oleh peningkatan tekanan di kapiler pleura viseral atau parietal
yang mengakibatkan masuknya cairan ke dalam rongga pleura dari pleura
parietal dan penurunan pengeluaran cairan melalui pleura viseral. Efusi
pleura karena CHF menyebabkan sesak saat beaktivitas, edema parifer,
orthopnea, atau dispnea nokturnal paroksimal. Tes yang digunakan untuk
menegakan diagnosis CHF adalah pengukuran serum atau cairan pleura pro-
brain natriuretic peptide (pro-BNP), pemeriksaan radiologi terlihat terjadi
pembesaran jantung (kardiomegali), pada analisis cairan paru leukosit
normal.41
3. Efusi pleura emboli pumonal dapat terjadi pada sisi paru yang terkena emboli
pulmonal. Keadaan ini dapat disertai infark paru maupun tanpa infark.
Emboli menyebabkan turunnya aliran darah arteri pulmonalis, sehingga
terjadi iskemia maupun kerusakan parenkim paru dan memberikan
peradangan dengan efusi yang berdarah. Disamping itu permeablitias antara
satu atau kedua bagian pleura akan meningkat, sehingga cairan efusi mudah
terbentuk.
Cairan efusi biasanya bersifat eksudat, jumlahnya banyak dan biasanya
sembuh secara spontan, tanpa disertai penyakit pulmonal lainnya.
4. Tuberculosis merupakan infeksi bakteri pada paru; efusi pleura tuberculosis
merupakan bentuk yang sering ditemukan pada tuberculosis ekstrapulmonari.
Peningkatan risiko infeksi seperti tuberculosis yang disebabkan oleh
immunosupresi pada pasien CKD yang menjalani hemodialisa rutin
berkontribusi besar sebagai penyebab efusi pleura khususnya pada efusi
pleura eksudatif. Pasien HD mengalami peningkatan risiko terhadap TB aktif
setelah infeksi primer, aktivasi dari “silent disease” atau reaktivasi infeksi TB
lama. Insiden kerentanan yang relatif tinggi ini disebabkan, setidaknya
sebagian, akibat imunosupresi yang diinduksi oleh gagal ginjal kronis.
Uremia sendiri diketahui menyebabkan gangguan imunitas seluler yang
merupakan mekanisme pertahanan host utama terhadap infeksi TB. Pasien
dengan GGK memiliki disfungsi imun yang disebabkan oleh penurunan Cell
Mediated Immunity (CMI). Kerusakan CMI ini membuat infeksi
Mycobacterium tuberculosis lebih sulit untuk dideteksi dan lebih mungkin
untuk berkembang menjadi penyakit TB daripada pada individu yang
memiliki kekebalan tubuh. Secara radiologis ditemukan gambaran unilateral,
pasien pernah mengalami riwayat tuberculosis, analisis cairan pleura
menunjukan peningkatan jumlah leukosit. Disertai pemeriksaan biopsi pleura
dengan hasil nekrosis perkejuan, pemeriksaan sputum dengan BTA positif.
5. Efusi parapneumonia, pasien dengan CKD stage akhir memiliki risiko infeksi
yang cukup besar. Diantara infeksi paru empiema memilik prevalensi yang
cukup tinggi, biasanya merupakan komplikasi dari pneumonia. Ditandai
dengan nyeri dada, batuk, demam, sesak. Secara radiologi semua efusi
unilateral, pada pemeriksaan analisis cairan pleura didapatkan peningkatan
jumlah leukosit, dominan polimorfonuklear, kadar pemeriksaan ADA
53±6,40, kadar glukosa 21,75 ± 5,40 dan kadar protein total 3,57 ± 0,28.
Cairan paru untuk kultur dan sensitivitas menunjukan pertumbuhan klebsiella
pada dua kasus, streptococcus pneumonia pada satu kasus dan pseudomonas
pada kasus ketiga.41
3.2.3 Diagnosis
a. Anamnesis
Anamnesis dan pemeriksaan fisik menjadi acuan untuk mengevaluasi awal
efusi pleura. Tanda dan gejala bervariasi tergantung pada penyebabnya seperti
dispnea, batuk, dan nyeri dada pleuritik. Gejala tambahan seperti demam,
ortopnea, atau arthralgia bersamaan dapat memberikan petunjuk etiologi yang
mendasarinya dan dapat membantu mempersempit diferensial diagnosis. Riwayat
perjalanan, riwayat pekerjaan sebelum dan saat ini, penggunaan obat, riwayat
operasi sebelumnya (seperti bedah bypass arteri coroner; CABG), keganasan,
tempat tinggal, dan paparan asbes sebelumnya juga dapat menimbulkan efusi
pleura.43
Pada anamnesis, pasien dengan efusi pleura biasanya memiliki sesak, batuk,
nyeri dada yang bersifat tajam. Riwayat gagal jantung, gagal ginjal, dan penyakit
hati dapat mengarahkan kepada efusi pleura yang bersifat transudat. Sedangkan
riwayat kanker dapat mengarah pada efusi akibat keganasan. Pembengkakan pada
ekstermitas, atau deep vein thrombosis menunjukkan efusi yang berhubungan
dengan embolisme paru. Riwayat infeksi seperti pneumonia menununjukkan
efusi parapneumonik.44
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan fremitus taktil yang menurun
terutama pada daerah basal. Perkusi tumpul, kemudian suara nafas vesikular yang
menurun atau tidak ada suara nafas tambahan paru yang terdapat efusi. Suara
pleural friction rub mungkin juga terdengar selama akhir inspirasi.45 Temuan ini
umumnya hanya terjadi pada efusi yang lebih besar dari 300 mL. Petunjuk lain
pada pemeriksaan fisik meliputi distensi vena leher, edema perifer, pembesaran
ventrikel kanan atau trombosis vena dalam, stigmata penyakit hati stadium akhir,
kelainan bentuk sendi, atau sinovitis. Setiap temuan ini dapat membantu
mempersempit diagnosis banding dan perencanaan pengujian tambahan.43
c. Pemeriksaan Penunjang
Radiologi
Pemeriksaan radiografi postero anterior dan lateral menjadi standar pada
diagnosis radiologi paru. Pada posisi berdiri atau duduk tegak, cairan bebas pada
rongga pleura akan memenuhi lateral kubah diafragma yang menyebabkan
gambaran sudut kostofrenikus yang tumpul.46 Foto posteroanterior umumnya
akan menunjukkan adanya efusi pleura ketika ada sekitar 200 ml cairan pleura,
dan foto lateral akan terinterpretasi abnormal ketika terdapat sekitar 50 ml cairan
pleura.43 Elevasi hemidiafragma yang tampak, perpindahan kubah ke samping
diafragma, atau peningkatan jarak antara hemidiafragma kiri dan gelembung
udara lambung menunjukkan efusi subpulmonik.
Kadar LDH cairan pleura yang lebih dari 1000 IU / L menunjukkan adanya
empiema, efusi maligna, efusi reumatoid, atau paragonimiasis pleura. Kadar LDH
cairan pleura juga meningkat pada efusi dari pneumonia Pneumocystis jiroveci
(sebelumnya, P carinii). Diagnosis ditegakkan dengan rasio LDH cairan pleura /
serum lebih besar dari 1, dengan rasio cairan pleura / protein serum kurang dari
0,5.50
Pada pemeriksaan kimia darah konsentrasi glukosa dalam cairan pleura
berbanding lurus dengan kelainan patologi pada cairan pleura. Asidosis cairan
pleura (pH rendah berkorelasi dengan prognosis buruk dan memprediksi
kegagalan pleurodesis. Pada dugaan infeksi pleura, pH kurang dari 7,20 harus
diobati dengan drainase pleura. Amilase cairan pleura meningkat jika rasio cairan
amilase terhadap serum pleura lebih besar dari 1,0 dan biasanya menunjukkan
penyakit pankreas, ruptur esofagus, dan efusi yang ganas. Seharusnya tidak
diukur secara rutin tetapi dapat berguna ketika esofagus atau pankreas
menyebabkan efusi. Jika tingkat trigliserida cairan pleura lebih besar dari 110 mg
dL (1,2-l mmol / L) merupakan karakteristik dari chylothorax, dan kadar kurang
dari 50 mg/dl (0,56 mmol/L) tidak dapat disimpulkan diagnosisnya. Tingkat
menengah (antara 50110 mg / dL [0,56-1,24 mmol/L]) harus diselidiki dengan
pemeriksaan analisis lipoprotein untuk melihat angka kilomikron. Ini juga bukan
studi cairan pleura rutin tetapi sesuai pada pasien dengan dugaan chylothorax.43
Pleuritis TB terus menjadi masalah umum di seluruh dunia dan harus
dianggap sebagai bagian dari diagnosis banding pada pasien dengan efusi
eksudatif dominan limfosit yang tidak terdiagnosis. Kultur cairan pleura untuk
basil tahan asam sangat spesifik tetapi memiliki sensitivitas rendah (masing-
masing 5% dan 20%). Adenosine deaminase adalah enzim yang terdapat dalam
limfosit yang meningkat pada sebagian besar efusi pleura akibat tuberkulosis
(sensitivitas 95%). Di negaranegara dengan insiden TB yang rendah, tes untuk
adenosine deaminase dapat bermanfaat sebagai tes untuk menyingkirkan TB.
Biopsi pleura adalah tes yang paling mungkin untuk menghasilkan kultur
mikobakteri positif (> 70%).51
Pemeriksaan sitologi52
Dianjurkan pada efusi apa pun di mana keganasan diduga. Ketika kecurigaan
untuk keganasan tinggi, <7,30) merupakan komplikasi dari efusi parapneumonik,
keganasan, pleuritis tuberkulosis. rheumatoid dan lupus pleuritis dan pecahnya
esofagus. Pada keganasan, pH pantas untuk mengulangi sitologi jika spesimen
pertama negatif. Tingkat diagnostik lebih tinggi untuk adenokarsinoma daripada
mesothelioma dan limfoma. Jika diduga limfoma, flow cytometry harus
dilakukan untuk lebih mengkarakterisasi sel yang ada. Thoracoscopy adalah
langkah selanjutnya dalam evaluasi efusi pleura eksudatif yang dicurigai
keganasan. Thoracoscopy memungkinkan untuk visualisasi langsung atau
permukaan pleura dan memungkinkan untuk biopsi bagian pleura yang
cenderung memiliki hasil diagnostik yang tinggi. Oleh karena itu memiliki
sensitivitas diagnostik untuk penyakit ganas lebih dari 90%.52,53
BAB IV
PEMBAHASAAN
A. Kerangka Diagnostik
Ny. N 41 th
B. Daftar Masalah
Anamnesis
- Dispnea
- Lemas
- Asites
Pemeriksaan fisik
- TD : Hipertensi st. II
- IMT : obesitas I
Mata
Pulmo
ronkhi (-)
Abdomen
- asites
Ekstremitas
Pemeriksaan Laboratorium
- anemia
- leukositosis
- uremia
- peningkatan creatinin
Radiologi
Sindrom CKD
Anamnesis :
Dispnea
Lemas
Mual muntah
Riwayat hipertensi
Pemeriksaan fisik :
Asites
Pemeriksaan penunjang :
Hb 7.1 (anemia)
Hiperuremia 76 mg/dL
Peningkatan kreatinin serum 4.73 mg/dL
LFG : 14 ml/menit/1,73 m2
Anamnesis :
Dispnea
Pemeriksaan fisik :
Takipnea
Pulmo : inspeksi asimetris kedua lapang paru, fremitus vokal lapang paru sinistra
melemah, perkusi lapang paru sinistra redup, auskultasi suara paru sinistra vasikuler
Pemeriksaan penunjang :
Leukosit : 12.67
Anamnesis :
Lemas
Pemeriksaan fisik :
Anamnesis
Dispnea
Pemeriksaan fisik :
Anamnesis :
Pemeriksaan fisik :
Obesitas I
Anamnesis :
Pemeriksaan fisik :
TD 160/70 mmHg
Obesitas I
Anemesis :
Dispnea
Pemeriksaan fisik :
Takipnea
Gallop (-)
Ronkhi (-)
D. Kriteria Diagnosis
Gambaran Klinis :
Gambaran Laboratorium :
Pengingkatan ureum dan kreatinin, penurun LFG yang dihitung dengan rumus
Gambaran radiologis
b. Usg : ginjal yang mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau
Anamnesis :
Dispnea
Pemeriksaan fisik :
Takipnea
Pulmo : inspeksi asimetris kedua lapang paru, fremitus vokal lapang paru sinistra
melemah, perkusi lapang paru sinistra redup, auskultasi suara paru sinistra
Pemeriksaan penunjang :
Leukosit : 12.67
Gambaran klinis :
Gambaran laboratorium :
serum,
Sindrom Hipertensi
Gambaran klinis :
Pemeriksaan penunjang : -
Anamnesis :
Riwayat hipertensi sejak 10 tahun
Pemeriksaan fisik :
TD 160/70 mmHg
Obesitas I
Anemesis :
Dispnea
Pemeriksaan fisik :
Takipnea
Gallop (-)
Ronkhi (-)
E. Diagnosis Kerja
F. Diagnosis Banding
- CHF NYHA II
- Emboli Pulmo
G. Terapi
Terapi non-farmakologi
Pengaturan lemak: 30-40% dari kalori total dan mengandung jumlah yang sama
Merupakan obat antidiuretik. Obat ini digunakan atas dasar indikasi tekanan
darah pasien yang tinggi. Hingga saat ini furosemid menjadi pilihan yang paling
pengeluaran natrium hingga 20% karena efikasi tidak bergantung pada LFG.
Diuretik kuat bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi elektrolit Na+ /K+ /Cl-
di ansa henle asendens bagian epitel tebal, dimana tempat kerjanya berada di
CaCO3 3 x 1 tablet
Hiperfosfatemia pada pasien gagal ginjal terjadi akibat pelepasan fosfat dari
dalam sel karena kondisi asidosis dan uremik yang sering terjadi. CaCO3 bekerja
fosfat.
Terapi dengan asam folat digunakan dalam penanganan kondisi anemia yang
muncul pada pasien kondisi uremia, defisiensi asam folat, defisiensi besi,
defisiensi vitamin B12, dan akibat fibrosis sumsum tulang belakang yang terdapat
yang mampu mengikat reseptor AT1 dengan afinitas tinggi secara selektif yang
berfungsi sebagai agen anti-hipertensi. Pada pasien ini diberikan dengan indikasi
adanya hipertensi. Target tekanan darah sistolik 130-139 mmHg dan diastolik 85-
89 mmHg.
Amlodipin 1 x 10 mg pagi
Amlodipin digunakan untuk pengobatan hipertensi dan pencegahan angina.
Obat ini hanya sedikit dikeluarkan melalui ginjal. Efek samping amlodipin adalah
jantung berdebar, nyeri dada atau perasaan berat, mual, pusing , mengantuk,
lelah.
kontraktilitas miokard. Disamping itu, hambatan sekresi renin dari ginjal melalui
reseptor juga menimbulkan efek hipotensif. Sebagian sekresi renin akibat diet
Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif.
Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%.
Kortikosteroid
konvensional.
G. Planning
- pemeriksaan AGD
- pemeriksaan urin
H. Edukasi
- mengurangi berat badan pasien sesuai dengan indeks massa tubuh ideal
- mengontrol air yang masuk dalam tubuh (jumlah urin + 500 ml)
- menghindari alkohol dan kopi,kafein dapat memacu jantung bekerja lebih cepat,
konsumsi alkohol lebih dari 2-3 gelas/hari dapat meningkatkan risiko hipertensi.
- rutin HD 2 x/seminggu
Ny. N usia 41 tahun datang ke IGD dengan keluhan sesak nafas sejak 3 hari
Sebelum masuk rumah sakit 5 hari yang lalu pasien sempat dirawat di Ruang
B RSDS dengan keluhan lemas dan disertai mual. Pasien juga mengeluhkan perut
terasa membengkak dan kencang seperti terisi cairan. Pasien memiliki riwayat
penyakit dahulu hipertensi sejak 10 tahun yang lalu dan diabetes melitus sejak 15
Dari hasil pemeriksaan fisik dengan kesadaran compos mentis, tekanan darah
meningkat 160/70 mmHg masuk dalam golongan hipertensi sekunder st.II, laju
nafas diatas normal 34 x/menit (takipnea), dan denyut nadi 120 x/menit
dalam batas normal, pemeriksaan thorak inspeksi kedua lapang paru asimetris,
suara vesikuler menurun pada paru sinistra, perkusi dullness pada lapang paru
sinistra dan sonor pada lapang paru dextra. Abdomen tampak cembung, kenjang
dan tidak terdapat nyeri tekan, pada pemeriksaan shiftting dullness (+),
pertama kali masuk rumah sakit Hb dalam keadaan kurang/ anemia (7,1 dL/g),
leukositosis (12.67 x 103) Uremia (76 mg/dL), kreatinin meningkat (4.73 mg/dL),
Pemeriksaan radiologi X-ray thorax AP dengan kesan efusi pleura masif sinistra.
cairan merah tanpa disertai pus atau nanah, pleura didapatkan peradangan kronis
non spesifik pada cairan pleura dan tidak didapatkan sel tumor ganas.
Dengan diagnosis CKD st. V on et causa hipertensi sekunder st. II, dan efusi
bahwa pasien dengan keluhan sesak nafas, dan ditemukan tanda trias CKD yaitu
yang terjadi pada pasien dengan gagal ginjal kronis dengan hemodialisis. Pada
kasus ini pasien didiagnosis efusi et causa suspek pleuritis uremik ditegakan
dengan hasil anamnesis pasien mengeluh sesak, dari pemeriksaan fisik paru
yang terjadi pada pasien akibat pleuritis uremik belum diketahui penyebabnya
dan menetap atau berulang dengan hemodialisis agresif. Pada pemeriksaan
sitopatologi dengan cairan pleura berwarna merah tanpa pus, dan hasil analisis
jumlah total neutrofil polimorfonuklear yang lebih rendah daripada yang terlihat
diagnosis efusi pleura et causa parapneumonia dan tuberculosis, dan tidak terjadi
pasien ini tidak sesuai indikasi. Pemberian antibiotik pada pasien dengan chronic
kidney disease harus sesuai dengan indikasi atau tanda-tanda adanya inflamasi
karena infeksi yang disebabkan karena bakteri, pada pasien ini setelah dilakukan
perawatan selama 5 hari dan tidak ditemukan tanpa membaik sehingga dilakukan
pemeriksaan tambahan dengan hasil tidak didapatkan adanya tanpa infeksi
bakteri atau SIRS sehingga tidak dianjurkan untuk diberikan lebih lanjut.
anemia harus sesuai dengan indikasi. Transfusi darah pada pasien CKD hanya
memungkinkan pemberian EPO dan Hb < 7 g/dL, Hb <8 g/dL dengan gangguan
pada pasien adalah furosemid yang merupakan jenis loopdiuretic derivat asam
antrianiat. Furosemid yang merupakan loop diuretic adalah diuretik yang paling
banyak digunakan pada CKD terutama CKD stage 4-5. Furosemid diberikan
dengan dosis yang lebih besar pada pasien CKD karena furosemid terikat 91%
natrium dan air yang disebabkan karena penurunan jumlah nefron yang
Kondisi overload yang muncul pada pasien ckd biasanya adalah keadaan edema
Diagnosis banding pada kasus ini adalah chronic Hearth Disease dan emboli
pulmo. CHF merupakan sindorm klinis yang terjadi karena abnormalitas struktur
dan/atau fungsi jantung yang diturunkan atau didapat, disingkirkan karena tidak
memenehu kriteria dari diagnosis CHF yaitu Framingham. Salah satunya adalah
sesak dirasakan terus menerus dan tidak membaik pada saat istirahat.
BAB V
KESIMPULAN
Pasien Ny. N usia 41 datang ke IGD dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang, didiagnosis CKD st V on HD ditegakan dengan hasil
LFG 14 ml/menit/1,73 m2 disertai pasien sudah rutin terjadwal HD. Disertai
dengan diagnosis anemia yang ditegakan dengan hasil pemeriksaan laboratorium
Hb 7.1 mg/dL. Tekanan darah 160/70 mmHg masuk dalam hipertensi sekunder st.
II dengan riwayat Diabetes melitus sejak 15 tahun lalu menurut JNC VIII. Setelah
dilakukan evaluasi setiap hari dan dilakukan pemeriksaan penunjang tambahan
pasien didiagnosis Efusi pleura masif sinistra ditegakan dengan pemeriksaan fisik
ditemukan fremitus vokal paru sinitra melemah, suara vesikuler paru sinitra
menurun dan perkusi didepatkan suara redup/dullness pada bagian paru sinitra
serta pada pemeriksaan penunjang radiologi thorak ditemukan kesan efusi pleura
masif sinitra et causa suspek pleuritis uremik, hasil sitopatologi dengan
peradangan kronis non spesifik tidak ditemukan sel tumor ganas.
Sehingga setelah dilakukan evaluasi selama 9 hari pasien mendapatkan terapi
berupa diuretik, yaitu Inj furosemide 3 x 1 ampul, kortokosteorid dengan
prednison 50 mg selama 1 bulan, antihipertensi golongani CCB yaitu amlodipin
10 mg 1 x 1, antihipertensi golongan ARB yaitu Condesartan 8 mg 1 x 1 (1-0-0),
untuk mengkontrol kondisi hiperfosfatemia CaCo3 3 x 1, Asam folat berperan
dalam pemulihan dan pemeliharaan hematopoiesis normal sehingga diberikan
asam folat 3 x 1 untuk menangani kondisi anemianya, antihipertensi golongan β-
Blocker yaitu Concor 2,5 mg 1x1 (0-1-0) dan Hemodialisa 2 kali / minggu.
Edukasi pasien untuk menjaga keseimbangan cairan dengan tetap mengontrol
cairan yang masuk kedalam tubuh, diet kontrol natrium, pastikan pasien
melakukan HD 2x/seminggu, hindari minuman beralkohol dan mengandung
caffein, mengurangi berat badan hingga sesuai Indeks massa tubuh ideal pasien.
DAFTAR PUSTAKA
1
8. Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) CKD
Work Group. KDIGO Clinical Practice Guideline for the
Evaluation and Management of Chronic Kidney Disease. Kidney
International, Supplement. 2013;3: 1-150.
9. Thakar CV, Christianson A, Himmelfarb J, Leonard AC. Acute
kidney injury episodes and chronic kidney disease risk in diabetes
mellitus. Clin J Am Soc Nephrol. 2011 Nov. 6(11):2567-
72. [Medline].
10. Suwitra K. Penyakit ginjal kronik. Dalam: Setiati S, Alwi I,
Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF (eds). Buku
ajar ilmu penyakit dalam jilid 1. Edisi ke-6. Jakarta: Interna
Publishing; 2014.
11. MD, Vecihi Batuman. Chronic Kidney Disease. Medscape. 2019
agustus. (diakses: 01 oktober 2020)
https://emedicine.medscape.com/article/238798-overview#a3
12. Caudhry sultan. Chronic Kidney Disease. McMaster
Pathophysiology Review Nephrology. 2012: 80-165
13. Liang R, Ghaffari S. Advances in understanding the mechanisms
of erythropoiesis in homeostasis and disease. Br J Haematol. 2016
Jul 21. [Medline].
14. Bargman JM, Skorecki K. Chronic kidney disease. Dalam:
Jameson JL, Loscalzo J, editor (penyunting). Harrison’s
nephrology and acid- base disorders. Edisi ke-1. New York: The
MacGraw-Hill Companies; 2010
15. Setiati, Siti et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi VI.
Jakarta:Interna Publishing. 2015: 2161-2167
1
2
16. Barg,am J, Scorecki K, Chronic kidney disease. In : Longo DL,
Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J,
Horrison’s Principles of internal medicine. 18th edition. New York,
Mcgraw-hill. 2012
17. Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) CKD
Work Group. KDIGO 2012 clinical practice guideline for the
evaluation and management of chronic kidney disease. Kidney Int
Suppl. 2013;3:1-150.
18. Shurraw S, Hemmelgarn B, Lin M, Majumdar SR, Klarenbach S,
Manns B, et al. Association Between Glycemic Control and
Adverse Outcomes in People With Diabetes Mellitus and Chronic
Kidney Disease: A Population-Based Cohort Study. Arch Intern
Med. 2011 Nov 28. 171(21):1920-1927.
19. National Institut for Health and Care Excellence. Chronic Kidney
Disease in Adults Assessment and Management. NICE. 2014:60:1-
60
20. [Guideline] Ketteler M, Block GA, Evenepoel P, Fukagawa M,
Herzog CA, McCann L, et al. Diagnosis, Evaluation, Prevention,
and Treatment of Chronic Kidney Disease-Mineral and Bone
Disorder: Synopsis of the Kidney Disease: Improving Global
Outcomes 2017 Clinical Practice Guideline Update. Ann Intern
Med. 2018 Feb 20. S1-130
21. de Brito-Ashurst I, Varagunam M, Raftery MJ, Yaqoob MM.
Bicarbonate supplementation slows progression of CKD and
improves nutritional status. J Am Soc Nephrol. 2009 Sep.
20(9):2075-84
1
3
22. Harrison P. Sodium Bicarbonate Slows Chronic Kidney Disease
Safely. Medscape Medical News. Available
at https://www.medscape.com/viewarticle/914574. June 18, 2019;
Accessed: July 19, 2019.
23. Barclay L. CKD: KDIGO Guidelines Recommend Wider Use of
Statins. Medscape Medical News. Available
at http://www.medscape.com/viewarticle/817504. Accessed:
December 16, 2013.
24. [Guideline] Tonelli M, Wanner C. Lipid Management in Chronic
Kidney Disease: Synopsis of the Kidney Disease: Improving
Global Outcomes 2013 Clinical Practice Guideline. Ann Intern
Med. 2013 Dec 10. [Medline].
25. Ha JT, Neuen BL, Cheng LP, Jun M, Toyama T, Gallagher MP, et
al. Benefits and Harms of Oral Anticoagulant Therapy in Chronic
Kidney Disease: A Systematic Review and Meta-analysis. Ann
Intern Med. 2019 Jul 16. [Medline].
26. Sukandar E. Nefrologi klinik. Edisi ke-3. Bandung: Pusat
Informasi Ilmiah bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran UNPAD/RS. Dr. Hasan Sadikin; 2006.
27. Hooper, C. Lee, Y.C.G. Maskell, N. Investigation of a unilateral
pleural effusion in adults: British Thoracic Society pleural disease
guideline 2010. Thorax. 2010;65(2):ii4-ii17.
28. Brashers, V. L. Alterations of Pulmonary Function. Dalam
McCance, K. L. & Huether, S. E. Pathophysiology : The Biologic
Basis for Disease in Adults and Children. 5 th Edition. Elsevier
Mosby; 2006:1205-1245.
1
4
29. Rubbins, J. Pleural Effusion. 2013. Melalui
http://emedicine.medscape.com/ article/299959 [diakses pada 7
oktober 2020].
30. Halim, Hadi. 2007. Penyakit-penyakit Pleura. Dalam: Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam, Sudoyo AW, et al. Edisi 4, Jilid II. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI; hal. 1056-60.
31. Desalew, M. Amanuel, A. Addis, A. Zewdu, H. Jemal, A. Pleural
effusion: Presentation, causes and treatment outcome in a resource
limited area, Ethiopia. Health. 2012; 4(1):15-19.
32. Mattison L, Coppage L, Alderman D. Pleural effusion: prevalence,
causes, and clinical implications. Br. J Cancer. 2010;111(04): 810-
14.
33. Depkes RI. Profil Kesehatan 2006. Jakarta: Depkes RI; 2006.
34. Diaz-Guzman E, Dweik RA. Diagnosis and management of
pleural effusions: a practical approach. Compr Ther. 2007 Winter.
33(4):237-46. [Medline].
35. Noppen M. Normal volume and cellular contents of pleural
fluid. Curr Opin Pulm Med. 2001 Jul. 7(4):180-2. [Medline].
36. Sahn SA. The differential diagnosis of pleural effusions. West J
Med. 1982 Aug. 137(2):99-108. [Medline]. [Full Text].
37. Light RW. The undiagnosed pleural effusion. Clin Chest Med.
2006 Jun. 27(2):309-19. [Medline].
38. Culotta R, Taylor D. Diseases of the pleura. Ali J, Summer WR,
Levitzky MG, eds. Pulmonary Pathophysiology. 2nd ed. New
York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2005. 194-212.
39. Askegard-Giesmann JR, Caniano DA, Kenney BD. Rare but
serious complications of central line insertion. Semin Pediatr Surg.
2009 May. 18(2):73-83. [Medline].
1
5
40. Garcia-Vidal C, Carratalà J. Early and late treatment failure in
community-acquired pneumonia. Semin Respir Crit Care Med.
2009 Apr. 30(2):154-60.
41. Heffner JE. Diagnosis and management of malignant pleural
effusions. Respirology. 2008 Jan. 13(1):5-20. [Medline].
42. Bouros D, Pneumatikos I, Tzouvelekis A. Pleural involvement in
systemic autoimmune disorders. Respiration. 2008. 75(4):361-71
43. Pranita, Ni PN . Wellness and Healthy Magazine, 2(1), February
2020, – 71
44. Hour CE. Diagnosis of pleural effusion ; a systematic approach. J
Am. Crit. Care. 2011;20(3):199-218.
45. Hooper C, Lee G, Maskell N. Investigation of a unilateral pleural
effusiom in adults. J Internationalof Respiration Medicine.
2013;65(2): 145-54.
46. Rasad S. Radiologi diagnostik. Jakarta: Balai Penerbit FK
Universitas Indonesia; 2015.
47. Light RW. Tuberculous pleural effusion. Turk Torak's Derg.
2015;16(1):1–9.
48. Oudart JB, Pax C, Bennani-Smires B, Ramont L. Milky pleural
fluid. Clin Chem. 2016;62(2):315–7. 17.
49. Terler K, Semra B, Berna K. Diagnostic value of pleural light’s
criteria, the protein gradient and the albumin gradient alone or in
combination in differentiation of exudates and transudates. J Int
Clin Exp. Pathol. 2012;26(1):105–15.
50. Wilcox ME, Chong CA, Stanbrook MB, Tricco AC, Wong C,
Straus SE. Does this patient have an exudative pleural effusion?
The Rational Clinical Examination systematic review. JAMA.
2014 Jun 18. 311(23):2422-31. [Medline].
1
6
51. Metintas M, Ak G, Dundar E, et al. Medical thoracoscopy vs CT
scan-guided Abrams pleural needle biopsy for diagnosis of
patients with pleural effusions: a randomized, controlled
trial. Chest. 2010 Jun. 137(6):1362-8.
52. Swiderek J, Morcos S, Donthireddy V, et al. Prospective study to
determine the volume of pleural fluid required to diagnose
malignancy. Chest. 2010 Jan. 137(1):68-73. [Medline].
53. Wai W, Migliori GB, Lange C. Invited review series : tuberculosis
update on tuberculous pleural effusion. J Int Respir Med.
2010;15(1):451–8.
54. Khan F, Aisamawi M, Ibrahim A. Etiology of pleural effusion
among adults in the State of Qatar : a 1-year hospital-based study.
East. J M
55. Wong JW. Cytology of effusion fluids. J Br Cancer.
2012;6(3):350–7.
56. Goligher EC, Leis JA, Fowler RA, et al. Utility and safety of
draining pleural effusions in mechanically ventilated patients: a
systematic review and meta-analysis. Crit Care. 2011 Feb 2.
15(1):R46. [Medline]
57. Desai NR, Lee HJ. Diagnosis and management of malignant
pleural effusions: State of the art in 2017. J Thorac Dis. 2017;9(7):
S1111-22.
58. Villena Garrido V, Cases Viedma E, Fernández Villar A, de Pablo
Gafas A, Pérez Rodríguez E, Porcel Pérez JM, et al.
Recommendations of diagnosis and treatment of pleural effusion.
Update. Arch Bronconeumol. 2014;50(6):235– 49.
1
7
59. DeBiasi EM, Pisani MA, Murphy TE, Araujo K, Kookoolis A,
Argento AC, et al. Mortality among patients with pleural effusion
undergoing thoracocentesis. Eur Respir J. 2015; 46(2): 495-502.
60. Boka K. Pleural effusion. Medscape [2018 Dec 28].
https://emedicine.medscape.com/article/299959-overview.
61. Perki 2015
62. Patel SK, Velkoska E, Freeman M, Wai B, Lancefield TF, Burrell
LM. From gene to protein-experimental and clinical studies of
ACE2 in blood pressure control and arterial hypertension. Front
Physiol. 2014. 5:227. [Medline]. [Full Text].
63. Shimbo D, Muntner P, Mann D, Barr RG, Tang W, Post W, et al.
Association of left ventricular hypertrophy with incident
hypertension: the multi-ethnic study of atherosclerosis. Am J
Epidemiol. 2011 Apr 15. 173(8):898-905. [Medline].
64. von Lueder TG, Atar D, Krum H. Current role of neprilysin
inhibitors in hypertension and heart failure. Pharmacol Ther. 2014
Oct. 144(1):41-49. [Medline].
65. Kadir, Akmarawita. Hubungan Patofisiologi Hipertensi Dan
Hipertensi Renal. Jurnal Ilmiah Kedokteran. 2016:1(5):15-25
1
8