PENDAHULUAN
Sistem Keuangan Islam merupakan bagian dari konsep yang lebih luas tentang
ekonomi Islam. Sistem keuangan Islam bukan sekedar transaksi komersial, tetapi harus sudah
sampai kepada lembaga keuangan untuk dapat mengimbangi tuntutan zaman. Bentuk sistem
keuangan atau lembaga keuangan yang sesuai dengan prinsip Islam ádalah terbebas dari unsur
riba. Kontrak keuangan yang dapat dikembangkan dan dapat menggantikan sistem riba adalah
mekanisme syirkah yaitu : musyarakah dan mudharabah (bagi hasil).
Perkembangan industri perbankan dan keuangan syariah dalam satu dasawarsa
belakangan ini mengalami kemajuan yang sangat pesat, seperti perbankan syariah, asuransi
syariah, pasar modalsyariah, reksadana syariah, obligasi syariah, pegadaian syariah, Baitul
Mal wat Tamwil (BMT). Demikian pula di sektor riil, seperti Hotel Syariah,Multi Level
Marketing Syariah, dsb.
Maka seiring berkembangnya entitas syariah di Indonesia, maka muncul juga
permintaan akan standar akuntansi syariah yang relevan di terapkan dalam suatu entitas
syariah. pada dasarnya standar akuntansi merupakan pengumuman atau ketentuan resmi yang
dikeluarkan badan berwenang di lingkungan tertentu tentang pedoman umum yang dapat
digunakan manajemen untuk menghasilkan laporan keuangan. Dengan adanya standar
akuntansi syariah, laporan keuangan diharapkan dapat menyajikan informasi yang relevan
dan dapat dipercaya kebenarannya. Standar akuntansi juga digunakan oleh pemakai laporan
keuangan seperti investor, kreditor, pemerintah, dan masyarakat umum sebagai acuan untuk
memahami dan menganalisis laporan keuangan sehingga memungkinkan mereka untuk
mengambil keputusan yang benar. Dengan demikian, standar akuntansi memiliki peranan
penting bagi pihak penyusun dan pemakai laporan keuangan sehingga timbul keseragaman
atau kesamaan interpretasi atas informasi yang terdapat dalam laporan keuangan.
TAHUN
INDIKASI
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Aset 7.945 15.21 20.88 28.722 36,537 49.555 66.09
DPK 5.725 11.718 15.584 20.672 28.011 36.852 52.271
Pembiayaan 5.561 11.324 15.27 20.445 27.944 38.198 46.886
FDR 97,14% 96,64% 97,76% 98,90% 99.76% 103.65% 89.70%
NPF 2,34% 2,38% 2,82% 4,75% 4,07% 3.95% 4.01%
Sumber : BI, statistik perbankan syariah januari 2010
Tabel 1.2 menunjukkan perkembangan terakhir indikasi-indikasi perbankan
syariah. Perkembangan asset perbankan syariah meningkat sangat signifikan dari akhir
tahun 2008 sampai dengan akhir tahun 2009 sebesar lebih dari 33.37 persen.
Penghimpunan dana dan pembiayaan mencapai peningkatan sebesar 41,84 dan 22,74
persen.
Jika dilihat dari rasio pembiayaan yang disalurkan dengan besarnya dana pihak
ketiga (DPK) yang dinyatakan dengan nilai Financing to Deposit Ratio (FDR), maka bank
syariah memiliki rata-rata FDR sebesar 97.65 persen. Berbeda dengan tahun-tahun
sebelumnya dan tahun sesudahnya, pada tahun 2008 Financing to Defosit Ratio perbankan
syariah lebih dari 100 %. Tingginya tingkat FDR tersebut karena pembiayaan yang
disalurkan selama bulan Maret – November lebih besar dari dana pihak ke tiga.
Yang perlu di catat disini adalah, meskipun pembiayaan yang disalurkan lebih besar
dari DPK, tetapi tingkat kegalalan bayar atau yang dinyatakan dalam Non Performing
Financing (NPF) ternyata lebih sedikit dari periode tahun 2006-2007, yakni hanya sebesar
3.95%, masih dibawah batas ketentuan minimal sebesar 5 persen. Artinya bank syariah
betul betul menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi keuangan dengan tidak
mengabaikan prinsip kehati-hatian. Selain itu juga, secara keseluruhan perbankan syariah
relatif lebih sehat.
Tabel 1.3. Perbandingan Pangsa Perbankan Syariah Terhadap Total Bank
Bank Syariah (Des 08) Total Bank Syariah (Des 09) Total
Bank Bank
Nominal Share Nominal Share
Total Asset 49,56 2.14% 2,310.60 66,09 2.61% 2,534.10
2. Obligasi Syariah
Sesuai dengan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 32/DSN-MUI/IX/2002,
"Obligasi Syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip
syariah yang dikeluarkan Emiten kepada pemegang Obligasi Syari’ah yang mewajibkan
Emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang Obligasi Syari’ah berupa bagi
hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo".
Tidak semua emiten dapat menerbitkan obligasi syariah. Untuk menerbitkan
Obligasi Syariah, beberapa persyaratan berikut harus dipenuhi:
1. Aktivitas utama (core business) yang halal, tidak bertentangan dengan substansi
Fatwa No: 20/DSN-MUI/IV/2001. Fatwa tsb menjelaskan bahwa jenis kegiatan
usaha yg bertentangan dengan syariah Islam diantaranya: (i) usaha perjudian dan
permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang; (ii) usaha
lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan dan asuransi
konvensional; (iii) usaha yg memproduksi, mendistribusi, serta
memperdagangkan makanan dan minuman haram; (iv) usaha yg memproduksi,
mendistribusi, dan atau menyediakan barang2 ataupun jasa yg merusak moral dan
bersifat mudarat.
2. Peringkat investment grade: (i) memiliki fundamental usaha yg kuat; (ii) memiliki
fundamental keuangan yg kuat; (iii) memiliki citra yg baik bagi publik.
3. Keuntungan tambahan jika termasuk dalam komponen JII.
Di Indonesia terdapat 2 skema obligasi syariah yaitu obligasi syariah mudharabah dan
obligasi syariah ijarah.
Obligasi Syariah Mudharabah merupakan obligasi syariah yang menggunakan
akad bagi hasil sedemikian sehingga pendapatan yang diperoleh investor atas obligasi
tersebut diperoleh setelah mengetahui pendapatan emiten.
Obligasi Syariah Ijarah merupakan obligasi syariah yang menggunakan akad
sewa sedemikian sehingga kupon (fee ijarah) bersifat tetap, dan bisa
diketahui/diperhitungkan sejak awal obligasi diterbitkan.
4. Sukuk
Sukuk berasal dari bahasa Arab yaitu sak (tunggal) dan sukuk (jamak) yang
memiliki arti mirip dengan sertifikat atau note. Dalam pemahaman praktisnya, sukuk
merupakan bukti (claim) kepemilikan.
Sementara itu, menurut fatwa Majelis Ulama Indonesia No 32/DSN-
MUI/IX/2002 sukuk adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip
syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah. Sukuk
mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah
berupa bagi hasil margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh
tempo.
Sedangkan menurut Accounting and Auditing Organization for Islamic
Financial Institutions (AAOIFI) berpendapat lain mengenai arti sukuk. Menurut
organisasi tersebut, sukuk adalah sebagai sertifikat dari suatu nilai yang
direpresentasikan setelah penutupan pendaftaran, bukti terima nilai sertifikat, dan
menggunakannya sesuai rencana. Sama halnya dengan bagian dan kepemilikan atas
aset yang jelas, barang, atau jasa, atau modal dari suatu proyek tertentu atau modal
dari suatu aktivitas inventasi tertentu
Sukuk ritel negara merupakan sukuk yang dikeluarkan oleh pemerintah dan
ditujukan bagi individu warga negara Indonesia. Meski sukuk memiliki pengertian
yang sama dengan obligasi konvensional, tetapi sukuk memiliki perbedaan mendasar.
Jika obligasi konvensional tidak mengharuskan adanya aset yang menjamin
(underlying asset), sukuk harus memiliki underlying asset yang jelas sebagai
penjamin.
Instrumen ini pun dijamin oleh pemerintah dan bebas risiko gagal bayar atau
tidak dibayar pemerintah. Sukuk ritel mulai ditawarkan pada 30 Januari hingga 20
Februari 2009 dengan harga Rp 1 juta per unit. Individu dapat membeli sukuk ritel
tersebut minimal Rp 5 juta melalui 13 agen penjualan yang ditunjuk oleh pemerintah.
Di antaranya adalah Bank Syariah Mandiri, Bank Mandiri, BNI Sekuritas, CIMB-GK
Securities Indonesia, Citibank, HSBC, Reliance Sekuritas, Trimegah Securities,
Andalan Artha Advisindo Sekuritas, Anugerah Securindo Indah, Bahana Sekuritas,
Danareksa Sekuritas, dan Bank Internasional Indonesia.
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Akuntansi Syariah
Oleh :
Apep
Arpan
Firman Triadi
Ferdy
Adi Ridwan Fadillah 073403074
Asad alhaq 073403050
Dida Rosida 073403057
Iyam Siti Maryam 073403056
JURUSAN AKUNTANSI
FAKUTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SILIWANGI TASIKMALAYA