Disusun oleh:
Kelompok D1-1
PPDH Periode I 2020/2021
Dosen Pembimbing:
Dr Ir Etih Sudarnika, MSi
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Babi telah menjadi salah satu hewan komoditas peternakan. Beberapa daerah di
Indonesia seperti Bali dan Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki peluang yang cukup baik
dalam pengembangan usaha ini (Parera et al. 2017). Kejadian penyakit menjadi salah satu
tantangan yang sering dihadapi oleh peternak babi dan menimbulkan kerugian secara
ekonomi. Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome (PRRS) merupakan salah satu
penyakit pada babi yang bersifat menular pada babi muda dan menyebabkan kelainan pada
system reproduksi dan pernafasan. Penyakit ini menyebar di seluruh dunia dan
menimbulkan kerugian ekonomi yang tinggi (Neuman et al. 2005). Penyakit PRRS secara
klinis ditemukan di Indonesia yaitu di daerah Siborong-Borong, Sumatera Utara pada tahun
2007/2008 (Salusianto 2009), sedangkan secara serologis terdapat di beberapa daerah di
Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Sumatera Utara. Bali juga telah menjadi daerah
endemik PRRS. Kejadian PRRS di Bali berdasarkan deteksi antibodi dan isolasi virus yaitu
13.4% atau 14.3% pada peternakan rakyat dan 11.7% pada peternakan intensif (Suartha et
al. 2013). Sementara itu kasus di dunia dalam sebuah penelitian menunjukkan kejadian
PRRS berkisar antara 17-48% di Ontario, Kanada (Arruda et al. 2015). Adapun penelitian
lain di Nepal menunjukkan kejadian PRRS sebesar 18.5% (Mahesh et al. 2015). Kejadian
yang lebih tinggi dilaporkan terjadi di Nigeria dengan persentase mencapai 53.8% (Aiki-
Raji et al. 2017).
Kejadian Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome (PRRS) menyebabkan
kerugian ekonomi yang besar. Kejadian pertama kali ditemukan pada tahun 1980 di
Amerika (Loula 1991). Sebanyak US$ 664 juta hilang dari industri peternakan babi di
Amerika Serikat setiap tahunnya (Lunney et al. 2010). Kerugian tersebut diakibatkan oleh
gangguan respirasi yang terjadi pada babi neonatal dan gangguan reproduksi pada babi
dewasa (Neumann et al. 2005), selain itu laju pertumbuhan babi juga terganggu (Hill 1990).
Pada kasus respirasi gejala yang ditimbulkan meliputi pneumonia, nafsu makan turun,
kelemahan, penyakit kronis berulang, dan angka kematiannya cukup tinggi. Adapun pada
kasus reproduksi gejala yang ditimbulkan meliputi kesulitan bunting yang ditandai dengan
estrus berulang, kelahiran premature, stillbirth, abortus, dan tingginya kematian sebelum
sapih (Wenspoort 1993). Penyakit ini menyerang babi tanpa dipengaruhi oleh faktor umur
dan seks, semua memiliki resiko yang sama (Mahesh 2015). Menurut Holtkamp et al.
(2012) penyakit PRRS meningkatkan angka kematian 1-2% pada breeding farm,
meningkatkan angka abortus 1-2%, meningkatkan angka kelahiran premature mencapai
20%, meningkatkan angka kematian sebelum sapih (pre-weaning) mencapai 40% terutama
pada kasus yang disertai dengan infeksi sekunder, dan secara keseluruhan menurunkan
produksi tahunan mencapai 15%.
3
TINJAUAN PUSTAKA
Arterivirus. Virus PRRS menyebar secara cepat pada seluruh kawanan babi secara aerosol.
Pergerakan babi terinfeksi memegang peranan utama dalam penyebaran penyakit diantara
kawanan babi. Menurut Neumann et al. (2005), penyakit Porcine Reproductive and
Respiratory Syndrome (PRRS) dilaporkan telah menyebar di seluruh dunia dan
menimbulkan kerugian yang tinggi pada peternakan babi.
Kejadian penyakit PRRS dilaporkan untuk pertama kali pada babi di Amerika Serikat
pada tahun 1987 (Geering et al. 1995). Pada tahun 1990 dan 1991, penyakit serupa terjadi
di Eropa dan menyebar secara cepat hampir di seluruh benua tersebut (Albina E 1997).
Oleh karena itu, virus ini dibagi menjadi dua tipe virus yaitu virus PRRS strain Eropa (EU
PRRSV) dan starin Amerika Serikat (US PRRSV) (Dewey et al. 2000). Di Indonesia, virus
PRRS telah dilaporkan terdeteksi pada suatu peternakan babi di daerah Sumatra Utara
(Salusianto 2009).
dan kematian tinggi pada saat neonatus. Menurut Dorr et al. (2007), gejala klinis reproduksi
dan respirasi adalah gejala yang paling umum ditemukan pada penyakit PRRS, selain gejala
gangguan pertumbuhan pasca sapih (Zimmermann et al. 1997). Babi yang terserang
penyakit PRRS akan sangat mudah terkena infeksi sekunder dari bakteri maupun infeksi
virus (Dorr et al. 2007). Gejala klinis yang teramati pada anak babi antara lain, anak babi
mengalami diare, kekurusan, batuk, dermatitis, dan pembengkakan limfonodus inguinalis
superfisial. Kemiripan gejala dapat terlihat pada babi yang lebih tua, namun sering terlihat
lebih ringan tergantung komplikasi infeksi sekunder. Sianosis pada kulit telinga, vulva, dan
abdomen sering terlihat (Geering et al. 1995).
Masa inkubasi penyakit antara 1 hingga 10 minggu dengan gambaran klinis berupa
gangguan reproduksi, sakit ringan pada anak babi dan gangguan pernafasan pada babi yang
lebih tua. Infeksi ringan dan infeksi subklinis sering terjadi. Penyakit PRRS ini
menyebabkan terjadinya penurunan terhadap angka konsepsi, aborsi pada kebuntingan
akhir, lahir lemah, lahir mati atau mummifikasi fetus. Bila penyakit terjadi pertama kali
pada suatu peternakan, persentase lahir mati mungkin meningkat sampai 30% dan kematian
pada babi muda sebelum umur sapih dapat mencapai lebih dari 50% (Geering et al. 1995).
Identifikasi kasus biasanya didahului dengan keterangan keluhan pemilik, riwayat penyakit
serta kondisi hewan secara umum. Diagnosis selanjutnya dibuat berdasarkan pemeriksaan
klinis, patologi, isolasi dan identifikasi virus. Penyebaran dini dari pejantan dapat dideteksi
melalui pemeriksaan darah yang diambil dengan teknik apus darah dari arteri aurikularis
(Broes et al. 2007). Virus dapat diisolasi secara in vitro pada biakan sel, selanjutnya virus
diidentifikasi dengan fluorescent antibody technique (FAT) sedangkan antibody dapat
dideteksi dengan berbagai uji serologis seperti indirect immunofluorescent antibody (IFA),
serum neutralisasi (SN), immunoperoxidase (IP) dan enzyme linked immunosorbent assay
(ELISA) (OIE 2004).
Cara Keluar
Penyakit ini dapat ditularkan melalui air liur (Prickett et al. 2008.), semen dan alat
transformasi yang tercemar virus (Dee et al. 2007). Hal itu yang memudahkan penyebaran
penyakit PRRS ke peternakan di negara lain terutama yang mengimpor semen untuk bibit
babi unggul.
yang mengakibatkan terjadinya gejala klinis (Wei dan Li 2016). Pada infeksi alami, secara
umum terjadi kegagalan respon imun untuk membersihkan virus secara cepat. Akibat
keterlambatan respon imun ini, terjadi ketidakmampuan membersihkan virus dari jaringan
selama periode infeksi akut sehingga banyak terjadi kerusakan jaringan, replikasi virus
yang berlimpah, ekskresi dan menyediakan transmisi langsung. Adanya hewan yang
terinfeksi virus PRRS secara persisten, menggambarkan ketidakmampuan respon imun
untuk menanggulangi infeksi terus menerus (Xiao et al. 2004). Transmisi juga dapat terjadi
secara vertikal artinya ditularkan dari induk ke anak pada saat kebuntingan. Keberadaan
lalat dan nyamuk juga dapat menjadi vektor mekanis penyebaran penyakit (Pitkin et al.
2009). Kopulasi juga dapat menularkan virus dari babi jantan ke babi betina. Seperti
disebutkan sebelumnya bahwa virus ini dapat ditransmisikan melalui semen. Perkawinan
antara babi betina dengan babi hutan juga harus dihindari (Robles et al. 2004).
Inang Rentan
Inang rentan pada penyakit Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome (PRRS)
ini yaitu babi pada semua umur, akan tetapi yang paling banyak terserang adalah babi pada
umur muda (Ditjen PKH 2014).
Determinan Penyakit
Penyakit ini menyebabkan kerugian ekonomi yang cukup besar akibat kegagalan
pernafasan pada neonatus dan aborsi pada induk (Blaha 2000). Penyakit PRRS memiliki
tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Kejadian dan derajat keparahan dari penyakit
PRRS tergantung pada kondisi imunitas dari individual hewan dan kondisi daerah yang
terserang seperti distribusi, kepadatan ternak serta sirkulasi udara. Manajemen kandang
sangat mempengaruhi kejadian serta penyebaran penyakit PRRS ini. Kandang yang
memiliki manajemen yang kurang baik akan memperparah kejadian penyakit PRRS pada
ternak. Oleh karena itu, penting dalam memperhatikan higiene dan sanitasi kandang pada
ternak. Faktor lain yang mempengaruhi kejadian PRRS adalah lalu lintas hewan. Daerah
dengan lalu lintas keluar masuk hewan yang tinggi memiliki prevalensi tinggi terhadap
penyakit PRRS (Mahesh et al. 2015).
RENCANA SURVEY
Tujuan
Jenis Data yang Dikumpulkan
Populasi Target
7
METODE
Besaran Sampel
Tabel 2 Kecamatan terpilih dan jumlah sampel yang diambil dari setiap kecamatan terpilih
No Kecamatan Total Populasi Babi (ekor) Jumlah Sampel
1 Tanjungan 392 29
2 Pardomuan 352 29
3 Parmonagan 336 29
4 Tomok 307 29
5 Garoga 367 29
6 Ambarita 203 29
7 Martoba 635 29
8 Sihusapi 359 29
9 Maduma 382 29
10 Simanindo Sangkal 249 29
11 Cinta Dame 621 29
12 Unjur 306 29
13 Siallagan Pinda Raya 251 29
8
14 Marlumba 237 29
15 Simanindo 240 29
Jumlah 7188 436
Teknik Sampling
Kuesioner
Pretest
Uji Diagnostik
Manajemen Data
Analisis Data
Analisis Statistik
Aspek Keorganisasian
DAFTAR PUSTAKA
Aiki-Raji CO, Adebiyi AI, Abioloa JO, Oluwayelu DO. 2017. Prevalence of porcine
reproductive and respiratory syndrome virus and porcine parvovirus antibodies in
commercial pigs, Southwest Nigeria. J. Basic Appl. Sci. 7(6) :1-5.
Albina, E. 1997. Epidemiology of porcine reproductive and respiratory syndrome (PRRS):
an overview, Vet. Microbiol. 55: 309-316.
Animal Health Australia [AHA]. 2004. Disease strategy: Porcine reproductive and
respiratory syndrome (Version 3.0). Australian Veterinary Emergency Plan
(AUSVETPLAN), Edition 3, Primary Industries Ministerial Council, Canberra, ACT.
Arruda AG, Poljak Z, Robert F, Carpenter J, Hnad K. 2015. Descriptive analysis and spatial
epidemiology of porcine reproductive and respiratory syndrome (PRRS) for swine
sites participating in area regional control and elimination programs from 3 regions of
Ontario. The Canadian Journal of Veterinary Research. 79: 268-278.
Bierk, M. D., Dee, S. A., Rossow, K. D., Collins, J. E., Otake, S., Molitor, T. W. 2001.
Transmission of porcine reproductive and respiratory syndrome virus from
persistenly infected sows to contact controls, Can. J. Vet. Res. 65: 261-266.
Blaha T. 2000. The “colorful” epidemiology of PRRS. Vet Res. 31:77–83.
Broes A, Caya I, Belanger M. 2007. New blood collection technique for porcine
reproductive and respiratory syndrome virusmonitoring in boars. J Swine Health and
Prod
9
Meredith MJ. 1993. Review of porcine reproductive and respiratory syndrome. In pig
disease information centre 7th ed. Cambridge Uni Press. England 4-9.
Neumann EJ, Kliebensteins JB, Johnson CD, Mabry JW, Bush EJ, Seitzienger AH, Green
AL, Zimmermann JJ. 2005. Assesment of economic impact of porcine reproductive
and respiratory syndrome on swine production in United State. JAVMA. 227: 385-
392.
OIE. 2004. Porcine reproductive and respiratory syndrome. In Manual of Diagnostic Tests
and Vaccines for Terrestrial Animals, Part 2, Section 2.6., Chapter 2.6.5.
https://www.oie. int/eng/normes/MMANUAL/A_00099.htm
Parera H, Oematan AB, Lenda V. 2017. Histopathological study of bronchopneumonia
types of pulmo in slaughtered pig of oeba slaughterhouse. Jurnal Kajian Veteriner.
5(2):73-83.
Pitkin A, Deen J, Dee S, 2009. Further assessment of fomites and personnel as vehicles for
mechanical transport and transmission of porcine reproductive and respiratory
syndrome virus. Can. J. Vet. Res. 73: 298–302.
Prickett J, Simer R, Christopher-Hennings J, Kyoung-Jin Y, Evans RB, Zimmermann JJ.
2008. Detection of porcine reproductive and respiratory syndrome virus infection in
porcine oral fluid sample: a longitudinal study under experimental conditions. JVDI.
20:156-163.
Robles B, Trujillo O, Sánchez J. 2004. El complejo respiratoriosus causas y su control.
Acontecer Porcino. 14: 31–3.
Salusianto S. 2009. Case report on PRRS control in North Sumatra, Indonesia. Proc. Of the
4th Congress of Asian Pig Veterinary Society. Tsukuba, Japan.
Suartha IN, Anthara IMS, Wirata IW, Sari TK, Dewi NMRK, Narendra IGN, Mahardika
IGN. 2013. Survei penyakit porcine reproductive and respiratory syndrome pada
peternakan babi di Bali. Jurnal Veteriner Maret. 14(1):24-30.
Wei J, Li Y. 2016. Airborne spread of infectious agents in the indoor environment. Am. J.
Infect. Control. 44: S102–S108.
Wensvoort G .1993. Lelystad virus and the porcine epidemic abortion and respiratory
syndrome. Veterinary Research. 24: 117-124.
Xiao Z, Batista L, Dee S, Halbur P, Murtaugh MP. 2004. The level of virus-specific T-cell
and macrophage recruitment in porcine reproductive and respiratory syndrome virus
infection in pig is independent of virus load. Journal Virology. 78: 5923-5933.
11