1. Pengumpulan Hadis
Pada abad pertama Hijriah, yakni masa Rasulullah SAW., Khulafaar
Rasyidin,dan sebagian besar masa Bani Umayyah hingga akhir abad pertama Hijrah, hadis-
hadis itu berpindah-pindahdan disampaikan dari mulut ke mulut. Masing-masing perawi
pada waktu itu meriwayatkan hadis berdasarkan kekuatan hapalannya. Hapalan mereka
terkenal kuat sehingga mampu mengeluarkan kembali hadis-hadis yang pernah direkam
dalam ingatannya. Ide penghimpunan hadis Nabi secara tertulis untuk pertama kalinya
dikemukakan oleh Khalifah Umar bin Khaththab (w. 23 H/644 M). Namun, ide tersebut tidak
dilaksanakan oleh Umar karena khawatir bila umat Islam terganggu perhatiannya dalam
mempelajari Al-Quran.
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin.Abdul Aziz yang dinobatkan akhir abad
pertama Hijriah, yakni tahun 99 Hijriah, datanglah angin segar yang mendukung kelestarian
hadist. Umar bin Abdul Azis terkenal sebagai seorang khalifah dari Bani Umayyah yang
terkenal adil dan wara' sehingga dipandang sebagai khalifah Rasyidin yang kelima.
Beliau sangat waspada dan sadar bahwa para perawi yang mengumpulkan hadist
dalam ingatannya semakin sedikit jumlahnya karena meninggal dunia. Beliau khawatir
apabila tidak segera dikumpulkan dan dibukukan dalam buku-buku hadis dari para
perawinya, mungkin hadis-hadis itu akan lenyap bersama lenyapnya para penghapalnya.
Tergeraklah hatinya untuk mengumpulkan hadis-hadis Nabi dari para penghapal yang masih
hidup. Pada tahun 100 H, Khalifah Umar bin Abdul Azis memerintahkah kepada Gubernur
Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amer bin Hazm untuk membukukan hadis-hadis
Nabi dari para penghapal.
Umar bin Abdul Azis menulis surat kepada Abu Bakar bin Hazm,
yaitu,"Perhatikanlah apa yang dapat diperoleh dari hadis Rasul lalu tulislah karena aku
takut akan lenyap ilmu disebabkan menin,;galnya ulama, dan jangan diterima selain hadis
Rasul SAW., dan hercdaklah disebarluaskan ilmu dan diadakan majelis-majelis ilmu supaya
orzng yang tidak mengetahuinya dapat mengetahuinya, maka sesungguhnya ilmu itu
dirahasiakan."
Selain kepada Gubernur Madinah, khalifah juga menulis surat kepada Gubernur lain
agar mengusahakan pembukuan hadis. Khalifah juga secara khusus menulis surat kepada Abu
Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab Az-Zuhri. Kemudian, Syihab Az-
Zuhri mulai melaksanakan perintah khalifah tersebut sehingga menjadi salah satu ulama yang
pertama kali membukukan hadis.
Setelah generasi Az-Zuhri, pembukuan hadis dilanjutkan oleh Ibn Juraij (w. 150 H.),
Ar-Rabi' bin Shabih (w. 160 H), dan masih banyak lagi ulama lainnya. Sebagaimana telah
disebutkan bahwa pembukuan hadis dimulai sejak akhir masa pemerintahan Bani Umayyah,
tetapi belum begitu sempurna. Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, yaitu pada
pertengahan abad II H, dilakukan upaya penyempunaan. Sejak saat itu, tampak gerakan
secara aktif untuk membukukan ilmu pengetahuan, termasuk pembukuandan penulisan
hadis-hadis Rasul SAW Kitab-kitab yang terkenal pada waktu itu yang ada hingga sekarang
dan sampai kepada kita, antara lain Al-Muwatha' oleh Imam Malikdan Al-Musnad oleh
Imam Asy-Syafi'i (w. 204 H). Pembukuan hadis itu kemudian dilanjutkan secara lebih teliti
oleh imam-imam ahli hadis, seperti Bukhari, Muslim, Tirmizi, Nasai, Abu Dawud, Ibnu
Majah, dan lain-lain.
Dari mereka itu, kita kenal Kutubus Sittah (kitab-kitab) enam, yaitu Sahih Al-Bukhari, Sahih
Muslim, Sunan An-Nasal, dan At-Tirmizi. Tidak sedikit pada masa berikutnya dari para ulama
yang menaruh perhatian besar pada Kutubus Sittah tersebut beserta kitabMuwatha' dengan
cara mensyarahinya dan memberi catatan kaki, meringkas atau meneliti sanad dan matan-
matannya.[22]
2. Penulisan Hadis
Sebelum agama Islam datang, bangsa Arab tidak mengenal kemampuan membaca dan
menulis. Mereka lebih dikenal sebagai bangsa yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis).
Namun, ini tidak berarti bahwa tidak ada seorang pun yang bisa menulisdan membaca.
Keadaan ini hanyalah sebagai ciri kebanyakan mereka. Sejarah telah mencatat sejumlah
orang yang mampu membaca dan menulis. Adiy bin Zaid Al-Adi (w. 35 H) misalnya, sudah
belajar menulis hingga menguasainya, dan merupakan orang pertama yang menulis dengan
bahasa Arab dalam surat yang ditujukan kepada Kisra. Sebagian orangYahudi juga mengajari
anak-anak di Madinah untuk menulis Arab. Kota Mekah dengan pusat perdagangannya
sebelum kenabian, menjadi saksi adanya para penulis dan orang yang mampu membaca.
Sebagaimana dinyatakan bahwa orang yang mampu membaca dan menulis di kota Mekah
hanya sekitar 10 orang. Inilah yang dimaksud bahwa orang Arab adalah bangsa yang ummi.
[23]
Banyak akhbar yang menunjukkan bahwa para penulis lebih banyak terdapat di
Mekah daripada di Madinah. Hal ini dibuktikan dengan adanya izin Rasulullah kepada para
tawanan dalam Perang Badar dari Mekah yang mampu menulis untuk mengajarkan menuiis
dan membaca kepada 10 anak Madinah sebagai tebusan diri mereka.
Pada masa Nabi, tulis-menulis sudah tersebar luas. Apalagi Al-Quran menganjurkan
untuk belajardan membaca. Rasulullah pun menga-lgkat para penulis wahyu hingga
jumlahnya mencapai 40 orang. Nama-nama mereka disebut dalam kitabAt-Taratib Al-
Idariyyah. Baladzuri dalam kitab Futuhul Buldan menyebutkan sejumlah penulis wanita, di
antaranya Ummul Mu'minin Hafshah, Ummu Kultsum binti Uqbah, Asy-Syifa' binti
Abdullah Al¬Qurasyiyah, `Aisyah binti Sa'ad, dan Karimah binti AI-Miqdad.
Para penulis semakin banyak di Madinah setelah hijrah setelah Perang Badar. Nabi
menyuruh Abdullah bin Sa'id bin ‘Ash agar mengajar menulis di Madiah, sebagaimana
disebutkan Ibnu Abdil Barr dalam Al-Isti'ab. Ibnu Hajar menyebutkan bahwa nama asli
`Abdullah bin Sa'id bin Al-'Ash adalah Al-Hakam, lalu Rasulullah memberinya nama
`Abdullah,dan menyuruhnya agar mengajar menulis di Madinah.[24]
Para penulis sejarah Rasul, ulama hadis, dan umat Islam sependapat bahwa Al-Quran
Al-Karim telah memperoleh perhatian yang penuh dari Rasul dan para sahabatnya. Rasul
mengharapkan para sahabat untuk menghapalkan Al-Quran dan menuliskannya di tempat-
tempat tertentu, seperti keping-keping tulang, pelepah kurma, batu, dan sebagainya.
Oleh karena itu, ketika Rasulullah SAW wafat, Al-Quran telah dihapalkan dengan
sempurna oleh para sahabat. Seluruh ayat suci Al-Quran pun telah lengkap ditulis, tetapi
belum terkumpul dalam bentuk sebuah mushaf. Adapun hadis atau sunnah dalam
penulisannya ketika itu kurang memperoleh perhatian seperti halnya Al-Quran. Penulisan
hadis dilakukan oleh beberapa sahabat secara tidak resmi karena tidak diperintahkan oleh
Rasul. Diriwayatkan bahwa beberapa sahabat memiliki catatan hadis-hadis Rasulullah SAW.
Mereka mencatat sebagia hadis yang pernah mereka dengar dari Rasulullah SAW.