Dalam kondisi saat ini, virus corona bukanlah suatu wabah yang bisa diabaikan begitu saja.
Jika dilihat dari gejalanya, orang awam akan mengiranya hanya sebatas influenza biasa, tetapi
bagi analisis kedokteran virus ini cukup berbahaya dan mematikan. Saat ini di tahun 2020,
perkembangan penularan virus ini cukup signifikan karena penyebarannya sudah mendunia dan
seluruh negara merasakan dampaknya termasuk Indonesia.
Mengantisipasi dan mengurangi jumlah penderita virus corona di Indonesia sudah dilakukan
di seluruh daerah. Diantaranya dengan memberikan kebijakan membatasi aktifitas keluar rumah,
kegiatan sekolah dirumahkan, bekerja dari rumah (work from home), bahkan kegiatan beribadah
pun dirumahkan. Hal ini sudah menjadikebijakan pemerintah berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan yang sudah dianalisa dengan maksimal tentunya.
Hampir seluruh kegiatan dirumahkan, dan kebijakan ini disebut dengan lockdown. Lockdown
dapat membantu mencegah penyebaran virus corona ke suatu wilayah, sehingga masyarakat
yang berada di suatu wilayah tersebut diharapkan dapat terhindar dari wabah yang cepat
menyebar tersebut. Kebijakan ini hanya dapat dilakukan oleh pemerintah, dengan terlebih dahulu
melakukan pemeriksaan secara ketat sebelumnya ke beberapa wilayah dan mempertimbangkan
konsekuensinya secara matang, baik dari segi ekonomi maupun sosial.
Kegiatan lockdown menjadi kebijakan Gubernur DKI Jakarta berdasarkan nomor 5 tahun
2020 tentang Peniadaan Sementara Kegiatan Peribadatan dan Keagamaan Di Rumah Ibadah
Dalam Rangka Mencegah Penyebaran Wabah corona virus disease (COVID-19). Dalam seruan
ini pemerintah menyampaikan peniadaan kegiatan peribadatan dan kegiatan keagamaan lainnya
yang mengumpulkan orang banyak yang dilaksanakan di Masjid, Gereja, Pura, Wihara, Klenteng
dan tempat ibadah lainnya termasuk diantaranya ibadah shalat jumat, kebaktian, ibadah dan misa
minggu, majelis taklim, perayaan hari besar dan lain-lainnya. Selanjutnya disiapkan dan
disebarkan panduan bagi penyelenggara ibadah untuk melaksanakan ibadah di rumah sebagai
pengganti kegiatan yang ditiadakan. Seruan ini berlaku selama 14 hari sejak ditetapkan dan bisa
diperpanjang bila diperlukan. Selain itu diberikan kesadaran untuk peningkatan kewaspadaan
dan disiplin guna mencegah resiko COVID-19 dengan menjaga jarak aman dalam berinteraksi.
Kemudian pemerintah memberikan pelayanan khusus yang bisa diakses oleh masyarakat
terkait penyebaran virus corona demi menghindari kepanikan masyarakat akibat berita hoaks
yang terlanjur beredar di kalangan masyarakat. Merujuk UU ITE, dalam Pasal 45A ayat (1),
setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan
dipidana dengan pidana penjara enam tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar
Kamis, 19 Maret 2020 dari pemberitaan detiknews, juru bicara pemerintah untuk penanganan
virus corona, Achmad Yurianto mengatakan bahwa pemerintah tengah mengupayakan
dilakukannya tes massal virus Corona dan perlu dilakukan adanya uji PCR. Yurianto juga
mengatakan secara resmi informasi perkembangan kasus COVID-19 bahwa sampai dengan hari
Kamis, 19 Maret 2020 penelitian yang dilakukan oleh WHO dengan menghimpun semua ahli
virus corona di dunia masih belum mendapatkan suatu kesepakatan yang bisa dijadikan standar
dunia terkait dengan spesimen pengobatan yang definitif terhadap COVID-19.
Selain mengatur jarak antar orang, agar kemungkinan peluang tertular penyakit bisa menjadi
lebih rendah. Implikasinya bahwa pertemuan-pertemuan dengan jumlah yang besar dan yang
memungkinkan terjadinya penumpukan orang harus dihindari. Karenanya sangat penting untuk
disadari bersama dari seluruh komponen masyarakat untuk tidak melaksanakan kegiatan yang
mengerahkan banyak orang dalam satu tempat yang tidak terlalu luas dan menyebabkan
kerumunan. Hal ini dianggap sebagai salah satu upaya yang sangat efektif untuk mengurangi
sebaran virus. Oleh karena itu, social distancing harus diimplementasikan, baik dalam kehidupan
sehari-hari, di lingkungan kerja ataupun di lingkungan rumah tangga.
Social distancing adalah praktik dengan cara memperlebar jarak antar orang sebagai upaya
menurunkan peluang penularan penyakit. Indonesia telah menghimbau adanya Pembatasan
Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagai upaya dari social distancing. PSBB adalah pembatasan
kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi Covid-19 sedemikian
rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran virus.
PSBB mengatur tentang peliburan sekolah dan tempat kerja; kegiatan keagamaan; kegiatan di
tempat atau fasilitas umum; kegiatan sosial dan budaya; moda transportasi, serta pembatasan
kegiatan lainnya khusus terkait aspek pertahanan dan keamanan. Karantina perorangan yang
hanya diperuntukkan bagi pasien individu, sudah dianggap tidak lagi efektif dalam memutus
mata rantai virus saat masa pandemi.
Presiden Joko Widodo mengganti Menteri Kesehatan Terawan Putranto dengan Budi
Gunadi Sadikin, bankir yang sebelumnya menjabat Wakil Menteri BUMN dan Ketua Satuan
Tugas Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Terawan selama ini banyak dikritik karena
buruknya kebijakan kesehatan dalam mengendalikan COVID-19 di negeri ini.
Karena banyak kelompok yang terpinggirkan sering tidak mempercayai sistem layanan
kesehatan dan memiliki keengganan untuk menghubungi tenaga kesehatan. Status sosial
ekonomi rendah (Perbedaan dalam pendapatan dan pencapaian pendidikan dikaitkan dengan
harapan hidup yang lebih pendek, status kesehatan yang lebih buruk; Kurangnya asuransi
kesehatan; dan perbedaan ras / etnis) adalah salah satu penyebab terbesar dari status kesehatan
yang buruk sebagian besar populasi rentan.
Tenaga kesehatan berbasis masyarakat adalah petugas kesehatan garis depan publik yang
lebih dipercaya oleh anggota komunitas yang mereka layani. Peran tenaga kesehatan dalam
mempromosikan perilaku sehat dan informasi kesehatan kepada populasi rentan yang sering kali
menghadapi ketidaksetaraan di bidang kesehatan menjadi perhatian utama saat ini. Intervensi
yang dilakukan oleh tenaga kesehatan tampaknya efektif jika dibandingkan dengan alternatif lain
dan juga hemat biaya untuk beberapa kondisi kesehatan tertentu, terutama pada masyarakat
minoritas berpenghasilan rendah, termarjinalkan, dan berisiko tinggi.
Masih rendahnya akses dan kualitas pelayanan kesehatan ini berpengaruh pada tingginya
angka kematian akibat COVID-19 di Indonesia. Beberapa hasil studi di berbagai negara
menemukan pengaruh ini. Indikator seperti efisiensi pelayanan kesehatan, rasio jumlah tenaga
kesehatan dengan penduduk, rasio tempat tidur rumah sakit hingga akses masyarakat terhadap
rumah sakit memiliki pengaruh terhadap tingginya angka kematian akibat COVID-19.
Selain kecukupan, akses dan mutu layanan kesehatan, dalam konteks pandemi COVID-19
yang juga harus menjadi perhatian adalah kemampuan sistem kesehatan melacak dan mengetes
orang-orang yang diduga kontak dengan pasien positif.
Saat kebijakan pengendalian COVID-19 tidak efektif mencegah penularan baru sehingga
kasus positif mencapai lebih dari 580.000 kasus dan angka kematian terus naik, harapan kini
tertumpu pada vaksin yang diharapkan mampu mendorong tubuh menciptakan antibodi sehingga
dapat melawan saat diserang oleh virus.
Setelah Pembatasan Sosial Berskala Besar di Jakarta dan sejumlah daerah serta kampanye
protokol kesehatan tidak berhasil menekan penyebaran virus, seolah kini pemerintah hanya
bergantung pada vaksinasi COVID-19 yang akan dilaksanakan dengan izin penggunaan darurat.
Dua studi terakhir menunjukkan antibodi terhadap COVID-19 hanya bertahan 3-4 bulan pada
orang yang sudah sembuh dari penyakit COVID-19. Karena itu terjadi beberapa reinfeksi (orang
yang sudah sembuh kemudian sakit lagi).
Sejarah vaksinasi menunjukkan ada jenis vaksin yang hanya butuh diberikan sekali untuk
seumur hidup, ada yang perlu setiap 10 tahun, dan ada juga yang setiap tahun.
Sebuah vaksin dinyatakan aman jika tidak ada efek samping, atau efek sampingnya ringan;
tidak ada kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI), atau KIPI yang ringan seperti demam dan
nyeri. Tapi sebenarnya tidak ada zat yang sama sekali aman. Bahkan air dan oksigen saja bisa
menimbulkan bahaya pada keadaan tertentu. Keamanan vaksin dapat kita lihat pada laporan uji
klinik fase 1 dan 2. Tanpa bukti hasil uji klinis fase 1 dan 2 yang baik, maka uji klinis fase 3
tidak dapat dilaksanakan. Artinya, jika sebuah vaksin sedang atau akan menjalani uji klinis fase
3, seperti vaksin Sinovac di Bandung yang melibatkan lebih dari 1.600 relawan, maka dapat
diduga bahwa vaksin tersebut terbukti aman.
Bagaimana dengan vaksin COVID-19? Lalu, apakah vaksin COVID-19 yang akan di
operasikan di Indonesia akan memberikan sebuah jalan keluar dari dampak pandemic yang
selama ini dialami hingga ke penghujung tahun 2020? Apakah nanti akan seperti vaksin cacar,
polio, BCG, DPT atau influenza yang harus diulang setiap tahun?
Sampai kini belum ada jawaban atas pertanyaan itu. Kita harus menunggu hasil akhir dari uji
klinis vaksin fase 3 yang kini sedang berjalan di berbagai negara, termasuk di Indonesia yang
dimulai Agustus lalu.
Dalam uji klinis tahap tiga, peneliti memantau kadar antibodi yang terbentuk dan kejadian
infeksi COVID-19 pada relawan uji vaksin . Dengan mengukur kadar antibodi pada bulan
pertama setelah vaksinasi, akan terlihat berapa banyak antibodi yang terbentuk pada bulan
pertama. Lalu akan dilihat lagi kadarnya pada bulan ke-3: apakah makin tinggi atau tetap saja.
Pemantauan berikutnya pada bulan ke-6: apakah kadar antibodinya masih cukup tinggi atau
sudah mulai menurun. Informasi-informasi tersebut akan menentukan apakah vaksin yang diuji
cukup baik. Jika vaksin yang diuji saat ini hanya mampu melindungi kita selama, misalnya, 3
bulan, dengan efikasi yang tinggi, maka tetap akan lebih baik mendapat vaksin daripada tidak
mendapat vaksin.
Badan Pengawas Obat dan Makanan di Indonesia dan badan-badan sejenis di seluruh dunia
mempunyai otoritas untuk memberikan izin penggunaan obat, termasuk vaksin baru, dalam
keadaan emergensi.
Semua calon vaksin itu menunggu pembuktian keamanan dan efikasinya. Kita perlu waktu
yang lebih panjang untuk mendapatkan vaksin yang terbukti aman, nyaman, dan efektif. Jadi,
jalan menuju penghapusan COVID-19 masih panjang.
Sumber :
Vaksin COVID-19 tiba di Indonesia, apakah setelah vaksinasi virus corona akan hilang dengan
cepat? (theconversation.com) (diakses 30-12-20 09:48 am)
4 prinsip kebijakan pengendalian pandemi COVID-19 cukup jelas: mengapa sulit terwujud di
Indonesia (theconversation.com) (diakses 30-12-20 09:48 am)
9 bulan pandemi: mengapa Indonesia gagal kendalikan COVID-19, korban meninggal terbanyak
di Asia Tenggara (theconversation.com) (diakses 30-12-20 09:51 am)
COVID-19 K. Data COVID-19 Indonesia [Internet]. 2020 [cited 2020 Apr 18]. Available from:
https://kawalcovid19.blob.core.windows.net/viz/statistik_harian.html
Yuliana. (2020). Corona Virus Diseases (Covid 19); sebuah tinjauan literature. Jurnal WellNess
and Healthy Magazine, 2(1), 188.
Juaningsih Imas Novita, Consuello Yosua, Tarmidzi Ahmad, NurIrfan Dzakwan , Jurnal Sosial
& Budaya Syar-I P-ISSN : 2356 – 1459 E-ISSN : 2654-9050 Vol.7 No.6 (2020) Optimalisasi
Kebijakan Pemerintah Dalam Penanganan Covid-19 Terhadap Masyarakat Indonesia
Yunus Nur Rohim, Rezki Annissa , Jurnal Sosial & Budaya Syar-I P-ISSN : 2356 – 1459 E-
ISSN : 2654-9050 Vol.7 No.3 (2020) Kebijakan Pemberlakuan Lockdown Sebagai Antisipasi
Penyebaran Corona Virus Covid-19