Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

KERAJAAN ISLAM DI INDONESIA


(SUMATERA DAN JAWA)
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Sejarah Islam Indonesia
Dosen Pengampu : Badrus Zaman, M.Pd.I

Disusun oleh :
1. Muhamad Ulul Abshor (23010200012)
2. Lilis Setianingsih (23010200021)
3. Suci Nur Indraswari (23010200024)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh


Bismillahirrahmanirrahim.
Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT. yang telah
memberikan rahmat, hidayah serta taufiq-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini.
Shalawat serta salam semoga terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW.
Kami berharap semoga makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembacanya.
Kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu proses
penyusunan makalah ini. Dan kami memohon maaf, karena tentu dalam penyusunan makalah
ini masih banyak kekurangan dan kesesuaian dari apa yang diharapkan. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan kami terima agar menjadi lebih baik lagi.
Wassalamu’alaikum warahmatuallahi wabarakatuh

Salatiga, 01 April 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii

DAFTAR ISI...........................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................4

A. Latar Belakang................................................................................................................4

B. Rumusan Masalah...........................................................................................................4

C. Tujuan.............................................................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................5

A. Kedatangan Islam di Indonesia.......................................................................................5

1. Kerajaan Islam di Sumatera.........................................................................................5

2. Kerajaan Islam di Jawa............................................................................................11

BAB III PENUTUP................................................................................................................19

A. KESIMPULAN.............................................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................20

iii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam bukan hanya sekedar agama atau keyakinan, tetapi merupakan asas dari
sebuah peradaban. Sejarah telah membuktikan bahwa dalam kurun waktu 23 tahun,
Nabi Muhammad SAW mampu membangun peradaban Islam di Jazirah Arabia yang
berdasarkan pada prinsip-prinsip persamaan dan keadilan. Dalam waktu yang singkat,
pengaruh peradaban Islam tersebut segera menyebar ke berbagai belahan dunia,
termasuk ke wilayah Nusantara. Ada berbagai macam teori yang menyatakan tentang
masuknya Islam ke Nusantara. Beberapa teori tersebut ada yang menyatakan bahwa
Islam masuk ke Nusantara sekitar abad ke-7, abad ke-11, dan sebagainya. Dari teori
tersebut, proses sentuhan awal masyarakat Nusantara dengan Islam terjadi pada abad
ke-7 melalui proses perdagangan, kemudian pada abad selanjutnya Islam mulai
tumbuh dan berkembang. Selanjutnya melahirkan kerajaan-kerajaan yang bercorak
Islam. Seperti kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera, antara lain Perlak, Samudera
Pasai, Aceh Darussalam. Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, antara lain Demak, Pajang,
Mataram, Cirebon, Banten. Semua kerajaan tersebut memiliki andil dalam
mengembangkan khazanah peradaban Islam di Nusantara, khususnya peradaban Islam
di wilayah kekuasaan kerajaan tersebut. Dalam tulisan ini, penulis akan membahas
mengenai tumbuh dan berkembangnya kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera dan Jawa.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja kerajaan yang ada di Sumatera?
2. Apa saja kerajaan yang ada di Jawa?

C. Tujuan
1. Mengetahui kerajaan yang ada di Sumatera.
2. Mengetahui kerajaan yang ada di Jawa.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kedatangan Islam di Indonesia


Pendapat para ahli yang pernah mengemukakan masalah kedatangan Islam di
Indonesia masih berbeda-beda. Sebagian ahli berpendapat bahwa kedaatangan Islam
pertama-tama ke Indonesia sudah sejak abad pertama hijriyah atau abad ke7 M, dan
sebagian lagi berpendapat bahwa Islam baru datang abad ke-13M, terutama di
Samudra Pasai (Djakariah, 2014: 16).
Bukti yang paling dapat dipercaya mengenai penyebaran Islam dalam suatu
masyarakat lokal Indonesia adalah berupa prasasti-prasasti Islam (kebanyakan batu-
batu nisan) dan sejumlah catatan para musafir (Ricklefs, 2008: 4). Islam telah
berangsur-angsur datang ke Indonesia sejak abad-abad pertama Hijrah atau sekitar
abad ke-7 dan 8 M dan langsung dari Arab (Hasymy, 1993: 38).
Secara umum, ada dua proses yang mungkin terjadi dalam penyebaraan Islam
di Indonesia. Pertama, penduduk pribumi mengalami kontak dengan agama Islam dan
kemudian menganutnya. Proses kedua oraang-orang asing (Arab, India, Cina dll)
yang telah memeluk Islam tinggal tetap disuatu wilayah Indonesia kawin dan berbaur
dengan masyarakat local, atau mungkin kedua proses ini terjadi bersama-sama
(Ricklefs, 2008: 3).

1. Kerajaan Islam di Sumatera


a. Kerajaan Perlak
Pada akhir abad ke-12, di pantai timur Sumatera terdapat
negara Islam bernama Perak. Nama itu kemudian dijadikan Peurlelak,
didirikan oleh para pedagang asing dari Mesir, Maroko, Persi dan
Gujarat yang menetap disitu sejak abad ke -12. Pendirinya adalah
orang Arab keturunan suku Quraisy. Pedagang Arab itu kawin dengan
pribumi, keturunan raja Perlak. Dari perkawinan tersebut ia
mendapatkan putra bernama Sayid Abdul Aziz sekaligus Sultan
pertama Perlak dan lebih dikenal denan Sultan Alaiddin Syah.
(Muljana, 2009: 130).

5
Apabila dilihat dari saat ini, wilayah Perlak termasuk dalam
wilayah kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Timur (Hasymy, 1993:
400). Dengan pengangkatan Sultan pertama itu, ibu kota kerajaan:
Bandar Peurelak dipindahkan agak ke pedalaman dan namanya diganti
dengan Bandar Khalifah di pingggir Sungai Perlak. Sultan Abdul Aziz
memerintah samapai tahun 864 M dan setelah pemerintahnnya
menurut Idharul haq dalam Hasymy, ada 18 orang lagi sultan yang
memerintah di Perlak (Hasymy, 1993: 407 - 411), antara lain:

1. Sultan Alaidin Saiyid Maulana Abdul Aziz Syah 840-864 M.


2. Sultan Alaidin Saiyid Maulana Abdurrahim Syah 864-888 M.
3. Sultan Alaidin Saiyid Maulana Abbas Syah 888-913 M
4. Sultan Alaidin Saiyid Maulana Ali Mughayat Syah 915-918 M.
5. Sultan Makhdum Alaidin Malik Abdul Kadir Syah Johan 918-922
M.
6. Sultan Makhdun Alidin Malik Muhammad Amin Syah Johan 922-
946 M.
7. Sultan Makhdun Alidin Abdul Malik Amin Syah Johan
8. Sultan Alaidin Saiyid Maulana Mahmud Syah 976-988 M
kedudukan Bandar Perlak.
9. Sultan Makhdum alaidin Malik Ibrahim Syah Johan 976-1012 M
kedudukan di Bandar Khalifah.
10. Sultan Makahdum Alaidin Mansyur Syah Johan 1059-1078 M.
11. Sultan Makhdun Alaidin Malik Abdullah Syah Johan 1078-1108
M.
12. Sultan Makhdun Alaiddin Malik Ahmad Syah Johan 1108-1134 M.
13. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Syah Johan 1134-1158
M.
14. Sultan Makhdum Alaiddin Malik usman Syah Johan 1158- 1170
M.
15. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Syah Johan 1170-
1196 M.
16. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Jalil Syah Johan 1196-
1225 M.

6
17. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad AminSyah II Johan
1225- 1263 M.
18. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Syah Joham 1263-
1292M.

Berbagai penemuan yang menguatkan bahwa Perlak


merupakan Kerajaan Islam pertama di Indonesia antara lain dengan
ditemukannya mata uang Perlak. Sebuah mata uang bernaama
“dirham” ditemukan di Kampung Paya Meuligou, kira-kira 150 meter
dari lokasi Bandar Khalifah. Tulisan pada mata uang tersebut kurang
jelas, karena telah lama disimpan bumi. Pada sebuah sisi mata uang
tersebut tertulis dalam huruf arab “Al A'la” dan pada sisi yang lain
terdapat tulisan yang dapat di baca “Sulthan”. Besar kemungkinan
yang dimaksud dengan “Al A'la” pada mata uang tersebut adalah Putri
Nurul A'la yang menjadi perdana menteri pada masa pemerintahan
Sulthan Makhdun Alaiddin Ahmad Syah Jauhan yang memerintah
kerajaan Islam Perlak pada tahun 501-527 H (1108-1134 M). Puteri
Nurul A'la adalah seorang “Negarawan” yang sangat cakap.

Sebuah mata uang lain ditemukan yaitu perak yang bernama


“kupang”, ditemukan di daerah Kampung Sarah Pineung, kemukiman
Blang Simpo Perlak, di selatan Kota Perlak. Pada satu sisi tertulis
“dhuribat mursyidan” dan disisi yang lain tertulis “Syah Alam
Barinsyah”. Mungkin sekali yang dimaksud dengan “Syah Alam
Barinsyah” adalah Putri Mahkota dari Sulthan Makhdum Alaiddin
Abdul Jalil Syah Jauhan yang memerintah pada tahun 592-622 H
(1196-1225 M). Sebuah mata uang temabaga kuningan juga
diketemukan oleh seorang penduduk di daerah lokasi bekas Ibukota
Bandar Khalifah yang bertuliskan huruf Arab. Penemuan mata uang
tersebut amatlah penting, penemuan itu menceritakan kepada kita
bahwa Kerajaan Islam Perlak betul-betul suatu kerajaan yang maju,
yang dapat membuat mata uang sebagai alat pembayaran yang resmi.

Sebuah stempel Kerajaan Bendahara (salah satu kerajaan


bagian Perlak) juga menjadi bukti peninggalan Kerajaan Islam Perlak

7
yang berhasil ditemukan. Stempel tersebut terbuat dari perak murni,
dengan ukuran yang agak besar. Tulisan huruf arab pada stempel
tersebut yaitu tulisan tenggelam yang membentuk kalimat: Al Wasiq
Billah Kerajaan Negeri Bendahara sanah 512. Teknik pembuatannya
sangat rapi, yang menunjukan bahwa kerajaan negeri Bendahara waktu
itu telah maju.

Selain mata uang dan stempel kerajaan, juga diketemukan


sebuah makam dari salah seorang Raja Kerajaan Islam Benua
(Kerajaan Islam yang menjadi salah satu bagian Kerajaan Perlak) di
tepi sungai Tenggulon, kira-kira 40 km di pedalaman (sebelah selatan)
kota Kuala Simpang. Dalam sebuah catatan naskah tua Idharul Haq,
bahwa Kerajaan Islam Benua juga menjadi Negara Bagian dari
Kerajaan Islam Perlak (Hasymy, 1993: 149 – 152).

Perebutan kekuasaan antara keturunan Sayid Abdul Aziz dan


keturunnan Marah berlangsung sudah sejak masa pemerintahan sultan
Alaiddin Mughayat Syah dari tahun 1236 sampai 1239. Dalam
perebutan kekuasaaan itu, dinasti Sayid Aziz mengalami kekalahan.
Namun kesultanan Perlak, akibat perebutan kekuasaaan antara dinasti
Sayid Aziz dan dinasti Marah Perlak mengalami banyak kemunduran.
Pada akhir abad ke-13, kesultanan Perlak tidak lagi memegang peranan
dalam sejarah Negara-negara di pantai timur Sumatra. Pada akhir abad
itu, dinasti Marah Perlak banyak mengalami kekalahan (Muljana,
2009: 131-132).

b. Kerajaan Samudra Pasai


Letak kerajaan Samudra Pasai lebih kurang 15 km di sebelah
timur Lhokseumawe, Nangro Aceh, di perkirakan tumbuh 1270-1275
M atau pertengahan abad ke-13 M (Pesponegoro & Notosusanto, 2009:
21-22). Lokasi kerajaan Pasai Atas dasar peninggalan-peniggalan dan
penemuan-penemuan dari hasil penggalian dan yang dilakukan oleh
Dinas Purbakala Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia, dapat diketahui bahwa lokasi kerajaan ini di daerah yang
dewasa ini dikenal dengan nama Pasai, yaitu suatu daerah di Pantai

8
Timur Laut pulau Sumatra yang terletak antara daerah Peusangan
dengan Sungai Jambo Aye di kabupaten Aceh Utara, Provinsi Daerah
Istimewa Aceh (Hasymy, 1993: 421). Raja Samudra Pasai yang
pertama adalah Sultan Malik al Saleh yang meninggal tahun 1297.
Sultan Malik al Saleh digantikan oleh putranya yang bernama Sultan
Muhammad (Sultan Malik Al Tahir) yang memerintah 1297-1326.
Samudra Pasai memiliki hubungan yang baik dengan Kerajaan
Pertama, Perlak. Hal ini dibuktikan dengan menikahnya Sultan Malik
al Shalih dengan putri Perlak yaitu Putri Ganggang, putri raja Perlak
Sultan Makhmud Alaiddin Malik Muhammad Amin Syah II (Hasymy,
1993: 204-205).
Sultan-sultan yang memerintah Samudra Pasai berturut-turut
adalah Sultan Malik as-Shalih (Sultan Malik al Saleh) (wafat 696H/
1297M), Sultan Muhammad Malik az-Zahir (1297- 1326), Sultan
Mahmud Malik az-Zahir (lk. 1346-1383), Sultan Zain al-Abidin Malik
az-Zahir (1383-1405), Sultanah Nahrisyah (1405-1412), wafat 27
September 1428, Abu Zaid Malik az-Zahir (1412-?), Mahmud Malik
az-Zahir (1513-1524) (Posponegoro & Notosusanto, 2009: 23).
Tumbuhnya Kerajaan Islam Samudra Pasai tidak dapat
dipisahkan dari letak geografisnya yang senantiasa tersentuh pelayaran
dan perdagangan internasional melalui Selat Malaka yang sudah ada
sejak abad-abad pertama Masehi (Posponegoro & Notosusanto, 2009:
22). Catatan Ibnu Battuta menyebutkan bahwa Samudra Pasai
merupakan pelabuhan yang sangat penting, tempat kapal-kapal dagang
dari India dan Tiongkok, pula bagian-bagian lain Indonesia, singgah
bertemu untuk membongkar dan memuat barang dagangannya. Ibnu
Battuta singgah di Samudra Pasai pada masa pemerintahan Sultan
Mahmud Malik al-Tahir (Djakariah, 2014: 33). Diceritakan oleh Tome
Pires dalam makalah Uka Tjandrasasmita, Kerajaan Samudra Pasai
mempunyai banyak penduduk, Kerajaan tersebut kaya-raya dan banyak
dilakukan perdagangan. Pedagang-pedagang berasal dari berbagai
negeri: Rume, Turki, Arab, Persia, Gujarat, dll. Hal ini menunjukan
bagaiman Samudra Pasai dengan kemakmuranya (Hasymy, 1993:
362).

9
Peninggalan Kerajaan Samudra Pasai diantaranya ada Nisan
Sultan Malik as-Salih di Kabupaten Aceh Utara, Makam Sultanah
Nahrisah di Samudra Pasai kabupaten Aceh Utara, mata uang dari
kerajaan Samudra Pasai, Kabupaten Aceh Utara. Pada akhir abad ke
14, Samudra Pasai diliputi kekacauan karena adanya perebutan
kekuasaan, sebagaimana dapat disimpulkan dari berita-berita Cina.
Sampai pertengahan abad ke-15 Samudra Pasai masih mengirimkan
utusan ke Tiongkok (Djakariah, 2014: 34). Penguasaan Portugis atas
Malaka tahun 1511 M dan meluaskan kekuasaannya, kerajaan Islam
samudra Pasai mulai dikuasai sejak tahun 1521 M. Kemudian kerajaan
Aceh Darussalam di bawah Pemerintah Sultan Mughayat Syah lebih
berhasil menguasai Samudra Pasai (Pesponegoro & Notosusanto,
2009: 28).
c. Kerajaan Aceh
Di seberang Selat Malaka Aceh sedang tumbuh sebuah Negara
kuat pada saat kedatangan orang Portugis. Sebelum 1500 Aceh belum
begitu menonjol. Sultan Aceh Pertama bernama Ali Mughayat Syah
1514-1530 (Djakariah, 2014: 37). Sultan Ali Mughayat Syah wafat
pada 1530, di antara penggantinya yang terkenal ialah Sultan Alaudin
Riayat Syah al-Qahhar (1538-1571). Usaha-usahanya adalah
mengembangkan kekuatan angkatan perang, perdagangan, dan
mengadakan hubungan internasional dengan kerajaan Islam di Timur
Tengah, seperti Turki, Abessinia (Ethiopia), dan Mesir (Abdullah &
Lapian, 2011: 24).
Perluasan politik Kesultanan Aceh Darussalam diteruskan
penggantinya, Sultan Alaudin Riayat Syah, seorang keturunan sultan
Pariaman yang memerintah pada tahun 1568-1588 yang melakukan
penyerangan terhadap Malaka dan Perlak. Disamping itu, ia
mengadaakan hubungan dengan Ratu Kalinyamat dari Jepara. Setelah
sultan wafat menantunya itulah yang menggantikannya dengan gelar
Sultan Alauddin Mansyur Syah. Ia adalah orang yang sangat baik, jujur
dan mencintai ulama. Karena itulah pada masa pemerintahannya
banyak ulama yang berkunjung ke Aceh. Sultan Alauddin Mansyur
Syah wafat pada tahun 1585 digantikan oleh Sultan Alaudin Ri‟ayat

10
Syah ibn Sultan Munawar Syah yang memerintah hingga tahun 1588,
yang selanjutnya digantikan oleh Sultan Alauddin Ri'ayat Syah ibn
Firman Syah (Pesponegoro & Notosusanto, 2009: 30-31).
Sultan Alauddin Ri‟ayat Syah ibn Firman Syah wafat pada
tahun 1604 dan digantikan oleh Sultan Muda yang memerintah
keultanan Aceh sampai 1607. Kesultanan Aceh Darussalam mengalami
puncak kekuasaan di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda
(1607-1636). Kemahsyuran Kasultanan Aceh Darussalam pada masa
itu terjadi dalam bidang politik, ekonomi-perdagangan, hubungan
internasional, dengan memperkuat angkatan perang, mengembangkan
kebudayaan, dan memperkuat kehidupan keagamaan Islam.
Pada awal abad ke 19 kerajaan Islam Aceh Darussalam terus menerus
mengalami ancaman kolonialisme belanda yang terus menerus
meluaskan kekuasaan politiknya, tetaapi diberbagai daerah tetap
mengalami perawanan. Di kerajaan Aceh sejak tahun 1873-1904
terjadi peperangan hebat yang terkenal dengan Perang Aceh dan
merupakan peperangan terlama, terkuat, dan terbesar karenaa didorong
pula dengan motivasi keagamaan melawan kafir yang dikenal sebagai
Perang Sabil (Pesponegoro & Notosusanto, 2009: 34)
Sultan Iskandar Muda wafat dan digantikan Iskandar Thani
(1636-1641). Pengganti Iskandar Thani adalah Taj al-Alam Safiatudin
Syah, tetapi kerajaan Aceh sejak saat itu mulai terbatas kekuasaannya.
Setelah ia wafat pada tanggal 23 Oktober 1675, ia digantikan oleh Sri
Sultanah Nur Al-Alam Naqiat ad-Din Syah kemudian beliau wafat
pada 22 Januari 1678 ia wafat dan digantikan Sultanah Inayat Syah
Zakiat ad-Din Syah dan kemudian digantikan oleh Sutanah Kamalat
Syah. Dengan pengangkatan kembali Sultan Aceh dari kaum
perempuan, timbul ketidaksenangan dari golongan yang menentangnya
dan akhirnya diturunkan dari tahta pada bulan Oktober 1699.
Selanjutnya kerajaan Islam Aceh diperintah oleh keturunan orang Arab
dan bugis (1699-1735) yang sejak awal abad ke 18 kerajaan tersebut
ruparupanya mulai mengalami keruntuhan. Makam raja-raja Aceh di
Banda Aceh, gunungan di bekas taman Kasultanan Aceh Banda Aceh,
Genta perunggu “Cakra Donya” dari Kerajaan Aceh Banda Aceh

11
menjadi bukti peninggalan Kerajaan Aceh (Pesponegoro &
Notosusanto, 2009: 29-36)

2. Kerajaan Islam di Jawa


a. Kerajaan Demak
Demak mempunyai letak geografis di pesisir utara dan
lingkungan alamnya yang subur, dan semula adalah sebuah kampung
yang dalam babad local disebut Gelagahwangi. Tempat itu kemudian
tumbuh dan berkembang sebagai pusat kerajaan islam pertama-tama di
Pulau Jawa sejak akhir abad ke-15 (Pesponegoro & Notosusanto, 2009:
52). Pendiri Kerajaan Demak adalah Raden Patah, seorang bupati
Majapahit yang memeluk islam dan memutuskan hubungan dengan
majapahit (Djakariah, 2014: 47).
Raja Demak yang kedua dalam babad dikenal nama Pangeran
Sabrang Lor meskipun pemerintahannya sebentar. (Abdullah dan
Lapian, 2011: 36). Nama Pangeran Sabrang Lor berasal dari daerah
tempat tinggalnya di “Seberang Utara”. Menurut cerita Jawa Timur
dan Mataram dalam Serat Kandha dan babad, penguasa Demak yang
ketiga bernama Tranggana atau Trenggana. Ia adalah saudara sultan
sebelum dia Pangeran Sabrang Lor; keduanya putra penguasa pertama
Raden Patah. Menurut perkiraan Pires, Trenggana lahir tahun 1483.
Sultan Trenggana memerintah pada sekitar 1504-1546. Dalam kurun
waktu itu wilayah kerajaan telah diperluas ke barat dan ke timur, dan
masjid Demak telah di bagun (atau dibangun kembali) sebagai
lambang kekuasaan Islam (Graff & Pigeaud, 2003: 44-48).
Salah satu wilayah yang berhasil dikuasi oleh sultan Trenggana
ialah Mataram di pedalaman Jawa Tengah, dan juga Singasari di Jawa
bagian Selatan. Dalam usahanya menaaklukan psauruan Sultan
Trenggana gugur pada tahun 1546. Dengan wafatnya Trenggana,
timbullah perebutan kekuasaan antara adik Trenggana dan anak
Trenggana hingga berakhir dengan pemindahan Keraton Demak ke
Pajang pada tahun 1568. Dengan tindakan ini maka menandakan
berakhirnya kasultanan Demak (Djakariah, 2014: 49).

12
Raja-raja Demak terkenaal sebagai pelindung agama sehingga
raja-raja dengan kaum ulama erat bergaandengan, terutama dengan
Wali Sanga. Pendirian Masjid Agung Demak oleh para Wali dengan
arsiteknya Sunan Kali Jaga merupakan pusat dakwah para wali,
termasuk Wali Sanga, yaitu Sunan Ampel, Sunan Kudus, Sunan
Gunungjati, Sunan Muria, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan
Drajat, Sunan Giri, dan Syekh Lemah Abang/Siti Jenar (Pesponegoro
& Notosusanto: 2009: 54).
b. Kerajaan Pajang
Sejak wafatnya Sultan Trenggana timbul perebutan kekuasaan
di kalangan keluarga Sultan Trenggana. Akibat perebutan kekuasaan di
kalangan keluarga dan kerabat tersebut terjadi perselisihan politik di
antara Wali Sanga yang masingmasing menjadi pendukung untuk
pengangkatan penguasa-penguasa. Setelah Sultan Trenggana wafat
diganti oleh Sunan Prawoto, ia dubunuh oleh Arya Penangsang dari
Jipang pada tahun 1549. Sekarang giliran Arya Penangsang, ia pun
dibunuh oleh ipar Sunan Prawoto yaitu Jaka Tingkir (Pesponegoro &
Notosusanto,, 2009: 54-55).
Joko tingkir menjadi raja pertama dari Kerajaan Pajang.
Kedudukannya yang disahkan pula oleh Sunan Giri (salah satu dari
wali 9), segera mendapat pengakuan dari adipati-adipati di seluruh
Jawa Tengah dan Jawa Timur (Djakariah, 2014: 49). Joko Tingkir
ketika menjadi Sultan Pajang bergelar Sultan Hadiwijaya. Sultan
Pajang mulai melakukan perluasan kekuasaan sehingga beberapa
daerah sekitarnya antara lain Jipang dan Demak sendiri mengakui
kekuasaan kerajaan Pajang. Setelah wafat tahun 1587 ia digantikan
oleh putranya yaitu Pangeran Benawa. Pada masa pemerintahannya,
kerajaan pajang kehilangan daerah Mataram yang masa pemerintahann
Sultan Hadiwijaya telah diberikan kepada Ki Ageng Pamanahan, atas
jasanya dalam pembunuhan terhadap Sultan Prawata. Ada alasan untuk
mengakui bahwa selama pemerintahan Raja Hadiwijaya dari Pajang,
kesusastraan dan kesenian keraton yang sudah maju peradabannya di
Demak dan Jepara lambat laun dikenal di pedalaman Jawa Tengah.

13
Pelaut Inggris, Sir Francis Drake, pada 1580 singgah di Jawa.
Namun tempat yang dikunjunginya hanya Blambangan. Diberitakan
olehnya bahwa jumlah raja di Pulau Jawa sangat besar; tetapi hanya
seorang raja yang mereka akui sebagai penguasa tertinggi. Dapat
diperkirakan bahwa yang dimaksud olehnya adalah Sultan Pajang,
pengganti sah Raja Demak (Graff & Pigeaud: 2003: 242).
c. Kerajaan Mataram
Mataram merupakan daerah yang subur, terletak antara Kali
Opak dan Kali Praga yang mengalir ke Samudra Hindia dan
memberikan kemungkinan pertumbuhan dan perkembangan pusat
kerajaan Mataram. Di tempat inilah Ki ageng Pamanahaan mendirikan
keraton pada tahun 1578. Setelah beberapa tahun mendiami keraton,
Ki Ageng Pamanahan wafat pada 1584. Penggantinya ialah putranya
Panembahan Senopati ing Alogo yang pada masa mudanya bergelar
Pangeraan Ngabehi Lor ing Pasar dan merupakan menantu Sultan
Pajang (Sultan Hadiwijaya). Pada masa pemerintahan Sultan
Hadiwijaya mataram memperluas daerah kekuasaannya ke daerah
sekitarnya termasuk daerah pesisir utara kemudian ke daerah-daerah di
Jawa bagian timur maupun ke Jawa bagian barat (Pesponegoro dan
Notosusanto: 2009: 56).
Pada permulaan pemerintahan Senaapati, para penguasa
setempat wajib menyerahkan upeti di kawasan Kedu dan Bagelen
terbujuk untuk membangkang terhadap Raja Pajang. Senapati Mataram
yang masih mudah mengabaaikan kewajibannya terhadap Raja Pajang
yang sudah tua, ia tidak suka menghadap Raja. Setelah Raja Pajang
meninggal dan Senapati berhasil mengusir Pangeran Banawa dari
Demak, Senapati memakai gelar Panembahan (Graff & Pigeaud, 2003:
253-254).
Panembahan Senapaati Mataram berhasil merebut kerajaan tua
Jepara baru pada 1599, pada akhir hidupnya. Pada dasawarsa terakhir
abd ke 16, raja merdeka yang pertama di Mataram berhasil menguasai
daerah-daerah terpenting di Jawa Tengah, baik di pedalaman maupun
sepanjang pantai utara. Panembahan Senapati Mataram juga

14
memperluas kekuasaannya ke daerah-daerah di Jawa bagian Timur dan
Barat.
Setelah wafat Panembahan Senapati digantikan oleh Mas
Jolang, pura dari selir yang berasal dari Pati. Pangeran Jolang
memerintah dari tahun 1601 hingga 1613, ia menyempurnakan
pembangunan Kotagede. Pangeran Jolang meninggal di tempat
perburuan (krapyak) pada tahun 1613. Penggantinya ialah cucu
Panembahan Senopati yaitu Pangeran Jatmiko atau Raden Mas
Rangsang dan setelah menjadi sultan Mataram ia dikenal dengan
Sultan Agung Senopati ing Alogo.
Pada masa pemerintahan Sultan Agung Senaapati ing Alaga
beberapa daerah yang semula sudah berada di bawah Mataram mulai
melepaskan dirinya, akibatnya, Sultan Agung melakukan penyerangan-
penyerangan terhadap Surabaya, Pati, Giri, dan Blambangan. Selain
melewati pertempuran-pertempuran, dalam menaklukan kembali
daerah-daerah dan penyerangan besar-besaran mengepung Batavia
dilakukan melaluidaratan dan lautan (Pesponegoro dan Notosusanto,
2009: 57).
Sultan Agung Mataram sakit dan wafat di keraton Kota Gede
pada tahun 1645 dan kemudian dimakamkan di Imogiri. Penggantinya
adalah putranya yang bernama Amangkurat atau lebih dikenal dengan
Amangkurat I. Sunan Amangkurat I lebih dekat dengan VOC dari pada
rakyatnya. Ia juga dikenal dengan perbuatan tercela. Kedekatan
Mataram dengan dengan VOC menyebabkan makin banyaknya
tindakan mencampuri politik Kerajaan Mataram. Banyaknya
pemberontakan karena ketidaksukaan terhadap Amangkurat I
menyebabkan Amangkurat I menyingkir dan menuju Cirebon untuk
meminta bantuan VOC. Akan tetapi sesampainya di wanayasa ia jatuh
sakit dan meninggal pada 10 Juli 1677, ia masih sempat mengangkat
Pangeran Adipati Anom sebagai penggantinya dengan gelar
Amangkurat II. Sejak pemerintahan Amangkurat I maupun
Amangkurat II dan seterusnya, kerajaan Mataram Islam sampai Perang
Giyantitahun 1755 terus menerus mengalami pengaruh politik VOC.
Bahkan melalui perjanjian Giyanti itulah Kerajaan Mataram Islam

15
dipcah menjadi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan
Kasunanan Surakarta (Solo).
d. Kerajaan Cirebon
Kedatangan Tome Pires (1512-1515) sekitar tahun 1513,
diberitakan di Cirebon sudah termasuk ke daerah Jawa di bawah
kekuasaan kerajaan Demaak. Pires mengatakan bahwa Islam sudah
hadir di Cirebon 40 tahun sebelum keahdiran Pires, artinya dapat
diperkirakan sekitar tahun 1470-1475 M. Dalam naskah Purwaka
Tjaruban Nagari karya Pangeran Arya Cerbon tahun 1720 M,
dikatakan bahwa kehadiran Syarif Hidayatullah di Cirebon tahun 1470
M adalah mengajarkan agama Islam di Gunung Sembung, kemudian ia
menikah dengan Pakungwati putri uaknyadan pada tahun 1479
menggantikan mertuanya sebagai penguasa Cirebon, lalu mendirikan
kraton yang diberi nama Pakungati di sebelah timur keraton Sultan
Kasepuhan kini (Pesponegoro dan Notosusanto, 2009: 59).
Syarif Hidayatullah dikenal juga dengan nama Sunan Gunung
Jati, salah seorang Wali Sanga dan mendapat julukan Pandita Ratu
sejak ia berfungsi sebagai wali penyebar Islam dan sebagai kepala
pemerintahan. Pada tahun 1570 Sunan Gunung Jati sebagai penguasa
Cirebon diganti oleh seorang cicitnya, yang hanya dikenal dengan
gelar Pangeran Ratu atau Panembahan Ratu. Tentang dia amat sedikit
yang diketahui. Raja-raja Mataram sejak semula mempunyai hubungan
yang cukup baik dengan penguasa setempat di sebelah barat Sungai
Bogowonto. Penguasa bagian barat, Raja Cirebon agaknya tidak
memberikan perlawanan dan mengakui penguasaan mataram(Graff &
Pigeaud, 2003: 131).
Pada abad ke 17 dan 18 di keraton-keraton Cirebon telah
berkembang kegiatan sastra yang sangat memikat perhatian. Hal ini
antara lain terbukti dari kegiatan mengarang nyanyian keagamaan
Islam, yang disebut suluk, yang bercorak mistis. Hal inipun yang
menunjukan bahwa pengaruh rohani Sunan Gunung Jati itu masih
berlangsung (Graff & Pigeaud, 2003: 132).
Panembahan Ratu meninggal pada 1650. Penggantinya seorang
raja yang dikenal dengan nama Pangeran Girilaya. Sejak tahun 1697

16
kekuaaan keraton Kasepuhan dan Kanoman terbagi atas Kacirebonan
dan Kaprapabonan. Karena itu, Kasultanan Cirebon sejak tahun 1681
sampai 1940 mengalami kemerosotan karena kolonialisme
(Pesponegoro dan Notosusanto, 2009: 65).
Bukti peninggalan Kasultanan Cirebon yaitu Masjid Agung
Kasepuhan di Cirebon, Makam Sunan Gunung Jati di Cirebon, pedang
dan baju jitah dari Keraton Cirebon, sitinggil Keraton Cirebon, gua
Sunyaragi Taman Peristirahatan Sultan di Cirebon (Pesponegoro dan
Notosusanto (2009: 61-64)
e. Kerajaan Banten
Banten di Islamkan oleh Fatahillah atas nama Raja Demak.
Segera kedudukan Banten diperkuat, dan untuk kepentingan
perdagangan maka seluruh pantai Utara diislamkan pulsa sampai di
Cirebon, Sunda Kalapa, Kota pelabuhan Pajajaran yang dapat menjadi
saingan, direbut tahun 1527 dan sebagai bagian Banten di beri nama
Jayakarta. Pemerintahan Banten dipegang sendiri oleh Fatahillah, akan
tetapi diserahkan kembali kepada anaknya Hasanudin karena
Fatahillah kembali ke Cirebon (Djakariah, 2014: 56).

Letak ibu kota Surasowan di Teluk Banten sangan strategis


untuk pertumbuhan dan perkembangan bahkan memunculkan
kasultanan. Banten bukan hanya berfungsi sebagai pusat politik,
perekonomian, dan perdagangan melainkan juga keagamaaan dan
kebudayaan. Sejak pemerintahan Hasanuddinn, daerah Lampung sudah
masuk ke dalam kasultanan Banten. Dalam cerita Banten, Hasanuddin
terkenal dengan nama Anumertanya Pangeran Saba Kingking, sesuai
dengan nama tempat ia dimakamkan, tidak jauh dari Banten. (Graff &
Pigeaud, 2003: 138.)
Pada masa pemerintahan Maulana Yusuf (1570-1580)
kasultanan Banten mengalami kemajuan dalam bidang pembangunan
kota dan desa serta persawahan dan perladangan (Abdullah dan
Lapian, hlm42). Berdasarkan Graff dan Pigeaud, (2003: 140-142)
Sultan Maulana Yusuf meninggal pada 1580 penggantinya adalah
Maulana Muhammad. Maulana Muhammad menyerang Palembang

17
guna perluasan daerah Islam, Ia berpendirian bahwa ia masih dapat
menuntut ha katas Kerajaan Palembang. Ia gugur dalam misi perluasan
wilayah di Palembang yang terjadi pada than 1596.
Maulana Muhammad digantikan oleh Mufakhir Mahmud
Abdul Kadir (Abdul Kadir) masa pemerintahannya yaitu 1596-1651
kemudian digantikan oleh Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682). Pada
masa Sultan Ageng Tirtayasa, Banten mengaalami masa kejayaan
dalam bidang politik, perekonomian, perdagangan, keagamaan, dan
kebudayaan, (Pesponegoro dan Notosusanto, 2009: 69). Dalam bidang
perdagangan internasional Kasultanan Banten makin dikembangkan
dengan negeri-negeri Iran, Hindustan, Arab, Inggris, Prancis,
Denmark, Jepang, Pegu, Filipina, Cina, dan sebagainya. Kemajuan
Kasultanan Banten dalam bidang perdagangan tersebut bukan hanya
tercatat dalam harian Belanda, tetapi juga dari data temuan banyaknya
pecahan keramik dan benda-benda lainnya baik dari Cina, Jepang,
bahkan juga dari Eropa (Pesponegoro dan Notosusanto, 2009: 71)
Kesultanan Banten mulai mengalami kemunduran sejak perang
kelompok yang dipimpin putranya yaitu Sultan Abu Nasr Abdul kahar
atau Sultan Haji yang dibantu VOC melawan kekuasaan ayahnya,
Sultan Ageng Tirtayasa hingga kemudian di ambil alih oleh
pemerintahan Hindia Belanda.

18
BAB III

PENUTUP
A. KESIMPULAN
Masuknya Islam ke wilayah Nusantara, khususnya ke Sumatera dan Jawa,
telah memberikan sebuah warna baru dalam peradaban kedua wilayah tersebut. Islam
tidak hanya dianggap sebagai sebuah agama saja, akan tetapi lebih jauh daripada itu,
telah mampu memasuki aspek-aspek kehidupan manusia, salah satunya dalam bidang
budaya. Hal ini menyebabkan akulturasi antara peradaban dengan Islam, dan salah
satu hasilnya adalah berupa kerajaan-kerajaan. Pada tahap selanjutnya, kerajaan-
kerajaan inilah yang berperan penting dalam penyebaran dan pembentukan budaya
Islam.

19
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, T & Lapian, A.B, 2011. Indonesia dalam Arus Sejarah 3: Kedatangan dan
Peradaban Islam, Jakarta: Balai Pustaka.
Djakariah, 2014. Sejarah Indonesia II, Yogyakara: Ombak.
Graff, H.J.D & Piegeaud, 2003.. Kerajaan Islam PErtama di Jawa Tinjauan Sejarah Politik
Abad XV dan XVI, Jakarta: Grafiti.
Hasymy, A, 1963. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia (Kumpulan
Prasaran pada Seminar di Aceh), Medan: PT. Alma’arif
Muljana, S, 2009. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di
Nusantara. Yogyakarta: LKis Printing Cemerlang.
Poesponegoro, M.D & Notosusanto, N, 2009. Sejarah Nasional Indonesia III. Zaman
Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Ricklefs, M.C, 2008. Sejarah Indoesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.

20

Anda mungkin juga menyukai

  • Mentahan Kwu
    Mentahan Kwu
    Dokumen6 halaman
    Mentahan Kwu
    Suci Nur Indraswari
    Belum ada peringkat
  • Audio
    Audio
    Dokumen3 halaman
    Audio
    Suci Nur Indraswari
    Belum ada peringkat
  • K.10 Istihsan
    K.10 Istihsan
    Dokumen8 halaman
    K.10 Istihsan
    Suci Nur Indraswari
    Belum ada peringkat
  • Macam-Macam Istihsan
    Macam-Macam Istihsan
    Dokumen3 halaman
    Macam-Macam Istihsan
    Suci Nur Indraswari
    Belum ada peringkat
  • Edgar Dale
    Edgar Dale
    Dokumen11 halaman
    Edgar Dale
    Suci Nur Indraswari
    Belum ada peringkat
  • PUASA Kel.4
    PUASA Kel.4
    Dokumen20 halaman
    PUASA Kel.4
    Suci Nur Indraswari
    Belum ada peringkat
  • Uas Psi
    Uas Psi
    Dokumen3 halaman
    Uas Psi
    Suci Nur Indraswari
    Belum ada peringkat
  • Bab - Viii SK Revisi
    Bab - Viii SK Revisi
    Dokumen10 halaman
    Bab - Viii SK Revisi
    Suci Nur Indraswari
    Belum ada peringkat
  • Materi Fiqih
    Materi Fiqih
    Dokumen10 halaman
    Materi Fiqih
    Suci Nur Indraswari
    Belum ada peringkat
  • Fiqh 1
    Fiqh 1
    Dokumen2 halaman
    Fiqh 1
    Suci Nur Indraswari
    Belum ada peringkat
  • K.8 Hakekat Nabi Dan Rasul New..
    K.8 Hakekat Nabi Dan Rasul New..
    Dokumen14 halaman
    K.8 Hakekat Nabi Dan Rasul New..
    Suci Nur Indraswari
    Belum ada peringkat
  • K.8 Perjanjian Aqabah
    K.8 Perjanjian Aqabah
    Dokumen9 halaman
    K.8 Perjanjian Aqabah
    Suci Nur Indraswari
    Belum ada peringkat
  • AKHLAQ TERCELA - Hadist (Kel.7) New
    AKHLAQ TERCELA - Hadist (Kel.7) New
    Dokumen12 halaman
    AKHLAQ TERCELA - Hadist (Kel.7) New
    Suci Nur Indraswari
    Belum ada peringkat