Disusun oleh :
1. Muhamad Ulul Abshor (23010200012)
2. Lilis Setianingsih (23010200021)
3. Suci Nur Indraswari (23010200024)
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................4
A. Latar Belakang................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................4
C. Tujuan.............................................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................5
A. KESIMPULAN.............................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................20
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam bukan hanya sekedar agama atau keyakinan, tetapi merupakan asas dari
sebuah peradaban. Sejarah telah membuktikan bahwa dalam kurun waktu 23 tahun,
Nabi Muhammad SAW mampu membangun peradaban Islam di Jazirah Arabia yang
berdasarkan pada prinsip-prinsip persamaan dan keadilan. Dalam waktu yang singkat,
pengaruh peradaban Islam tersebut segera menyebar ke berbagai belahan dunia,
termasuk ke wilayah Nusantara. Ada berbagai macam teori yang menyatakan tentang
masuknya Islam ke Nusantara. Beberapa teori tersebut ada yang menyatakan bahwa
Islam masuk ke Nusantara sekitar abad ke-7, abad ke-11, dan sebagainya. Dari teori
tersebut, proses sentuhan awal masyarakat Nusantara dengan Islam terjadi pada abad
ke-7 melalui proses perdagangan, kemudian pada abad selanjutnya Islam mulai
tumbuh dan berkembang. Selanjutnya melahirkan kerajaan-kerajaan yang bercorak
Islam. Seperti kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera, antara lain Perlak, Samudera
Pasai, Aceh Darussalam. Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, antara lain Demak, Pajang,
Mataram, Cirebon, Banten. Semua kerajaan tersebut memiliki andil dalam
mengembangkan khazanah peradaban Islam di Nusantara, khususnya peradaban Islam
di wilayah kekuasaan kerajaan tersebut. Dalam tulisan ini, penulis akan membahas
mengenai tumbuh dan berkembangnya kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera dan Jawa.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja kerajaan yang ada di Sumatera?
2. Apa saja kerajaan yang ada di Jawa?
C. Tujuan
1. Mengetahui kerajaan yang ada di Sumatera.
2. Mengetahui kerajaan yang ada di Jawa.
4
BAB II
PEMBAHASAN
5
Apabila dilihat dari saat ini, wilayah Perlak termasuk dalam
wilayah kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Timur (Hasymy, 1993:
400). Dengan pengangkatan Sultan pertama itu, ibu kota kerajaan:
Bandar Peurelak dipindahkan agak ke pedalaman dan namanya diganti
dengan Bandar Khalifah di pingggir Sungai Perlak. Sultan Abdul Aziz
memerintah samapai tahun 864 M dan setelah pemerintahnnya
menurut Idharul haq dalam Hasymy, ada 18 orang lagi sultan yang
memerintah di Perlak (Hasymy, 1993: 407 - 411), antara lain:
6
17. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad AminSyah II Johan
1225- 1263 M.
18. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Syah Joham 1263-
1292M.
7
yang berhasil ditemukan. Stempel tersebut terbuat dari perak murni,
dengan ukuran yang agak besar. Tulisan huruf arab pada stempel
tersebut yaitu tulisan tenggelam yang membentuk kalimat: Al Wasiq
Billah Kerajaan Negeri Bendahara sanah 512. Teknik pembuatannya
sangat rapi, yang menunjukan bahwa kerajaan negeri Bendahara waktu
itu telah maju.
8
Timur Laut pulau Sumatra yang terletak antara daerah Peusangan
dengan Sungai Jambo Aye di kabupaten Aceh Utara, Provinsi Daerah
Istimewa Aceh (Hasymy, 1993: 421). Raja Samudra Pasai yang
pertama adalah Sultan Malik al Saleh yang meninggal tahun 1297.
Sultan Malik al Saleh digantikan oleh putranya yang bernama Sultan
Muhammad (Sultan Malik Al Tahir) yang memerintah 1297-1326.
Samudra Pasai memiliki hubungan yang baik dengan Kerajaan
Pertama, Perlak. Hal ini dibuktikan dengan menikahnya Sultan Malik
al Shalih dengan putri Perlak yaitu Putri Ganggang, putri raja Perlak
Sultan Makhmud Alaiddin Malik Muhammad Amin Syah II (Hasymy,
1993: 204-205).
Sultan-sultan yang memerintah Samudra Pasai berturut-turut
adalah Sultan Malik as-Shalih (Sultan Malik al Saleh) (wafat 696H/
1297M), Sultan Muhammad Malik az-Zahir (1297- 1326), Sultan
Mahmud Malik az-Zahir (lk. 1346-1383), Sultan Zain al-Abidin Malik
az-Zahir (1383-1405), Sultanah Nahrisyah (1405-1412), wafat 27
September 1428, Abu Zaid Malik az-Zahir (1412-?), Mahmud Malik
az-Zahir (1513-1524) (Posponegoro & Notosusanto, 2009: 23).
Tumbuhnya Kerajaan Islam Samudra Pasai tidak dapat
dipisahkan dari letak geografisnya yang senantiasa tersentuh pelayaran
dan perdagangan internasional melalui Selat Malaka yang sudah ada
sejak abad-abad pertama Masehi (Posponegoro & Notosusanto, 2009:
22). Catatan Ibnu Battuta menyebutkan bahwa Samudra Pasai
merupakan pelabuhan yang sangat penting, tempat kapal-kapal dagang
dari India dan Tiongkok, pula bagian-bagian lain Indonesia, singgah
bertemu untuk membongkar dan memuat barang dagangannya. Ibnu
Battuta singgah di Samudra Pasai pada masa pemerintahan Sultan
Mahmud Malik al-Tahir (Djakariah, 2014: 33). Diceritakan oleh Tome
Pires dalam makalah Uka Tjandrasasmita, Kerajaan Samudra Pasai
mempunyai banyak penduduk, Kerajaan tersebut kaya-raya dan banyak
dilakukan perdagangan. Pedagang-pedagang berasal dari berbagai
negeri: Rume, Turki, Arab, Persia, Gujarat, dll. Hal ini menunjukan
bagaiman Samudra Pasai dengan kemakmuranya (Hasymy, 1993:
362).
9
Peninggalan Kerajaan Samudra Pasai diantaranya ada Nisan
Sultan Malik as-Salih di Kabupaten Aceh Utara, Makam Sultanah
Nahrisah di Samudra Pasai kabupaten Aceh Utara, mata uang dari
kerajaan Samudra Pasai, Kabupaten Aceh Utara. Pada akhir abad ke
14, Samudra Pasai diliputi kekacauan karena adanya perebutan
kekuasaan, sebagaimana dapat disimpulkan dari berita-berita Cina.
Sampai pertengahan abad ke-15 Samudra Pasai masih mengirimkan
utusan ke Tiongkok (Djakariah, 2014: 34). Penguasaan Portugis atas
Malaka tahun 1511 M dan meluaskan kekuasaannya, kerajaan Islam
samudra Pasai mulai dikuasai sejak tahun 1521 M. Kemudian kerajaan
Aceh Darussalam di bawah Pemerintah Sultan Mughayat Syah lebih
berhasil menguasai Samudra Pasai (Pesponegoro & Notosusanto,
2009: 28).
c. Kerajaan Aceh
Di seberang Selat Malaka Aceh sedang tumbuh sebuah Negara
kuat pada saat kedatangan orang Portugis. Sebelum 1500 Aceh belum
begitu menonjol. Sultan Aceh Pertama bernama Ali Mughayat Syah
1514-1530 (Djakariah, 2014: 37). Sultan Ali Mughayat Syah wafat
pada 1530, di antara penggantinya yang terkenal ialah Sultan Alaudin
Riayat Syah al-Qahhar (1538-1571). Usaha-usahanya adalah
mengembangkan kekuatan angkatan perang, perdagangan, dan
mengadakan hubungan internasional dengan kerajaan Islam di Timur
Tengah, seperti Turki, Abessinia (Ethiopia), dan Mesir (Abdullah &
Lapian, 2011: 24).
Perluasan politik Kesultanan Aceh Darussalam diteruskan
penggantinya, Sultan Alaudin Riayat Syah, seorang keturunan sultan
Pariaman yang memerintah pada tahun 1568-1588 yang melakukan
penyerangan terhadap Malaka dan Perlak. Disamping itu, ia
mengadaakan hubungan dengan Ratu Kalinyamat dari Jepara. Setelah
sultan wafat menantunya itulah yang menggantikannya dengan gelar
Sultan Alauddin Mansyur Syah. Ia adalah orang yang sangat baik, jujur
dan mencintai ulama. Karena itulah pada masa pemerintahannya
banyak ulama yang berkunjung ke Aceh. Sultan Alauddin Mansyur
Syah wafat pada tahun 1585 digantikan oleh Sultan Alaudin Ri‟ayat
10
Syah ibn Sultan Munawar Syah yang memerintah hingga tahun 1588,
yang selanjutnya digantikan oleh Sultan Alauddin Ri'ayat Syah ibn
Firman Syah (Pesponegoro & Notosusanto, 2009: 30-31).
Sultan Alauddin Ri‟ayat Syah ibn Firman Syah wafat pada
tahun 1604 dan digantikan oleh Sultan Muda yang memerintah
keultanan Aceh sampai 1607. Kesultanan Aceh Darussalam mengalami
puncak kekuasaan di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda
(1607-1636). Kemahsyuran Kasultanan Aceh Darussalam pada masa
itu terjadi dalam bidang politik, ekonomi-perdagangan, hubungan
internasional, dengan memperkuat angkatan perang, mengembangkan
kebudayaan, dan memperkuat kehidupan keagamaan Islam.
Pada awal abad ke 19 kerajaan Islam Aceh Darussalam terus menerus
mengalami ancaman kolonialisme belanda yang terus menerus
meluaskan kekuasaan politiknya, tetaapi diberbagai daerah tetap
mengalami perawanan. Di kerajaan Aceh sejak tahun 1873-1904
terjadi peperangan hebat yang terkenal dengan Perang Aceh dan
merupakan peperangan terlama, terkuat, dan terbesar karenaa didorong
pula dengan motivasi keagamaan melawan kafir yang dikenal sebagai
Perang Sabil (Pesponegoro & Notosusanto, 2009: 34)
Sultan Iskandar Muda wafat dan digantikan Iskandar Thani
(1636-1641). Pengganti Iskandar Thani adalah Taj al-Alam Safiatudin
Syah, tetapi kerajaan Aceh sejak saat itu mulai terbatas kekuasaannya.
Setelah ia wafat pada tanggal 23 Oktober 1675, ia digantikan oleh Sri
Sultanah Nur Al-Alam Naqiat ad-Din Syah kemudian beliau wafat
pada 22 Januari 1678 ia wafat dan digantikan Sultanah Inayat Syah
Zakiat ad-Din Syah dan kemudian digantikan oleh Sutanah Kamalat
Syah. Dengan pengangkatan kembali Sultan Aceh dari kaum
perempuan, timbul ketidaksenangan dari golongan yang menentangnya
dan akhirnya diturunkan dari tahta pada bulan Oktober 1699.
Selanjutnya kerajaan Islam Aceh diperintah oleh keturunan orang Arab
dan bugis (1699-1735) yang sejak awal abad ke 18 kerajaan tersebut
ruparupanya mulai mengalami keruntuhan. Makam raja-raja Aceh di
Banda Aceh, gunungan di bekas taman Kasultanan Aceh Banda Aceh,
Genta perunggu “Cakra Donya” dari Kerajaan Aceh Banda Aceh
11
menjadi bukti peninggalan Kerajaan Aceh (Pesponegoro &
Notosusanto, 2009: 29-36)
12
Raja-raja Demak terkenaal sebagai pelindung agama sehingga
raja-raja dengan kaum ulama erat bergaandengan, terutama dengan
Wali Sanga. Pendirian Masjid Agung Demak oleh para Wali dengan
arsiteknya Sunan Kali Jaga merupakan pusat dakwah para wali,
termasuk Wali Sanga, yaitu Sunan Ampel, Sunan Kudus, Sunan
Gunungjati, Sunan Muria, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan
Drajat, Sunan Giri, dan Syekh Lemah Abang/Siti Jenar (Pesponegoro
& Notosusanto: 2009: 54).
b. Kerajaan Pajang
Sejak wafatnya Sultan Trenggana timbul perebutan kekuasaan
di kalangan keluarga Sultan Trenggana. Akibat perebutan kekuasaan di
kalangan keluarga dan kerabat tersebut terjadi perselisihan politik di
antara Wali Sanga yang masingmasing menjadi pendukung untuk
pengangkatan penguasa-penguasa. Setelah Sultan Trenggana wafat
diganti oleh Sunan Prawoto, ia dubunuh oleh Arya Penangsang dari
Jipang pada tahun 1549. Sekarang giliran Arya Penangsang, ia pun
dibunuh oleh ipar Sunan Prawoto yaitu Jaka Tingkir (Pesponegoro &
Notosusanto,, 2009: 54-55).
Joko tingkir menjadi raja pertama dari Kerajaan Pajang.
Kedudukannya yang disahkan pula oleh Sunan Giri (salah satu dari
wali 9), segera mendapat pengakuan dari adipati-adipati di seluruh
Jawa Tengah dan Jawa Timur (Djakariah, 2014: 49). Joko Tingkir
ketika menjadi Sultan Pajang bergelar Sultan Hadiwijaya. Sultan
Pajang mulai melakukan perluasan kekuasaan sehingga beberapa
daerah sekitarnya antara lain Jipang dan Demak sendiri mengakui
kekuasaan kerajaan Pajang. Setelah wafat tahun 1587 ia digantikan
oleh putranya yaitu Pangeran Benawa. Pada masa pemerintahannya,
kerajaan pajang kehilangan daerah Mataram yang masa pemerintahann
Sultan Hadiwijaya telah diberikan kepada Ki Ageng Pamanahan, atas
jasanya dalam pembunuhan terhadap Sultan Prawata. Ada alasan untuk
mengakui bahwa selama pemerintahan Raja Hadiwijaya dari Pajang,
kesusastraan dan kesenian keraton yang sudah maju peradabannya di
Demak dan Jepara lambat laun dikenal di pedalaman Jawa Tengah.
13
Pelaut Inggris, Sir Francis Drake, pada 1580 singgah di Jawa.
Namun tempat yang dikunjunginya hanya Blambangan. Diberitakan
olehnya bahwa jumlah raja di Pulau Jawa sangat besar; tetapi hanya
seorang raja yang mereka akui sebagai penguasa tertinggi. Dapat
diperkirakan bahwa yang dimaksud olehnya adalah Sultan Pajang,
pengganti sah Raja Demak (Graff & Pigeaud: 2003: 242).
c. Kerajaan Mataram
Mataram merupakan daerah yang subur, terletak antara Kali
Opak dan Kali Praga yang mengalir ke Samudra Hindia dan
memberikan kemungkinan pertumbuhan dan perkembangan pusat
kerajaan Mataram. Di tempat inilah Ki ageng Pamanahaan mendirikan
keraton pada tahun 1578. Setelah beberapa tahun mendiami keraton,
Ki Ageng Pamanahan wafat pada 1584. Penggantinya ialah putranya
Panembahan Senopati ing Alogo yang pada masa mudanya bergelar
Pangeraan Ngabehi Lor ing Pasar dan merupakan menantu Sultan
Pajang (Sultan Hadiwijaya). Pada masa pemerintahan Sultan
Hadiwijaya mataram memperluas daerah kekuasaannya ke daerah
sekitarnya termasuk daerah pesisir utara kemudian ke daerah-daerah di
Jawa bagian timur maupun ke Jawa bagian barat (Pesponegoro dan
Notosusanto: 2009: 56).
Pada permulaan pemerintahan Senaapati, para penguasa
setempat wajib menyerahkan upeti di kawasan Kedu dan Bagelen
terbujuk untuk membangkang terhadap Raja Pajang. Senapati Mataram
yang masih mudah mengabaaikan kewajibannya terhadap Raja Pajang
yang sudah tua, ia tidak suka menghadap Raja. Setelah Raja Pajang
meninggal dan Senapati berhasil mengusir Pangeran Banawa dari
Demak, Senapati memakai gelar Panembahan (Graff & Pigeaud, 2003:
253-254).
Panembahan Senapaati Mataram berhasil merebut kerajaan tua
Jepara baru pada 1599, pada akhir hidupnya. Pada dasawarsa terakhir
abd ke 16, raja merdeka yang pertama di Mataram berhasil menguasai
daerah-daerah terpenting di Jawa Tengah, baik di pedalaman maupun
sepanjang pantai utara. Panembahan Senapati Mataram juga
14
memperluas kekuasaannya ke daerah-daerah di Jawa bagian Timur dan
Barat.
Setelah wafat Panembahan Senapati digantikan oleh Mas
Jolang, pura dari selir yang berasal dari Pati. Pangeran Jolang
memerintah dari tahun 1601 hingga 1613, ia menyempurnakan
pembangunan Kotagede. Pangeran Jolang meninggal di tempat
perburuan (krapyak) pada tahun 1613. Penggantinya ialah cucu
Panembahan Senopati yaitu Pangeran Jatmiko atau Raden Mas
Rangsang dan setelah menjadi sultan Mataram ia dikenal dengan
Sultan Agung Senopati ing Alogo.
Pada masa pemerintahan Sultan Agung Senaapati ing Alaga
beberapa daerah yang semula sudah berada di bawah Mataram mulai
melepaskan dirinya, akibatnya, Sultan Agung melakukan penyerangan-
penyerangan terhadap Surabaya, Pati, Giri, dan Blambangan. Selain
melewati pertempuran-pertempuran, dalam menaklukan kembali
daerah-daerah dan penyerangan besar-besaran mengepung Batavia
dilakukan melaluidaratan dan lautan (Pesponegoro dan Notosusanto,
2009: 57).
Sultan Agung Mataram sakit dan wafat di keraton Kota Gede
pada tahun 1645 dan kemudian dimakamkan di Imogiri. Penggantinya
adalah putranya yang bernama Amangkurat atau lebih dikenal dengan
Amangkurat I. Sunan Amangkurat I lebih dekat dengan VOC dari pada
rakyatnya. Ia juga dikenal dengan perbuatan tercela. Kedekatan
Mataram dengan dengan VOC menyebabkan makin banyaknya
tindakan mencampuri politik Kerajaan Mataram. Banyaknya
pemberontakan karena ketidaksukaan terhadap Amangkurat I
menyebabkan Amangkurat I menyingkir dan menuju Cirebon untuk
meminta bantuan VOC. Akan tetapi sesampainya di wanayasa ia jatuh
sakit dan meninggal pada 10 Juli 1677, ia masih sempat mengangkat
Pangeran Adipati Anom sebagai penggantinya dengan gelar
Amangkurat II. Sejak pemerintahan Amangkurat I maupun
Amangkurat II dan seterusnya, kerajaan Mataram Islam sampai Perang
Giyantitahun 1755 terus menerus mengalami pengaruh politik VOC.
Bahkan melalui perjanjian Giyanti itulah Kerajaan Mataram Islam
15
dipcah menjadi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan
Kasunanan Surakarta (Solo).
d. Kerajaan Cirebon
Kedatangan Tome Pires (1512-1515) sekitar tahun 1513,
diberitakan di Cirebon sudah termasuk ke daerah Jawa di bawah
kekuasaan kerajaan Demaak. Pires mengatakan bahwa Islam sudah
hadir di Cirebon 40 tahun sebelum keahdiran Pires, artinya dapat
diperkirakan sekitar tahun 1470-1475 M. Dalam naskah Purwaka
Tjaruban Nagari karya Pangeran Arya Cerbon tahun 1720 M,
dikatakan bahwa kehadiran Syarif Hidayatullah di Cirebon tahun 1470
M adalah mengajarkan agama Islam di Gunung Sembung, kemudian ia
menikah dengan Pakungwati putri uaknyadan pada tahun 1479
menggantikan mertuanya sebagai penguasa Cirebon, lalu mendirikan
kraton yang diberi nama Pakungati di sebelah timur keraton Sultan
Kasepuhan kini (Pesponegoro dan Notosusanto, 2009: 59).
Syarif Hidayatullah dikenal juga dengan nama Sunan Gunung
Jati, salah seorang Wali Sanga dan mendapat julukan Pandita Ratu
sejak ia berfungsi sebagai wali penyebar Islam dan sebagai kepala
pemerintahan. Pada tahun 1570 Sunan Gunung Jati sebagai penguasa
Cirebon diganti oleh seorang cicitnya, yang hanya dikenal dengan
gelar Pangeran Ratu atau Panembahan Ratu. Tentang dia amat sedikit
yang diketahui. Raja-raja Mataram sejak semula mempunyai hubungan
yang cukup baik dengan penguasa setempat di sebelah barat Sungai
Bogowonto. Penguasa bagian barat, Raja Cirebon agaknya tidak
memberikan perlawanan dan mengakui penguasaan mataram(Graff &
Pigeaud, 2003: 131).
Pada abad ke 17 dan 18 di keraton-keraton Cirebon telah
berkembang kegiatan sastra yang sangat memikat perhatian. Hal ini
antara lain terbukti dari kegiatan mengarang nyanyian keagamaan
Islam, yang disebut suluk, yang bercorak mistis. Hal inipun yang
menunjukan bahwa pengaruh rohani Sunan Gunung Jati itu masih
berlangsung (Graff & Pigeaud, 2003: 132).
Panembahan Ratu meninggal pada 1650. Penggantinya seorang
raja yang dikenal dengan nama Pangeran Girilaya. Sejak tahun 1697
16
kekuaaan keraton Kasepuhan dan Kanoman terbagi atas Kacirebonan
dan Kaprapabonan. Karena itu, Kasultanan Cirebon sejak tahun 1681
sampai 1940 mengalami kemerosotan karena kolonialisme
(Pesponegoro dan Notosusanto, 2009: 65).
Bukti peninggalan Kasultanan Cirebon yaitu Masjid Agung
Kasepuhan di Cirebon, Makam Sunan Gunung Jati di Cirebon, pedang
dan baju jitah dari Keraton Cirebon, sitinggil Keraton Cirebon, gua
Sunyaragi Taman Peristirahatan Sultan di Cirebon (Pesponegoro dan
Notosusanto (2009: 61-64)
e. Kerajaan Banten
Banten di Islamkan oleh Fatahillah atas nama Raja Demak.
Segera kedudukan Banten diperkuat, dan untuk kepentingan
perdagangan maka seluruh pantai Utara diislamkan pulsa sampai di
Cirebon, Sunda Kalapa, Kota pelabuhan Pajajaran yang dapat menjadi
saingan, direbut tahun 1527 dan sebagai bagian Banten di beri nama
Jayakarta. Pemerintahan Banten dipegang sendiri oleh Fatahillah, akan
tetapi diserahkan kembali kepada anaknya Hasanudin karena
Fatahillah kembali ke Cirebon (Djakariah, 2014: 56).
17
guna perluasan daerah Islam, Ia berpendirian bahwa ia masih dapat
menuntut ha katas Kerajaan Palembang. Ia gugur dalam misi perluasan
wilayah di Palembang yang terjadi pada than 1596.
Maulana Muhammad digantikan oleh Mufakhir Mahmud
Abdul Kadir (Abdul Kadir) masa pemerintahannya yaitu 1596-1651
kemudian digantikan oleh Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682). Pada
masa Sultan Ageng Tirtayasa, Banten mengaalami masa kejayaan
dalam bidang politik, perekonomian, perdagangan, keagamaan, dan
kebudayaan, (Pesponegoro dan Notosusanto, 2009: 69). Dalam bidang
perdagangan internasional Kasultanan Banten makin dikembangkan
dengan negeri-negeri Iran, Hindustan, Arab, Inggris, Prancis,
Denmark, Jepang, Pegu, Filipina, Cina, dan sebagainya. Kemajuan
Kasultanan Banten dalam bidang perdagangan tersebut bukan hanya
tercatat dalam harian Belanda, tetapi juga dari data temuan banyaknya
pecahan keramik dan benda-benda lainnya baik dari Cina, Jepang,
bahkan juga dari Eropa (Pesponegoro dan Notosusanto, 2009: 71)
Kesultanan Banten mulai mengalami kemunduran sejak perang
kelompok yang dipimpin putranya yaitu Sultan Abu Nasr Abdul kahar
atau Sultan Haji yang dibantu VOC melawan kekuasaan ayahnya,
Sultan Ageng Tirtayasa hingga kemudian di ambil alih oleh
pemerintahan Hindia Belanda.
18
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Masuknya Islam ke wilayah Nusantara, khususnya ke Sumatera dan Jawa,
telah memberikan sebuah warna baru dalam peradaban kedua wilayah tersebut. Islam
tidak hanya dianggap sebagai sebuah agama saja, akan tetapi lebih jauh daripada itu,
telah mampu memasuki aspek-aspek kehidupan manusia, salah satunya dalam bidang
budaya. Hal ini menyebabkan akulturasi antara peradaban dengan Islam, dan salah
satu hasilnya adalah berupa kerajaan-kerajaan. Pada tahap selanjutnya, kerajaan-
kerajaan inilah yang berperan penting dalam penyebaran dan pembentukan budaya
Islam.
19
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, T & Lapian, A.B, 2011. Indonesia dalam Arus Sejarah 3: Kedatangan dan
Peradaban Islam, Jakarta: Balai Pustaka.
Djakariah, 2014. Sejarah Indonesia II, Yogyakara: Ombak.
Graff, H.J.D & Piegeaud, 2003.. Kerajaan Islam PErtama di Jawa Tinjauan Sejarah Politik
Abad XV dan XVI, Jakarta: Grafiti.
Hasymy, A, 1963. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia (Kumpulan
Prasaran pada Seminar di Aceh), Medan: PT. Alma’arif
Muljana, S, 2009. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di
Nusantara. Yogyakarta: LKis Printing Cemerlang.
Poesponegoro, M.D & Notosusanto, N, 2009. Sejarah Nasional Indonesia III. Zaman
Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Ricklefs, M.C, 2008. Sejarah Indoesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
20