Proposal Skripsi
Oleh:
Prasetya Dwi Anugrah
04011381722210
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2020
DAFTAR ISI
DAFTAR SINGKATAN
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
BAB I
PENDAHULUAN
2.1.1 Palpebra
Palpebra atau kelopak mata adalah lipatan kulit tipis yang tersusun
atas otot dan jaringan fibrosa. Bagian depan palpebra ditutupi oleh kulit
sedangkan bagian belakang dilapisi selaput lendir tarsus yang disebut
konjungtiva tarsal. Palpebra berfungsi melindungi bola mata dari benda
asing yang dapat membahayakan mata (Himayani et al., 2019; Ilyas &
Yulianti, 2018).
Pada kelopak mata terdapat margo palpebra superior dan inferior
yang merupakan bagian ujung tepi kelopak mata atas dan bawah.
Terdapat barisan bulu mata yang disepanjang margo palpebral. Bulu
mata memiliki fungsi sebagai protektif mata dari debu dan keringat
(Himayani et al., 2019).
2.1.2 Konjungtiva
Konjungtiva adalah membran mukosa tipis dan transparan yang
menutupi bola mata bagian depan dan palpebra bagian dalam.
Konjungtiva terdiri atas tiga bagian yaitu konjungtiva bulbar atau
konjungtiva bulbi, konjungtiva palpebra atau konjungtiva tarsal dan
konjungtiva fornises atau konjungtiva forniks. (Sitompul, 2017).
Konjungtiva bulbar menutupi bagian depan bola mata yang
letaknya tidak bersentuhan secara langsung dengan sklera karena
dipisahkan oleh jaringan di atas sklera yaitu episklera. Terdapat struktur
yang membatasai konjungtiva dengan kornea yaitu limbus. Pada
konjungtiva bulbar terdapat kelenjar manz dan sel goblet penghasil musin
yang berfungsi membasahi bola mata. (Sitompul, 2017)
Konjungtiva palpebra melapisi bagian dalam kelopak mata (tarsus)
dan sukar digerakan dari tarsus yang terdiri dari tiga bagian yaitu orbital,
tarsal dan marginal. Bagian orbital berada di antara foniks dan
konjungtiva tarsal, bagian tarsal terletak di tarsal plate, sedangkan bagian
marginal terletak di tepi kelopak mata hingga 2 mm ke dalam kelopak
mata. Pada konjungtiva palpebra terdapat kelenjar henle dan sel goblet
yang menghasilkan musin. (Sitompul, 2017)
Konjungtiva forniks terletak di antara konjungtiva palpebra dan
konjungtiva bulbar. Forniks dan konjungtiva bulbar melekat dengan
sangat longgar terhadap jaringan yang ada di bawahnya sehingga bola
masih dapat bergerak dengan mudah. Daerah forniks diketahui memiliki
kelenjar lakrimal aksesoris yaitu glandula krause dan wolfring yang dapat
memproduksi komponen akuos air mata (Ilyas & Yulianti, 2018;
Sitompul, 2017).
Aparatus sekresi adalah suatu sistem produksi air mata yang terdiri
dari glandula lakrimal dan letaknya di dalam fossa glandula lakrimal di
(sisi lateral superior rongga orbita). Sedangkan aparatus ekskresi adalah
sistem ekskresi air mata yang terdiri dari pungtum lakrimal, kanalikuli
lakrimal, sakus lakrimal, dan duktus nasolakrimal. Air mata yang telah
masuk ke duktus nasolakrimal akan diteruskan ke dalam rongga hidung
di dalam meatus inferior (Ilyas & Yulianti, 2018; Qomariyah et al.,
2017).
2.1.4 Sklera
Sklera adalah bagian putih pada bola mata dari papil saraf optik
sampai kornea yang melapisi dan melindung isi bola mata bersamaan
dengan kornea. Sklera merupakan lapisan yang paling luar pada bola
mata. Terdapat daerah yang membatasi antara sklera dan kornea yaitu
limbus (Ilyas & Yulianti, 2018).
Ketebalan sklera bervariasi pada setiap posisi anatominya yaitu
berukuran 1 – 1,3 mm pada sisi posterior bola mata kemudian menipis
kira-kira 0,5 mm di sisi ekuator bola mata lalu menebal kembali dengan
ukuran 0,8 mm pada perilimbus sklera (Boote et al., 2019).
2.1.5 Kornea
Kornea berasal dari bahasa latin (cornum) yang berarti seperti
tanduk. Kornea merupakan bagian mata berupa lapisan bening tembus
cahaya yang melapisi iris dan pupil. Kornea memiliki tebal rata-rata 550
µm pada orang dewasa, dengan diameter horizontal sekitar 12 mm dan
vertikal 11 mm. Lapisan kornea dari luar ke dalam yaitu epitel, membran
bowman, stroma, membran descemet, dan endotelium. Lapisan kornea
berfungsi sebagai pelindung mata dari patogen dan zat berbahaya lainnya
(Ansari & Nadeem, 2016; Eghrari et al., 2015; Ilyas & Yulianti, 2018;
Lim Siew Ming & J. Constable, 2005)
2.1.6 Uvea
Uvea merupakan lapisan vaskular yang terdiri dari iris, badan siliar
dan koroid. Koroid menyediakan suplai darah ke retina. Iris terdiri atas
bagian pupil dan bagian tepi siliar. Badan siliar merupakan terusan
koroid ke arah anterior bola mata. Pada badan siliar terdapat prosesus
siliaris yang merupakan lipatan dan letaknya berada di antara otot siliar
dan iris serta berhubungan dengan lensa yang dihubungkan melalui
ligamentum suspensorium. Prosesus siliaris memproduksi aqueous
humor dan mengeluarkanya ke bilik mata belakang lalu menuju ke bilik
mata depan, kemudian masuk ke kanal schelmm melalui trabekular
meshwork yang terletak di sudut antara iris dan kornea (Watson & Lowe,
2019).
2.1.7 Pupil
Pupil adalah bagian mata yang dibentuk oleh iris dan aktivitas
badan siliar. Ukuran pupil dipengaruhi oleh keseimbangan aktivitas dari
kerja saraf simpatis dan parasimpatis. Pupil akan membesar dan mengecil
tergantung dari seberapa banyak cahaya yang diperlukan masuk ke mata.
Pupil membesar (midriasis) ketika berada di tempat gelap sehingga
cahaya yang ditangkap lebih banyak, sedangkan pupil akan mengecil
(miosis) ketika terpapar cahaya terang sehingga cahaya yang masuk ke
mata tidak berlebihan (Wang & Munoz, 2015).
2.1.10 Retina
Retina atau selaput jala merupakan lapisan yang mengandung
reseptor penerima rangsangan cahaya yang melapisi bagian dalam bola
mata. Retina melapisi sekitar 72% bagian dalam bola mata yang
membentang dari ora serata sampai ke saraf optik. Rangsangan cahaya
yang diterima oleh reseptor retina akan diubah menjadi impuls saraf dan
diteruskan menuju korteks (Basri, 2017).
Gambar 6. Lapisan pada retina (Ansari & Nadeem, 2016)
2.2.1 Epitel
Lapisan epitel kornea terdiri dari empat sampai enam lapis sel
epitel skuamosa berlapis non keratin dan pada manusia memiliki
ketebalan 50 µm. Dua sampai tiga lapis epitel paling superfisial memiliki
bentuk pipih dan poligonal serta pada permukaan apikal terdapat
mikrovili dan mikroplika yang ditutupi oleh glikokaliks. Glikokaliks
menjadikan area permukaan epitel bersifat hidrofilik sehingga lapisan
musin pada tear film dapat membasahi permukaan epitel kornea.
Terdapat tight junction pada sel-sel epitel yang berfungsi sebagai segel
kedap air dan mencegah organisme patogen yang mencoba masuk ke
dalam kornea. Pada lapisan suprabasal terdapat sel sayap yang
memperlihatkan adanya tight junction yang kompleks antar sel (Eghrari
et al., 2015).
2.2.3 Stroma
Stroma kornea adalah lapisan kaya kolagen dan menyusun hampir
90% dari ketebalan kornea dengan tebal 500 µm yang tersusun atas sel-
sel keratosit dan komponen ektraseluler. Keratosit merupakan sel stroma
kornea yang dapat berdiferensiasi menjadi fibroblas serta menghasilkan
makromolekul pada matriks ekstraseluler yang kerjanya seperti enzim
yaitu remodeling dan degradasi. Keratosit terletak di antara serat kolagen
stroma. Susunan kolagen yang sejajar satu dengan lainnya disebut
lamela. Sintesis kolagen baru oleh fibroblas stroma di sekitar jaringan
yang mengalami perbaikan merupakan tahap awal terjadinya degradasi
kolagen selama proses remodeling jaringan. Pembentukan kembali serat
kolagen memakan waktu lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan
(Gandhi & Jain, 2015; Ilyas & Yulianti, 2018).
Matriks ekstraseluler menempati bagian yang substansial pada
stroma kornea dan membentuk susunan seperti anyaman yang teratur.
Matriks ekstraseluler pada stroma kornea terdiri dari protein fibrosa
(kolagen, laminin, fibronektin) dan glikosaminoglikan (keratan sulfat,
kondroitin sulfat dan dermatan sulfat). Kolagen pada stroma tersusun atas
heterodimer kompleks dari kolagen tipe I dan kolagen tipe V. Laminin
merupakan glikoprotein yang terletak di lamina lusida pada membran
basalis dan berperan dalam proses adhesi, migrasi, pertumbuhan, dan
diferensiasi. Fibronektin merupakan glikoprotein yang terususun atas dua
macam rantai polipeptida yang terhubung oleh ikatan disulfida pada
ujung terminal karboksi. Pada kornea yang tidak mengalami luka,
fibronektin dapat ditemukan di daerah subepitel pada membran basalis
dan stroma pada sisi membran descemet serta memiliki peran utama
dalam melekatkan sel ke matriks ekstraseluler (Eghrari et al., 2015; Ilyas
& Yulianti, 2018).
Proteoglikan merupakan protein yang mengalami glikosilasi
dengan glikosaminoglikan. Pada matriks kornea terdapat keratin sulfat
proteoglikan (KSPG) serta kondroitin dan dermatan sulfat proteoglikan
(dekorin). Kondroitin sulfat dan dermatan sulfat letaknya lebih banyak di
bagian anterior stroma, sedangkan keratin sulfat lebih banyak ditemukan
di bagian posterior stroma. Proteoglikan lainnya yaitu heparin sulfat
(perlecan) yang terletak di membran basalis epitel. KSPG merupakan
proteoglikan utama pada matriks stroma yang terdiri dari lumican,
keratocan dan mimecan. KPSG berperan penting dalam transparansi
kornea. KPSG berkurang ataupun menghilang ketika terjadi opaque
corneal scars dan muncul kembali pada saat pemulihan transparansi
kornea. Lumikan yang merupakan KPSG memiliki peran dalam
mengatur proses migrasi neutrofil selama infeksi bakteri pada stroma.
Dekorin berfungsi mengatur pembentukan serat kolagen dan mengatur
aktivitas dari transforming growth factor- β (TGF-β) (Eghrari et al.,
2015; Gandhi & Jain, 2015).
Matriks ekstraseluler berperan aktif dan kompleks dalam
meregulasi sel, mempengaruhi perkembangan sel, migrasi, proliferasi,
bentuk, dan fungsi metabolisme. Selain itu, matriks ekstraseluler
menyediakan perancah untuk menstabilkan struktur fisik pada jaringan.
Matriks stroma secara konstan melakukan proses remodeling, degradasi
dan resintesis selama perkembangannya. Dalam penyembuhan luka pada
jaringan, terjadi proses degradasi dan resintesis komponen matriks
(Gandhi & Jain, 2015).
Stroma tidak memiliki pembuluh darah (avaskular) sehingga
tampak jernih dan membantu memaksimalkan sifat transparan pada
kornea. Kejernian pada stroma juga tergantung pada aktivitas sel
keratosit dalam berdiferensiasi. Pembentukan myofibroblast yang
diturunkan oleh keratosit, yang dapat terjadi dengan adanya paparan
TGF- β dan platelet derives growth factor (PDGF), dikorelasikan dengan
kejadian pembentukan corneal haze (kornea tampak berkabut) dan
produksi matriks ekstraseluler yang tidak teratur. Selain pengaturan
imunitas terjadi di lapisan epitel, stroma juga berperan penting dalam
imunitas kornea. Pada bagian sentral kornea mengandung prekursor sel
dendritik dan sel dendritik imatur, sedangkan pada bagian perifer kornea
terdapat sel dendritik yang berasal dari resident bone marrow. Keratosit
dapat dipicu oleh TNF-α dan IL-1α (disekresi oleh sel epitel) untuk
menghasilkan IL-6 dan defensin dalam regulasi imunitas kornea (Eghrari
et al., 2015).
2.2.4 Membran Descemet
Membran descemet merupakan membran basal dari lapisan endotel
yang memiliki ketebalan sekitar 3 µm pada anak-anak dan secara
bertahap akan menebal hingga 10 µm pada saat dewasa. Membran ini
terdiri dari dua bagian. Bagian anterior tersusun dari kolagen lamela dan
proteoglikan dan mulai terlihat pada janin di minggu ke 12 masa gestasi.
Bagian posterior melekat pada lapisan endotel dan akan menebal selama
beberapa dekade (Eghrari et al., 2015).
Secara struktural, membran descemet tersusun atas serat kolagen
tipe IV dan VIII. . Membran descemet bersifat sangat elastik dan dapat
berkembang terus seumur hidup. Lapisan ini merupakan membran
aseluler dan berbatasan pada bagian bawah stroma kornea. Membran
descemet sebagai membran basal dari lapisan endotel, juga merupakan
hasil sintesis dari sel-sel endotel (Gandhi & Jain, 2015; Ilyas & Yulianti,
2018).
Sebagai membran basal dari lapisan endotel kornea, membran
descemet membantu menjaga kornea agar selalu dalam keadaan sedikit
dehidrasi. Ini dibuktikan pada kasus hidrop kornea (pembengkakan
kornea), episode fokal akut dari edema kornea yang dialami pasien
keratokonus dimana terjadi kerusakan pada membran descemet yang
mengakibatkan cairan dapat masuk ke dalam kornea. Kasus iatrogenik
membran descemet robek ataupun terjadi robekan membran descemet
pasca operasi intraokuler juga dapat menyebabkan edema kornea
(Eghrari et al., 2015).
2.2.5 Endotel
Secara embriologis, endotel kornea berasal dari pial neural.
Lapisan endotel teridiri dari satu lapis sel yang merupakan lapisan paling
posterior dari kornea. Sel-sel endotel memiliki kedalaman 5 µm dengan
diameter 20 µm. Bagian anterior dari lapisan ini melekat pada membran
descemet melalui zonula okluden dan hemidesmosom. Pada bagian
posterior, lapisan endotel berdekatan dengan bilik mata depan. Lapisan
endotel berperan memompa kelebihan cairan dari kornea menuju bilik
mata depan dan sebagai tempat lewatnya zat terlarut dan nutrien menuju
lapisan superfisial pada kornea. Proses ini dikenal sebagai pump-leak
hypothesis yang menjaga kornea tetap dalam keadaan sedikit dehidrasi
melalui pompa ionik di membrane basolateral (Eghrari et al., 2015;
Gandhi & Jain, 2015; Ilyas & Yulianti, 2018).
2.3.2 Klasifikasi
Berdasarkan lokasi ulkusnya, ulkus kornea dapat dibagi menjadi
dua bentuk yaitu sentral dan marginal atau perifer. Ulkus kornea perifer
biasanya disebabkan oleh reaksi toksik, alergi, infeksi, autoimun dan
penyakit kolagen vaskular. Untuk penyebab ulkus kornea sentral
biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, akantamuba, dan jamur
(Ilyas & Yulianti, 2018).
1. Ulkus kornea sentral
a. Ulkus kornea bakterialis
a) Ulkus Streptokokus
Terdapat gambaran khas berupa ulkus yang menjalar dari
tepi menuju ke arah sentral kornea. Ulkus tampak
berwarna kuning keabu-abuan yang memiliki bentuk
seperti cakram dan tepi ulkus menggaung (Farida, 2015;
Karthikeyan et al., 2013).
b) Ulkus Stafilokokus
Tampak ulkus berwarna putih kekuning-kuningan yang
disertai dengan infiltrat dengan batas tegas yang terletak
tepat di bawah epitel yang mengalami defek (Farida,
2015).
c) Ulkus Pseudomonas
Tampilan ulkus dimulai dari daerah sentral kornea yang
dapat menyebar ke samping dan ke dalam kornea.
Terdapat gambaran ulkus berupa infiltrat berwarna kelabu
atau kuning yang terlihat di epitel kornea dengan kotoran
yang dikeluarkan berwarna kehijauan. Sering ditemukan
hipopion di dalam bilik mata depan bersamaan dengan
berkembangnya ulkus. Ulkus kadang-kadang membentuk
tampilan cincin. Secara histopatologi, ulkus ini ditemukan
sel neutrofil yang lebih dominan. Biasanya berhubungan
dengan pemakaian lensa kontak dimana organisme ini
melekat pada lensa kontak yang dipakai (Farida, 2015;
Ilyas & Yulianti, 2018; Karthikeyan et al., 2013).
d) Ulkus Pneumokokus
Biasanya disebut ulkus serpens atau ulkus serpenginosa
yang disebabkan oleh kuman pneumokok. Tampak
gambaran kekeruhan pada kornea yang dimulai dari
sentral serta berbatas tegas pada bagian yang paling aktif.
Terdapat ulkus dengan infiltrasi sel yang penuh dan
berwarna kekuning-kuningan yang mudah pecah. Dapat
terjadi perforasi kornea akibat ulkus menyebar dan
merambat ke lapisan kornea yang lebih dalam sehingga
terlihat sebagai bentuk ulkus kornea sentral yang dalam.
Penyebaran ulkus sangat cepat dan sering terlihat ulkus
menggaung dengan kuman yang banyak ditemukan pada
daerah ini. Adanya tanda khas yaitu hipopion steril yang
disebabkan oleh rangsangan toksis kuman pada badan
siliar (Farida, 2015; Ilyas & Yulianti, 2018).
e) Ulkus Neisseria gonorrhoeae
Merupakan ulkus kornea yang disebabkan oleh Neisserian
gonorrhoeae dan menjadi salah satu dari penyakit menular
seksual. Bakteri ini dapat menyebabkan perforasi kornea
hingga merusak struktur mata yang lebih dalam (Farida,
2015; Weisenthal et al., 2018).
2.3.3 Epidemiologi
Data World Health Organization (WHO) tahun 2019 menyebutkan
kekeruhan kornea berada di peringkat keempat sebagai penyebab
kebutaan dengan jumlah 4,2 juta kasus. Di beberapa wilayah berkembang
seperti Asia, Afrika dan Timur Tengah, kekeruhan pada kornea
merupakan penyebab utama kedua kebutaan setelah katarak. Ulkus
kornea merupakan salah satu penyebab gangguan penglihatan tertinggi di
dunia dan mejadi perhatian khusus sebagai penyebab kebutaan di
beberapa negara yang belum berkembang. Di negara maju, pemakaian
lensa kontak menjadi faktor risiko utama terjadinya ulkus kornea.
Sementara di negara berkembang, trauma merupakan faktor risiko utama
terjadinya ulkus kornea (Farias et al., 2017; Novita, 2015; Sitoula et al.,
2015; WHO, 2018).
Beberapa data memiliki insiden ulkus kornea yang bervariasi di
berbagai belahan dunia. Data yang ada menunjukkan di Amerika Serikat
memiliki angka insidensi yaitu 11 kasus per 100.000 penduduk per tahun,
sedangkan di India angka insidensinya mencapai 113 kasus per 100.000
penduduk per tahun, dan di Nepal memiliki angka insidennya hingga 799
kasus per 100.000 penduduk per tahun. Diperkirakan kasus ulkus kornea
mencapai 1,5 juta hingga 2 juta kasus di seluruh dunia dan bahkan angka
sebenarnya bisa lebih dari itu (Farias et al., 2017; Hongyok & Leelaprute,
2016; Ravinder et al., 2016; Sitoula et al., 2015).
Di Indonesia, prevalensi kasus kekeruhan kornea berdasarkan riset
kesehatan dasar tahun 2013 adalah sebesar 5,5% dengan provinsi yang
memiliki insiden tertinggi yaitu Bali dengan persentase 11,0%, diikuti
oleh DI Yogyakarta (10,2%) dan Sulawesi Selatan (9,4%). Untuk insiden
terendah yaitu provinsi Papua Barat (2,0%) dan diikuti oleh DKI Jakarta
(3,1%). Responden yang tidak bersekolah memiliki prevalensi kekeruhan
kornea tertinggi dengan persentase sebesar 13,6%. Sedangkan
petani/nelayan/buruh memiliki prevalensi tertinggi dibandingkan dengan
pekerjaan yang lain dengan persentase sebesar 9,7% (Riset Kesehatan
Dasar, 2013).
2.3.4 Etiologi
Secara umum, penyebab ulkus kornea biasanya akibat dari
peradangan dan infeksi seperti bakteri, jamur, akantamuba, dan herpes
simpleks. Infeksi pada kornea biasanya terjadi akibat adanya trauma dari
benda asing atau penyakit yang dapat menyebabkan bakteri, jamur,
akantamuba maupun virus masuk ke dalam kornea. Ulkus kornea perifer
biasanya disebabkan oleh alergi, toksik, infeksi, autoimun dan penyakit
kolagen vaskular. Untuk penyebab ulkus kornea sentral biasanya
disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, akantamuba, dan jamur (Ilyas &
Yulianti, 2018; Ms et al., 2016).
Bakteri yang sering menyebabkan ulkus kornea adalah
Pseudomonas aeruginosa, Streptococcus pneumonia, Moraxella
liquefaciens, Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis,
Nocardia asteroids, Alcaligenes sp., Proteus Sp.,dan Enterobacter
hafniae. Selain bakteri, jamur merupakan penyebab yang sering
ditemukan pada penderita ulkus kornea. Jamur yang dapat ditemukan
pada penderita ulkus kornea yaitu Candida sp., Fusarium sp., Aspergillus
sp., Cephalosporium sp., dan spesies mikosis fungoides. Virus herpes
simpleks dan virus herpes zoster juga dapat menyebabkan ulkus kornea.
Infeksi yang disebabkan oleh acanthamoeba sp. biasanya dapat
ditemukan pada pemakai lensa kontak dan terpapar dengan air yang
terkontaminasi. Selain infeksi, terdapat juga ulkus kornea yang
disebabkan oleh reaksi imunologik dari tubuh penderita sendiri seperti
reaksi alergi dan autoimun (Farida, 2015; Ilyas & Yulianti, 2018; Suwal
et al., 2016).
2.3.6 Patofisiologi
Kornea merupakan struktur anterior pada mata yang terletak di
bagian depan iris dan pupil. Cahaya akan melewati kornea dalam
perjalanannya membentuk bayangan di retina. Kornea dapat dilewati
cahaya karena dibantu dengan sifat pada kornea yang jernih dan
transparan. Apabila terdapat perubahan dalam kejernihan dan bentuk
pada kornea, akan terjadi gangguan dalam pembentukan bayangan di
retina. Karena itu, kelainan sekecil apapun pada kornea dapat
menyebabkan gangguan pada penglihatan (Farida, 2015; Perdami, 2012).
Pada saat kornea terpapar infeksi, proses infiltrasi dan vaskularisasi
dari limbus baru akan terjadi setelah 48 jam kemudian karena kornea
merupakan struktur mata yang avaskuler. Sel-sel pada stroma akan
bekerja sebagai makrofag yang kemudian akan disusul dengan terjadinya
dilatasi pembuluh darah pada limbus dan terlihat sebagai injeksi
perikornea. Setelah itu muncul infiltrasi dari sel-sel mononuklear, sel
plasma dan leukosit polimorfonuklear (PMN) sehingga menyebabkan
terbentuknya infiltrat pada kornea. Infiltrat pada kornea tersebut akan
terlihat sebagai bercak berwarna kelabu, keruh dengan batas yang tidak
jelas dan memiliki permukaan yang tidak licin. Proses ini akan
mengakibatkan kerusakan pada lapisan epitel dan terjadilah ulkus kornea
(Farida, 2015; Patel, 2012).
2.3.8 Pengobatan
Pengobatan yang diberikan pada pasien ulkus kornea disesuaikan
dengan penyebabnya. Pada ulkus kornea yang disebabkan oleh bakteri
gram positif berbentuk batang dapat diberikan cefazoline, vancomycin
dan moxifloxacin. Ulkus kornea yang disebabkan oleh bakteri gram
negatif berbentuk batang dapat diberikan tobramisin, ceftazidime dan
fluoroquinolone. Ulkus kornea yang disebabkan oleh bakteri gram
negatif berbentuk coccus dapat diberikan ceftriaxone, ceftazidime dan
moxifloxacin. Pengobatan diberikan setiap satu jam. Pemberian
siklopegik dapat digunakan untuk mengistirahatkan mata (Ilyas &
Yulianti, 2018).
Pada pasien ulkus kornea yang disebabkan oleh jamur, dilakukan
terlebih dahulu pemeriksaan mikroskopik dengan KOH 10% terhadap
kerokan kornea yang menunjukkan adanya hifa. Disarankan pada pasien
yang terinfeksi jamur Fusarium sp. dapat diberi pengobatan natamisin
5% dan yang terinfeksi jamur Aspergillus sp. diberikan obat amfoterisin
B 0,15% - 0,30%. Apabila disertai peningkatan tekanan intraocular dapat
diberikan obat oral anti glaukoma. Keratoplasti dapat dilakukan apabila
tidak ada perbaikan. Obat pilihan lain untuk mengobati ulkus kornea
yang disebabkan jamur yaitu anti jamur polines (amfoterisin B,
natamisin, nystatin), azoles (imidazol, ketokonazole, myconazole),
triazoles (fluoconazole, voriconazole) dan fluorinated pyrimidin (Ilyas &
Yulianti, 2018).
Ulkus kornea yang disebabkan oleh virus herpes simpleks dapat
diberikan idoksuridin (IDU). IDU merupakan obat antiviral yang murah
dan bersifat tidak stabil. Obat ini bekerja dengan menghambat sintesis
DNA virus dan manusia sehingga bersifat toksik untuk epitel normal dan
tidak boleh digunakan lebih dari dua minggu. Terdapat dalam larutan 1%
dan diberikan setiap jam. Untuk salep 0,5% diberikan setiap empat jam.
Vibrabin sama dengan IDU, namun hanya ada dalam bentuk salep.
Asiklovir memiliki sifat selektif pada sintesis DNA virus, dengan sediaan
salep 3% yang dapat diberikan setiap 4 jam. Asiklovir sama efektif
dengan antivirus lain akan tetapi dengan efek samping yang minimal.
Untuk ulkus kornea yang disebabkan oleh infeksi herpes zoster,
pengobatan biasanya tidak spesifik dan hanya simtomatik. Pengobatan
dengan memberikan asiklovir dan pada usia lanjut dapat diberi steroid
(Ilyas & Yulianti, 2018).
2.4 Kerangka Teori
Faktor Predisposisi:
- Trauma
- Lensa kontak
- Penyakit sistemik Etiologi: Sosiodemografi:
- Riwayat operasi - Bakteri - Usia
kornea - Jamur - Jenis
- Dakriosistitis - Virus kelamin
- Dry eye - Acanthamoeba - Pekerjaan
Syndrome
- Pemakaian obat
Ulkus kornea
Ulkus kornea
Proposal penelitian
Izin penelitian
Laporan akhir
Publikasi
Pengajuan judul
Penyusunan
proposal
Sidang proposal
dan revisi
Pengumpulan
data
Pengolahan dan
analisis data
Penyusunan
laporan akhir
skripsi
Total Rp 355.000,00
BAB IV
JUSTIFIKASI ETIK
Almahmoud, T., Elhanan, M., Elshamsy, M. H., Alshamsi, H. N., & Abu-Zidan,
F. M. (2019). Management of infective corneal ulcers in a high-income
developing country. Medicine (United States), 98(51), 1–5.
https://doi.org/10.1097/MD.0000000000018243
Asroruddin, M., Nora, R. L. D., Edwar, L., Sjamsoe, S., & Susiyanti, M. (2015).
Various factors affecting the bacterial corneal ulcer healing: A 4-years study
in referral tertiary eye hospital in Indonesia. Medical Journal of Indonesia,
24(3), 150–155. https://doi.org/10.13181/mji.v24i3.1044
Baruah, M., Das, R. K., Agarwalla, V., & Basyach, P. (2020). Corneal ulcer: an
epidemiological, microbiological and clinical study of cases attending Assam
medical college and hospital, Dibrugarh, India. International Journal of
Research in Medical Sciences, 8(3), 1076. https://doi.org/10.18203/2320-
6012.ijrms20200784
Bévalot, F., Cartiser, N., Bottinelli, C., Fanton, L., & Guitton, J. (2016). Vitreous
humor analysis for the detection of xenobiotics in forensic toxicology: a
review. Forensic Toxicology, 34(1), 12–40. https://doi.org/10.1007/s11419-
015-0294-5
Boote, C., Sigal, I. A., Grytz, R., Hua, Y., Nguyen, T. D., & Girard, M. J. A.
(2019). Scleral structure and biomechanics. Progress in Retinal and Eye
Research, 74. https://doi.org/10.1016/j.preteyeres.2019.100773
Farahani, M., Patel, R., & Dwarakanathan, S. (2017). Infectious corneal ulcers.
Disease-a-Month, 63(2), 33–37.
https://doi.org/10.1016/j.disamonth.2016.09.003
Farias, R., Pinho, L., & Santos, R. (2017). Epidemiological profile of infectious
keratitis. Revista Brasileira de Oftalmologia, 76(3), 116–120.
https://doi.org/10.5935/0034-7280.20170024
Gandhi, S., & Jain, S. (2015). The Anatomy and Physiology of Cornea. In
Keratoprostheses and Artificial Corneas: Fundamentals and Surgical
Applications. https://doi.org/10.1007/978-3-642-55179-6
Himayani, R., Iswara, I., Ibrahim, A., Mata, P., Kedokteran, F., & Lampung, U.
(2019). Management of Palpebrae and Margo Inferior Rupture Case in Youth
Ages. Jurnal Majority, 8, 30–34.
Ilyas, S., & Yulianti, S. R. (2018). Ilmu Penyakit Mata (5th ed.). Jakarta: Badan
Penerbit FKUI.
Jan, R. L., Tai, M. C., Weng, S. F., Chang, C., Wang, J. J., & Chang, Y. S. (2018).
Risk of corneal ulcer in patients with end-stage renal disease: A retrospective
large-scale cohort study. British Journal of Ophthalmology, 102(7), 868–872.
https://doi.org/10.1136/bjophthalmol-2016-310098
Karthikeyan, R. S. G., Priya, J. L., Leal, S. M., Toska, J., Rietsch, A., Prajna, V.,
Pearlman, E., & Lalitha, P. (2013). Host Response and Bacterial Virulence
Factor Expression in Pseudomonas aeruginosa and Streptococcus
pneumoniae Corneal Ulcers. PLoS ONE, 8(6), 2–9.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0064867
Kels, B. D., Grzybowski, A., & Grant-Kels, J. M. (2015). Human ocular anatomy.
Clinics in Dermatology, 33(2), 140–146.
https://doi.org/10.1016/j.clindermatol.2014.10.006
Klijanienko, J., & Bartuma, K. (2019). Atlas of Fine Needle Aspiration Cytology.
Atlas of Fine Needle Aspiration Cytology, 679–694.
https://doi.org/10.1007/978-3-319-76980-6
Lim Siew Ming, A., & J. Constable, I. (2005). Color atlas of opthalmology (3rd
ed.). Washington: Butterworth-Heinemann Ltd.
Markiewicz, E., Barnard, S., Haines, J., Coster, M., Van Geel, O., Wu, W.,
Richards, S., Ainsbury, E., Rothkamm, K., Bouffler, S., & Quinlan, R. A.
(2015). Nonlinear ionizing radiation-induced changes in eye lens cell
proliferation, cyclin D1 expression and lens shape. Open Biology, 5(4).
https://doi.org/10.1098/rsob.150011
Marziah, E., Aman, A. K., & Ketaren, A. P. (2019). Tumor orbita dan adneksa.
Majalah Kedokteran Nusantara: The Journal of Medical School, 52(3), 139–
146.
Meek, K. M., & Knupp, C. (2015). Corneal structure and transparency. Progress
in Retinal and Eye Research, 49, 1–16.
https://doi.org/10.1016/j.preteyeres.2015.07.001
Ms, R. R., Wulan, A. J., Kedokteran, F., & Lampung, U. (2016). 24 years old
Male with Corneal Ulcer and Iris Prolapse Occuli Dextra. Medical
Profession Journal of Lampung University, 5, 81–85.
Oprea, Ş., Pantu, C. M., Filipoiu, F. M., Tulin, R., & Oprea, G. D. (2016). The
Anatomy of the Choroid. Romanian Journal of Functional and Clinical,
Macro- and Microscopical Anatomy and of Anthropology, 15(4), 380–383.
Patel, S. V. (2012). Graft survival and endothelial outcomes in the new era of
endothelial keratoplasty. Experimental Eye Research, 95(1), 40–47.
https://doi.org/10.1016/j.exer.2011.05.013
Perdami. (2012). Ulkus Kornea dalam: Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter Umum
dan Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: Penerbit Sagung Seto.
Prajna, L., Vijayakumar, Prajna, N. V., & Srinivasan, M. (2008). Aravind’s Atlas
of Fungal Corneal Ulcers: Clinical Features and Laboratory Identification
Methods. India: Jaypee Brothers Medical Publishers.
Putri, A. M., Heryati, S., & Nasution, N. (2015). Characteristics and Predisposing
Factors of Bacterial Corneal Ulcer in the National Eye Center, Cicendo Eye
Hospital, Bandung from January to December 2011. Althea Medical Journal,
2(3), 443–447. https://doi.org/10.15850/amj.v2n3.505
Qomariyah, D. N., Saputra, Y., Ilmu, D., Mata, P., Yani, R. A., & Metro, K.
(2017). Management of Congenital Dacryocystitis et Causa Amniotocele in
Infants. Jurnal Majority, 6, 128–131.
Ravinder, K., Madhav, M. V., Archana, J., & Pandurang, J. (2016). Clinical
Evaluation of Corneal Ulcer among Patients Attending Teaching Hospital.
3(4), 949–952.
Riset Kesehatan Dasar. (2013). Laporan Hasil Riset Kesehatan Daerah Nasional.
Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Schrage, N., Burgher, F., Blomet, J., Bodson, L., Gerard, M., Hall, A., Josset, P.,
Mathieu, L., & Merle, H. (2011). Chemical Ocular Burns. In Chemical
Ocular Burns. Springer Science & Business Media.
https://doi.org/10.1007/978-3-642-14550-6
Sitoula, R. P., Singh, S. K., Mahaseth, V., Sharma, A., & Labh, R. K. (2015).
Epidemiology and etiological diagnosis of infective keratitis in eastern
region of Nepal. Nepalese Journal of Ophthalmology : A Biannual Peer-
Reviewed Academic Journal of the Nepal Ophthalmic Society : NEPJOPH,
7(1), 10–15. https://doi.org/10.3126/nepjoph.v7i1.131246
Suwal, S., Bhandari, D., Thapa, P., Shrestha, M. K., & Amatya, J. (2016).
Microbiological profile of corneal ulcer cases diagnosed in a tertiary care
ophthalmological institute in Nepal. BMC Ophthalmology, 16(1), 1–6.
https://doi.org/10.1186/s12886-016-0388-9
Syawal, A. I., Bambang, H., & Febriani, R. (2015). Hubungan Pekerjaan Dengan
Kejadian Ulkus Kornea Di Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang
Periode Januari 2010 Sampai Dengan Desember 2013 [Universitas
Muhammadiyah Palembang]. http://repository.um-
palembang.ac.id/id/eprint/1623%0A
Wang, C. A., & Munoz, D. P. (2015). A circuit for pupil orienting responses:
Implications for cognitive modulation of pupil size. Current Opinion in
Neurobiology, 33(Figure 1), 134–140.
https://doi.org/10.1016/j.conb.2015.03.018
Watson, S., & Lowe, G. (2019). Ocular anatomy and physiology relevant to
anaesthesia. Anaesthesia and Intensive Care Medicine, 20(12), 710–715.
https://doi.org/10.1016/j.mpaic.2019.10.004
Weisenthal, R. W., Daly, M. K., Freitas, D. De, Feder, R. S., Orlin, S. E., Tu, E.
Y., Meter, W. S. Van, & Verdier, D. D. (2018). 2018-2019 BCSC (Basic and
Clinical Science Course): Section 08-External Disease and Cornea.
American Academy of Ophthalmology.