Anda di halaman 1dari 60

KARAKTERISTIK KLINIS PENDERITA ULKUS KORNEA

DI RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG


TAHUN 2017 – 2019

Proposal Skripsi

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar


Sarjana Kedokteran (S.Ked)

Oleh:
Prasetya Dwi Anugrah
04011381722210

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2020
DAFTAR ISI
DAFTAR SINGKATAN
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kornea merupakan bagian mata berupa lapisan bening tembus
cahaya yang melapisi iris dan pupil. Lapisan kornea berfungsi sebagai
pelindung mata dari patogen dan zat berbahaya lainnya. Apabila lapisan
tersebut mengalami gangguan, maka akan menimbulkan beberapa
penyakit, salah satunya yaitu ulkus kornea (Eghrari et al., 2015; Gandhi
& Jain, 2015; Ilyas & Yulianti, 2018).
Ulkus kornea adalah kondisi patologis pada kornea yang
dikarakteristikan dengan adanya infiltrat supuratif disertai kornea
bergaung dan diskontinuitas jaringan kornea yang dimulai dari lapisan
epitel hingga mengenai stroma dan dapat terjadi pada satu mata atau
keduanya. Ulkus kornea terdiri dari dua bentuk yaitu sentral dan marginal
atau perifer. Infeksi bakteri dan jamur menjadi penyebab yang sering
ditemukan pada penderita ulkus kornea. Gejala yang umum terjadi yaitu
mata merah, nyeri, fotofobia, dan pandangan mata kabur. Tanda klinis
pada kornea yang sering ditemukan berupa adanya bercak putih dan
hipopion. Di negara maju, pemakaian lensa kontak menjadi faktor risiko
utama terjadinya ulkus kornea. Sementara di negara berkembang, trauma
mata merupakan faktor risiko utama terjadinya ulkus kornea (Ilyas &
Yulianti, 2018; Jan et al., 2018; Ms et al., 2016; Novita, 2015; Putri et al.,
2015).
Ulkus kornea menjadi salah satu penyebab gangguan penglihatan
tertinggi di dunia dan mejadi perhatian khusus sebagai penyebab
kebutaan di beberapa negara yang belum berkembang. Menurut World
Health Organization (WHO) tahun 2019, kekeruhan kornea berada di
posisi keempat sebagai penyebab kebutaan dengan jumlah 4,2 juta kasus.
Di beberapa wilayah berkembang seperti Asia, Afrika dan Timur Tengah,
kekeruhan pada kornea merupakan penyebab utama kedua kebutaan
setelah katarak. Beberapa data memiliki insiden ulkus kornea yang
bervariasi di berbagai belahan dunia. Data yang ada menunjukkan angka
insidensi ulkus kornea di Amerika Serikat yaitu 11 kasus per 100.000
penduduk per tahun, sedangkan di India angka insidensinya mencapai
113 kasus per 100.000 penduduk per tahun, dan di Nepal memiliki angka
insiden hingga 799 kasus per 100.000 penduduk per tahun. (Farias et al.,
2017; Hongyok & Leelaprute, 2016; Ravinder et al., 2016; Sitoula et al.,
2015; WHO, 2018).
Di Indonesia, prevalensi kasus kekeruhan kornea pada tahun 2013
sebesar 5,5% dengan provinsi yang memiliki insiden tertinggi yaitu Bali
(11,0%), diikuti oleh DI Yogyakarta (10,2%) dan Sulawesi Selatan
(9,4%). Untuk insiden terendah yaitu provinsi Papua Barat (2,0%) dan
diikuti oleh DKI Jakarta (3,1%). Responden yang tidak bersekolah
memiliki prevalensi kekeruhan kornea tertinggi dengan persentase
sebesar 13,6% (Riset Kesehatan Dasar, 2013).
Berdasarkan data dari Riskesdas tahun 2013, persentase pada
kejadian ulkus kornea meningkat seiring bertambahnya usia dan laki-laki
lebih banyak yang mengalami kekeruhan kornea dibandingkan
perempuan. Pekerjaan sebagai petani/nelayan/buruh memiliki prevalensi
tertinggi terjadinya kekeruhan kornea dengan persentase sebesar 9,7%.
Penelitian yang dilakukan oleh Syawal dan kawan-kawan (2015) di
Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang, didapatkan pasien ulkus
kornea berjenis kelamin laki-laki (79%) lebih banyak dibandingkan
perempuan (21%) dan sebagian besar pasien bekerja sebagai petani
(41,9%). Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Baruah dan kawan-
kawan (2020) di Ophthalmology outpatient department (OPD) of Assam
Medical College and Hospital, India, dengan hasil laki-laki (58,0%) lebih
banyak yang mengalami ulkus kornea dibandingkan perempuan (42%)
dan sebagian besar pasien bekerja di bidang pertanian (36%) (Baruah et
al., 2020; Riset Kesehatan Dasar, 2013; Syawal et al., 2015).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Asroruddin dan kawan-kawan
(2015) di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, didapatkan faktor
predisposisi yang paling sering ditemukan pada kejadian ulkus kornea
yaitu akibat trauma okular (45,8%) dan penyebab mikroorganisme
tersering pada kelompok bakteri yaitu Pseudomonas sp. (25%).
Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Almahmoud dan kawan-kawan
(2019) di Al-Ain Hospital, Uni Emirat Arab (UEA). Hasil penelitan
didapatkan prevalensi pasien dengan trauma (36,5%) sebagai faktor
predisposis terjadinya ulkus kornea merupakan yang paling sering terjadi.
Gejala yang paling banyak ditemukan yaitu nyeri (90,5%), mata merah
(79,7%) dan penuruan ketajaman pengelihatan (63,5%). Terdapat tanda
klinis pada beberapa pasien berupa gambaran hipopion (39,2%) pada
matanya. Bakteri yang paling banyak ditemukan setelah dilakukan kultur
yaitu Pseudomonas aeruginosa (22,5%). Sedangkan jamur yang paling
banyak ditemukan setelah dikultur yaitu Aspergillus sp. (15,0%)
(Almahmoud et al., 2019; Asroruddin et al., 2015).
Kejadian ulkus kornea menjadi perhatian tenaga kesehatan karena
merupakan salah satu penyebab kebutaan di dunia. Belum adanya
penelitian dan data terbaru mengenai karakteristik klinis penderita ulkus
kornea di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang menjadi dasar bagi
peneliti untuk melakukan penelitian ini. Diharapkan penelitian ini dapat
memberikan informasi yang berguna baik bagi tenaga kesehatan maupun
masyarakat dan menjadi salah satu sumber data mengenai ulkus kornea
sehingga kewaspadaan terhadap ulkus kornea dapat ditingkatkan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana karakteristik sosiodemografi penderita ulkus kornea di
RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang tahun 2017 – 2019?
2. Bagaimana karakteristik temuan klinis penderita ulkus kornea di
RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang tahun 2017 – 2019?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik klinis pada
penderita ulkus kornea di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang
tahun 2017 – 2019.

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Mengidentifikasi distribusi karakteristik sosiodemografi penderita
ulkus kornea di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang tahun
2017 – 2019.
2. Mengidentifikasi distribusi karakteristik temuan klinis penderita
ulkus kornea di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang tahun
2017 – 2019.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Teoritis
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkuat landasan teori dan
menjadi salah satu sumber data mengenai karakteristik klinis ulkus
kornea sehingga menjadi sarana pengembangan ilmu pengetahuan
bagi tenaga kesehatan.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman
kepada masyarakat mengenai karakteristik klinis ulkus kornea
sehingga dapat meningkatkan kewaspadaan sedini mungkin.
1.4.2 Manfaat Praktis
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan tenaga kesehatan
sebagai bahan edukasi untuk promosi kesehatan dan upaya preventif
kepada masyarakat mengenai karakteristik klinis ulkus kornea.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada
masyarakat mengenai karakteristik klinis ulkus kornea sehingga dapat
segera memeriksakan diri dan melakukan pengobatan sedini
mungkin.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Mata


Mata manusia normal memiliki diameter anteroposterior berukuran
22 – 27 mm dan lingkarnya 69 – 85 mm. Bola mata atau bulbus okuli
terdiri dari tiga lapisan utama yang setiap lapisannya terbagi menjadi
beberapa bagian. Lapisan mata yang paling luar teridiri dari kornea,
sklera dan limbus (daerah perbatasan antara kornea dan sklera). Lapisan
kedua yaitu uvea yang merupakan lapisan vaskular pada bola mata yang
terdiri dari iris, badan siliar dan koroid. Lapisan yang paling dalam pada
mata yaitu retina. (Kels et al., 2015)

Gambar 1. Anatomi Mata (Ansari & Nadeem, 2016).

Bola mata terletak di rongga orbita yang dibentuk oleh tujuh


macam tulang yaitu frontal, lakrimal, etmoid, sfenoid, maksila, palatum,
dan zigomatik. Terdapat juga struktur pendukung pada mata yang disebut
dengan adneksa mata. Adneksa mata terdiri dari kelopak mata (palpebra),
konjungtiva, kelenjar air mata beserta salurannya (sistem lakrimal) dan
otot-otot ektraokular. (Klijanienko & Bartuma, 2019; Marziah et al.,
2019)

2.1.1 Palpebra
Palpebra atau kelopak mata adalah lipatan kulit tipis yang tersusun
atas otot dan jaringan fibrosa. Bagian depan palpebra ditutupi oleh kulit
sedangkan bagian belakang dilapisi selaput lendir tarsus yang disebut
konjungtiva tarsal. Palpebra berfungsi melindungi bola mata dari benda
asing yang dapat membahayakan mata (Himayani et al., 2019; Ilyas &
Yulianti, 2018).
Pada kelopak mata terdapat margo palpebra superior dan inferior
yang merupakan bagian ujung tepi kelopak mata atas dan bawah.
Terdapat barisan bulu mata yang disepanjang margo palpebral. Bulu
mata memiliki fungsi sebagai protektif mata dari debu dan keringat
(Himayani et al., 2019).

Gambar 2. Anatomi pada kelopak mata (Ansari & Nadeem, 2016)

Terdapat beberapa kelenjar pada palpebra yaitu kelenjar sebasea,


kelenjar moll atau kelenjar keringat, kelenjar zeis pada pangkal rambut,
dan kelenjar meibom pada tarsus yang bermuara di margo palpebra.
Setiap folikel rambut terdapat dua kelenjar zeis, sedangkan kelenjar moll
bermuara dekat folikel rambut di dekat silia. Di bawah kulit kelopak
mata terdapat otot yang berjalan melingkar di dalam kelopak atas dan
bawah yaitu otot orbikularis okuli. Pembuluh darah yang memperdarai
kelopak mata yaitu arteri palpebral (Ilyas & Yulianti, 2018).

2.1.2 Konjungtiva
Konjungtiva adalah membran mukosa tipis dan transparan yang
menutupi bola mata bagian depan dan palpebra bagian dalam.
Konjungtiva terdiri atas tiga bagian yaitu konjungtiva bulbar atau
konjungtiva bulbi, konjungtiva palpebra atau konjungtiva tarsal dan
konjungtiva fornises atau konjungtiva forniks. (Sitompul, 2017).
Konjungtiva bulbar menutupi bagian depan bola mata yang
letaknya tidak bersentuhan secara langsung dengan sklera karena
dipisahkan oleh jaringan di atas sklera yaitu episklera. Terdapat struktur
yang membatasai konjungtiva dengan kornea yaitu limbus. Pada
konjungtiva bulbar terdapat kelenjar manz dan sel goblet penghasil musin
yang berfungsi membasahi bola mata. (Sitompul, 2017)
Konjungtiva palpebra melapisi bagian dalam kelopak mata (tarsus)
dan sukar digerakan dari tarsus yang terdiri dari tiga bagian yaitu orbital,
tarsal dan marginal. Bagian orbital berada di antara foniks dan
konjungtiva tarsal, bagian tarsal terletak di tarsal plate, sedangkan bagian
marginal terletak di tepi kelopak mata hingga 2 mm ke dalam kelopak
mata. Pada konjungtiva palpebra terdapat kelenjar henle dan sel goblet
yang menghasilkan musin. (Sitompul, 2017)
Konjungtiva forniks terletak di antara konjungtiva palpebra dan
konjungtiva bulbar. Forniks dan konjungtiva bulbar melekat dengan
sangat longgar terhadap jaringan yang ada di bawahnya sehingga bola
masih dapat bergerak dengan mudah. Daerah forniks diketahui memiliki
kelenjar lakrimal aksesoris yaitu glandula krause dan wolfring yang dapat
memproduksi komponen akuos air mata (Ilyas & Yulianti, 2018;
Sitompul, 2017).

2.1.3 Sistem Lakrimal


Sistem nasolakrimalis merupakan suatu sistem sekresi dan ekskresi
air mata yang berfungsi sebagai nutrisi dan perlindungan mata dengan
cara mengalirkan air mata sehingga bola mata tidak menjadi kering.
Sistem ini terdiri atas dua bagian yaitu apparatus sekresi dan apparatus
sekresi (Qomariyah et al., 2017).

Gambar 3. Aparatus sekresi dan ekskresi pada sistem lakrimal


(Ansari & Nadeem, 2016)

Aparatus sekresi adalah suatu sistem produksi air mata yang terdiri
dari glandula lakrimal dan letaknya di dalam fossa glandula lakrimal di
(sisi lateral superior rongga orbita). Sedangkan aparatus ekskresi adalah
sistem ekskresi air mata yang terdiri dari pungtum lakrimal, kanalikuli
lakrimal, sakus lakrimal, dan duktus nasolakrimal. Air mata yang telah
masuk ke duktus nasolakrimal akan diteruskan ke dalam rongga hidung
di dalam meatus inferior (Ilyas & Yulianti, 2018; Qomariyah et al.,
2017).
2.1.4 Sklera
Sklera adalah bagian putih pada bola mata dari papil saraf optik
sampai kornea yang melapisi dan melindung isi bola mata bersamaan
dengan kornea. Sklera merupakan lapisan yang paling luar pada bola
mata. Terdapat daerah yang membatasi antara sklera dan kornea yaitu
limbus (Ilyas & Yulianti, 2018).
Ketebalan sklera bervariasi pada setiap posisi anatominya yaitu
berukuran 1 – 1,3 mm pada sisi posterior bola mata kemudian menipis
kira-kira 0,5 mm di sisi ekuator bola mata lalu menebal kembali dengan
ukuran 0,8 mm pada perilimbus sklera (Boote et al., 2019).

2.1.5 Kornea
Kornea berasal dari bahasa latin (cornum) yang berarti seperti
tanduk. Kornea merupakan bagian mata berupa lapisan bening tembus
cahaya yang melapisi iris dan pupil. Kornea memiliki tebal rata-rata 550
µm pada orang dewasa, dengan diameter horizontal sekitar 12 mm dan
vertikal 11 mm. Lapisan kornea dari luar ke dalam yaitu epitel, membran
bowman, stroma, membran descemet, dan endotelium. Lapisan kornea
berfungsi sebagai pelindung mata dari patogen dan zat berbahaya lainnya
(Ansari & Nadeem, 2016; Eghrari et al., 2015; Ilyas & Yulianti, 2018;
Lim Siew Ming & J. Constable, 2005)

Gambar 4. Lapisan kornea (Ansari & Nadeem, 2016).


Persarafan kornea banyak dilakukan oleh saraf sensoris terutama
berasal dari saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar
longus yang berjalan melalui ruang suprakoroid kemudian memasuki
stroma kornea dan melepaskan selubung schwannya pada saat menembus
membran bowman. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua
lapis terdepan tanpa ada akhir saraf (Ilyas & Yulianti, 2018).

2.1.6 Uvea
Uvea merupakan lapisan vaskular yang terdiri dari iris, badan siliar
dan koroid. Koroid menyediakan suplai darah ke retina. Iris terdiri atas
bagian pupil dan bagian tepi siliar. Badan siliar merupakan terusan
koroid ke arah anterior bola mata. Pada badan siliar terdapat prosesus
siliaris yang merupakan lipatan dan letaknya berada di antara otot siliar
dan iris serta berhubungan dengan lensa yang dihubungkan melalui
ligamentum suspensorium. Prosesus siliaris memproduksi aqueous
humor dan mengeluarkanya ke bilik mata belakang lalu menuju ke bilik
mata depan, kemudian masuk ke kanal schelmm melalui trabekular
meshwork yang terletak di sudut antara iris dan kornea (Watson & Lowe,
2019).

Gambar 5. Struktur anatomi dari uvea (Ansari & Nadeem, 2016)


Perdarahan uvea dibedakan antara bagian anterior dan
posteriornya. Bagian anterior diperdarahi oleh dua buah arteri siliar
posterior longus dan tujuh buah arteri siliar anterior. Pada bagian
posterior diperdarahi oleh arteri siliar posterior brevis. Suplai darah
koroid berasal dari arteri siliar posterior, cabang dari arteri oftalmika.
Badan siliar diperdarai oleh arteri sirkularis mayor yang merupakan arteri
siliar anterior dan arteri siliar posterior yang bergabung menjadi satu
(Ilyas & Yulianti, 2018; Oprea et al., 2016).

2.1.7 Pupil
Pupil adalah bagian mata yang dibentuk oleh iris dan aktivitas
badan siliar. Ukuran pupil dipengaruhi oleh keseimbangan aktivitas dari
kerja saraf simpatis dan parasimpatis. Pupil akan membesar dan mengecil
tergantung dari seberapa banyak cahaya yang diperlukan masuk ke mata.
Pupil membesar (midriasis) ketika berada di tempat gelap sehingga
cahaya yang ditangkap lebih banyak, sedangkan pupil akan mengecil
(miosis) ketika terpapar cahaya terang sehingga cahaya yang masuk ke
mata tidak berlebihan (Wang & Munoz, 2015).

2.1.8 Lensa Mata


Lensa mata merupakan jaringan avaskular berbentuk bikonveks
bening dan tembus cahaya yang terletak di dalam bilik mata belakang
tepat di belakang iris. Lensa mata tersusun atas beberapa lapisan yaitu
nukleus, korteks, epitel, dan kapsul. Sel epitel pada lensa mengalami
proliferasi dan diferensiasi menjadi serat secara terus-menerus
menyebabkan pemadatan serat lensa di bagian sentral lensa sehingga
mengakibatkan terbentuknya nukleus lensa (Ilyas & Yulianti, 2018;
Markiewicz et al., 2015).
Nukleus lensa merupakan bagian terpadat yang dibedakan menjadi
nukleus embrional, fetal, infantil, dan dewasa. Terdapat serat lensa yang
lebih muda dari nukleus yaitu korteks lensa. Pada bagian perifer lensa
mata terdapat ligamentum suspensorium atau zonula zinn yang
menghubungkan lensa dengan badan siliar (Ilyas & Yulianti, 2018).

2.1.9 Vitreous Humor


Vitreous humor atau badan kaca adalah jaringan bening
bersubstansi gelatin yang terletak di antara lensa dan retina pada bilik
mata belakang. Kebeningan pada badan kaca disebabkan tidak adanya
pembuluh darah (avaskular) dan sel. Badan kaca memiliki peran mekanik
yaitu menjaga retina tetap ditempatnya dan mempertahankan bentuk bola
dan tonus mata pada bola mata. Badan kaca merupakan jaringan yang
tinggi kandungan air sebanyak 98 – 99,7% dengan rata-rata volumenya
yaitu 4 mL. Struktur gelatin disebabkan oleh adanya komponen protein
fibrilar (serat kolagen terkait karbohidrat glikosaminoglikan). Selain itu,
terdapat juga kandungan elektrolit yang ditemukan pada badan kaca
seperti sodium, potassium, klorin, laktat, dan askorbat. Badan kaca
melekat pada bagian yang disebut ora serata, pars plana dan papil saraf
optik (Bévalot et al., 2016).

2.1.10 Retina
Retina atau selaput jala merupakan lapisan yang mengandung
reseptor penerima rangsangan cahaya yang melapisi bagian dalam bola
mata. Retina melapisi sekitar 72% bagian dalam bola mata yang
membentang dari ora serata sampai ke saraf optik. Rangsangan cahaya
yang diterima oleh reseptor retina akan diubah menjadi impuls saraf dan
diteruskan menuju korteks (Basri, 2017).
Gambar 6. Lapisan pada retina (Ansari & Nadeem, 2016)

Lapisan terluar retina yaitu sel pigmen epitel retina yang


berbatasan dengan koroid, dan lapisan dalam retina berhubungan dengan
vitreous humor atau badan kaca. Retina memiliki sembilan lapisan yang
terdiri dari lapisan fotoreseptor (epitel pigmen retina beserta lamina
basal, sel batang yang memiliki mentuk ramping, dan sel kerucut),
membran limitan eksterna, lapisan nukleus luar, lapisan pleksiform luar,
lapisan nukleus dalam, lapisan pleksiform dalam, lapisan sel ganglion,
lapisan serabut saraf, dan membrane limitan interna. Terdapat area yang
memiliki lebih dari satu lapisan sel ganglion yaitu makula. Makula
memiliki pigmen kerucut lebih banyak dibandingkan area retina yang
lain. Suplai darah retina didapat dari cabang arteri retina sentral yang
memperdarahi membran limitan interna sampai lapisan nukleus dalam.
Sedangkan lapisan terluar retina dari epitel pigmen retina sampai dengan
lapisan pleksiform luar divaskularisasi oleh koriokapilaris koroid (Basri,
2017; Ilyas & Yulianti, 2018).

2.2 Lapisan Kornea


Kornea terdiri dari lima lapisan yaitu epitel, membran bowman,
stroma, membran descemet, dan endotelium. Sebagian besar lapisan
dibentuk oleh stroma yang merupakan lapisan pusat kaya kolagen dan
menyusun hampir 90% dari ketebalan kornea (Meek & Knupp, 2015).
Gambar 7. Histologi normal pada lapisan kornea
(Weisenthal et al., 2018).

2.2.1 Epitel
Lapisan epitel kornea terdiri dari empat sampai enam lapis sel
epitel skuamosa berlapis non keratin dan pada manusia memiliki
ketebalan 50 µm. Dua sampai tiga lapis epitel paling superfisial memiliki
bentuk pipih dan poligonal serta pada permukaan apikal terdapat
mikrovili dan mikroplika yang ditutupi oleh glikokaliks. Glikokaliks
menjadikan area permukaan epitel bersifat hidrofilik sehingga lapisan
musin pada tear film dapat membasahi permukaan epitel kornea.
Terdapat tight junction pada sel-sel epitel yang berfungsi sebagai segel
kedap air dan mencegah organisme patogen yang mencoba masuk ke
dalam kornea. Pada lapisan suprabasal terdapat sel sayap yang
memperlihatkan adanya tight junction yang kompleks antar sel (Eghrari
et al., 2015).

Gambar 8. Histologi normal pada lapisan epitel kornea


(Schrage et al., 2011)
Pada bagian paling posterior epitel terdapat membran basalis dan
sel basal. Sel basal berdiferensiasi dan bermigrasi menuju bagian anterior
untuk membentuk epitel baru pada permukaan epitel dan dalam prsoses
ini, mikrovili akan terbentuk di permukaan secara bertahap. Pada saat sel
basal mengalami mitosis sel, sel muda tersebut akan terdorong ke depan
menjadi sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng. Sel
epitel basal melekat erat pada membran basalis dibawahnya melalui
hemidesmosom. Sel basal dengan sel basal disampingnya juga saling
berikatan erat melalui desmosom dan makula okluden. Ikatan tersebut
dapat berperan sebagai barrier sehingga menghambat pengaliran air,
elektorilit dan glukosa (Eghrari et al., 2015; Ilyas & Yulianti, 2018)
Membran basalis tersusun atas dua bagian yaitu lamina lusida dan
lamina densa. Lamina lusida terletak di sisi anterior membran basalis
yang tersusun oleh laminin, sedangkan lamina densa terletak di sisi
posterior pada membran basalis yang sebagian besar terdiri dari kolagen,
laminin, proteoglikan (heparan sulfat), dan nidogen (Eghrari et al., 2015).
Epitel memiliki struktur transparan yang mengakibatkan cahaya
dapat masuk ke dalam mata dan ditangkap oleh retina sehingga dapat
memberikan penglihatan yang jelas. Epitel melindungi stroma dengan
membentuk pertahanan fisik dari lingkungan luar. Epitel juga mencegah
tear film yang ada di permukaan mata bergerak menuju stroma. Selain
itu, lapisan epitel juga berperan dalam proteksi imun pada mata dengan
menyajikan sel langerhans yang berasal dari sel epitel basal sebagai sel
penyaji antigen (APC). Sel langerhans meningkat pada saat terjadi
inflamasi dan akan menuju ke tempat yang mengalami kerusakan. Pada
Sel epitel juga terdapat toll-like receptor (TLRs) dan dapat mengeluarkan
sitokin proinflamasi IL-1β, IL-6, IL-8, and TNF-α dalam menjalankan
tugas epitel sebagai regulasi imun dan mencegah patogen yang mencoba
masuk ke dalam kornea (Eghrari et al., 2015; Gandhi & Jain, 2015).
2.2.2 Membran Bowman
Membran bowman merpakan lapisan aseluler, memiliki ketebalan
sekitar 8 – 12 µm dan akan menipis seiring berjalannya waktu. Membran
bowman terdiri dari serat kolagen yang permukaan posteriornya menyatu
dengan anterior stroma. Ketebalan serat kolagen pada membran bowman
hanya setengah hingga dua pertiganya dari ketebalan serat kolagen yang
ada di stroma (Eghrari et al., 2015).
Batas anterior membran bowman bersebelahan dengan lamina
densa dari membran basal epitel kornea dan pada bagian posteriornya
berbatasan dengan serat kolagen pada permukaan storma. Serat kolagen
pada membran bowman memiliki susunan tidak teratur yang sama seperti
stroma dan berasal dari bagian anterior stroma. Serat kolagen yang paling
dominan pada membran bowman yaitu tipe I dan III. Membran bowman
tidak memiliki daya regenerasi apabila terjadi kerusakan pada lapisannya
(Gandhi & Jain, 2015; Ilyas & Yulianti, 2018).
Peran dari membran bowman belum diketahui secara pasti, tapi
diduga dapat bertindak sebagai physical barrier yang melindungi pleksus
saraf subepitel. Membran bowman juga berperan sebagai pelindungi
stroma apabila terjadi trauma epitel sehingga menghindari kontak
langsung dari trauma epitel tersebut. Dengan begitu, penyembuhan luka
pada stroma akan lebih cepat. Selain itu, membran bowman diketahui
merupakan lapisan aseluler sehingga dapat berfungsi sebagai biological
barrier dalam penyebaran infeksi virus dimana virus membutuhkan sel
dalam perkembangbiakan dan penyebarannya (Gandhi & Jain, 2015).

2.2.3 Stroma
Stroma kornea adalah lapisan kaya kolagen dan menyusun hampir
90% dari ketebalan kornea dengan tebal 500 µm yang tersusun atas sel-
sel keratosit dan komponen ektraseluler. Keratosit merupakan sel stroma
kornea yang dapat berdiferensiasi menjadi fibroblas serta menghasilkan
makromolekul pada matriks ekstraseluler yang kerjanya seperti enzim
yaitu remodeling dan degradasi. Keratosit terletak di antara serat kolagen
stroma. Susunan kolagen yang sejajar satu dengan lainnya disebut
lamela. Sintesis kolagen baru oleh fibroblas stroma di sekitar jaringan
yang mengalami perbaikan merupakan tahap awal terjadinya degradasi
kolagen selama proses remodeling jaringan. Pembentukan kembali serat
kolagen memakan waktu lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan
(Gandhi & Jain, 2015; Ilyas & Yulianti, 2018).
Matriks ekstraseluler menempati bagian yang substansial pada
stroma kornea dan membentuk susunan seperti anyaman yang teratur.
Matriks ekstraseluler pada stroma kornea terdiri dari protein fibrosa
(kolagen, laminin, fibronektin) dan glikosaminoglikan (keratan sulfat,
kondroitin sulfat dan dermatan sulfat). Kolagen pada stroma tersusun atas
heterodimer kompleks dari kolagen tipe I dan kolagen tipe V. Laminin
merupakan glikoprotein yang terletak di lamina lusida pada membran
basalis dan berperan dalam proses adhesi, migrasi, pertumbuhan, dan
diferensiasi. Fibronektin merupakan glikoprotein yang terususun atas dua
macam rantai polipeptida yang terhubung oleh ikatan disulfida pada
ujung terminal karboksi. Pada kornea yang tidak mengalami luka,
fibronektin dapat ditemukan di daerah subepitel pada membran basalis
dan stroma pada sisi membran descemet serta memiliki peran utama
dalam melekatkan sel ke matriks ekstraseluler (Eghrari et al., 2015; Ilyas
& Yulianti, 2018).
Proteoglikan merupakan protein yang mengalami glikosilasi
dengan glikosaminoglikan. Pada matriks kornea terdapat keratin sulfat
proteoglikan (KSPG) serta kondroitin dan dermatan sulfat proteoglikan
(dekorin). Kondroitin sulfat dan dermatan sulfat letaknya lebih banyak di
bagian anterior stroma, sedangkan keratin sulfat lebih banyak ditemukan
di bagian posterior stroma. Proteoglikan lainnya yaitu heparin sulfat
(perlecan) yang terletak di membran basalis epitel. KSPG merupakan
proteoglikan utama pada matriks stroma yang terdiri dari lumican,
keratocan dan mimecan. KPSG berperan penting dalam transparansi
kornea. KPSG berkurang ataupun menghilang ketika terjadi opaque
corneal scars dan muncul kembali pada saat pemulihan transparansi
kornea. Lumikan yang merupakan KPSG memiliki peran dalam
mengatur proses migrasi neutrofil selama infeksi bakteri pada stroma.
Dekorin berfungsi mengatur pembentukan serat kolagen dan mengatur
aktivitas dari transforming growth factor- β (TGF-β) (Eghrari et al.,
2015; Gandhi & Jain, 2015).
Matriks ekstraseluler berperan aktif dan kompleks dalam
meregulasi sel, mempengaruhi perkembangan sel, migrasi, proliferasi,
bentuk, dan fungsi metabolisme. Selain itu, matriks ekstraseluler
menyediakan perancah untuk menstabilkan struktur fisik pada jaringan.
Matriks stroma secara konstan melakukan proses remodeling, degradasi
dan resintesis selama perkembangannya. Dalam penyembuhan luka pada
jaringan, terjadi proses degradasi dan resintesis komponen matriks
(Gandhi & Jain, 2015).
Stroma tidak memiliki pembuluh darah (avaskular) sehingga
tampak jernih dan membantu memaksimalkan sifat transparan pada
kornea. Kejernian pada stroma juga tergantung pada aktivitas sel
keratosit dalam berdiferensiasi. Pembentukan myofibroblast yang
diturunkan oleh keratosit, yang dapat terjadi dengan adanya paparan
TGF- β dan platelet derives growth factor (PDGF), dikorelasikan dengan
kejadian pembentukan corneal haze (kornea tampak berkabut) dan
produksi matriks ekstraseluler yang tidak teratur. Selain pengaturan
imunitas terjadi di lapisan epitel, stroma juga berperan penting dalam
imunitas kornea. Pada bagian sentral kornea mengandung prekursor sel
dendritik dan sel dendritik imatur, sedangkan pada bagian perifer kornea
terdapat sel dendritik yang berasal dari resident bone marrow. Keratosit
dapat dipicu oleh TNF-α dan IL-1α (disekresi oleh sel epitel) untuk
menghasilkan IL-6 dan defensin dalam regulasi imunitas kornea (Eghrari
et al., 2015).
2.2.4 Membran Descemet
Membran descemet merupakan membran basal dari lapisan endotel
yang memiliki ketebalan sekitar 3 µm pada anak-anak dan secara
bertahap akan menebal hingga 10 µm pada saat dewasa. Membran ini
terdiri dari dua bagian. Bagian anterior tersusun dari kolagen lamela dan
proteoglikan dan mulai terlihat pada janin di minggu ke 12 masa gestasi.
Bagian posterior melekat pada lapisan endotel dan akan menebal selama
beberapa dekade (Eghrari et al., 2015).
Secara struktural, membran descemet tersusun atas serat kolagen
tipe IV dan VIII. . Membran descemet bersifat sangat elastik dan dapat
berkembang terus seumur hidup. Lapisan ini merupakan membran
aseluler dan berbatasan pada bagian bawah stroma kornea. Membran
descemet sebagai membran basal dari lapisan endotel, juga merupakan
hasil sintesis dari sel-sel endotel (Gandhi & Jain, 2015; Ilyas & Yulianti,
2018).
Sebagai membran basal dari lapisan endotel kornea, membran
descemet membantu menjaga kornea agar selalu dalam keadaan sedikit
dehidrasi. Ini dibuktikan pada kasus hidrop kornea (pembengkakan
kornea), episode fokal akut dari edema kornea yang dialami pasien
keratokonus dimana terjadi kerusakan pada membran descemet yang
mengakibatkan cairan dapat masuk ke dalam kornea. Kasus iatrogenik
membran descemet robek ataupun terjadi robekan membran descemet
pasca operasi intraokuler juga dapat menyebabkan edema kornea
(Eghrari et al., 2015).

2.2.5 Endotel
Secara embriologis, endotel kornea berasal dari pial neural.
Lapisan endotel teridiri dari satu lapis sel yang merupakan lapisan paling
posterior dari kornea. Sel-sel endotel memiliki kedalaman 5 µm dengan
diameter 20 µm. Bagian anterior dari lapisan ini melekat pada membran
descemet melalui zonula okluden dan hemidesmosom. Pada bagian
posterior, lapisan endotel berdekatan dengan bilik mata depan. Lapisan
endotel berperan memompa kelebihan cairan dari kornea menuju bilik
mata depan dan sebagai tempat lewatnya zat terlarut dan nutrien menuju
lapisan superfisial pada kornea. Proses ini dikenal sebagai pump-leak
hypothesis yang menjaga kornea tetap dalam keadaan sedikit dehidrasi
melalui pompa ionik di membrane basolateral (Eghrari et al., 2015;
Gandhi & Jain, 2015; Ilyas & Yulianti, 2018).

Gambar 9. Histologi normal pada lapisan endotel kornea


(Schrage et al., 2011)

Endotel kornea berperan penting dalam menjaga stroma agar tetap


dalam keadaan sedikit dehidrasi sehingga dapat memaksimalkan cahaya
saat melewati kornea. Keadaan tersebut tergantung pada ikatan tight
junction pada sel-sel endotel dan fungsi pompa terkait Na +/K+-ATPase
dan bikarbonat-dependen Mg2+-ATPase. Kegagalan endotel ditandai oleh
adanya edema kornea akibat cairan yang masuk ke dalam kornea lebih
banyak dibandingkan cairan yang dipompa keluar dari kornea (Eghrari et
al., 2015).

2.3 Ulkus Kornea


2.3.1 Definisi
Ulkus kornea adalah kondisi patologis pada kornea yang
dikarakteristikan dengan adanya infiltrat supuratif disertai kornea
bergaung dan diskontinuitas jaringan kornea yang dimulai dari lapisan
epitel hingga mengenai stroma. Sel epitel baru dan sel radang pada
jaringan kornea membentuk kolagenase sehingga terbentuk gambaran
ulkus pada kornea. Kematian pada jaringan kornea mengakibatkan
hilangnya sebagian permukaan kornea. Hilangnya jaringan pada kornea
dapat digantikan oleh jaringan parut. Jaringan parut yang terbentuk di
media refraksi dapat mengakibatkan penurunan pada penglihatan (Ilyas
& Yulianti, 2018; Mahardika & Himayani, 2019; Putri et al., 2015).

2.3.2 Klasifikasi
Berdasarkan lokasi ulkusnya, ulkus kornea dapat dibagi menjadi
dua bentuk yaitu sentral dan marginal atau perifer. Ulkus kornea perifer
biasanya disebabkan oleh reaksi toksik, alergi, infeksi, autoimun dan
penyakit kolagen vaskular. Untuk penyebab ulkus kornea sentral
biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, akantamuba, dan jamur
(Ilyas & Yulianti, 2018).
1. Ulkus kornea sentral
a. Ulkus kornea bakterialis
a) Ulkus Streptokokus
Terdapat gambaran khas berupa ulkus yang menjalar dari
tepi menuju ke arah sentral kornea. Ulkus tampak
berwarna kuning keabu-abuan yang memiliki bentuk
seperti cakram dan tepi ulkus menggaung (Farida, 2015;
Karthikeyan et al., 2013).
b) Ulkus Stafilokokus
Tampak ulkus berwarna putih kekuning-kuningan yang
disertai dengan infiltrat dengan batas tegas yang terletak
tepat di bawah epitel yang mengalami defek (Farida,
2015).
c) Ulkus Pseudomonas
Tampilan ulkus dimulai dari daerah sentral kornea yang
dapat menyebar ke samping dan ke dalam kornea.
Terdapat gambaran ulkus berupa infiltrat berwarna kelabu
atau kuning yang terlihat di epitel kornea dengan kotoran
yang dikeluarkan berwarna kehijauan. Sering ditemukan
hipopion di dalam bilik mata depan bersamaan dengan
berkembangnya ulkus. Ulkus kadang-kadang membentuk
tampilan cincin. Secara histopatologi, ulkus ini ditemukan
sel neutrofil yang lebih dominan. Biasanya berhubungan
dengan pemakaian lensa kontak dimana organisme ini
melekat pada lensa kontak yang dipakai (Farida, 2015;
Ilyas & Yulianti, 2018; Karthikeyan et al., 2013).

Gambar 10. Ulkus kornea yang disebabkan oleh


Pseudomonas aeruginosa (Weisenthal et al., 2018)

d) Ulkus Pneumokokus
Biasanya disebut ulkus serpens atau ulkus serpenginosa
yang disebabkan oleh kuman pneumokok. Tampak
gambaran kekeruhan pada kornea yang dimulai dari
sentral serta berbatas tegas pada bagian yang paling aktif.
Terdapat ulkus dengan infiltrasi sel yang penuh dan
berwarna kekuning-kuningan yang mudah pecah. Dapat
terjadi perforasi kornea akibat ulkus menyebar dan
merambat ke lapisan kornea yang lebih dalam sehingga
terlihat sebagai bentuk ulkus kornea sentral yang dalam.
Penyebaran ulkus sangat cepat dan sering terlihat ulkus
menggaung dengan kuman yang banyak ditemukan pada
daerah ini. Adanya tanda khas yaitu hipopion steril yang
disebabkan oleh rangsangan toksis kuman pada badan
siliar (Farida, 2015; Ilyas & Yulianti, 2018).
e) Ulkus Neisseria gonorrhoeae
Merupakan ulkus kornea yang disebabkan oleh Neisserian
gonorrhoeae dan menjadi salah satu dari penyakit menular
seksual. Bakteri ini dapat menyebabkan perforasi kornea
hingga merusak struktur mata yang lebih dalam (Farida,
2015; Weisenthal et al., 2018).

Gambar 11. Ulkus kornea yang disebabkan oleh Neisseria


gonorrhoeae (Weisenthal et al., 2018).

b. Ulkus kornea jamur


Infeksi kornea yang disebabkan oleh jamur atau nama lainnya
keratomikosis. Penderita akan merasa sakit hebat pada mata
dan silau. Ulkus tampak menonjol di sentral kornea dan
bercabang-cabang dengan endothelium plaque. Permukaan lesi
tampak bercak putih keabu-abuan yang sedikit kering. Tepi
pada lesi memiliki batas tegas irregular, feathery edges dan
penyebarannya tampak seperti bulu di bagian epitel yang
masih belum terkena. Pada kornea terlihat gambaran lesi
satelit, lipatan descemet dan hipopion (Farida, 2015; Ilyas &
Yulianti, 2018).

Gambar 12. Ulkus kornea dengan hipopion yang disebabkan


oleh jamur (Prajna et al., 2008).

Gambar 13. Ulkus kornea jamur dengan feathery edges


(Weisenthal et al., 2018)

c. Ulkus kornea virus


a) Ulkus kornea herpes zoster
Sebelum timbul gejala pada kulit sekitar mata, biasanya
diawali rasa sakit dan hangat terlebih dahulu pada daerah
yang terkena. Pada kelopak mata terdapat tampilan vesikel
kulit dan edema palpebra. Vesikel tersebar sesuai dengan
dermatom yang dipersarafi saraf trigeminus. Selain itu,
tampak konjungtiva hiperemis serta kekeruhan pada
kornea akibat adanya infiltrat pada subepitel dan stroma.
Bentukan dendrit pada ulkus kornea herpes zoster
memiliki warna abu-abu kotor (Farida, 2015; Ilyas &
Yulianti, 2018).

Gambar 14. Kulit sekitar pasien yang terinfeksi virus


herpes zoster yang menyebar sesuai dermatom dari nervus
nasosiliaris (Krachmer & Palay, 2013)

Gambar 15. Dendrit ulkus kornea yang disebabkan oleh


virus herpes zoster setelah diwarnai dengan fluorescein
(Krachmer & Palay, 2013)
b) Ulkus kornea herpes simpleks
Biasanya memiliki gejala awal yang dimulai dengan tanda
injeksi siliar yang kuat disertai adanya suatu dataran sel
pada permukaan epitel kornea disusul dengan adanya
tampilan bentuk dendrit atau bintang. Gambaran dendrit
pada herpes simpleks memiliki bentuk kecil, ulseratif dan
tampak jelas diwarnai dengan fluoresein. Pada ulkus
kornea herpes simpleks terjadi kerusakan pada epitel dan
juga stroma. Pada epitel, virus melakukan pembelahan di
dalam sel epitel menyebabkan kerusakan sel dan
terbentuklah ulkus atau tukak pada kornea superfisial.
Sedangkan pada stroma akibat terjadinya reaksi
imunologik tubuh penderita sendiri terhadap virus
yangmana antigen virus dan antibodi penderita bereaksi di
stroma kornea dan menarik sel leukosit dan sel randang
lainnya. Sel tersebut mengeluarkan proteolitik untuk
merusak antigen virus yang juga dapat merusak jaringan
sroma di sekitarnya (Farida, 2015; Ilyas & Yulianti, 2018;
Omari & Mian, 2018).

Gambar 16. Ulkus kornea yang disebabkan oleh virus


herpes simpleks yang diwarnai dengan fluoresein
(Krachmer & Palay, 2013).
d. Ulkus kornea akantamuba
Gejala yang dirasakan pada penderita ulkus kornea yang
disebabkan acanthamoeba sp. yaitu rasa sakit berat, fotofobia
dan mata merah. Biasanya akibat kontak langsung dengan
material terkontaminasi seperi pada pemakaian lensa kontak.
Tanda khas pada ulkus kornea ini yaitu ulkus kornea indolen,
cincin stroma dan infiltrat perineural (Farida, 2015; Ilyas &
Yulianti, 2018; Lorenzo-Morales et al., 2015)

Gambar 17. Ulkus kornea yang disebabkan oleh


Acantahamoeba sp. dengan cincin infiltat
(Weisenthal et al., 2018)

2. Ulkus kornea perifer


a. Ulkus marginal
Peradangan kornea pada bagian perifer kornea sejajar dengan
limbus dengan bentuk bulat atau segi empat yang biasanya
terdapat daerah kornea yang masih jernih antara limbus kornea
dengan tempat yang mengalami kelainan. Diduga 50% dasar
kelainannya merupakan reaksi hipersensitivitas terhadap
eksotoksin stafilokokus. Ulkus kornea marginal biasanya
disebabkan oleh reaksi toksik, alergi, infeksi, autoimun dan
penyakit kolagen vaskular. Ulkus marginal dapat terjadi
bersama-sama dengan peradangan pada konjungtiva oleh
Moraxella, basil Koch weeks atau Proteus vulgaris (Farida,
2015; Ilyas & Yulianti, 2018).

Gambar 18. Ulkus kornea marginal yang disebabkan oleh


Staphylococcus sp. (Weisenthal et al., 2018)
b. Ulkus mooren
Suatu ulkus menahun yang dimulai dari sisi perifer kornea
kemudian menyebar progresif ke arah sentral tanpa
kecendrungan untuk terjadinya perforasi ataupun hipopion.
Bagian tepi kornea tampak ulkus yang bergaung. Ulkus ini
dapat merusak membran bowman hingga stroma kornea.
Seiring berjalannya waktu, ulkus ini dapat menyebar hingga
seluruh kornea. (Ilyas & Yulianti, 2018).

2.3.3 Epidemiologi
Data World Health Organization (WHO) tahun 2019 menyebutkan
kekeruhan kornea berada di peringkat keempat sebagai penyebab
kebutaan dengan jumlah 4,2 juta kasus. Di beberapa wilayah berkembang
seperti Asia, Afrika dan Timur Tengah, kekeruhan pada kornea
merupakan penyebab utama kedua kebutaan setelah katarak. Ulkus
kornea merupakan salah satu penyebab gangguan penglihatan tertinggi di
dunia dan mejadi perhatian khusus sebagai penyebab kebutaan di
beberapa negara yang belum berkembang. Di negara maju, pemakaian
lensa kontak menjadi faktor risiko utama terjadinya ulkus kornea.
Sementara di negara berkembang, trauma merupakan faktor risiko utama
terjadinya ulkus kornea (Farias et al., 2017; Novita, 2015; Sitoula et al.,
2015; WHO, 2018).
Beberapa data memiliki insiden ulkus kornea yang bervariasi di
berbagai belahan dunia. Data yang ada menunjukkan di Amerika Serikat
memiliki angka insidensi yaitu 11 kasus per 100.000 penduduk per tahun,
sedangkan di India angka insidensinya mencapai 113 kasus per 100.000
penduduk per tahun, dan di Nepal memiliki angka insidennya hingga 799
kasus per 100.000 penduduk per tahun. Diperkirakan kasus ulkus kornea
mencapai 1,5 juta hingga 2 juta kasus di seluruh dunia dan bahkan angka
sebenarnya bisa lebih dari itu (Farias et al., 2017; Hongyok & Leelaprute,
2016; Ravinder et al., 2016; Sitoula et al., 2015).
Di Indonesia, prevalensi kasus kekeruhan kornea berdasarkan riset
kesehatan dasar tahun 2013 adalah sebesar 5,5% dengan provinsi yang
memiliki insiden tertinggi yaitu Bali dengan persentase 11,0%, diikuti
oleh DI Yogyakarta (10,2%) dan Sulawesi Selatan (9,4%). Untuk insiden
terendah yaitu provinsi Papua Barat (2,0%) dan diikuti oleh DKI Jakarta
(3,1%). Responden yang tidak bersekolah memiliki prevalensi kekeruhan
kornea tertinggi dengan persentase sebesar 13,6%. Sedangkan
petani/nelayan/buruh memiliki prevalensi tertinggi dibandingkan dengan
pekerjaan yang lain dengan persentase sebesar 9,7% (Riset Kesehatan
Dasar, 2013).

2.3.4 Etiologi
Secara umum, penyebab ulkus kornea biasanya akibat dari
peradangan dan infeksi seperti bakteri, jamur, akantamuba, dan herpes
simpleks. Infeksi pada kornea biasanya terjadi akibat adanya trauma dari
benda asing atau penyakit yang dapat menyebabkan bakteri, jamur,
akantamuba maupun virus masuk ke dalam kornea. Ulkus kornea perifer
biasanya disebabkan oleh alergi, toksik, infeksi, autoimun dan penyakit
kolagen vaskular. Untuk penyebab ulkus kornea sentral biasanya
disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, akantamuba, dan jamur (Ilyas &
Yulianti, 2018; Ms et al., 2016).
Bakteri yang sering menyebabkan ulkus kornea adalah
Pseudomonas aeruginosa, Streptococcus pneumonia, Moraxella
liquefaciens, Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis,
Nocardia asteroids, Alcaligenes sp., Proteus Sp.,dan Enterobacter
hafniae. Selain bakteri, jamur merupakan penyebab yang sering
ditemukan pada penderita ulkus kornea. Jamur yang dapat ditemukan
pada penderita ulkus kornea yaitu Candida sp., Fusarium sp., Aspergillus
sp., Cephalosporium sp., dan spesies mikosis fungoides. Virus herpes
simpleks dan virus herpes zoster juga dapat menyebabkan ulkus kornea.
Infeksi yang disebabkan oleh acanthamoeba sp. biasanya dapat
ditemukan pada pemakai lensa kontak dan terpapar dengan air yang
terkontaminasi. Selain infeksi, terdapat juga ulkus kornea yang
disebabkan oleh reaksi imunologik dari tubuh penderita sendiri seperti
reaksi alergi dan autoimun (Farida, 2015; Ilyas & Yulianti, 2018; Suwal
et al., 2016).

2.3.5 Faktor Predisposisi


Lapisan kornea memiliki fungsi sebagai pelindung mata bagian
depan sehingga mikroorganisme pembawa penyakit tidak mudah masuk
ke dalam kornea. Terdapat faktor predisposisi untuk terjadinya ulkus
kornea seperti trauma mata, riwayat operasi kornea, penyakit permukaan
okular, defisiemsi vitamin A, dakriosistitis, dan penyakit imunosupresi
sistemik. Penggunaan lensa kontak, dry eye dan pemakaian
kortikosteroid topikal lama atau imunosupresif dapat meningkatkan risiko
terjadinya ulkus kornea. Selain itu erosi pada kornea, keratitis
neurotropik, penggunaan obat anestetika lokal, pasien diabetes melitus
dan penyakit tua juga dapat mempengaruhi pembentukan ulkus kornea
(Ilyas & Yulianti, 2018; Jan et al., 2018; Ms et al., 2016).
Faktor predisposisi terbanyak pada ulkus kornea di negara
berkembang yaitu trauma mata. Sedangkan di negara maju, pemakaian
lensa kontak menjadi faktor risiko utama terjadinya ulkus kornea.
Trauma mata banyak terjadi akibat gesekan benda asing pada lapisan
kornea, salah satunya yaitu bahan yang berasal dari tumbu-tumbuhan.
Oleh sebab itu, penderita ulkus kornea sering ditemukan pada orang yang
bekerja di sektor pertanian. Trauma mata dapat menyebabkan defek pada
lapisan kornea sehingga mengakibatkan hampir semua mikroorganisme
dapat mudah masuk dan menyerang lapisan epitel sampai stroma kornea.
Hal ini dapat diperparah dengan mekanisme pertahanan kornea yang
normal seperti lapisan air mata, kelopak mata, dan epitel kornea
terganggu. (Mahardika & Himayani, 2019; Novita, 2015; Sumbayak et
al., 2019).

2.3.6 Patofisiologi
Kornea merupakan struktur anterior pada mata yang terletak di
bagian depan iris dan pupil. Cahaya akan melewati kornea dalam
perjalanannya membentuk bayangan di retina. Kornea dapat dilewati
cahaya karena dibantu dengan sifat pada kornea yang jernih dan
transparan. Apabila terdapat perubahan dalam kejernihan dan bentuk
pada kornea, akan terjadi gangguan dalam pembentukan bayangan di
retina. Karena itu, kelainan sekecil apapun pada kornea dapat
menyebabkan gangguan pada penglihatan (Farida, 2015; Perdami, 2012).
Pada saat kornea terpapar infeksi, proses infiltrasi dan vaskularisasi
dari limbus baru akan terjadi setelah 48 jam kemudian karena kornea
merupakan struktur mata yang avaskuler. Sel-sel pada stroma akan
bekerja sebagai makrofag yang kemudian akan disusul dengan terjadinya
dilatasi pembuluh darah pada limbus dan terlihat sebagai injeksi
perikornea. Setelah itu muncul infiltrasi dari sel-sel mononuklear, sel
plasma dan leukosit polimorfonuklear (PMN) sehingga menyebabkan
terbentuknya infiltrat pada kornea. Infiltrat pada kornea tersebut akan
terlihat sebagai bercak berwarna kelabu, keruh dengan batas yang tidak
jelas dan memiliki permukaan yang tidak licin. Proses ini akan
mengakibatkan kerusakan pada lapisan epitel dan terjadilah ulkus kornea
(Farida, 2015; Patel, 2012).

2.3.7 Gejala dan Tanda Klinis


Gejala yang dapat muncul pada pasien ulkus kornea yaitu nyeri,
mata merah, mata berair, terbentuknya purulen, nyeri, fotofobia, dan
pandangan mata kabur, pembengkakan pada kornea, dan terdapat sensasi
benda asing. Selain itu, tanda yang dapat ditemukan pada mata penderita
ulkus kornea yaitu terdapat penipisan kornea, lipatan descemet, reaksi
jaringan uvea akibat gangguan vaskulaisasi iris, berupa suar, hipopion,
hifema dan sinekia posterior (Almahmoud et al., 2019; Ilyas & Yulianti,
2018; Jan et al., 2018).
Pada pasien ulkus kornea yang disebabkan oleh bakteri, terdapat
keluhan kelopak mata lengket setiap bangun pagi. Mata nyeri, fotofobia,
merah, berair dan terjadi penurunan penglihatan. Ulkus kornea yang
disebabkan oleh jamur, keluhan baru timbul setelah lima hari rudapaksa
atau tiga minggu kemudian. Pasien akan mengeluh sakit mata yang
hebat, berair, penglihatan menurun dan merasa silau. Pada mata akan
ditemukan infiltrat kelabu disertai hipopion, peradangan, ulserasi
superfisial dan satelit bila terletak di dalam lapisan stroma. Biasanya
disertai cincin endotel dengan plak yang tampak bercabang-cabang,
gambaran satelit pada kornea dan lipatan descemet (descemet fold).
Gejala pada pasien ulkus kornea yang disebabkan oleh virus hepes
simpleks yaitu terbentuknya pembuluh darah halus pada mata,
penglihatan berkurang, jaringan parut hingga glaukoma. Pada pasien
ulkus kornea yang disebabkan oleh infeksi herpes zoster, gejala yang
muncul yaitu rasa sakit pada daerah yag terkena, badan berasa hangat,
penglihatan berkurang, dan merah. Pada kelopak akan terlihat vesikel dan
infiltrate pada kornea. Vesikel tersebar sesuai dengan dermatom yang
dipersarafi saraf trigeminus yang dapat progresif dengan terbentuknya
jaringan parut (Farida, 2015; Ilyas & Yulianti, 2018).

Gambar 19. Ulkus kornea dengan hipopion (Farahani et al., 2017)

Pada ulkus kornea yang disebabkan oleh kokus gram positif,


Staphylococcus aureus dan Streptococcus pneumonia akan memberikan
gambaran ulkus yang terbatas, berbentuk bulat lonjong dan berwarna
putih keabu-abuan pada ulkus supuratif. Daerah kornea yang tidak terjadi
infiltrat akan tetap jernih dan tidak tampak adanya infiltrasi sel radang.
Ulkus terlihat menyebar dengan cepat pada ulkus kornea yang
disebabkan oleh Pseudomonas sp., dan terdapat purulen berwarna kuning
kehijauan yang melekat di permukaan ulkus. Ulkus kornea yang
disebabkan oleh jamur akan terlihat infiltrat berwarna abu-abu di keliling
infiltrat halus di sekitarnya yang dikenal dengan fenomena satelit (Ilyas
& Yulianti, 2018).
Gambar 20. Ulkus kornea jamur dengan lesi satelit
(Prajna et al., 2008).

2.3.8 Pengobatan
Pengobatan yang diberikan pada pasien ulkus kornea disesuaikan
dengan penyebabnya. Pada ulkus kornea yang disebabkan oleh bakteri
gram positif berbentuk batang dapat diberikan cefazoline, vancomycin
dan moxifloxacin. Ulkus kornea yang disebabkan oleh bakteri gram
negatif berbentuk batang dapat diberikan tobramisin, ceftazidime dan
fluoroquinolone. Ulkus kornea yang disebabkan oleh bakteri gram
negatif berbentuk coccus dapat diberikan ceftriaxone, ceftazidime dan
moxifloxacin. Pengobatan diberikan setiap satu jam. Pemberian
siklopegik dapat digunakan untuk mengistirahatkan mata (Ilyas &
Yulianti, 2018).
Pada pasien ulkus kornea yang disebabkan oleh jamur, dilakukan
terlebih dahulu pemeriksaan mikroskopik dengan KOH 10% terhadap
kerokan kornea yang menunjukkan adanya hifa. Disarankan pada pasien
yang terinfeksi jamur Fusarium sp. dapat diberi pengobatan natamisin
5% dan yang terinfeksi jamur Aspergillus sp. diberikan obat amfoterisin
B 0,15% - 0,30%. Apabila disertai peningkatan tekanan intraocular dapat
diberikan obat oral anti glaukoma. Keratoplasti dapat dilakukan apabila
tidak ada perbaikan. Obat pilihan lain untuk mengobati ulkus kornea
yang disebabkan jamur yaitu anti jamur polines (amfoterisin B,
natamisin, nystatin), azoles (imidazol, ketokonazole, myconazole),
triazoles (fluoconazole, voriconazole) dan fluorinated pyrimidin (Ilyas &
Yulianti, 2018).
Ulkus kornea yang disebabkan oleh virus herpes simpleks dapat
diberikan idoksuridin (IDU). IDU merupakan obat antiviral yang murah
dan bersifat tidak stabil. Obat ini bekerja dengan menghambat sintesis
DNA virus dan manusia sehingga bersifat toksik untuk epitel normal dan
tidak boleh digunakan lebih dari dua minggu. Terdapat dalam larutan 1%
dan diberikan setiap jam. Untuk salep 0,5% diberikan setiap empat jam.
Vibrabin sama dengan IDU, namun hanya ada dalam bentuk salep.
Asiklovir memiliki sifat selektif pada sintesis DNA virus, dengan sediaan
salep 3% yang dapat diberikan setiap 4 jam. Asiklovir sama efektif
dengan antivirus lain akan tetapi dengan efek samping yang minimal.
Untuk ulkus kornea yang disebabkan oleh infeksi herpes zoster,
pengobatan biasanya tidak spesifik dan hanya simtomatik. Pengobatan
dengan memberikan asiklovir dan pada usia lanjut dapat diberi steroid
(Ilyas & Yulianti, 2018).
2.4 Kerangka Teori

Faktor Predisposisi:
- Trauma
- Lensa kontak
- Penyakit sistemik Etiologi: Sosiodemografi:
- Riwayat operasi - Bakteri - Usia
kornea - Jamur - Jenis
- Dakriosistitis - Virus kelamin
- Dry eye - Acanthamoeba - Pekerjaan
Syndrome
- Pemakaian obat

Infeksi pada korena

Infiltrasi sel mononuklear, sel


plasma dan sel PMN pada lapisan
kornea
Tidak segera
di tatalaksana

Defek lapisan kornea

Ulkus kornea

Timbul gejala dan


tanda klinis
2.5 Kerangka Konsep

Faktor predisposisi Etiologi Sosiodemografi

Ulkus kornea

Gejala dan tanda klinis Lateralisasi yang terkena


BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Penelitian ini menggunakan desain studi observasional-deskriptif
dengan rancangan pendekatan cross-sectional. Data penelitian ini
diambil dari rekam medis di Bagian Instalasi Rekam Medis RSUP dr.
Mohammad Hoesin Palembang periode Januari 2017 sampai Desember
2019 dengan memberikan angka-angka kejadian dan karakteristik
penderita ulkus kornea.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Bagian Instalasi Rekam Medis RSUP
dr. Mohammad Hoesin Palembang pada bulan September sampai
Desember 2020.

3.3 Populasi dan Sampel


3.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh data rekam medis
pasien yang didiagnosis dengan ulkus kornea di Instalansi Rekam Medis
RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang tahun 2017 – 2019.
Berdasarkan informasi dari Instalansi Rekam Medis RSUP dr.
Mohammad Hoesin Palembang, terdapat 120 pasien rawat inap dan 350
pasien rawat jalan dengan total keseluruhan 470 pasien yang terdiagnosis
mengalami ulkus kornea pada tahun 2017 sampai 2019.
.
3.3.2 Sampel
Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah seluruh rekam
medis yang didiagnosis dengan ulkus kornea di Instalansi Rekam Medis
RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang tahun 2017 – 2019 yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

3.3.2.1 Besar Sampel


Rumus besar sampel deskriptif kategorik (Dahlan, 2010):
Zα 2 PQ
n=
d2
Keterangan:
Zα 2 = deviat baku alfa 1,96 (Tingkat akurasi/interval kepercayaan 95%)
P = Prevalensi ulkus kornea (proporsi kategori variabel yang diteliti)
Q =1-P
d = Presisi 0,1 (kesalahan minimal 10%)
Catatan:
Harus memenuhi syarat
nxP>5
nxQ>5
Belum ada penelitian sebelumnya sehingga memakai besar sampel
maksimal 50%
Zα 2 PQ
n=
d2
1,96 2 × 0.5×(1−0.5)
n=
0.12
3.8416 × 0.5× 0.5
n=
0.01
0.9604
n=
0.01
n=96,04 , dibulatkan menjadi 97
n × P>10
n ×Q>10
50 % ± 10 %=40 %−60 %
40 % ×97=48,5
60 % × 97=58,2
Dengan demikian, besar sampel sebesar 97 boleh digunakan karena
memenuhi syarat besar sampel untuk penelitian deskriptif kategorik.

3.3.2.2 Cara Pengambilan Sampel


Metode pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian ini
adalah simple random sampling. Peneliti mengambil sampel unit
populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dengan cara acak
sederhana (TAR atau Tabel Angka Random). Setiap unit populasi
memiliki peluang yang sama untuk terpilih.

3.3.3 Kriteria Inklusi dan Eksklusi


Kriteria Inklusi
1. Seluruh data rekam medis penderita ulkus kornea dengan catatan
lengkap berupa usia, jenis kelamin, pekerjaan, penyebab, faktor
predisposisi, lateralisasi, gejala, dan tanda klinis
2. Memiliki data hasil kultur mikroorganisme penyebab ulkus kornea
Kriteria Eksklusi
1. Ulkus kornea dengan penyebab idiopatik

3.4 Variabel Penelitian


1. Karakteristik sosiodemografi:
a. Usia
b. Jenis kelamin
c. Pekerjaan
2. Karakteristik temuan klinis:
a. Etiologi
b. Faktor predisposisi
c. Lateralisasi yang terkena
d. Gejala dan tanda klinis
3.5 Definisi Operasional
Tabel 1. Definisi Operasional
No. Variabel Definisi Alat Cara Hasil Ukur Skala
Ukur Ukur Ukur
1. Usia Satuan waktu Rekam Observasi 1. Anak: < 18 Tahun Nominal
dalam mengukur Medis 2. Dewasa: 18 – 50
lama waktu hidup Tahun
pasien sejak lahir 3. Lanjut: ˃ 50 Tahun
hingga waktu
kunjungan
2. Jenis Pengelompokan Rekam Observasi 1. Laki-laki Nominal
Kelamin individu secara Medis 2. Perempuan
biologis dan
anatomis,
dinyatakan dalam
laki-laki dan
perempuan
3. Pekerjaan Jenis mata Rekam Observasi 1. Petani Nominal
pencaharian Medis 2. Buruh
pasien saat 3. Pegawai negeri
pertama kali 4. Pegawai Swasta
mendaftar sebagai 5. Pedagang
pasien ulkus 6. Tidak Bekerja
kornea 7. Dan Lain-lain
4. Etiologi Penyebab Rekam Observasi 1. Bakteri Nominal
terbentuknya Medis 2. Jamur
ulkus kornea pada 3. Virus
mata pasien 4. Acanthamoeba
5. Faktor Kondisi atau Rekam Observasi 1. Trauma Mata Nominal
Predisposisi situasi yang Medis 2. Lensa Kontak
menyebabkan 3. Dakriosistitis
seseorang lebih 4. Dry Eye Syndrome
berisiko terkena 5. Riwayat Diabetes
ulkus kornea Melitus
6. Riwayat Operasi
Mata
7. Pemakaian Obat
Kortikosteroid
8. Dan Lain-lain
6. Lateralisasi Lokasi mata Rekam Observasi 1. Unilateral Nominal
yang Terkena pasien yang Medis 2. Bilateral
terkena ulkus
kornea, dapat
terjadi pada satu
atau kedua mata
7. Gejala dan Keadaan atau Rekam Observasi 1. Nyeri Nominal
Tanda Klinis kondisi abnormal Medis 2. Fotofobia
yang ditemukan 3. Sensasi Benda
pada pasien ulkus Asing
kornea 4. Pandangan kabur
5. Mata Berair
6. Mata Merah
7. Sekret Pus
8. Blefaritis
9. Hipopion
10. Lesi Satelit
11. Lipatan Descemet
12. Feathery Edges
13. Dan Lain-lain

3.6 Cara Pengumpulan Data


Data yang dikumpulkan merupakan data sekunder dari rekam
medis pasien ulkus kornea di Instalasi Rekam Medis RSUP dr.
Mohammad Hoesin Palembang periode 1 Januari 2017 sampai 31
Desember 2019. Data tersebut dikumpulkan dan dievaluasi berdasarkan
kriteria penelitian. Kemudian dicatat berdasarkan variabel penelitian
yaitu usia, jenis kelamin, pekerjaan, etiologi, faktor predisposisi,
lateralisasi, gejala, dan tanda klinis.

3.7 Cara Pengolahan dan Analisis Data


Data penelitian ini akan disajikan secara deskriptif dalam bentuk
tabel distribusi frekuensi dan dijelaskan dalam bentuk narasi. Data akan
dianalisis secara univariat. Analisis univariat dilakukan untuk melihat
distribusi dari karakteristik sosiodemografi (usia, jenis kelamin dan
pekerjaan) dan karakteristik temuan klinis (etiologi, faktor predisposisi,
lateralisasi, gejala, dan tanda klinis.

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Pasien Menurut Usia


Variabel (Usia) n %
Anak (<18 Tahun)
Dewasa (18 – 50 Tahun)
Lanjut (>50 Tahun)
Total

Tabel 3. Distribusi Frekuensi Pasien Menurut Jenis Kelamin


Variabel n %
Laki-laki
Perempuan
Total

Tabel 4. Distribusi Frekuensi Pasien Menurut Pekerjaan


Variabel n %
Petani
Buruh
Pegawai Negeri
Pegawai Swasta
Pedagang
Tidak Bekerja
Dan Lain-lain
Total

Tabel 5. Distribusi Frekuensi Pasien Menurut Etiologi


Variabel n %
Bakteri
Virus
Jamur
Acanthamoeba
Total

Tabel 6. Distribusi Frekuensi Pasien Menurut Faktor Predisposisi


Variabel n %
Trauma mata
Lensa kontak
Dakriosistitis
Dry eye Syndrome
Riwayat Diabetes melitus
Riwayat Operasi Mata
Pemakaian Obat Kortikosteroid
Dan Lain-lain
Total
Tabel 7. Distribusi Frekuensi Pasien Menurut Lateralisasi
Variabel n %
Unilateral
Bilateral
Total

Tabel 8. Distribusi Frekuensi Pasien Menurut Gejala dan Tanda Klinis


Variabel n %
Nyeri
Fotofobia
Sensasi Benda Asing
Pandangan Kabur
Mata Berair
Mata Merah
Sekret Pus
Blefaritis
Hipopion
Lesi Satelit
Lipatan Descemet
Feathery Edges
Dan Lain-lain
Total

3.8 Kerangka Operasional

Proposal penelitian

Populasi: Seluruh data rekam medis pasien ulkus kornea di


Instalansi Rekam Medis RSUP dr. Mohammad Hoesin
Palembang tahun 2017 – 2019

Kriteria inklusi Kriteria eksklusi

Sampel: Seluruh data rekam medis pasien ulkus kornea di


Instalansi Rekam Medis RSUP dr. Mohammad Hoesin
Palembang tahun 2017 – 2019 yang memenuhi kriteria

Izin penelitian

Pengumpulan data: usia, jenis kelamin, pekerjaan,


etiologi, faktor predisposisi, lateralisasi, gejala,
dan tanda klinis.

Pengolahan dan analisis data

Hasil dan pembahasan


Kesimpulan

Laporan akhir

Publikasi

3.9 Jadwal Kegiatan


Tabel 10. Jadwal kegiatan
Tahun 2020

Bulan Juni Juli Ags Sep Okt Nov Des

Pengajuan judul

Penyusunan
proposal

Sidang proposal
dan revisi

Pengumpulan
data

Pengolahan dan
analisis data

Penyusunan
laporan akhir
skripsi

Ujian dan revisi


skripsi
3.10 Anggaran
Tabel 11. Anggaran
Uraian Keperluan Banyak Harga Satuan Jumlah

Kertas A4 70 gram 1 rim Rp 40.000,00 Rp 40.000,00

Catridge tinta 4 botol Rp 75.000,00 Rp 300.000,00


hitam dan warna

Jilid Rp 15.000,00 Rp 15.000,00

Total Rp 355.000,00

BAB IV
JUSTIFIKASI ETIK

4.1 Rangkuman Karakteristik Penelitian


4.2 Analisis Kelayakan Etik
4.3 Prosedur Informed Consent
4.4 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA

Almahmoud, T., Elhanan, M., Elshamsy, M. H., Alshamsi, H. N., & Abu-Zidan,
F. M. (2019). Management of infective corneal ulcers in a high-income
developing country. Medicine (United States), 98(51), 1–5.
https://doi.org/10.1097/MD.0000000000018243

Ansari, M. wakeel, & Nadeem, A. (2016). Atlas of ocular anatomy. In American


Journal of Ophthalmology (Vol. 115, Issue 1). Switzerland: Springer
International Publishing. https://doi.org/10.1007/978-3-319-42781-2

Asroruddin, M., Nora, R. L. D., Edwar, L., Sjamsoe, S., & Susiyanti, M. (2015).
Various factors affecting the bacterial corneal ulcer healing: A 4-years study
in referral tertiary eye hospital in Indonesia. Medical Journal of Indonesia,
24(3), 150–155. https://doi.org/10.13181/mji.v24i3.1044

Baruah, M., Das, R. K., Agarwalla, V., & Basyach, P. (2020). Corneal ulcer: an
epidemiological, microbiological and clinical study of cases attending Assam
medical college and hospital, Dibrugarh, India. International Journal of
Research in Medical Sciences, 8(3), 1076. https://doi.org/10.18203/2320-
6012.ijrms20200784

Basri, S. (2017). Toksoplasmosis Okular Kongenital. Jurnal Kedokteran Syiah


Kuala, 17(2), 133–139. https://doi.org/10.24815/jks.v17i2.8993

Bévalot, F., Cartiser, N., Bottinelli, C., Fanton, L., & Guitton, J. (2016). Vitreous
humor analysis for the detection of xenobiotics in forensic toxicology: a
review. Forensic Toxicology, 34(1), 12–40. https://doi.org/10.1007/s11419-
015-0294-5

Boote, C., Sigal, I. A., Grytz, R., Hua, Y., Nguyen, T. D., & Girard, M. J. A.
(2019). Scleral structure and biomechanics. Progress in Retinal and Eye
Research, 74. https://doi.org/10.1016/j.preteyeres.2019.100773

Dahlan, M. S. (2010). Besar Sampel dan cara Pengambilan Sampel dalam


Penelitian Kedokteran dan Kesehatan (3rd ed.). Jakarta: Salemba Medika.

Eghrari, A. O., Riazuddin, S. A., & Gottsch, J. D. (2015). Overview of the


Cornea: Structure, Function, and Development. In Progress in Molecular
Biology and Translational Science (1st ed., Vol. 134). Elsevier Inc.
https://doi.org/10.1016/bs.pmbts.2015.04.001

Farahani, M., Patel, R., & Dwarakanathan, S. (2017). Infectious corneal ulcers.
Disease-a-Month, 63(2), 33–37.
https://doi.org/10.1016/j.disamonth.2016.09.003

Farias, R., Pinho, L., & Santos, R. (2017). Epidemiological profile of infectious
keratitis. Revista Brasileira de Oftalmologia, 76(3), 116–120.
https://doi.org/10.5935/0034-7280.20170024

Farida, Y. (2015). Corneal ulcers treatment. Medical Journal of Lampung


University, 4(1), 119–127.

Gandhi, S., & Jain, S. (2015). The Anatomy and Physiology of Cornea. In
Keratoprostheses and Artificial Corneas: Fundamentals and Surgical
Applications. https://doi.org/10.1007/978-3-642-55179-6

Himayani, R., Iswara, I., Ibrahim, A., Mata, P., Kedokteran, F., & Lampung, U.
(2019). Management of Palpebrae and Margo Inferior Rupture Case in Youth
Ages. Jurnal Majority, 8, 30–34.

Hongyok, T., & Leelaprute, W. (2016). Corneal ulcer leading to evisceration or


enucleation in a tertiary eye care center in Thailand: Clinical and
microbiological characteristics. Journal of the Medical Association of
Thailand, 99(3), S116–S122.

Ilyas, S., & Yulianti, S. R. (2018). Ilmu Penyakit Mata (5th ed.). Jakarta: Badan
Penerbit FKUI.

Jan, R. L., Tai, M. C., Weng, S. F., Chang, C., Wang, J. J., & Chang, Y. S. (2018).
Risk of corneal ulcer in patients with end-stage renal disease: A retrospective
large-scale cohort study. British Journal of Ophthalmology, 102(7), 868–872.
https://doi.org/10.1136/bjophthalmol-2016-310098

Karthikeyan, R. S. G., Priya, J. L., Leal, S. M., Toska, J., Rietsch, A., Prajna, V.,
Pearlman, E., & Lalitha, P. (2013). Host Response and Bacterial Virulence
Factor Expression in Pseudomonas aeruginosa and Streptococcus
pneumoniae Corneal Ulcers. PLoS ONE, 8(6), 2–9.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0064867

Kels, B. D., Grzybowski, A., & Grant-Kels, J. M. (2015). Human ocular anatomy.
Clinics in Dermatology, 33(2), 140–146.
https://doi.org/10.1016/j.clindermatol.2014.10.006

Klijanienko, J., & Bartuma, K. (2019). Atlas of Fine Needle Aspiration Cytology.
Atlas of Fine Needle Aspiration Cytology, 679–694.
https://doi.org/10.1007/978-3-319-76980-6

Krachmer, J. H., & Palay, D. A. (2013). Cornea Atlas. In Journal of Petrology


(3rd ed., Vol. 369, Issue 1). Saunders.

Lim Siew Ming, A., & J. Constable, I. (2005). Color atlas of opthalmology (3rd
ed.). Washington: Butterworth-Heinemann Ltd.

Lorenzo-Morales, J., Khan, N. A., & Walochnik, J. (2015). An update on


Acanthamoeba keratitis: Diagnosis, pathogenesis and treatment. Parasite, 22.
https://doi.org/10.1051/parasite/2015010

Mahardika, N. P., & Himayani, R. (2019). Ulkus Kornea Cum Hipopion


Berhubungan Trauma Tumbuhan pada Mata. Jurnal Agromedicine, 6(1),
206–220.

Markiewicz, E., Barnard, S., Haines, J., Coster, M., Van Geel, O., Wu, W.,
Richards, S., Ainsbury, E., Rothkamm, K., Bouffler, S., & Quinlan, R. A.
(2015). Nonlinear ionizing radiation-induced changes in eye lens cell
proliferation, cyclin D1 expression and lens shape. Open Biology, 5(4).
https://doi.org/10.1098/rsob.150011

Marziah, E., Aman, A. K., & Ketaren, A. P. (2019). Tumor orbita dan adneksa.
Majalah Kedokteran Nusantara: The Journal of Medical School, 52(3), 139–
146.

Meek, K. M., & Knupp, C. (2015). Corneal structure and transparency. Progress
in Retinal and Eye Research, 49, 1–16.
https://doi.org/10.1016/j.preteyeres.2015.07.001

Ms, R. R., Wulan, A. J., Kedokteran, F., & Lampung, U. (2016). 24 years old
Male with Corneal Ulcer and Iris Prolapse Occuli Dextra. Medical
Profession Journal of Lampung University, 5, 81–85.

Novita, D. (2015). Pengobatan Rasional pada Ulkus Kornea Bakteri. Medica


Hospitalia: Journal of Clinical Medicine, 3(1), 72–70.

Omari, A. A., & Mian, S. I. (2018). Adenoviral keratitis: A review of the


epidemiology, pathophysiology, clinical features, diagnosis, and
management. Current Opinion in Ophthalmology, 29(4), 365–372.
https://doi.org/10.1097/ICU.0000000000000485

Oprea, Ş., Pantu, C. M., Filipoiu, F. M., Tulin, R., & Oprea, G. D. (2016). The
Anatomy of the Choroid. Romanian Journal of Functional and Clinical,
Macro- and Microscopical Anatomy and of Anthropology, 15(4), 380–383.

Patel, S. V. (2012). Graft survival and endothelial outcomes in the new era of
endothelial keratoplasty. Experimental Eye Research, 95(1), 40–47.
https://doi.org/10.1016/j.exer.2011.05.013

Perdami. (2012). Ulkus Kornea dalam: Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter Umum
dan Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: Penerbit Sagung Seto.

Prajna, L., Vijayakumar, Prajna, N. V., & Srinivasan, M. (2008). Aravind’s Atlas
of Fungal Corneal Ulcers: Clinical Features and Laboratory Identification
Methods. India: Jaypee Brothers Medical Publishers.

Putri, A. M., Heryati, S., & Nasution, N. (2015). Characteristics and Predisposing
Factors of Bacterial Corneal Ulcer in the National Eye Center, Cicendo Eye
Hospital, Bandung from January to December 2011. Althea Medical Journal,
2(3), 443–447. https://doi.org/10.15850/amj.v2n3.505

Qomariyah, D. N., Saputra, Y., Ilmu, D., Mata, P., Yani, R. A., & Metro, K.
(2017). Management of Congenital Dacryocystitis et Causa Amniotocele in
Infants. Jurnal Majority, 6, 128–131.

Ravinder, K., Madhav, M. V., Archana, J., & Pandurang, J. (2016). Clinical
Evaluation of Corneal Ulcer among Patients Attending Teaching Hospital.
3(4), 949–952.

Riset Kesehatan Dasar. (2013). Laporan Hasil Riset Kesehatan Daerah Nasional.
Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.

Schrage, N., Burgher, F., Blomet, J., Bodson, L., Gerard, M., Hall, A., Josset, P.,
Mathieu, L., & Merle, H. (2011). Chemical Ocular Burns. In Chemical
Ocular Burns. Springer Science & Business Media.
https://doi.org/10.1007/978-3-642-14550-6

Sitompul, R. (2017). Konjungtivitis Viral: Diagnosis dan Terapi di Pelayanan


Kesehatan Primer. EJournal Kedokteran Indonesia, 5(1).
https://doi.org/10.23886/ejki.5.7605.65-71

Sitoula, R. P., Singh, S. K., Mahaseth, V., Sharma, A., & Labh, R. K. (2015).
Epidemiology and etiological diagnosis of infective keratitis in eastern
region of Nepal. Nepalese Journal of Ophthalmology : A Biannual Peer-
Reviewed Academic Journal of the Nepal Ophthalmic Society : NEPJOPH,
7(1), 10–15. https://doi.org/10.3126/nepjoph.v7i1.131246

Sumbayak, D. G. P. S., Himayani, R., & Yusran, M. (2019). Ulkus Kornea


Impending Perforasi. Majority, 8(1), 35–39.

Suwal, S., Bhandari, D., Thapa, P., Shrestha, M. K., & Amatya, J. (2016).
Microbiological profile of corneal ulcer cases diagnosed in a tertiary care
ophthalmological institute in Nepal. BMC Ophthalmology, 16(1), 1–6.
https://doi.org/10.1186/s12886-016-0388-9

Syawal, A. I., Bambang, H., & Febriani, R. (2015). Hubungan Pekerjaan Dengan
Kejadian Ulkus Kornea Di Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang
Periode Januari 2010 Sampai Dengan Desember 2013 [Universitas
Muhammadiyah Palembang]. http://repository.um-
palembang.ac.id/id/eprint/1623%0A

Wang, C. A., & Munoz, D. P. (2015). A circuit for pupil orienting responses:
Implications for cognitive modulation of pupil size. Current Opinion in
Neurobiology, 33(Figure 1), 134–140.
https://doi.org/10.1016/j.conb.2015.03.018

Watson, S., & Lowe, G. (2019). Ocular anatomy and physiology relevant to
anaesthesia. Anaesthesia and Intensive Care Medicine, 20(12), 710–715.
https://doi.org/10.1016/j.mpaic.2019.10.004

Weisenthal, R. W., Daly, M. K., Freitas, D. De, Feder, R. S., Orlin, S. E., Tu, E.
Y., Meter, W. S. Van, & Verdier, D. D. (2018). 2018-2019 BCSC (Basic and
Clinical Science Course): Section 08-External Disease and Cornea.
American Academy of Ophthalmology.

WHO. (2018). Blindness and vision impairment. World Health Organization.


https://www.who.int/en/news-room/fact-sheets/detail/blindness-and-visual-
impairment

Anda mungkin juga menyukai