Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

STEVEN JOHNSON SYNDROME (SJS)

A. KONSEP PENYAKIT
a. Definisi
Sindrom Steven Jhonson atau dalam bahasa inggris Stevens-Johnson sindrom (SJS)
adalah suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan
pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat.
Sinonimnya antara lain : sindrom de Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiform
mayor, eritema poliform bulosa, sindrom muko-kutaneo-okular, dermatostomatitis, dll. Selain
nama sindrom Steven Johnson, ada TEN (Toksic Epidermal Necrolisys) dimana ketika lesi
kulit kurang dari 10% total dari tubuh disebut Sindrom Stevens Johnsons, 10-30%
kerusakan kulit disebut transisi, sementara jika lebih dari 30% disebut TEN
Stevens Johnson Syndrome adalah sebuah kondisi mengancam jiwa yang mempengaruhi
kulit dimana kematian sel menyebabkan epidermis terpisah dari dermis. Sindrom ini
diperkirakan oleh karena reaksi hipersensitivitas yang mempengaruhi kulit dan membrane
mukosa. Walaupun pada kebanyakan kasus bersifat idiopatik, penyebab utama yang diketahui
adalah dari pengobatan, infeksi dan terkadang keganasan. (Amin Huda Nurarif 2015).
Sindrom Stevens- Johnsons merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir
diorifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat. Kelainan
pada kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura. (Arif Muttaqin, 2012).
Sindrom Steven Johnson Adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium
dan mata dengan keadaan umum berfariasi dari ringan sampai berat kelainan pada kulit
berupa eritema vesikel / bula, dapat disertai purpura. ( Djuanda, 2000).

b. Etiologi
Hampir semua kasus SJS disebabkan oleh reaksi toksik terhadap obat, terutama antibiotik
(mis. obat sulfa dan penisilin), antikejang (mis. fenitoin) dan obat antinyeri, termasuk yang
dijual tanpa resep (mis. ibuprofen). Terkait HIV, penyebab SJS yang paling umum adalah
nevirapine (hingga 1,5% penggunanya) dan kotrimoksazol (jarang). Reaksi ini dialami segera
setelah mulai obat, biasanya dalam 2-3 minggu. Walaupun abacavir dapat menyebabkan
reaksi gawat pada kulit, reaksi ini tidak terkait dengan SJS. Eritema multiforme dapat
disebabkan oleh herpes simpleks, tetapi penyakit ini jarang menjadi gawat.
Beberapa penyebab Sindrom Stevens Johnson :
1) Infeksi (biasanya merupakan lanjutan dari infeksi seperti virus herpes simpleks, influenza,
gondongan/mumps, histoplasmosis, virus Epstein-Barr, atau sejenisnya).
2) Efek samping dari obat-obatan (allopurinol, diklofenak, fluconazole, valdecoxib,
sitagliptin, penicillin, barbiturat, sulfanomide, fenitoin, azitromisin, modafinil, lamotrigin,
nevirapin, ibuprofen, ethosuximide, carbamazepin).
3) Keganasan (karsinoma dan limfoma).
4) Faktor idiopatik (hingga 50%).
5) Sindrom Stevens Johnson juga dilaporkan secara konsisten sebagai efek samping yang
jarang dari suplemen herbal yang mengandung ginseng. Sindrom Steven Johnson juga
mungkin disebabkan oleh karena penggunaan kokain.
6) Walaupun SJS dapat disebabkan oleh infeksi viral, keganasan atau reaksi alergi berat
terhadap pengobatan, penyebab utama nampaknya karena penggunaan antibiotic dan
sulfametoksazole. Pengobatan yang secara turun menurun diketahui menyebabkan SJS,
eritem multiformis, sindrom Lyell, dan nekrolisis epidermal toksik diantaranya
sulfanomide (antibiotik), penisilin (antibiotic), berbiturate (sedative), lamotrigin
(antikonvulsan), fenitoin-dilantin (antikonvulsan). Kombinasi lamotrigin dengan asam
valproat meningkatkan resiko dari terjadinya SJS.

c. Patofisiologi
Patogenesisnya belum jelas, diperkirakan karena reaksi alergi tipe III dan IV. Reaksi tipe
III terjadi akibat terbentuknya kompleks antigen antibodi yang membentuk
mikropresitipasi sehingga terjadi aktivasi sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi
neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada
organ sasaran. Reaksi tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersensitisasi berkontak kembali
dengan antigen yang sama, kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang.
Pada beberapa kasus yang dilakukan biopsi kulit dapat ditemukan endapan IgM, IgA, C3,
dan fibrin, serta kompleks imun beredar dalam sirkulasi. Antigen penyebab berupa hapten
akan berikatan dengan karier yang dapat merangsang respons imun spesifik sehingga
terbentuk kompleks imun beredar. Hapten atau karier tersebut dapat berupa faktor penyebab
(misalnya virus, partikel obat atau metabolitnya) atau produk yang timbul akibat aktivitas
faktor penyebab tersebut (struktur sel atau jaringan sel yang rusak dan terbebas akibat infeksi,
inflamasi, atau proses metabolik). Kompleks imun beredar dapat mengendap di daerah kulit
dan mukosa, serta menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen dan reaksi
inflamasi yang terjadi.
Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas sel T serta mediator yang
dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat sebagai kelainan klinis lokal di kulit dan
mukosa dapat pula disertai gejala sistemik akibat aktivitas mediator serta produk inflamasi
lainnya. Adanya reaksi imun sitotoksik juga mengakibatkan apoptosis keratinosit yang
akhirnya menyebabkan kerusakan epidermis.
d. Patway

Obat-obatan,makanan, Kelainan
infeksi virus, keganasan hipersensitifitas

Hipersensitifitas tipe IV Hipersensitifitas tipe III

Limfosit T tersintesisasi Antigen antibody


terbentuk terperangkap
dalam jaringan kapiler
Pengaktifan sel T

Aktivasi S. komplemen
Melepaskan limfokin/
sitotoksik
Degranulasi sel mast
Penghancuran sel-sel
Akumulasi netrofil
memfagositosis sel
Reaksi peradangan rusak

Melepas sel yang rusak


Nyeri Hipertermi

Kerusakan jaringan

Triase gangguan pada


kulit, mukosa dan mata

Gangguan integritas
kulit/jaringan

Respon lokal : eritema, Respon inflamasi Respon psikologis


vesikel dan bula sistemik
Kondisi kerusakan
Port de entree jaringan kulit
Gangguan
Resiko infeksi gastrointestinal demam, Ansietas
malaise

Ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh

Deficit perawatan diri


e. Manifestasi Klinis
Perjalanan penyakit sangat akut dan mendadak dapat disertai gejala prodormal berupa
demam tinggi (30ºC - 40ºC), mulai nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan yang
dapat berlangsung 2 minggu. Gejala-gejala ini dengan segera akan menjadi berat yang
ditandai meningkatnya kecepatan nadi dan pernafasan, denyut nadi melemah, kelemahan
yang hebat serta menurunnya kesadaran, soporous sampai koma.
Gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, malaise, batuk, koriza, sakit
menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat
berat dan kombinasi gejala tersebut. Kulit berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara
simetris pada hampir seluruh tubuh. Mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi,
perdarahan dan kusta berwarna merah. Bula terjadi mendadak dalam 1-14 hari gejala
prodormal, muncul pada membran mukosa, membran hidung, mulut, anorektal, daerah
vulvovaginal, dan meatus uretra. Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis merupakan
gambaran utama.
Mata : konjungtivitas kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak mata
edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat
menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler merupakan faktor pencetus yang
menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi kronik dari
mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai
terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai 31
tahun.
Pada sindroma ini terlihat adanya trias kelainan berupa :
1) Kelainan kulit
Kelainan pada kulit dapat berupa eritema, vesikal, dan bulla. Eritema berbentuk cincin
(pinggir eritema tengahnya relatif hiperpigmentasi) yang berkembang menjadi urtikari
atau lesipapuler berbentuk target dengan pusat ungu atau lesi sejenis dengan vesikel kecil.
Vesikel kecil dan bulla kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping
itu dapat juga terjadi erupsi hemorrhagis berupa ptechiae atau purpura. Bila disertai
purpura, prognosisnya menjadi lebih buruk. Pada keadaan yang berat kelainannya menjadi
Generalisata.
2) Kelainan selaput lendir di orifisium
Kelainan selaput lendir di orifisium yang tersering ialah pada mukosa mulut/bibir (100%),
kemudian disusul dengan kelainan di lubang alat genetalia (50%), sedangkan dilubang
hidung dan anus jarang (masing-masing 8% - 4%). Kelainan yang terjadi berupa stomatitis
dengan vesikel pada bibir, lidah, mukosa mulut bagian buccal stomatitis merupakan
gejala yang dini dan menyolok. Stomatitis ini kemudian menjadi lebih berat dengan
pecahnya vesikel dan bulla sehingga terjadi erosi, excoriasi, pendarahan, ulcerasi dan
berbentuk krusta kehitaman. Juga dapat terbentuk pseudomembran. Di bibir kelainan yang
sering tampak ialah krusta berwarna hitam yang tebal. Adanya stomatitis ini dapat
menyebabkan penderita sukar menelan. Kelainan di mukosa dapat juga terjadi di faring,
traktus respiratorius bagian atas dan esophagus. Terbentuknya pseudomembran di faring
dapat memberikan keluhan sukar bernafas dan penderita tidak dapat makan dan minum.
3) Kelainan mata
Kelainan pada mata merupakan 80% diantara semua kasus, yang sering terjadi ialah
conjunctivitis kataralis. Selain itu dapat terjadi conjunctivities purulen, pendarahan,
simblefaron, ulcus kornea, iritis/iridosiklitis yang pada akhirnya dapat terjadi kebutaan
sehingga dikenal trias yaitu stomatitis, conjunctivities, balantis uretritis.

f. Klasifikasi
Terdapat 3 derajat klasifikasi Sindrom Stevens Johnsons :
1) Derajat 1 : erosi mukosa SJS dan pelepasan epidermis kurang dari 10%.
2) Derajat 2 : lepasnya lapisan epidermis antara 10-30%.
3) Derajat 3 : lepasnya lapisan epidermis lebih dari 30%

g. Komplikasi
Sindrom Steven Johnsons sering sering menimbulkan komplikasi, antara lain :
 Kehilangan cairan dan darah.
 Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, shock.
 Oftalmologi – ulserasi kornea, uveitis anterior, panophthalmitis, kebutaan.
 Gastroenterologi – Esophageal strictures.
 Genitourinaria – nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal, penile scarring, stenosis vagina.
 Pulmonari – pneumonia, bronchopneumonia.
 Kutaneus – timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen, infeksi kulit
sekunder.
 Infeksi sitemik, sepsis

h. Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium : biasanya dijumpai leukositosis atau eosinofilia. Bila disangka
penyebabnya infeksi dapat dilakukan kultur darah.
2) Histopatologi : kelainan berupa infiltrat sel mononuklear, oedema dan ekstravasasi sel
darah merah, degenarasi lapisan basalis. Nekrosis sel epidermal dan spongiosis dan edema
intrasel di epidermis.
3) Imunologi : dijumpai deposis IgM dan C3 di pembuluh darah dermal superficial serta
terdapat komplek imun yang mengandung IgG, IgM, IgA.
i. Penatalaksanaan Medis dan Non Medis

Penatalaksanaan Medis
1) Kortikosteroid
Penggunaan obat kortikosteroid merupakan tindakan life-saving. Pada sindrom stevens
johnson yang ringan cukup diobati dengan prednison dengan dosis 30 - 40 mg/hari. Pada
bentuk yang berat, ditandai dengan kesadaran yang menurun dan kelainan yang
menyeluruh, digunakan dexametason intravena dengan dosis awal 4 – 6 x 5mg/hari.
Setelah beberapa hari (2-3 hari) biasanya mulai tampak perbaikan (masa kritis telah
teratasi), ditandai dengan keadaan umum yang membaik, lesi kulit yang baru tidak timbul
sedangkan lesi yang lama mengalami involusi. Pada saat ini dosis dexametason
diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan sebanyak 5mg. Setelah dosis mencapai
5mg sehari lalu diganti dengan tablet prednison yang diberikan pada keesokan harinya
dengan dosis 20mg sehari. Pada hari berikutnya dosis diturunkan menjadi 10mg,
kemudian obat tersebut dihentikan. Jadi lama pengobtan kira-kira 10 hari.
2) Antibiotika
Penggunaan antibiotika dimaksudkan untuk mencegah terjadinya infeksi akibat efek
imunosupresif kortikosteroid yang dipakai pada dosis tinnggi. Antibiotika yang dipilih
hendaknya yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas dan bersifat bakterisidal.
Dahulu biasa digunakan gentamisin dengan dosis 2 x 60-80 mg/hari. Sekarang dipakai
netilmisin sulfat dengan dosis 6 mg/kg BB/hari, dosis dibagi dua. Alasan menggunakan
obat ini karena pada beberapa kasus mulai resisten terhadap gentamisin, selain itu efek
sampingnya lebih kecil dibandingkan gentamisin.
3) Menjaga Keseimbangan Cairan, Elektrolit dan Nutrisi
Hal ini perlu diperhatikan karena penderita mengalami kesukaran atau bahkan tidak dapat
menelan akibat lesi di mulut dan ditenggorokan serta kesadaran yang menurun. Untuk ini
dapat diberikan infus yang berupa glukosa 5% atau larutan darrow. Pada pemberian
kortikosteroid terjadi retensi natrium , kehilangan kalium dan efek katabolik. Untuk
mengurangi efek samping ini perlu diberikan diet tinggi protein dan rendah garam, KCl
3x500mg/hari dan obat-obat anabolik. Untuk mencegah penekanan korteks kelenjar
adrenal diberikan ACTH (Synacthen depot) dengan dosis 1mg/hari setiap minggu dimulai
setelah pemberian kortikosteroid.
4) Transfusi Darah
Bila dengan terapi di atas belum tampak tanda-tanda perbaikan dalam 2-3 hari, maka
dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300-500 cc setiap hari selama 2 hari berturut-
turut. Tujuan pemberian darah ini untuk memperbaiki keadaan umum dan menggantikan
kehilangan darah pada kasus dengan purpura yang luas. Pada kasus purpura yang luas
dapat ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg sehari intravena dan obat-obat
hemostatik.
5) Perawatan Topikal
Untuk lesi kulit yang erosif dapat diberikan sofratulle yang bersifat sebagai protektif dan
antiseptic atau krem sulfadiazin perak. Sedangkan untuk lesi dimulut/bibir dapat diolesi
dengan kenalog in obrase. Selain pengobatan diatas, perlu dilakukan konsultasi pada
beberapa bagian yaitu ke bagian THT untuk mengetahui apakah ada kelainan difaring,
karena kadang-kadang terbentuk pseudomembran yang dapat menyulitkan penderita
bernafas.

Penatalaksanaan Non Medis


1) Perawatan pada Kulit
Lesi kulit tidak memerlukan pengobatan spesifik, kebanyakan penderita merasa lebih
nyaman jika lesi kulit diolesi dengan ointment berupa vaselin, polisporin, basitrasin. Rasa
nyeri seringkali timbul pada lesi kulit dikarenakan lesi seringkali melekat pada tempat
tidur. Lesi kulit yang erosive dapat diatasi dengan memberikan sofratulle atau krim
sulfadiazine perak, larutan salin 0,9% atau burow. Kompres dengan asam salisilat 0,1%
dapat diberikan untuk perawatan lesi pada kulit. Kerjasama antara dokter gigi dan
dokter spesialis ilmu penyakit kulit dan kelamin sangat diperlukan.
2) Perawatan pada Mata
Perawatan pada mata memerlukan kebersihan mata yang baik,kompres dengan larutan
salin serta lubrikasi mata dengan air mata artificial dan ointment. Pada kasus yang
kronis,suplemen air mata seringkali digunakan untuk mencegah terjadinya corneal
epithelial breakdown. Antibiotik topikal dapat digunakan untuk menghindari terjadinya
infeksi sekunder.
3) Perawatan pada Genital
Larutan salin dan petroleum berbentuk gel sering digunakan pada area genital penderita.
Penderita sindrom Stevens-Johnson yang seringkali mengalami gangguan buang air kecil
akibat uretritis, balanitis, atau vulvovaginitis, maka kateterisasi sangat diperlukan untuk
memperlancar buang air kecil.
4) Perawatan pada Oral
Rasa nyeri yang disebabkan lesi oral dapat dihilangkan dengan pemberian anastetik
topical dalam bentuk larutan atau salep yang mengandung lidokain 2%. Campuran 50%
air dan hydrogen peroksida dapat digunakan untuk menyembuhkan jaringan nekrosis
pada mukosa pipi. Antijamur dan antibiotik dapat digunakan untuk mencegah
superinfeksi. Lesi pada mukosa bibir yang parah dapat diberikan perawatan berupa
kompres asam borat 3%. Lesi oral pada bibir diobati dengan boraks-gliserin atau
penggunaan triamsinolon asetonid. Triamsinolon asetonid merupakan preparat
kortikosteroid topical. Kortikosteroid yang biasa digunakan pada lesi oral adalah bentuk
pasta. Pemakaian pasta dianjurkan saat sebelum tidur karena lebih efektif. Sebelum
dioleskan, daerah sekitar lesi harus dibersihkan terlebih dahulu kemudian dikeringkan
menggunakan spons steril untuk mencegah melarutnya pasta oleh saliva. Apabila pasta
larut oleh saliva, obat tidak dapat bekerja dengan optimum sehingga tidak akan diperoleh
efek terapi yang diharapkan.

B. Konsep Asuhan Keperawatan


a. Pengkajian
a. Anamnesa riwayat pengobatan pasien.
b. Gambaran klinik.
c. Histopatologi.
d. Riwayat Kesehatan : riwayat alergi, reaksi alergi terhadap makanan, obat serta zat kimia,
masalah kulit sebelumnya dan riwayat kanker kulit.
e. Pemeriksaan kulit infeksi
I : warna, suhu, kelembapan, kekeringan, factor
P : turgor kulit, edema
Data Fokus :
 DS : Gatal-gatal pada kulit, sulit menelan, pandanganya kabur, aktivitas menurun.
 DO : Kemerah-merahan, memegangi tenggorokan, gelisah, tampak lemas dalam
aktivitas
Data Penunjang :
 Laboratorium : leukositosis atau esosinefilia
 Histopatologi : infiltrat sel mononuklear, oedema dan ekstravasasi sel darah merah,
degenerasi lapisan basalis, nekrosis sel epidermal, spongiosis danedema intrasel di
epidermis.
 Imunologi : deposis IgM dan C3 serta terdapat komplek imun yangmengandung IgG,
IgM, IgA.B.

No Data Etiologi Masalah


1. Tanda mayor Obat-obatan,makanan, infeksi Gangguan integritas kulit
jaringan
DS : - virus,keganasan

DO : kerusakan Kelainan
Hipersensitifitas
jaringan/atau
lapisan kulit
Hipersensitifitas tipe III

Tanda minor
DS : - Antigen antibody terbentuk
terperangkap dalam jaringan
kapiler
DO :
1. nyeri Aktivasi S. komplemen
2. perdarahan
3. kemerahan Degranulasi sel mast
4. hematomia

Akumulasi netrofil
memfagositosis sel rusak

Melepas sel yang rusak

Kerusakan jaringan

Triase gangguan pada kulit,


mukosa dan mata

Gangguan integritas jaringan

2. Tanda mayor Kelainan Hipertermi


DS : -
hipersensitifitas

DO : suhu tubuh
Hipersensitifitas tipe IV
diatas normal
Tanda minor Limfosit T tersintesisasi
DS : -

Pengaktifan sel T
DO :
1. Kulit merah
2. kejang
3. takikardi
Melepaskan limfokin/ sitotoksik

4. takipnea
5.kulit terasa Penghancuran sel-sel

hangat
Reaksi peradangan

hipertermi

3. Tanda mayor Gangguan integritas Ketidakseimbangan


DS : -
kulit/jaringan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh
Respon inflamasi
DO : berat badan
menurun minimal
Gangguan gastrointestinal
10 % di bawah
demam, malaise
rentang ideal
Ketidakseimbangan nutrisi
Tanda minor : kurang dari kebutuhan tubuh
DS : 1. Cepat
kenyang setelah
makan
2. kram/ nyeri
abdomen
3. nafsu makan
menurun

DO : 1. Bising
usus hiperaktif
2. otot
pengunyah lemah
3. membran
mukosa pucat
4. Tanda mayor Kelainan nyeri
hipersensitifitas
DS:
1. Mengeluh
nyeri Hipersensitifitas tipe IV
DO :
1.Tampak Limfosit T tersintesisasi

meringis
2. Bersikap Pengaktifan sel T

protektif
3. Gelisah
Melepaskan limfokin/ sitotoksik
4. Frekuensi
nadi Penghancuran sel-sel
meningkat
5. Sulit tidur Reaksi peradangan

Tanda minor nyeri


DS : -
Data objektif
1. Tekanan
darah
meningkat
2. Pola nafas
berubah
3. Nafsu makan
berubah
3. Proses
berfikir
terganggu

b. Diagnosis Keperawatan
1) Gangguan integritas kulit b.d lesi dan reaksi inflamasi lokal.
2) Hipertermi b.d reaksi peradangan
3) Nyeri b.d kerusakan jaringan lunak, erosi jaringan lunak.
4) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake tidak adekuat efek
sekunder dari kerusakan pada mukosa mulut.
c. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional


keperawatan
1. Gangguan Tujuan : 1. Kaji kerusakan 1. Menjadi data dasar
integritas kulit b.d Dalam .. x 24 jaringan kulit untuk memberikan
lesi dan reaksi jam ntegritas yang terjadi pada informasi intervensi
inflamasi lokal. kulit klien. perawatan yang akan
membaik 2. Lakukan digunakan.
secara tindakan 2. Perawatan lokal kulit
optimal. peningkatan merupakan
Kriteria hasil integritas penatalaksanaan
: jaringan. keperawatan yang penting.
Pertumbuha Jika diperlukan berikan
n jaringan kompres hangat, tetapi
membaik harus dilaksanakan dengan
dan lesi hati-hati sekali pada daerah
psoarisis yang erosif atau terkelupas.
berkurang. Lesi oral yang nyeri akan
3. Lakukan oral membuat higiene oral
higiene. dipelihara.
3. Tindakan oral higiene
perlu dilakukan untuk
4. Tingkatkan menjaga agar mulut selalu
asupan nutrisi. bersih
4. Diet TKTP diperlukan
untuk meningkatkan
5. Evaluasi asupan dari kebutuhan
kerusakan pertumbuhan jaringan
jaringan dan 5. Apabila masih belum
perkembangan mencapai dari kriteria
pertumbuhan evaluasi 5 x 24 jam, maka
jaringan. perlu dikaji ulang faktor-
faktor menghambat
6. Kolaborasi pertumbuhan dan
untuk pemberian perbaikan dari lesi.
kortikosteroid. 6. Kolaborasi pemberian
glukokortikoid misalnya
metil prednisolon 80-120
mg peroral (1,5 –
2mg/KgBB/hari) atau
pemberian deksametason
7. Kolaborasi injeksi (0,15 – 0,2
untuk pemberian mg/KgBB/hari).
antibiotik. 7. Pemberian antibiotik
untuk infeksi dengan
catatan menghindari
pemberian sulfonamide
dan antibiotik yang sering
juga sebagai penyebab SJS
misalnya penisilin,
cephalosporin.
2. Hipertermi b.d Tujuan : 1. monitor suhu 1. mengetahui perubahan
reaksi peradangan Dalam waktu tubuh suhu tubuh pasien
- x 24 jam 2. membantu
setelah 2. longgarkan mempermudah penguapan
diberikan atau lepaskan panas
asuhan pakaian 3. mencegah terjadinya
kepetawatan 3. berikan cairan infesi sewaktu panas
suhu tubuh elektrolit
normal. 4. anjurkan tirah 4. meminimalisir produksi
terpenuhi. baring panas yang diproduksi
Kriteria hasil tubuh
: 1.suhu
noemal
2. ttv normal

3. Nyeri b.d Tujuan : 1. Kaji nyeri 1. Menjadi parameter


kerusakan Dalam waktu dengan dasar untuk mengetahui
jaringan lunak, …x24 jam pendekatan sejauh mana intervensi
erosi jaringan nyeri PQRST yang diperlukan dan
lunak. berkurang sebagai evaluasi
/hilang atau keberhasilan dari intervensi
teradaptasi. manajemen nyeri
Kriteria hasil 2. Lakukan keperawatan
: manajemen nyeri 2. Posisi fisiologis akan
Secara keperawatan meningkatkan asupan O2
subjektif kejaringan yang mengalami
melaporkan -Atur posisi peradangan.
nyeri fisiologis. -Pengaturan posisi idealnya
berkurang adalah pada arah yang
atau dapat berlawanan dengan letak
diadaptasi. -Istirahatkan dari lesi.
Skala nyeri 0- klien. -Istirahat diperlukan
1 (0-4). selama fase akut. Kondisi
Dapat ini akan meningkatkan
mengidentifi suplai darah pada jaringan
kasi aktivitas yang mengalami
yang peradangan.
meningkatka Kompres yang basah dan
n atau sejuk atau terapi rendaman
menurunkan merupakan tindakan
nyeri. Pasien -Bila perlu protektif yang dapat
tidak gelisah. premidikasi mengurangi rasa nyeri.
sebelum -Pasien dengan lesi yang
melakukan luas dan nyeri harus
perawatan luka. mendapatkan premidikasi
dahulu dengan preparat
analgesik sebelum
-Manajemen perawatan kulitnya mulai
lingkungan : dilakukan.
lingkungan -Lingkungan tenang akan
tenang dan batasi menurunkan stimulus nyeri
pengunjung. eksternal dan pembatasan
pengunjung akan
membantu meningkatkan
kondisi O2 ruangan yang
akan berkurang apabila
-Ajarkan tekhnik banyak pengunjung yang
relaksasi berada di ruangan.
pernapasan -Meningkatkan asupan O2
dalam. sehingga akan menurunkan
-Ajarkan tekhnik nyeri sekunder dari
distraksi pada peradangan
saat nyeri -Distraksi (pengalihan
perhatian) dapat
menurunkan stimulus
internal dengan
mekanisme peningkatan
produksi endorfin dan
enkefalin yang dapat
memblok reseptor nyeri
untuk tidak dikirimkan ke
-Lakukan korteks serebri sehingga
manajemen menurunkan persepsi
sentuhan. nyeri.
-Manajemen sentuhan
pada saat nyeri berupa
sentuhan dukungan
psikologis dapat membantu
menurunkan nyeri.
Masase ringan dapat
meningkatkan aliran darah
dan dengan otomatis
3. Kolaborasi membantu suplai darah
dengan dokter, dan oksigen ke area nyeri
pemberian dan menurunkan sensasi
analgetik. nyeri.
3.Analgetik memblok
lintasan nyeri sehingga
nyeri akan berkurang.

4. Ketidakseimbanga Tujuan : 1. Kaji status 1. Memvalidasi dan


n nutrisi kurang Dalam waktu nutrisi pasien, menetapkan derajat
dari kebutuhan - x 24 jam turgor kulit, BB masalah untuk
tubuh b.d intake setelah dan derajat menetapkan pilihan
tidak adekuat efek diberikan penurunan BB, intervensi yang tepat.
sekunder dari asuhan integritas mukosa Berat badan pasien
kerusakan pada kepetawatan oral, kemampuan ditimbang setiap hari (jika
mukosa mulut. asupan menelan, serta perlu gunakan timbangan
nutrisi pasin riwayat tempat tidur).
terpenuhi mual/muntah. Lesi oral dapat
Kriteria hasil mengakibatkan disfagia
: 1.Pasien sehingga memerlukan
dapat 2. Evaluasi pemberian makanan
mempertaha adanya alergi melalui sonde atau terapi
nkan status makanan dan nutrisi parenteral total.
asupan kontraindikasi 2. Beberapa pasien
nutrisi yang makanan. mungkin mengalami alergi
adekuat. terhadap beberapa
2. komponen makanan
Pernyataan 3. Fasilitasi pasien tertentu dan beberapa
motivasi kuat memperoleh diet penyakit lain, seperti
untuk biasa yang disukai diabetes mellitus,
memenuhi pasien (sesuai hipertensi, gout, dan
kebutuhan indikasi). lainnya yang memberikan
nutrisinya. 4. Lakukan dan manifestasi terhadap
Penurunan ajarkan persiapan komposisi
berat badan perawatan mulut makanan yang akan
selama … x sebelum dan diberikan.
24 jam tidak sesudah makan, 3. Memperhitungkan
melebihi dari serta sebelum keinginan individu dapat
0,5 kg. dan sesudah memperbaiki asupan
intervensi/ nutrisi.
pemeriksaan
peroral.
5. Berikan makan 4. Menurunkan rasa tak
dengan perlahan enak karena sisa makanan
pada lingkungan atau bau obat yang dapat
yang tenang. merangsang pusat muntah.
6. Kolaborasi
dengan ahli gizi
untuk
menetapkan
komposisi dan
jenis diet yang 5. Pasien dapat
tepat. berkonsentrasi pada
mekanisme makan tanpa
adanya distraksi/ gangguan
dari luar.
6. Merencanakan diet
dengan kandungan nutrisi
yang adekuat untuk
memenuhi peningkatan
kebutuhan energi dan
kalori sehubungan dengan
status hipermetabolik
pasien.

LAPORAN KASUS

Tn D usia 30 tahun datang ke RS dengan keluhan gatal- gatal pada tubuh klien serta adanya
bengkak dan kemerahan pada kulit dan lidah, klien sering mengalami alergi terhadap
makanan laut seperti udang. saat dilakukan pemeriksaan fisik tingkat kesadaran klien
samnolen, TD 120/90 mmHg, N 70 x/m, S 38,5 0C, RR 26 x/m. adanya bintik bintik
kemerahan pada wajah dan smua kulit klien,
Pemeriksaan penunjang : Leukosit: 15.000/mm3, Imunologi : Deposis IgM dan C3 serta
terdapat komplek imun yang mengandung IgG, IgM, IgA.

A. PENGKAJIAN

I. Biodata
Nama pasien : Tn. D
Umur : 30 tahun
Jenis kelamin Agama : Laki-laki
Pendidikan :-
Pekerjaan :-
Suku/bangsa :-
Diagnose modis : Steven Johnson Syndrome (Sjs)
Alamat :-

II. Riwayat Kesehatan Klien


 Keluhan utama :
gatal- gatal pada tubuh klien
 Riwayat penyakit sekarang
Pasien mengeluhkan gatal- gatal pada tubuh klien serta adanya bengkak dan
kemerahan pada kulit dan lidah. Dan adanya bintik- bintik kemerahan pada
wajah dan semua kulit klien.

 Riwayat alergi
Pasien mengatakan sering mengalami alergi terhadap makanan laut seperti
udang.
III. Pemeriksaan fisik

 Kesadaran : samnollen
 TD : 120/90 mmHg
 Nadi : 70 x/menit
 Suhu : 38,5 °C
 Respirasi : 26 x/menit
 Pemeriksaan fisik
Kulit dan wajah : adanya kemerahan dan bengkak pada kulit , adanya bintik-
bintik kemerahan pada wajah dan semua kulit klien.

IV. Pemeriksaan penunjang


Leukosit : 15.000/mm3
Imunologi : Deposis IgM dan C3 serta terdapat komplek imun yang
mengandung IgG, IgM, IgA.

V. Analisa Data

No Data Etiologi Masalah


1. Ds : Obat-obatan,makanan, Gangguan integritas
kulit
- pasien menegeluh gatal-gatal infeksi virus,keganasan
pada tubuh pasien serta adanya
bengkak dan kemerahan pada
kulit dan lidah Kelainan
Hipersensitifitas
- klien sering mengalami alergi
terhadap makanan laut seperti
udang
Hipersensitifitas tipe III

Do : Leukosit : 15.000/mm3
Imunologi : Deposis IgM Antigen antibody
dan C3 serta terdapat komplek terbentuk terperangkap
imun yang mengandung IgG, dalam jaringan kapiler
IgM, IgA.

Aktivasi S. komplemen

Degranulasi sel mast

Akumulasi netrofil
memfagositosis sel
rusak

Melepas sel yang


rusak

Kerusakan jaringan

Triase gangguan pada


kulit, mukosa dan mata

Gangguan integritas
kulit

2. Ds : - Kelainan hipertermi
hipersensitifitas
Do :

TD : 120/90 mmHg
Hipersensitifitas tipe IV
Nadi : 70 x/menit
Suhu : 38,5 °C Limfosit T tersintesisasi

Respirasi : 26 x/menit
Pengaktifan sel T
Melepaskan limfokin/
sitotoksik

Penghancuran sel-sel

Reaksi peradangan

hipertermi

VI. Diagnosa
1. gangguan integritas kulit b.d kelainan hipersensitifitas pada kulit
2. hipertermi b.d reaksi peradangan

VII. Intervensi
N Dx kep Tujuan Intervensi
o
1. gangguan integritas Tujuan : Dalam .. 2x 1. Kaji kerusakan jaringan
kulit b.d kelainan 24 jam ntegritas kulit kulit yang terjadi pada klien.

hipersensitifitas pada membaik secara 2. Lakukan tindakan


optimal. peningkatan integritas
kulit
Kriteria hasil : jaringan.
Pertumbuhan kulit
3. Lakukan oral higiene.
jaringan membaik dan
kemerahan berkurang 4. Tingkatkan asupan nutrisi.
dan gatal gatal
5. Evaluasi kerusakan
berkurang
jaringan dan perkembangan
pertumbuhan jaringan.
6. Kolaborasi untuk
pemberian kortikosteroid.

2. Hipertermi b.d reaksi Tujuan : Dalam waktu 1. monitor suhu tubuh


peradangan - x 24 jam setelah
diberikan asuhan 2. longgarkan atau lepaskan
kepetawatan suhu tubuh pakaian
normal. terpenuhi. 3. berikan cairan elektrolit
Kriteria hasil : 1.suhu 4. anjurkan tirah baring
noemal
2. ttv normal

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai