Anda di halaman 1dari 36

MAKALAH

SINDROM STEVEN JHONSON ( SSJ )

Disusun Oleh:

Kelompok 17

Sukma Ramadani
NIM : 1440110118173
Kelas 4 B
YAYASAN WAHANA BHAKTI KARYA HUSADA
PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN
AKADEMI KEPERAWATAN RS. MARTHEN INDEY
J A Y A P U RA
2020

KATA PENGANTAR
Pertama-tama saya ucapkan puji syukur kehadirat Allah ta’ala, karena atas
berkat, rahmat, dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan makalah ini. Tak lupa
shalawat dan salam Penulis haturkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, Sang
Sebaik-baik teladan. Makalah ini merupakan hasil diskusi yang disusun dengan
persiapan yang maksimal. Untuk itu, saya ingin menyampaikan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Bu Siti Patimah selaku pembimbing di Akademi
Keperawatan RS Marthen Indhey.
Diharapkan kritik dan saran agar bisa menjadi lebih baik lagi .

Jayapura, 21 juni 2020

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................ii

DAFTAR ISI...........................................................................................................iii

BAB I......................................................................................................................iv

PENDAHULUAN..................................................................................................iv

A. Latar Belakang.........................................................................................iv

B. Tujuan Penulisan.......................................................................................v

BAB II......................................................................................................................1

TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................................1

A. KONSEP MEDIS......................................................................................1

1. Definisi Sindrom Steven Johnson.............................................................1

2. Etiologi......................................................................................................2

3. Anatomi Fisiologi Kulit.............................................................................3

4. Patofisiologi...............................................................................................7

5. Manifestasi Klinis......................................................................................8

6. Pathways..................................................................................................11

7. Pemeriksaan Penunjang...........................................................................12

8. Penatalaksanaan.......................................................................................12

B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN..................................................13

1. Pengkajian...............................................................................................13

2. Diagnosa Keperawatan............................................................................14

3. Perencanaan Keperawatan.......................................................................15

iii
BAB III...................................................................................................................vi

PENUTUP...............................................................................................................vi

A. Kesimpulan...............................................................................................vi

B. Saran.........................................................................................................vi

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................vii

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sindrom steven jhonson merupakan kelainan kulit yang bersifat fatal dan
merupakan kondisi paling ekstrim dari eritema multiformis. Kondisi ini
dipicu oleh penggunaan medikasi. Antibiotik, agens anti kejang NSAID, dan
sulfonamida adalah obat-obatan yang paling sering menimbulkan kejadian
ini. Seluruh permukaan tubuh dapat dipenuhi oleh eritema dan lepuhan
(Brunner & Suddarth, 2013)
Sindrom Steven Johnson ditemukan oleh dua dokter anak Amerika, yaitu
A. M. Steven dan S.C Johnson, 1992 Sindrom Steven Johnson yang bisa
disingkat SSJ merupakan reaksi alergi yang hebat terhadap obat-obatan.
Penyakit ini umumnya menyerang anak-anak dan dewasa maupun muda,
jarang dijumpai pada anak usia 3 tahun kebawah. Perbandingan antara pria
dan wanita tidak berbeda jauh, di rumah Sakit Ciptomangunkusumo setiap
tahun kira-kira ditemukan 10 kasus. Pada cuaca yang dingin, penyakit ini
sering ditemukan juga adanya faktor fisik pada lingkungan seperti sinar
matahari dan sinar X yang akan mempengaruhi timbulnya sindrom ini
(https://www.academia.edu/).
Dari data yang dijelaskan diatas, penulis tertarik untuk membahas perihal
sindrom steven johnson karena sindrom steven johnson sangat berbahaya
bahkan dapat menyebabkan kematian. Sindrom ini tidak menyerang anak
dibawah 3 tahun, dan penyebab sindrom steven johnson sendiri sangat
bervariasi ada yang dari obat-obatan dan dari alergi yang hebat.

v
B. Tujuan Penulisan
Tujuan penyusun dalam penyusunan makalah ini terbagi menjadi dua
bagian, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus, dimana :
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dalam penyusunan makalah ini yaitu untuk mengetahui
dan memahami tentang konsep dasar penyakit sindrom steven johnson
dan asuhan keperawatan yang benar pada pasien dengan sindrom steven
johnson..
2. Tujuan Khusus
Dapat mengetahui dan memahami tentang konsep dasar penyakit
sindrom steven johnson yang meliputi definisi sindrom steven johnson,
etiologi, anatomi fisiologi kulit, patofisiologi, manifestasi klinis,
pathways, pemeriksaan penunjang, dan penatalaksanaan.

Dapat mengidentifikasi konsep asuhan keperawatan yang benar pada klien


dengan sindrom steven johnson yang meliputi pengkajian, diagnosa
keperawatan, dan perencanaan keperawatan.

vi
vii
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP MEDIS

1. Definisi Sindrom Steven Johnson

Sindrom steven jhonson merupakan kelainan kulit yang bersifat


fatal dan merupakan kondisi paling ekstrim dari eritema multiformis.
Kondisi ini dipicu oleh penggunaan medikasi. Antibiotik, agens anti
kejang NSAID, dan sulfonamida adalah obat-obatan yang paling sering
menimbulkan kejadian ini. Seluruh permukaan tubuh dapat dipenuhi
oleh eritema dan lepuhan (Brunner & Suddarth, 2013)

Stevens Johnson Syndrome adalah sebuah kondisi mengancam jiwa


yang mempengaruhi kulit dimana kematian sel menyebabkan epidermis
terpisah dari dermis. Sindrom ini diperkirakan oleh karena reaksi
hipersensitivitas yang mempengaruhi kulit dan membrane mukosa.
Walaupun pada kebanyakan kasus bersifat idiopatik, penyebab utama
yang diketahui adalah dari pengobatan, infeksi dan terkadang
keganasan. (Kusuma & Nurarif, 2015)

Sindrom Steven Johnson merupakan sindrom yang mengenai kulit,


selaput lendir diorifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi
dari ringan sampai berat. Kelainan pada kulit berupa eritema,
vesikel/bula, dapat disertai purpura. (Muttaqin, 2012).

Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa sindrom


steven johnson yaitu suatu sindrom yang terjadi pada kulit/integumen,
dimana seluruh permukaan tubuh dipenuhi oleh eritema dan lepuhan,

1
yang kebanyakan diketehui disebabkan oleh respon dari pengobatan,
infeksi, dan terkadang keganasan. Terdapat tiga derajat klasifikasi yang
diajukan menurut (Kusuma & Nurarif, 2015):

a. Derajat 1 : erosi mukosa SSJ dan pelepasan epidermis kurang


dari 10%
b. Derajat 2 : lepasnya lapisan epidermis antara 10-30%
c. Derajat 3 : lepasnya lapisan epidermis lebih dari 30%

2. Etiologi

Menurut (Porth & Maffin, 2009 dalam Brunner & Suddarth, 2010)
sindrom steven johnson dipicu oleh reaksi obat. Etiologinya tidak
diketahui, tetapi kemungkinan berhubungan dengan sistem imun dan
bisa berupa suatu reaksi terhadap obat atau kelainan sekunder akibat
infeksi virus. Antibiotik, antikonvulsan, butazon dan sulfonamid
merupakan obat yang paling sering terlibat.

Beberapa penyebab sindrom steven johnson menurut (Kusuma &


Nurarif, 2015):

a. Infeksi (biasanya merupakan lanjutan dari infeksi seperti virus


herpes simpleks, influenza, gondongan/mumps, histoplasmosis,
virus EpsteinBarr, atau sejenisnya).
b. Efek samping dari obat-obatan (allopurinol, diklofenak,
fluconazole, valdecoxib, sitagliptin, penicillin, barbiturat,
sulfanomide, fenitoin, azitromisin, modafinil, lamotrigin,
nevirapin, ibuprofen, ethosuximide, carbamazepin).
c. Keganasan (karsinoma dan limfoma).
d. Faktor idiopatik (hingga 50%).
e. Sindrom steven johnson juga dilaporkan secara konsisten
sebagai efek samping yang jarang dari suplemen herbal yang

2
mengandung ginseng. Sindrom steven johnson juga mungkin
disebabkan oleh karena penggunaan kokain.
f. Walaupun SSJ dapat disebabkan oleh infeksi viral, keganasan
atau reaksi alergi berat terhadap pengobatan, penyebab utama
nampaknya karena penggunaan antibiotik dan sulfametoksazole.
Pengobatan yang secara turun menurun diketahui menyebabkan
SSJ, eritem multiformis, sindrom Lyell, dan nekrolisis epidermal
toksik diantaranya sulfanomide (antibiotik), penisilin
(antibiotic), berbiturate (sedative), lamotrigin (antikonvulsan),
fenitoin-dilantin (antikonvulsan). Kombinasi lamotrigin dengan
asam valproat meningkatkan resiko dari terjadinya SSJ.

3. Anatomi Fisiologi Kulit

a. Anatomi
kulit digambarkan sebagai pelindung, bersifat sensitif, reparatif,
dan mampu mempertahankan homeostatisnya sendiri. Kulit
menutupi 1,2 sampai 2,3 m3 area dan merupakan organ terberat
dalam tubuh. Ketiga lapisan kulit tersebut adalah bagian terluar
disebut epidermis, bagian tengah disebut dermis, dan bagian dalam
disebut hipodermis atau jaringan subkutan. Apendiks kulit terdiri
atas rambut, kuku, kelenjar keringat ekrin dan apokrin, dan kelenjat
sebasea (Gonce, 2011).

3
Ketiga lapisan kulit, diantaranya :

1) Epidermis atau Kutikula


Epidermis tersusun atas epitelium berlapis dan terdiri
atas sejumlah lapisan sel yang disusun atas dua lapis yang
jelas tampak: selapis lapisan tanduk dan selapis zona
germinalis. Lapisan tanduk terletak paling luar, dan
tersusun atas tiga lapisan sel yang membentuk epidermis,
yaitu stratum korneum, stratum lusidum, dan stratum
granulosum. Sedangkan zona germinalis terletak dibawah
lapisan tanduk dan terdiri atas dua lapisan epitel yang
berbentuk tegas, yaitu sel berduri dan sel basal (Pearce,
2012).
Epidermis tidak berisi pembuluh darah. Saluran kelenjar
keringat menembus epidermis dan mendampingi rambut.
Sel epidermis membatasi folikel rambut. Di atas permukaan
epidermis terdapat garis lekukan yang berjalan sesuai
dengan papil dermis dibawahnya. Garisgaris ini
berbeda=beda; pada ujung jari berbentuk ukiran yang jelas,
yang pada setiap orang berbeda. Maka atas hal ini studi
sidik jari dalam kriminologi dilandaskan (Pearce, 2012).

4
2) Dermis atau Korium
Korium atau dermis tersusun atas jaringan fibrus dan
jaringan ikat yang elastis. Pada permukaan dermis tersusun
papil-papil kecil yang berisi ranitng-ranting pembuluh
darah kapiler (Pearce, 2012).
Ujung akhir saraf sensoris, yaitu puting peraba, terletak
di dalam dermis. Kelenjar keringat yang berbentuk tabung
berbelit-belit dan banyak jumlahnya, terletak di sebelah
dalam dermis, dan salurannya yang keluar melalui dermis
dan epidermis bermuara di atas permukaan kulit di dalam
lekukan halus yang disebut pori. Ada beberapa kelenjar
keringat yang berubah sifat yang dapat dijumpai di kulit
sebelah dalam telinga, yaitu kelenjar serumen (Pearce,
2012).
Kelenjar sebseus adalah kelenjar kantong di dalam kulit.
Bentuknya seperti botol dsan bermuara di dalam folikel
rambut. Kelenjar ini paling banyak terdapat di kepala dan
wajah, yaitu sekitar hidung, mulut, dan telinga, dan sama
sekali tak terdapat dalam kulit tapak tangan dan telapak
kaki. Kelenjarnya dan selurannya dilapisi sel epitel.
Perubahan di dalam sel ini berakibat sekresi berlemak yang
disebut sebum (Pearce, 2012).
3) Hipodermis atau Subkutan
Hipodermis atau lapisan kulit subkutan terdiri atas
jaringan ikat yang diselingi dengan lemak. Lemak
hipodermis memiliki fungsi perlindungan terhadap retensi
panas dan melindungi strukrtur dibawahnya. Selain itu,
lemak di lapisan kulit subkutan berfungsi sebagai tempat
penyimpanan kalori (Gonce, 2011)

5
b. Fisiologi
1) Kulit sebagai organ pengatur panas
Kulit adalah organ utama yang berurusan dengan
pelepasan panas dari tubuh. Sebagian panas menghilang
melalui paru-paru, dan sebagian lagi melalui feses dan
urine. Panas dilepas oleh kulit dengan berbagai cara, yaitu
dengan penguapan, pemancaran, konduksi, dan konveksi
(pengaliran) (Pearce, 2012).
Persarafan vaso-motorik mengendalikan arteriol kutan
dengan dua cara, yaitu vaso-dilatasi dan vaso-konstriksi.
Pada vaso-dilatasi arteriol memekar, kulit menjadi lebih
panas, dan kelebihan panas cepat terpancar dan hilang, dan
juga hilang karenas kelenjar keringat bertambah aktif, dan
karena itu terjadi penguapan cairan dari permukaan tubuh.
Pada vaso-konstriksi pembuluh darah dalam kulit
mengerut, kulit menjadi pucat dan dingin, keringat hampir
dihentikan, dan hilangnya panas dibatasi. Dengan
pengendalian ini pelepasan panas ditambah atau dikurangi
sesuai kebutuhan tubuh (Pearce, 2012).
2) Kulit sebagai indra peraba
Rasa sentuhan yang disebabkan rangsangan pada ujung
saraf di dalam kulit berbeda-beda menurut ujung saraf yang
dirangsang. Perasaan panas, dingin, sakit, semua ini
perasaan yang berlainan. Di dalam kulit terdapat tempat-
tempat tertentu, yaitu tempat perabaan, beberapa sensitif
(peka) terhadap dingin, beberapa terhadap panas, dan lain
lagi terhadap sakit (Pearce, 2012).
Perasaan yang disebabkan tekanan yang dalam, dan
perasaan yang memungkinkan seorang menentukan dan

6
menilai berat suatu benda, timbul pada struktur lebih dalam,
misalnya pada otot dan sendi (Pearce, 2012).
3) Tempat penyimpanan
Kulit dan jaringan dibawahnya bekerja sebagai tempat
penyimpanan air; jaringan adiposa di bawah kulit
merupakan tempat penyimpanan lemak yang utama pada
tubuh (Pearce, 2012).
4) Beberapa kemapuan melindungi dari kulit
Kulit relatif tak tertembus air, dalam arti menghindarkan
hilangnya cairan dari jaringan dan juga menghindarkan
masuknya air ke dalam jaringan, misalnya bila tubuh
terendam air. Epidermis menghalangi cedera pada struktur
di bawahnya dan karena menutupi ujung akhir saraf
sensorik di dalam dermis, maka kulit mengurangi rasa sakit.
Bila epidermis rusak, misalnya karena terbakar sampai
derajat ketiga, proteksi ini hilang dan setiap sentuhan terasa
nyeri, dan eksudasi cairan dari dermis yang sekarang
terbuka ini menyebabkan hilangnya cairan dan elektrolit,
dengan akibatnya klien berada dalam bahaya dehidrasi,
yamg dapat menimbulkan keadaan yang lebih parah
(Pearce, 2012).

4. Patofisiologi

Patogenesisnya belum jelas, diperkirakan karena reaksi alergi tipe


III dan IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks
antigen-antibodi yang membentuk mikropresipitasi sehingga terjadi
aktivasi sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi netrofil yang
kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan
pada organ sasaran. Reaksi tipe IV terjadi akibat limfosit T yang
tersensitisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama, kemudian
limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang (Muttaqin, 2012).

7
8
5. Manifestasi Klinis

Menurut( Brunner & Suddarth, 2013) ta nda- tanda awal sindrom steven

johnson antara lain konjungtiva terasa panas atau gatal, nyeri tekan
kutaneus, demam, sakit kepala, batuk, sakit tenggorokan, malaise
ekstrem, dan mialgia (nyeri dan sakit). Dilanjutkan dengan awitan
eritema yang cepat yang mengenai sebagian besar permukaan tubuh
dan membran mukosa, munculnya bula yang kaku dan luas dibeberapa
area. Di area lain, lapisan epidermis yang luas mengelupas sehingga
jaringan dermis dibawahnya terlihat kuku kaki, kuku tangan, alis dan
bulu mata dapat rontok, begitu juga dengan epidermis di sekitarnya.
Kulit yang sangat sensitif dan kulit yang mengelupas akan
menghasilkan permukaan kulit yang mengeluarkan cairan, mirip
seperti luka bakar partial thickness burn di seluruh tubuh, kondisi ini
disebut juga sindrom kulit melepuh. Pada kasus berat yang mengenai
mukosa, mungkin terdapat bahaya kerusakan pada laring, bronki, dan
esofagus akibat ulserasi.

9
Perjalanan penyakit sangat akut dan mendadak dapat disertai gejala
prodromal berupa demam tinggi (30º - 40ºC), mulai nyeri kepala,
batuk, pilek, dan nyeri tenggorokan yang dapat berlangsung dua
minggu. Gejala-gejala ini dengan segera akan menjadi berat yang
ditandai meningkatnya kecepatan nadi dan pernafasan, denyut nadi
melemah, kelemahan yang hebat serta menunrunnya kesadaran,
soporeus sampai koma (Kusuma & Nurarif, 2015).

Menurut (Kusuma & Nurarif, 2015), pada sindroma ini terlihat


adanya kelainan berupa :

a. Kelainan kulit
Kelainan kulit dapat berupa eritema, vesikal, dan bulla. Eritema
mberbentuk seperti cincin (pinggir eritema tengahnya relatif
hiperpigmentasi) yang berkembang menjadi urtikari atau
lesipapuler berbentuk target dengan pusat ungu atau lesi sejenis
dengan vesikel kecil. Vesikel kecil dan bulla kemudian memecah
sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu dapat juga terjadi
erupsi hemorrhagis berupa ptechiae atau purpura. Bila disertai
purpura, prognosisnya menjadi lebih buruk. Pada keadaan yang
berat kelainannya menjadi generalisate.
b. Kelainan selaput lendir di orifisium
Kelainan selaput lendir di orifisium yang tersering ialah pada
mukosa mulut/bibir (100%), kemudian disusul dengan kelainan di
lubang alat genitalia (50%), sedangkan di lubang hidung dan anus
jarang (masing-masing 8% - 4%). Kelainan yang terjadi berupa
stomatitis dengan vesikel pada bibir, lidah, mukosa mulut bagian
buccal. Stomatitis merupakan gejala yang dini dan menyolok.
Stomatiti kemudian menjadi lebih berat dengann pecahnya vesikel
dan bulla sehingga terjadi erosi, excoriasi, pendarahan, ulcerasi,
dan dan terbentuk krusta kehitaman. Juga dpaat terbentuk

10
psudomembran. Di bibir kelainan yang sering tampak ialah krusta
berwarna hitam yang tevbal. Adanya stomatitis ini dapat
menyebabkan penderita sukar menenlan. Kelainan ini di mukosa
dapat juga terjadi di faring, traktus respiratorus bagian atas, dan
esophagus. Terbentuknya pseudommebran di faring dapat
memberikan keluhan sukar bernafas dan penderitanya tidak dapat
makan dan minum.
c. Kelainan mata
Kelainan pada mata merupsksn 80% diantara semua kasus,
yang sering terjadi ialah conjunctivitis kataralis. Selain itu dapat
terjadi conjunctivitis purulen, pendarahan, simblefaron, ulcus
cornea, iritis/iridosiklitis yang pada akhirnya dapat terjadi kebutaan
sehingga dikenal trias yaitu stomatitis, conjunctivitis, balanitis,
uretritis.

11
6. Pathways

12
(
Kusuma & Nurarif, 2015)

7. Pemeriksaan Penunjang

13
Pemeriksaan untuk mendukung ditegakkannya diagnosis sindrom
steven johnson menurut (Kusuma & Nurarif, 2015), yaitu :

a. Laboratorium : Biasanya dijumpai leukositosis atau eosinofilia.


Bila disangka penyebabnya infeksi dapat dilakukan kultur darah.
b. Histopatologi : Kelainan berupa infiltrat sel mononuklear, oedema,
dan esktravasasi sel darah merah. Degenerasi lapisan basalis.
Nekrosis sel epidermal dan spongiosis dan edema intrasel di
epidermis.
c. Imunologi : Dijumpai deposis IgM dan C3 di pembuluh darah
dermal superficial serta terdapat komplek imun yang mengandung
IgG, IgM, IgA.

8. Penatalaksanaan

Menurut (Brunner & Suddarth, 2013) sasaran penanganan antara


lain mengontrol keseimbangan cairan dan elektrolit, mencegah sepsis,
dan mencegah komplikasi pada mata. Fokus utama penanganan adalah
pemberian asuhan yang suportif, diantaranya yaitu :

a. Semua pengobatan yang tidak penting dihentikan dengan segera.


b. Jika memungkinkan, pasien dirawat di pusat pengobatan luka
bakar.
c. Operasi debridemen atau hidroterapi yang dilakukan di awal untuk
mengangkat kulit yang rusak.
d. Sumpel jaringan dari nasofaring, mata, telinga, darah, urine, kulit,
dan lepuhan yang tidak pecah digunakan untuk mengidentifikasi
pathogen.
e. Cairan intravena diberikan untuk mempertahankan keseimbangan
cairan dan elektrolit.
f. Penggantian cairan diberikan melalui NGT dan oral secepat
mungkin.

14
g. Kortikosteroid sistemik diberikan di awal proses penyakit.
h. Pemberian imunoglobulin melalui intravena (IVIG) dapat
mempercepat perbaikan kondisi dan penyembuhan kulit.
i. Kulit dilindungi dengan agens topikal; antibakteri topikal dan
agens anestesi digunakan untuk mencegah sepsis pada luka..
j. Balutan biologis sementara (pigskin, membran amnion) atau
balutan plastik semipermeabel (vigilon) dapat digunakan.
k. Perawatan orofaring dan perawatan mata yang cermat sangat
penting ketika membran mukosa dan mata mengalami gangguan
berat.

B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian

Menurut (Smeltzer, Suzanne C, 2010) inspeksi kulit yang cermat


harus dilakukan, dan penampilan kulit serta luas lesi dicatat. Kulit yang
normal diobservasi secara ketat untuk menentukan apakah timbul
daerahdaerah bula yang baru. Perembasan cairan dari bula dipantau
untuk memantau jumlah, warna dan baunya. Inspeksi rongga mulut
untuk mendeteksi pembentukan bula dan lesi yang terkelupas harus
dilakukan setiap hari. Kondisi pasien dinilai setiap hari untuk
menemukan keluhan gatal, terbakar dan kekeringan pada mata.
Kemampuan pasien menelan dan meminum cairan, di samping
kemampuan berbicara secara normal, ditentukan.

Tanda-tanda vital pasien dimonitor dan diberikan perhatian khusus


terhadap keberadaan serta karakter demam di samping terhadap
frekuensi, dalam serta irama pernapasan dan gejala batuk. Karakteristik
dan jumlah sekresi respiratorius dicatat. Pemeriksaan untuk menilai
panas yang tinggi, takikardia dan kelemahan serta rasa lelah yang
ekstrim sangat penting, karena semua ini menunjukkan proses nekrosis

15
epidermis, peningkatan kebutuhan metabolik dan kemungkinan
pelepasan jaringan mukosa gastrointestinal serta respiratorius. Volume
urin, berat jenis dan warnanya harus dipantau. Tempat pemasangan
jarum infus diinspeksi untuk menemukan tanda-tanda infeksi setempat.
Berat badan pasien dicatat setiap hari (Smeltzer, Suzanne C, 2010).

Kepada pasien diminta untuk menjelaskan keluhan rasa lelah dan


tingkat nyeri yang dirasakannya. Upaya untuk mengevaluasi tingkat
kecemasan pasien harus dilakukan. Mekanisme koping dasar yang
dimiliki pasien dinilai dan strategi koping yang efektif diidentifikasi
(Smeltzer, Suzanne C, 2010)

2. Diagnosa Keperawatan

Menurut (NANDA, 2015), diagnosa yang dapat ditegakkan pada


klien dengan sindrom steven johnson, adalah :

a. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan agens


farmaseutikal ditandai dengan adanya lesi pada kulit, mukosa,
dan mata (00046)
b. Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh primer
tidak adekuat (gangguan integritas kulit) (00004)
c. Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera ditandai dengan
kulit yang terkelupas dan adanya lesi (00132)
d. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan ketidakmampuan makan ditandai dengan
demam, sakit tenggorokan, dan adanya gangguan pada mukosa
(00002)
e. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan faktor
yang mempengaruhi kebutuhan cairan (00028)

3. Perencanaan Keperawatan

16
a. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan agens
farmaseutikal ditandai dengan adanya lesi pada kulit, mukosa,
dan mata (00046)
Tujuan yang diharapkan (NOC) : Integritas jaringan : kulit &
membran mukosa baik
Kriteria Hasil :
1) Tidak ada lesi pada kulit dan mukosa membran
2) Tidak ada pengelupasan kulit
3) Tidak ada eritema 4)Tidak ada peningkatan suhu kulit

17
Rencana Tindakan (NIC) :

Intervensi Rasional

1. Pantau kulit dan membran mukosa 1. Mengetahui perkembangan kondisi


pada area yang mengalami luka/lesi dan menentukan intervensi
perubahan warna, memar, dan tindakan selanjutnya dengan tepat
kerusakan. untuk memperbaiki integritas kulit.

2. Pantau adanya kekeringan dan 2. Kekeringan/kelembaban yang


kelembaban yang berlebihan pada berlebihan pada kulit dapat
kulit. memperparah kerusakan integritas
kulit dan menjadi indikator
keseimbangan cairan klien.

3. Oleskan salep yang sesuai dengan 3. Pemberian salep yang sesuai dapat
kulit/lesi menjadi pelindung area luka dari
agens infeksi dan mempercepat
penyembuhan luka/lesi.

4. Berikan balutan yang sesuai dengan 4. Balutan yang sesuai dengan jenis
jenis luka. luka dapat menghindari gesekan
luka pada area lain.

5. Anjurkan klien untuk menggunakan 5. Pakaian yang ketat dapat


pakaian yang longgar. meningkatkan gesekan antara luka
dengan kain, sehingga dapat
memperparah kerusakan integritas
kulit.

6. Ajarkan kepada keluarga tentang 6. Pengetahuan yang adekuat pada


tanda dan kerusakan kulit. keluarga dapat membantu tenaga
kesehatan dalam mengantisipasi
tanda kerusakan kulit pada klien.

18
7. Rujuk pada ahli diet, dengan tepat 7. Pemberian diet tinggi protein
diperlukan untuk pembentukan
jaringan baru pada luka/lesi

19
b. Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh primer
tidak adekuat (gangguan integritas kulit) (00004)
Tujuan yang diharapkan (NOC): Kontrol resiko: proses infeksi
dapat dilakukan dan status imunitas baik
Kriteria Hasil:
1) Mengidentifikasi faktor resiko infeksi
2) Mengidentifikasi tanda dan gejala infeksi
3) Memonitor perilaku diri yang berhubungan dengan resiko
infeksi
4) Memonitor faktor di lingkungan yang berhubungan dengan
resiko infeksi
5) Jumlah leukosit dalam batas normal (5000 - 10.000/mm3)

Rencana Tindakan (NIC):

Intervensi Rasional

1. Monitor tekanan darah, nadi, 1. Perubahan tanda vital, terutama


suhu, dan status pernafasan suhu merupakan komplikasi lanjut
dengan tepat. untuk terjadinya infeksi.

2. Monitor karakteristik luka, 2. Karakteristik luka dapat menjadi


termasuk drainase, warna, ukuran, indikator adanya infeksi.
dan bau.

3. Batasi jumlah pengunjung 3. Pengunjung dapat meningkatkan


resiko kontaminasi silang.

4. Tingkatkan intake nutrisi yang 4. Nutrisi yang adekuat dapat


tepat. mempercepat regenerasi jaringan
dan penyembuhan luka.

5. Anjurkan pengunjung untuk 5. Mencuci tangan dapat


mencuci tangan pada saat meminimalkan adanya

20
memasuki dan meninggalkan kontaminasi silang.
ruangan pasien.

6. Ajarkan pasien dan keluarga 6. Pasien dan keluarga dapat


mengenai tanda dan gejala infeksi kooperatif dan mengantisipasi
dan kapan harus melaporkannya faktor resiko terjadinya infeksi.
kepada penyedia perawatan
kesehatan.

7. Ajarkan pasien dan anggota 7. Pengetahuan yang cukup dapat


keluarga mengenai bagaimana meminimalkan faktor resiko
menghindari infeksi. infeksi.

8. Berikan terapi antibiotik yang 8. Antibiotik dapat mencegah


sesuai (kolaborasi dengan dokter). mikroorganisme menyerang tubuh
klien

c. Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera ditandai dengan


kulit yang terkelupas dan adanya lesi (00132)
Tujuan yang diharapkan (NOC) : Kontrol nyeri dapat dilakukan
dan tingkat nyeri dapat berkurang
Kriteria Hasil :
1) Secara konsisten menunjukkan dalam menggunakan tindakan
pengurangan nyeri tanpa analgesik
2) Nyeri yang dilaporkan : tidak ada
3) Ekspresi nyeri wajah : tidak ada
4) Melaporkan nyeri yang terkontrol
5) Melaporkan perubahan terhadap gejala nyeri pada profesional
kesehatan

Rencana Tindakan (NIC) :

Intervensi Rasional

21
1. Kaji tingkat nyeri yang komprehensif 1. Data-data tersebut digunakan sebagai
meliputi lokasi, karakteristik, awitan data dasar dalam menentukan intervensi
dan durasi, frekwensi, kualitas, tindakan yang tepat pada klien
intensitas atau keparahan nyeri, dan selanjutnya untuk mencapai
faktor presipitasinya. kesembuhan klien yang optimal.

2. Observasi isyarat nonverbal 2. Isyarat nonverbal klien (meringis,


ketidaknyamanan. mengernyit) menjadi tanda bahwa klien
merasakan ketidaknyamanan/nyeri

3. Monitor vital sign sebelum dan 3. Nyeri dan pemberian analgesik dapat
sesudah pemberian analgesik pertama memengaruhi vital sign klien, seperti
kali nadi dan RR.

4. Lakukan perubahan posisi dan 4. Perubahan posisi dan relaksasi dapat


relaksasi. membantu klien mengurangi rasa nyeri
dan klien merasa rileks.

5. Tingkatkan istirahat/tidur yang cukup 5. Istirahat/tidur dapat mengalihkan fokus


untuk membantu mengurangi rasa pada nyeri klien.
nyeri.

6. Ajarkan penggunaan teknik relaksasi 6. Teknik relaksasi nonfarmakologi dapat


nonfarmakologi sebelum atau dilakukan klien tanpa bantuan perawat
sesudah rasa sakit meningkat. atau tenaga kesehatan untuk
mengurangi nyeri.

7. Berikan informasi yang lengkap dan 7. Pengetahuan yang adekuat pada


akurat untuk mendukung keluarga dapat membantu perawat atau
pengetahuan keluarga terhadap tenaga kesehatan untuk mengenali
respon nyeri pasien. respon nyeri klien.

8. Berikan analgesik untuk mengurangi 8. Analgesik dapat mengurangi nyeri pada


nyeri dengan (berkolaborasi dokter). klien

22
d. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan ketidakmampuan makan ditandai dengan
demam, sakit tenggorokan, dan adanya gangguan pada mukosa
(00002)
Tujuan yang diharapkan (NOC): Status nutrisi klien baik
Kriteria Hasil:
1) Asupan makanan secara oral adekuat
2) Tudak ada rasa tidak nyaman dengan menelan
3) Hasrat/keinginan untuk makan tidak terganggu 4)Tidak ada
lesi mukosa mulut

Rencana Tindakan (NIC):

Intervensi Rasional

1. Kaji kemampuan pasien untuk 1. Kemampuan pasien makan dapat


mendapatkan nutrisi yang mempengaruhi intake nutrisi
dibutuhkan. pasien.

2. Monitor kalori dan intake nutrisi 2. Kalori dan intake nutrisi pasien
dapat digunakan sebagai data
dasar untuk menentukan
intervensi selanjutnya.

3. Lakukan atau bantu pasien terkait 3. Mulut yang bersih dapat


dengan perawatan mulut sebelum meningkatkan kenyamanan dan
makan nafsu makan klien

4. Pastikan makanan disajikan 4. Menambah nafsu makan klien


dengan cara yang menarik dan
pada suhu yang paling cocok
untuk konsumsi secara optimal

5. Ajarkan dan dukung konsep 5. Dengan pengetahuan yang cukup


nutrisi yang baik dengan klien akan nutrisi klien dapat kooperatif
dan orang terdekat dengan klein. dan menerapkannya dalam proses

23
penyembuhannya.
6. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk 6. Nutrisi dan jumlah kalori yang
menentukan jumlah kalori dan tepat dapat memenuhi kebutuhan
nutrisi yang dibutuhkan pasien nutrisi klien dan mempercepat
kesembuhan.

e. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan faktor


yang mempengaruhi kebutuhan cairan (00028)
Tujuan yang diharapkan (NOC) : Keseimbangan cairan baik
dengan indikator status nutrisi : makanan & cairan dapat
terpenuhi
Kriteria Hasil :
1) Tidak ada kehausan
2) Asupan makanan secara oral adekuat
3) Asupan cairan secara oral adekuat

Rencana Tindakan (NIC) :

Intervensi Rasional

1. Monitor status hidrasi (kelembaban 1. Sebagai data dasar untuk


membran mukosa, nadi adekuat, menentukan kemungkinan adanya
tekanan darah ortostatik), jika resiko kekurangan volume cairan
diperlukan. pada klien.

2. Monitor masukan makanan/cairan 2. Masukan makanan/cairan dan


dan hitung intake kalori harian. kalori harian menjadi indikator
untuk mengukur keseimbangan
cairan pada klien

3. Keluarga mempunyai peran penting


3. Dorong keluarga untuk membantu dalam pendekatan dengan klien.
pasien makan

24
4. Atur kemungkinan transfusi. 4. Transfusi diperlukan jika klien
terdapat purpura yang luas, untuk
memperbaiki keadaan umum dan
menggantikan kehilangan darah.

5. Pemberian cairan IV untuk


5. Kolaborasikan pemberian cairan IV mempertahankan keseimbangan
cairan pada klien dengan gangguan
menelan (terdapat lesi pada mukosa
mulut/faring).

6. Pemberian suplemen makanan


6. Kolaborasi dengan dokter tentang dan cairan melalui NGT dapat
kebutuhan suplemen makanan mempertahankan intake cairan
seperti NGT sehingga intake cairan yang adekuat
adekuat dapat dipertahankan.

25
26
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sindrom steven johnson yaitu suatu sindrom yang terjadi pada


kulit/integumen, dimana seluruh permukaan tubuh dipenuhi oleh eritema dan
lepuhan, yang kebanyakan diketehui disebabkan oleh respon dari pengobatan,
infeksi, dan terkadang keganasan. Patogenesisnya belum jelas, diperkirakan
karena reaksi alergi tipe III dan IV. tanda-tanda awal sindrom steven jhonson
antara lain konjungtiva terasa panas atau gatal, nyeri tekan kutaneus, demam,
sakit kepala, batuk, sakit tenggorokan, malaise ekstrem, dan mialgia (nyeri
dan sakit). Pada sindroma ini terlihat adanya kelainan kulit, kelainan selaput
lendir di orifisium, dan kelainan mata.

Pemeriksaan untuk mendukung ditegakkannya diagnosis sindrom steven


johnson yaitu pemeriksaan laboratorium, histopatologi, dan imunologi. sasaran
penanganan antara lain mengontrol keseimbangan cairan dan elektrolit,
mencegah sepsis, dan mencegah komplikasi pada mata. Fokus utama
penanganan adalah pemberian asuhan yang suportif. Pemberian asuhan
keperawatan yang komprehensif yaitu dimulai dari pengkajian klien,
menentukan diagnosa keperawatan yang muncul, dan menyusun intervensi
yang akan dilakukan pada klien dengan sindrom steven johnson dengan tepat
agar klien dapat meningkat status kesehatannya.

B. Saran

Pembaca sebaiknya tidak hanya membaca dari materi makalah ini saja
karena masih banyak referensi yang lebih lengkap yang membahas materi dari

i
makalah ini. Oleh karena itu, pembaca sebaiknya membaca dari referensi dan
literatur lain untuk menambah wawasan yang lebih luas tentang materi ini.

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2010. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Vol.

3. EGC: Jakarta

Brunner & Suddarth. 2013. Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 12. Jakarta: EGC

Gloria M. Bulechek, et al. 2013. Nursing Interventions Classifications (NIC),


Edisi Keenam. Missouri: Mosby Elsevier

Morhedd, dkk. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC), Edisi Kelima.

Missouri: Mosby Elsevier

Morton, Gonce, Patricia. 2011. Keperawatan Kritis: Pendekatan Asuhan Holistic.


Jakarta: EGC

Muttaqin, Arif. 2012. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan

Sistem Kardiovaskular Dan Hematologi. Jakarta: Salemba Medika

NANDA. 2015. Diagnosis Keperawatan : Definisi & Klasifikasi 2015-2017. Edisi

10. Jakarta: EGC

Nurarif, A.H. & Kusuma, H. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan


Diagnosa Medis dan Nanda NIC-NOC, Edisi Revisi Jilid 2. Jogjakarta:
MediAction Publishing

Pearce, Evelyn C. 2012. Anatomi dan Fisiologi Untuk para Medis. Jakarta: PT.

Gramedia Pustaka Utama

Puspitasari, Fanny, Steven Johnson Syndrom Word, Academia.edu, dilihat 22

Maret 2018

ii
<https://www.academia.edu/27976721/STEVEN_JOHNSON_SYNRO
ME_WORD>

Smeltzer, Suzanne C. 2010. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &


Suddarth, Edisi: 12. Jakarta: EGC.

iii

Anda mungkin juga menyukai