Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II

TENTANG
TINEA KORPORIS

Disusun Oleh :

VENCE MANUHUTU
NIM : 1440110118180
KLS : IV B

YAYASAN WAHANA BHAKTI KARYA HUSADA


PROGRAM STUDI KEPERAWATAN DIPLOMA III
AKADEMI KEPERAWATAN RS. MARTHEN INDEY
JAYAPURA TA. 2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas segala
rahmat dan hidayahnya saya dapat menyelesaikan makalah Keperawatan Medikal
Bedah II tentang “Tinea Korporis” yang disusun dan dipersiapkan untuk
memenuhi tugas kuliah.
Terlepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka saya menerima segala saran dan kritik agar
memperbaiki makala ini.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan
dapat memberikan inspirasi terhadap pembaca.

Jayapura, Juni 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

COVER....................................................................................................................i
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB I
PENDAHULUAN...................................................................................................1
A. Latar Belakang............................................................................................1
B. Tujuan..........................................................................................................2
C. Manfaat........................................................................................................3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA......................................................................................4
A. Laporan Pendahuluan................................................................................4
1. Definisi Tinea Korporis.............................................................................4
2. Epidemiologi.............................................................................................4
3. Etiologi......................................................................................................5
4. Patofisiologi...............................................................................................5
5. Pathway.....................................................................................................9
6. Gejala Tinea Korporis.............................................................................10
7. Manifestasi Klinis....................................................................................10
8. Pemeriksaan penunjang...........................................................................11
9. Penatalaksanaan Medis............................................................................12
10. Gambaran Klinis......................................................................................14
B. Konsep Asuhan Keperawatan..................................................................16
1. Pengkajian...............................................................................................16
2. Diagnosa Keperawatan............................................................................19
BAB IV
PENUTUP.............................................................................................................21
A. Kesimpulan................................................................................................21
B. Saran..........................................................................................................21
i
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................22

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tinea Korporis merupakan istilah untuk menunjukkan adanya infeksi
jamur golongan dermatofita pada badan, tungkai dan lengan, Tinea korporis
dapat digolongkan menjadi tinea glabrosa karena terdapat pada kulit yang
tidak berambut. Insidensi dermatomikosis di Indonesia masih cukup tinggi.
Dari segi usia, data dari beberapa rumah sakit di Indonesia menunjukkan
bahwa remaja dan kelompok usia produktif adalah kelompok usia terbanyak
menderita dermatomikosis superfisialis dibandingkan dengan kelompok usia
yang lebih muda atau lebih tua. Kemungkinan karena segmen usia tersebut
lebih banyak mengalami faktor predisposisi atau pencetus misalnya
pekerjaan basah, trauma, banyak berkeringat, selain pajanan terhadap jamur
lebih lama. Secara umum gambaran klasik lesi tinea korporis berupa lesi
anular dengan central clearing dan tepi eritema yang aktif.
Lesi yang berdekatan dapat bergabung membentuk pola gyrata atau
polisiklik. Semua dermatofita dapat menyebabkan tinea korporis, tetapi yang
merupakan penyebab tersering adalah Trichophyton rubrum, Trichophyton
mentagrophytes, Microsporum canis dan Trichophyton tonsurans, Spesies
ini sering menimbulkan lesi yang bersifat kronis. Jamur dermatofita dapat
ditularkan secara langsung maupun secara tidak langsung, dan untuk dapat
menimbulkan suatu penyakit, jamur dermatofita harus memiliki kemampuan
untuk melekat pada kulit host (pejamu), mampu menembus jaringan pejamu
dan selanjutnya mampu bertahan dan menyesuaikan dengan suhu dan
lingkungan biokimia pejamu. Sedangkan variabilitas host, seperti umur,
jenis kelamin, ras, budaya dan imunitas dapat mempengaruhi manifestasi
klinis dan perjalanan penyakit infeksi dermatofita ini. Ini menunjukkan
bahwa penyakit ini bersifat multifaktorial.

1
Sebagian besar kasus tinea korporis berespon baik dengan preparat
anti jamur topikal. Preparat topikal yang dapat digunakan diantaranya
alilamin (naftitin, terbinafin), imidazol, tolnaftat, siklopiroks dan salep
whietfield, sulfur presipitatum 4-10% dan asidum salisilikum 2-3% yang
merupakan obat topikal konvensional. Akan tetapi pada lesi yang luas, tidak
dapat mentoleransi obat topikal, gagal dengan pengobatan topikal dan
penderita dengan infeksi kronis maka diperlukan pemberian preparat
antijamur sistemik yaitu griseofulvin, terbinafin, flukonazol atau
itrakonazol. Tidak ada satu pustakapun yang menyebutkan batasan waktu
untuk dapat mengkatagorikan tinea korporis akut maupun kronis, walaupun
istilah tersebut banyak digunakan pada beberapa kepustakaan. Secara
umum, berdasarkan kamus kedokteran, istilah kronis menunjukkan lamanya
perjalanan suatu penyakit, dan istilah kronisitas umumnya digunakan pada
penyakit yang telah berlangsung selama lebih dari 3 bulan. Kronisitas
dalam dermatofitosis merupakan hal yang sering dijumpai klinisi, mengingat
dermatofitosis merupakan penyakit yang bersifat multifaktorial dan semua
faktor yang terlibat merupakan suatu keadaan yang dapat berubah.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Menambah pengetahuan tentang penyakit Tinea Korporis (Kadas) serta
tahu cara pencegahan dan pengobatan apabila terkena penyakit ini.

2. Tujuan Khusus
Mahasiswa mampu melakukan Asuhan Keperawatan pada klien dengan
Tinea Korporis.

2
C. Manfaat
1. Bagi Mahasiswa
Mahasiswa dapat menerapkan teori yang didapat di bangku kuliah dalam
praktek di lahan serta memperoleh pengalaman secara langsung dalam
masalah memberikan Asuhan Keperawatan pada klien dengan Tinea
Korporis.

2. Bagi Institusi
Menambah pustaka bagi kampus tentang Penyakit Tinea Korporis.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Laporan Pendahuluan
1. Definisi Tinea Korporis
Tinea korporis (Kadas) adalah infeksi dermatofita superfisial yang
ditandai oleh baik lesi inflamasi maupun noninflamasi pada glabrous skin
(kulit tubuh yang tidak berambut) seperti : bagian muka, leher, badan,
lengan, tungkai dan gluteal.. Sinonim untuk penyakit ini adalah tinea
sirsinata, tinea glabrosa, Scherende Fiechte, kurap, herpes sircine
trichophytique.

2. Epidemiologi
Tinea korporis adalah infeksi umum yang sering terlihat pada
daerah dengan iklim yang panas dan lembab. Seperti infeksi jamur yang
lain, kondisi yang hangat dan lembab membantu penyebaran infeksi ini.
Oleh karena itu, daerah tropis dan subtropis memiliki insiden yang tinggi
terhadap tinea korporis. Tinea korporis dapat terjadi pada semua
usia. Bisa didapatkan pada orang yang bekerja yang berhubungan dengan
hewan-hewan. Maserasi dan oklusi kulit lipat paha menyebabkan
peningkatan suhu dan kelembaban kulit yang akan memudahkan infeksi.
Penularan juga dapat terjadi melalui kontak langsung dengan individu
yang terinfeksi atau tidak langsung melalui benda yang mengandung
jamur, misalnya handuk, lantai kamar mandi, tempat tidur hotel dan
lain-lain.

4
3. Etiologi
Dermatofita adalah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis.
Golongan jamur ini mempunyai sifat mencernakan keratin. Dermatofita
termasuk kelas Fungi imperfecti, yang terbagi dalam 3 genus, yaitu
Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton. Walaupun semua
dermatofita bisa menyebabkan tinea corporis, penyebab yang paling
umum adalah T. rubrum, T. mentagrophytes, T. canis dan T. tonsurans.
Pada tinea cruris penyebabnya hampir sama dengan tinea corporis.
Penyebab tinea cruris yang tersering yaitu: T. rubrum, T. mentagrophytes,
atau E. Floccosum.

4. Patofisiologi
Infeksi dermatofita melibatkan tiga langkah utama : perlekatan ke
keratinosit, penetrasi melalui dan diantara sel, dan perkembangan respon
host.
a. Perlekatan.
Jamur superfisial harus melewati berbagai rintangan untuk bisa
melekat pada jaringan keratin diantaranya sinar UV, suhu,
kelembaban, kompetisi dengan flora normal dan sphingosin yang
diproduksi oleh keratinosit. Asam lemak yang diproduksi oleh
glandula sebasea juga bersifat fungistatik.
b. Penetrasi.
Setelah terjadi perlekatan, spora harus berkembang dan menembus
stratum korneum pada kecepatan yang lebih cepat daripada proses
desquamasi. Penetrasi juga dibantu oleh sekresi proteinase, lipase
dan enzim mucinolitik, yang juga menyediakan nutrisi untuk jamur.
Trauma dan maserasi juga membantu penetrasi jamur kejaringan.
Fungal mannan didalam dinding sel dermatofita juga bisa
menurunkan kecepatan proliferasi keratinosit. Pertahanan baru

5
muncul ketika begitu jamur mencapai lapisan terdalam dari
epidermis.
c. Perkembangan respons host.
Derajat inflamasi dipengaruhi oleh status imun pasien dan organisme
yang terlibat. Reaksi hipersensitivitas tipe IV, atau Delayed Type
Hipersensitivity (DHT) memainkan peran yang sangat penting dalam
melawan dermatofita. Pada pasien yang belum pernah terinfeksi
dermatofita sebelumnya, infeksi primer menyebabkan inflamasi
minimal dan trichopitin tes hasilnya negative.infeksi menghasilkan
sedikit eritema dan skuama yang dihasilkan oleh peningkatan
pergantian keratinosit. Dihipotesakan bahwa antigen dermatofita
diproses oleh sel langerhans epidermis dan dipresentasikan dalam
limfosit T di nodus limfe. Limfosit T melakukan proliferasi dan
bermigrasi ketempat yang terinfeksi untuk menyerang jamur. Pada
saat ini, lesi tiba-tiba menjadi inflamasi, dan barier epidermal
menjadi permeable terhadap transferin dan sel-sel yang bermigrasi.
Segera jamur hilang dan lesi secara spontan menjadi sembuh.
d. Gejala Klinis.
Penderita merasa gatal, dan kelainan berbatas tegas, terdiri atas
macam-macam efloresensi kulit (polimorfi). Bagian tepi lesi lebih
aktif (lebih jelas tanda-tanda peradangan) daripada bagian tengah.
wujud lesi yang beraneka ragam ini dapat berupa sedikit
hiperpigmentasi dan skuamasi, menahun. Kelainan yang dilihat
dalam klinik merupakan lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas,
terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang dengan vesikel dan
papul ditepi. Daerah tengahnya biasanya lebih tenang, sementara
yang di tepi lebih aktif (tanda peradangan lebih jelas) yang sering

6
disebut dengan sentral healing. Kadang-kadang terlihat erosi dan
krusta akibat garukan. Kelainan kulit juga dapat terlihat secara
polisiklik, karena beberapa lesi kulit yang menjadi satu. Lesi dapat
meluas dan memberi gambaran yang tidak khas terutama pada pasien
imunodefisiensi. Pada tinea korporis yang menahun, tanda radang
mendadak biasanya tidak terlihat lagi. Efloresensi terdiri atas
bermacam-macam bentuk yang primer dan sekunder (polimorfi).
Bila penyakit ini menjadi menahun, dapat berupa bercak hitam
disertai sedikit sisik. Erosi dan keluarnya cairan biasanya akibat
garukan.
e. Diagnosis
Diagnosis bisa ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan ruam
yang diderita pasien. Dari gambaran klinis didapatkan lesi di leher,
lengan, tungkai, dada, perut atau punggung. Infeksi dapat terjadi
setelah kontak dengan orang yang terinfeksi atau hewan atau objek
yang baru terinfeksi. Pasien mungkin mengalami gatal-gatal, nyeri
atau pasien dapat merasa sensasi terbakar. Kadang-kadang
diperlukan pemeriksaan dengan lampu Wood, yang mengeluarkan
sinar ultraviolet dengan gelombang 3650 Ao, yang jika didekatkan
pada lesi akan timbul warna kehijauan. Pemeriksaan sediaan
langsung dengan KOH 10-20% bila positif memperlihatkan elemen
jamur berupa hifa panjang dan artrospora. Sediaan basah dibuat
dengan meletakkan bahan diatas bahan alas (objek glass), kemudian
ditambah 1-2 tetes larutan KOH. Konsentrasi larutan KOH untuk
sediaan rambut adalah 10% dan untuk kulit dan kuku 20%. Setelah
sediaan dicampur dengan larutan KOH, ditunggu 15-20 menit hal ini
diperlukan untuk melarutkan jaringan. Untuk mempercepat proses
pelarutan dapat dilakukan pemnasan sediaan basah diatas api kecil.

7
f. Pada saat mulai keluar uap dari sediaan tersebut, pemanasan
dihentikan. Bila terjadi penguapan, maka akan terbentuk kristal
KOH, sehingga tujuan yang diinginkan tidak tercapai. Untuk melihat
elemen jamur lebih nyata dapat ditambahkan zat warna pada sediaan
KOH, misalnya tinta Parker superchroom blue black.
Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk menyokong
pemeriksaan langsung sediaan basah dan untuk menentukan spesies
jamur. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamkan bahan klinis
pada media buatan. Yang dianggap paling baik pada waktu ini adalah
medium agar dekstrosa Sabouraud. Biakan memberikan hasil lebih
cukup lengkap, akan tetapi lebih sulit dikerjakan, lebih mahal
biayanya, hasil diperoleh dalam waktu lebih lama dan sensitivitasnya
kurang (± 60%) bila dibandingkan dengan cara pemeriksaan sediaan
langsung.

8
5. Pathway

9
6. Gejala Tinea Korporis
Gejala tinea corporis biasanya mulai muncul 10 hari setelah tubuh terjadi
kontak dengan jamur, dengan tanda dan gejala umum seperti:
a. Munculnya ruam melingkar kemerahan atau keperakan pada kulit.
b. Kulit bersisik.
c. Terasa gatal dan terjadi peradangan.
d. Muncul luka melepuh dan berisi nanah di sekitar ruam.
Pada kasus yang cukup parah, ruam melingkar yang muncul akan berlipat
ganda, tumbuh besar dan mungkin menyatu. Tidak hanya itu, luka
melepuh dan bernanah bisa muncul di sekitar ruam melingkar. Kulit
dengan ruam melingkat akan sedikit terangkat dan kulit di bawahnya
terasa gatal.

7. Manifestasi Klinis
Penderita merasa gatal dan kelainan berbatas tegas terdiri atas bermacam-
macam effloresensi kulit (polimorfi). Bagain tepi lesi lebih aktif (tanda
peradangan) tampak lebih jelas dari pada bagian tengah. Bentuk lesi yang
beraneka ragam ini dapat berupa sedikit hiperpigmentasi dan skuamasi
menahun. Kelainan yang dilihat dalam klinik merupakan lesi bulat atau
lonjong, berbatas tegas, terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang
dengan vesikel dan papul di tepi lesi. Daerah di tengahnya biasanya lebih
tenang, sementara yang di tepi lebih aktif yang sering disebut dengan
central healing. Kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan.
Kelainan kulit juga dapat dilihat secara polisiklik, karena beberapa lesi
kulit yang menjadi satu. Lesi dapat meluas dan memberikan gambaran
yang tidak khas terutama pada pasien imunodefisiensi.

Pada tinea korporis yang menahun, tanda radang mendadak biasanya


tidak terlihat lagi. Kelainan ini dapat terjadi pada tiap bagian tubuh dan
10
bersamaan timbul dengan kelainan pada sela paha. Dalam hal ini disebut
tinea corporis et cruris atau sebaliknya.

8. Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan Laboratorium
Selain dari gejala khas tinea korporis, diagnosis harus dibantu dengan
pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan mikroskopis,
kultur, pemeriksaan lampu wood, biopsi dan histopatologi,
pemeriksaan serologi, dan pemeriksaan dengan menggunakan PCR.

Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan membuat preparat


langsung dari kerokan kulit, kemudian sediaan dituangi larutan KOH
10%. Sesudah 15 menit atau sesudah dipanaskan dengan api kecil,
dilihat di bawah mikroskop. Pemeriksaan ini memberikan hasil positif
hifa ditemukan hifa (benang-benang) yang bersepta atau bercabang,
selain itu tampak juga spora berupa bola kecil sebesar 1-3µ.

Kultur dilakukan dalam media agar sabaroud pada suhu kamar


(2530⁰C),kemudian satu minggu dilihat dan dinilai apakah ada
pertumbuhan jamur. Spesies jamur dapat ditentukan melalui bentuk
koloni, bentuk hifa dan bentuk spora.

Pemeriksaan lampu wood adalah pemeriksaan yang menggunakan


sinar ultraviolet dengan panjang gelombang 365 nm. Sinar ini tidak
dapat dilihat. Bila sinar ini diarahkan ke kulit yang mengalami infeksi

oleh jamur dermatofita tertentu, sinar ini akan berubah menjadi dapat
dilihat dengan memberi warna (fluoresensi). Beberapa jamur yang

11
memberikan fluoresensi yaitu M.canis, M.audouini, M.ferrugineum
dan T.schoenleinii.

9. Penatalaksanaan Medis
Pengobatan infeksi jamur dibedakan menjadi pengobatan non
medikamentosa dan pengobatan medikamentosa.
a. Non Medikamentosa
Menurut Badan POM RI (2011), dikatakan bahwa penatalaksanaan
non medikamentosa adalah sebagai berikut:
1) Gunakan handuk tersendiri untuk mengeringkan bagian yang
terkena infeksi atau bagian yang terinfeksi dikeringkan terakhir
untuk mencegah penyebaran infeksi ke bagian tubuh lainnya.
2) Jangan mengunakan handuk, baju, atau benda lainnya secara
bergantian dengan orang yang terinfeksi.
3) Cuci handuk dan baju yang terkontaminasi jamur dengan air
panas untuk mencegah penyebaran jamur tersebut.
4) Bersihkan kulit setiap hari menggunakan sabun dan air untuk
menghilangkan sisa-sisa kotoran agar jamur tidak mudah
tumbuh.
5) Jika memungkinkan hindari penggunaan baju dan sepatu yang
dapat menyebabkan kulit selalu basah seperti bahan wool dan
bahan sintetis yang dapat menghambat sirkulasi udara.
6) Sebelum menggunakan sepatu, sebaiknya dilap terlebih dahulu
dan bersihkan debu-debu yang menempel pada sepatu.
7) Hindari kontak langsung dengan orang yang mengalami infeksi
jamur. Gunakan sandal yang terbuat dari bahan kayu dan karet

b. Medikamentosa

12
Pengobatan tinea korporis terdiri dari pengobatan lokal dan
pengobatan sistemik. Pada tinea korporis dengan lesi terbatas,cukup
diberikan obat topikal. Lama pengobatan bervariasi antara 1-4
minggu bergantung jenis obat. Obat oral atau kombinasi obat oral
dan topikal diperlukan pada lesi yang luas atau kronik rekurens. Anti
jamur topikal yang dapat diberikan yaitu derivate imidazole,
toksiklat, haloprogin dan tolnaftat. Pengobatan lokal infeksi jamur
pada lesi yang meradang disertai vesikel dan eksudat terlebih dahulu
dilakukan dengan kompres basah secara.
Pada keadaan inflamasi menonjol dan rasa gatal berat,
kombinasi antijamur dengan kortikosteroid jangka pendek akan
mempercepat perbaikan klinis dan mengurangi keluhan pasien.

1) Pengobatan Topikal
Pengobatan topikal merupakan pilihan utama. Efektivitas obat
topikal dipengaruhi oleh mekanisme kerja,viskositas,
hidrofobisitas dan asiditas formulasi obat tersebut. Selain
obat-obat klasik, obatobat derivate imidazole dan alilamin dapat
digunakan untuk mengatasi masalah tinea korporis ini.
Efektivitas obat yang termasuk golongan imidaol kurang lebih
sama. Pemberian obat dianjurkan selama 3-4 minggu atau
sampai hasil kultur negative. Selanjutnya dianjurkan juga untuk
meneruskan pengobatan selama 7-10 hari setelah penyembuhan
klinis dan mikologis dengan maksud mengurangi kekambuhan.

2) Pengobatan Sistemik

13
Pengobatan sistemik yang dapat diberikan pada tinea korporis
adalah:
• Griseofulvin
Griseofulvin merupakan obat sistemik pilihan pertama. Dosis
untuk anak-anak 15-20 mg/kgBB/hari, sedangkan dewasa
500-1000 mg/hari
• Ketokonazol
Ketokonazol digunakan untuk mengobati tinea korporis yang
resisten terhadap griseofulvin atau terapi topikal. Dosisnya
adalah 200 mg/hari selama 3 minggu.
Obat-obat yang relative baru seperti itrakonazol serta
terbinafin dikatakan cukuo memuaskan untuk pengobatan
tiea korporis.

10. Gambaran Klinis


Gambaran klinis dimulai dengan lesi bulat atau lonjong dengan
tepi yang aktif dengan perkembangan kearah luar, bercak-bercak bisa
melebar dan akhirnya memberi gambaran yang polisiklik,arsinar,dan
sirsinar. Pada bagian pinggir ditemukan lesi yang aktif yang ditandai
dengan eritema, adanya papul atau vesikel, sedangkan pada bagian
tengah lesi relatif lebih tenang. Tinea korporis yang menahun, tandatanda
aktif menjadi hilang dan selanjutnya hanya meninggalkan daerah
hiperpigmentasi. Gejala subyektif yaitu gatal, dan terutama jika
berkeringat dan kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan.
Tinea korporis biasanya terjadi setelah kontak dengan individu atau
dengan binatang piaraan yang terinfeksi, tetapi kadang terjadi karena
kontak dengan mamalia liar atau tanah yang terkontaminasi.
Penyebaran juga mungkin terjadi melalui benda misalnya pakaian,
perabot dan sebagainya.

14
Gambar 1 : Gambar Penyakit Gambar 2 : Gambar Penyakit
Tinea Korporis pada Lengan Tinea Korporis pada Badan
(http://dermis.net). (http://dermis.net).

Gambar 3 : Gambar Penyakit Gambar 4 : Gambar Hasil


Tinea Korporis. Pemeriksaan KOH 10%, Terlihat
(Foto : FKUI/RSUPNCM). elemen jamur berupa hifa panjang dan
artospora. Hasil KOH (+).
(Foto : FKUI/RSUPNCM).

B. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian

15
a. Wawancara
Wawancara dilakukan untuk mengklasifikasikan suatu pemahaman
sehingga perlu ada kesepakatan antara pemeriksa dan pasien.
Wawancara harus efektif dan harus memahami perasaan pasien
sehingga pasien lebih terbuka. Dibawah ini adalah wawancara pada
pasien gangguan sistem integumen, sebagai data fokus.
1) Kapan pasien pertama kali mengetahui masalah penyakit kulit ini
(demikian pula selidiki durasi dan intensitasnya)?
2) Apakah masalah penyakit kulit yang dideritanya pernah terjadi
sebelumnya?
3) Apa ada gejala yang lain?
4) Pada kulit bagian mana tempat pertama kali terkena?
5) Bagaimana ruam atau lesi tersebut terlihat ketika muncul pertama
kalinya?
6) Pada bagian mana dan seberapa cepat penyebaranya?
7) Apakah terdapat rasa gatal, terbakar, kesemutan atau seperti ada
yang merayap?
8) Apakah ada gangguan kemampuan untuk merasa?
9) Apakah masalah tersebut menjadi bertambah parah pada waktu
atau musim tertentu?
10) Apakah pasien dapat menjelaskan bagaimana kelainan tersebut
berawal?
11) Apakah pasien memiliki riwayat hay fever, asma, biduran,
eczema atau alergi?
12) Apakah ada diantara anggota keluarga anda yang mengalami
masalah kulit?
13) Apakah erupsi kulit tersebut muncul sesudah makan-makanan
tertentu?
14) Apakah baru-baru ini pasien mulai mengkonsumsi alkohol?

16
15) Apakah ada hubungan antara kejadian tertentu dengan masa ruam
atau lesi?
16) Obat-obatan apa yang anda gunakan?
17) Obat oles 9krim, salep, lotion) apa yang anda gunakan untuk
mengobati lesi tersebut (termasuk obat-obat yang dapat dibeli
bebas di toko obat)?
18) Produk kosmetik atau preparat perawatan kulit apa yang anda
gunakan?
19) Apa pekerjaan anda?
20) Apakah pada lingkungan disekitar anda terdapat faktor-faktor
(tanaman, hewan, zat-zat kimia, infeksi) yang dapat mencetuskan
masalah penyakit kulit ini?
21) Apakah ada sesuatu yang baru atau perubahan apapun dalam
lingkungan tersebut?
22) Apakah ada sesuatu yang ketika mengenai kulit anda
menyebabkan terjadinya ruam?

B. Pengkajian Fisik
Pengkajian Kulit
1) Inspeksi
Pasien berada dalam ruangan yang terang dan hangat, pemeriksa
menggunakan penlight untuk menyinari lesi sehingga pemeriksa
akan melihat apakah keadaan kulit pasien, meliputi :
▪ Warna kulit : ......................
▪ Kelembaban kulit : .......................
▪ Tekstur kulit : .......................
▪ Lesi : .......................
▪ Vaskularisasi : .......................
▪ Mobilitas kondisi rambut serta kuku : .......................
17
▪ Turgor kulit : .......................
▪ Edema : ........................
▪ Warna kebiruan, sianosis (hipiksiaseluler) dapat dilihat pada
ekstremitas dan dasar kuku, bibir, membrane
mukosa : ..........................................
▪ Ikterus (kulit yang menguning) akibat kenaikan
bilirubin : ................................
▪ Skelera membran mukosa : .......................
▪ Perubahan vaskular (petekie) : .....................
▪ Ekimosis : ....................................................
2) Palpasi
Dalam melakukan tindakan ini pemeriksa harus menggunakan
sarung tangan, guna melindungi dari terpaparnya penyakit pasien.
Tindakan ini dimaksudkan untuk memeriksa:
▪ Turgor kulit : .............................
▪ Edema : ..............................
▪ Elastisitas kulit : .............................
C. Riwayat kesehatan keluarga
D. Riwayat Psikologi dan Spritual
▪ Adaptasi orang terdekat dengan pasien
▪ Interaksi dalam keluarga
▪ Dampak penyakit pasien terhadap keluarga
▪ Masalah yang mempengaruhi pasien dan pemecahan masalah

E. Pemeriksaan Penunjang
1) Biopsi kulit

18
Dilakukan pada nodul yang tidak jelas untuk pengambilan
jaringan.
2) Imunofluorensi (IF) untuk melakukan identifikasi reaksi imun.
3) Tes IF pada kulit (Direc IF Tes) untuk mengidentifikasi auto
antibodi terhadap bagian-bagian kulit.
4) Indirec IF test untuk mendeteksi antibody spesifik dalam serum
pasien.
5) Paetch test untuk mengenali penyebab alergi pasien pada
dermatitis.
6) Pengerokan kulit untuk mengetahui jenis jamur.
7) Apus Tzanck untuk mengetahui sel kulit yang mengalami
pelepuhan (herpes zoster, varisela, herpes simpleks, pempigus).
8) Cahaya wood adalah sinar ultra violet untuk membedakan lesi
epidermis dan lesi dermis serta hiperpigmentasi atau
hipopigmentasi.
9) Foto kulit untuk mengetahui sifat dan luasnya kelainan, untuk
menentukan progresivitas/perbaikan setelah terapi.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Perubahan kenyamanan (nyeri, gatal) Defenisi : Keadaan dimana
individu mengalami sensasi yang tidak menyenangkan dalam
berespons terhadap suatu rangsangan yang berbahaya.
- Batasan Mayor : Klien memperlihatkan atau melaporkan ketidak
nyamanan.
- Batasan Minor :
 Respons autonom pada nyeri akut
 Nadi meningkat
 Sikap / posisi berhati hati
 Raut wajah kesakitan

19
 Pruritis

- Intervensi :
1) Teliti keluhan nyeri tentang lokasi, intensitas khusus
(skala 0-10).
2) Catat faktor peningkatan nyeri.
3) Beri lingkungan tenang.
4) Dorong teknik relaksasi (bimbingan imajinasi, visualisasi)
aktivitas hiburan (radio & TV).
5) Pertahankan perawatan kulit, dengan teknik septik aseptik.
6) Kolaborasi untuk pemberian analgetik (memperidin).

- Rasional
1) Nyeri sering menyebar terlokalisir menunjukan terjadinya
abses (proses inflamasi) menunjukkan berat ringannya nyeri.
2) Meningkatkan relaksasi dan memampukan klien untuk
memfokuskan perhatian, dapat meningkatkan koping.
3) Mencegah perluasan infeksi.
4) Memperidin biasanya efektif untuk menghilangkan nyeri.

- Evaluasi
1) Nyeri berkurang / hilang (rasa nyaman terpenuhi).
2) Nadi normal.
3) Aktifitas lancar.
4) Raut wajah tenang.

BAB III

20
PENUTUP

A. Kesimpulan
Tinea korporis adalah infeksi dermatofita superfisial yang ditandai
oleh baik lesi inflamasi maupun non inflamasi pada glabrous skin (kulit yang
tidak berambut) seperti muka, leher, badan, lengan, tungkai dan gluteal.
Angka kejadian yang tinggi didapatkan pada daerah tropis, terjadi pada
hampir semua usia dan umumnya pada pekerjaan yang berhubungan dengan
hewan.
Dapat menular melalui kontak langsung dan tidak langsung. Gejala
yang khas adanya central healing, dengan bagian tepi terlihat meninggi dan
biasanya lebih aktif. Rasa gatal juga dirasakan bertambah saat penderita
berkeringat. Beberapa kasus memerlukan pemerksaan menggunakan lampu
wood atau dengan sediaan langsung dengan KOH 10-20% untuk menegakkan
diagnosis, karena ada beberapa penyakit kulit yang dapat mengaburkan tinea
korporis.
Pengobatan dapat diberikan melalui topikal dan sistemik, tergantung
lokalisir dari lesi yang ditimbulkan. Pencegahan dilakukan mulai dari gaya
berbusana, kebersihan penderita dan juga gaya hidup penderita. Prognosis
tinea korporis dipengaruhi oleh bentuk klinis dan penyebab penyakitnya,
umumnya tinea korporis dapat hilang dengan sempurna dan dengan prognosa
baik dengan pengobatan yang adekuat.

B. Saran
1. Klien
Bagi klien harus lebih kooperatif pada saat memberikan informasi tentang
penyakit yang diderita kepada tenaga kesehatan sehingga dapat diberikan
penangan yang sesuai dengan penyakit yang di alami.
2. Tenaga Kesehatan
Bagi tenaga kesehatan harus membekali diri dengan ilmu pengetahuan
tentang penyakit tinea korporis ini, cara perawatan, serta pencegahannya
sehingga tidak dapat memberikan edukasi yang baik bagi klien dan
keluarganya.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Anonymous. Tinea corporis, tinea cruris and tinea pedis. (serial online)
2010. Dikutip dari : http://www.doctorfungus.org/mycoses/human/other/tinea
corporis.

2. Hastuti, FN. Tinea corporis et kruris pada wanita berusia 20 tahun. (serial
online). 2010. Dikutip dari: http://www.fkumycase.net.

3. Anonymous. Tinea corporis – Treatment. (serial online). 2010. Dikutip


dari: http://www.umm.edu/ency/article/000877trt.htm

4. Aulia, M. Jenis-Jenis Penatalaksanaan pada Tinea Korporis. (serial online).


2010. Dikutip dari : http://www.fkumycase.net

5. Anonymous. Dermatofitosis. (serial online). 2010. Dikutip dari:


http://www.umm.edu/ency/article/000877trt.htm

6. Medical term : Chronic illness. Available : http://www.wikipedia.com


(Accessed: 2013, Oktober 28).

7. Berman, Kevin (2008-10-03). “Tinea corporis – All information”.


MultiMedia Medical Encyclopedia. University of Maryland Medical Center.
Retrieved 2012-11-20.

8. Brannon, Heather (2010-03-08). “Ringworm-Tinea Corporis”. About.com


Dermatology. About.com. (Retrieved 2012-11-20).

22

Anda mungkin juga menyukai