Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

ISOLASI SOSIAL

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Keperawatan Jiwa
pada Semester Genap
Dosen Pembimbing: Nia Restiana, M.Kep.Ns.Sp.Kep. J

Disusun Oleh:

Nanda Tiara Agustin

NPM: E1914401023

TK2A/D3 Keperawatan

PROGAM STUDI DIII KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH TASIKMALAYA

2021
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Bismillahirahmanirrahim, Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha
pengasih lagi maha penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-
Nya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-nya kepada kami,
sehingga kami dapat menyelesaikan Laporan Pendahuluan tentang “Isolasi Sosial”.
Laporan pendahuluan ini telah kami susun dengan maksimal dan
mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan
laporan pendahuluan ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terimakasih
kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan laporan
pendahuluan ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu
dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar
kami dapat memeperbaiki laporan pendahuluan ini.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Tasikmalaya, April 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................................. iii
I. DEFINISI................................................................................................................4
II. FAKTOR PREDISPOSISI ......................................................................................4
III. FAKTOR PRESIPITASI .....................................................................................7
IV. PENILAIAN STRESSOR....................................................................................9
V. SUMBER KOPING .............................................................................................. 10
VI. MEKANISME KOPING ................................................................................... 10
VII. RENTANG RESPON ........................................................................................ 11
VIII. PERENCANAAN ............................................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 19

iii
ISOLASI SOSIAL

I. DEFINISI

Isolasi sosial adalah keadaan dimana individu mengalami penurunan atau bahkan
sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya. Klien mungkin merasa
ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan
orang lain (Keliat & Akemat, 2013).

Menururt Dalami (2009) Isolasi sosial adalah gangguan dalam berhubungan yang
merupakan mekanisme individu terhadap sesuatu yang mengancam dirinya dengan cara
menghindari interaksi dengan orang lain dan lingkungan. Isolasi sosial adalah suatu keadaan
kesepian yang dialami oleh seseorang karena orang lain menyatakan sikap yang negatif dan
mengancam, atau suatu keadaan dimana seseorang individu mengalami penurunan bahkan
sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya, pasien mungkin merasa
ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dan tidak
mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain (Keliat & Akemat, 2006).

Menurut Keliat (2007), Kurangnya perawatan diri pada gangguan jiwa terjadi akibat
adanya proses pikir sehingga kemampuan untuk melakukan aktivitas perawatan diri menurun.
Defisit perawatan diri tampak dari ketidakmampuan merawat kebersihan diri, makan sendiri,
berhias secara mandiri dan eliminasi / toileting secara mandiri.

II. FAKTOR PREDISPOSISI

Menurut Aziza (2011) faktor predisposisi adalah faktor resiko yang mempengaruhi
jenis dan jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress (faktor
pencentus/penyebab utama timbulnya gangguan jiwa). Penyebab isolasi sosial adalah harga
diri rendah yairu perasaan negative terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri merasa
gagal mencapai keinginan yang ditandai dengan adanya perasaan malu terhadap diri sendiri,
rasa bersalah terhadap diri sendiri, gangguan hubungan sosial, merendahkan martabat,
percaya diri kurang dan juga dapat mencederai diri (Direja, 2011).

Menurut Direja (2011) Ada berbagai faktor yang menjadi pendukung terjadinya
perilaku isolasi sosial:

1. Faktor Perkembangan
4
Tiap gangguan dalam pencapaian tugas perkembangan dari masa bayi sampai
dewasa tua akan menjadi pencentus seseorang sehingga mempunyai masalah respon sosial
menarik diri. Sistem keluarga yang terganggu juga dapat mempengaruhi terjadinya menarik
diri. Organisasi anggota keluarga bekerja sama dengan tenaga profesional untuk
mengembangkan gambaran yang lebih tepat tentang hubungan antara kelainan jiwa dan stres
keluarga. Pendekatan kolaboratif dapat mengurangi masalah respon sosial menarik diri.

Menurut Puba (2008) tahap-tahap perkembangan individu dalam berhubungan


antara lain:

a. Masa Bayi

Bayi sepenuhnya tergantung pada orang lain untuk memenuhi


kebutuhan biologis maupun psikologisnya. Konsistensi hubungan antara ibu dan anak,
akan menghasilkan rasa aman dan rasa percaya yang mendasar. Hal ini sangat penting
karena akan mempengaruhi hubungannya dengan lingkungan dikemudian hari. Bayi
yang mengalami hambatan dalam mengembangkan rasa percaya pada masa ini akan
mengalami kesulitan untuk berhubungan dengan orang lain pada masa berikutnya.

b. Masa Kanak-kanak

Anak mulai mengembangkan dirinya sebagai individu yang mandiri,


mulai mengenal lingkungannya lebih luas, anak mulai membina hubungan dengan
teman-temannya. Konflik terjadi apabila tingkah lakunya dibatasi atau terlalu
dikontrol, hal ini dapat membuat anak frustasi. Kasih sayang yang tulus, aturan yang
konsisten dan adanya komunikasi terbuka dalam keluarga dapat menstimulus anak
tumbuh menjadi individu yang interpenden, orang tua harus dapat memberikan
pengarahan terhadap tingkah laku yang diadopsi dari dirinya, maupun sistem nilai
yang harus diterapkan pada anak, karena pada saat ini anak mulai masuk sekolah
dimana anak harus belajar cara berhubungan berkompetensi dan berkompromi dengan
orang lain.

c. Masa Praremaja dan Remaja

Pada praremaja individu mengembangkan hubungan yang itim dengan


teman sejenis, yang mana hubungan ini akan mempengaruhi individu untuk mengenal
dan mempelajari perbedaan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Pada masa ini

5
hubungan individu dengan kelompok maupun teman lebih berarti daripada
hubungannya dengan orang tua. Konflik akan terjadi apabila remaja tidak dapat
mempertahankan keseimbangan hubungan tersebut, yang seringkali menimbulkan
tergantung pada remaja.

d. Masa Dewasa Muda

Kematangan ditandai dengan kemampuan megekspresikan perasaan


pada orang lain dan menerima perasaan orang lain serta peka terhadap kebutuhan
orang lain. Individu siap untuk membentuk suatu kehidupan baru dengan menikah dan
mempunyai pekerjaan. Karakteristik hubungan interpersonal pada dewasa muda
adalah saling memberi dan menerima (mutuality).

e. Masa Dewasa Tengah

Individu mulai terpisah dengan anak-anaknya, ketergantungan anak-


anak terhadap dirinya meurun. Kesempatan ini dapat digunakan individu untuk
mengembangkan aktivitas baru yang dapat meningkatkan pertumbuhan diri.

f. Masa Dewasa Akhir

Individu akan mengalami berbagai kahilangan baik kehilangan


keadaan fisik, kehilangan orang tua, pasangan hidup, teman, maupun pekerjaan atau
peran. Dengan adanya kehilangan tersebut ketergantungan pada orang lain akan
meningkat, namun kemandirian yang masih dimiliki harus dapat dipertahankan.

2. Faktor Biologik

Gen dapat menunjang terhadap respon sosial maladaptif. Genetik merupakan


salah satu faktor pendukung gangguan jiwa. Kelainan struktur otak, seperti atropi,
pembesaran ventrikel, penurunan berat dan volume otak serta perbahan skizofrenia(Direja,
2011).

3. Faktor Sosiokultural

Isolasi sosial merupakan faktor dalam gangguan hubungan. Ini merupakan


akibat dari norma yang tidak mendukung pendeatan terhadap orang lain, atau tidak
menghargai anggota masyarakat yang tidak produktif, seperti lansia, orang cacat, dan
berpenyakit kronik. Isolasi dapat terjadi karena mengadopsi norma, perilaku dan sistem nilai

6
yang berbeda dari yang dimiliki budaya mayoritas. Harapan yang tidak realistis terhadap
hubungan merupakan faktor lain yang berkaitan dengan gangguan ini (Sujono, 2009).

4. Faktor Komunikasi Dalam Keluarga

Menurut Dalami (2009) Masalah komunikasi dalam keluarga dapat


menjadi kontribusi untuk mengembangkan gangguan tingkah laku.

a. Sikap bermusuhan.
b. Sikap mengancam, merendahkan dan menjelek-jelekkan anak.
c. Selalu mengkritik, menyalahkan, anak tidak diberi kesempatan untuk
mengungkapkan pendapatnya.
d. Kurang kehangatan, kurang memperhatikan ketertarikan pada
pembicaraan anak, hubungan yang kaku antara keluarga, kurang tegur
sapa, komunikasi kurang terbuka.
e. Ekspresi emosi yang tinggi.
f. Double bind (dua pesan yang bertentangan disampaikan saat
bersamaan yang membuat dan kecemasannya meningkat).
5. Faktor Sosial Budaya

Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan merupakan faktor


pendukung terjadinya gangguan berhubungan. Dapat juga disebabkan oleh karena
normanorma yang salah yang dianut oleh satu keluarga. Seperti anggota tidak produktif
diasingkan dari lingkungan sosial (Dalami, 2009).

III. FAKTOR PRESIPITASI

Stresor presipitasi terjadinya isolasi sosial dapat ditimbulkan oleh faktor internal
maupun eksternal, meliputi:

1. Stressor Sosial Budaya

Stresor sosial budaya dapat memicu kesulitan dalam berhubungan, terjadinya


penurunan stabilitas keluarga seperti perceraian, berpisah dengan orang yang dicintai,
kehilangan pasangan pada usia tua, kesepian karena ditinggal jauh, dirawat dirumah sakit
atau dipenjara. Semua ini dapat menimbulkan isolasi sosial.

2. Stressor psikologis
7
Tingkat kecemasan yang berat akan menyebabkan menurunnya kemampuan
individu untuk berhubungan dengan orang lain. (Damaiyanti, 2012: 79).

Menurut Aziza (2011) stressor presipitasi adalah stimulus yang dipersepsikan oleh
individu sebagai tantangan, ancaman atau tuntutan dan memerlukan energi ekstra untuk
mengatasinya (faktor yang memperberat atau memperparah terjadinya gangguan jiwa).

Ada beberapa faktor presipitasi yang dapat menyebabkan seseorang menarik diri.
Faktor-faktor tersebut dapat berasal dari berbagai stressor antara lain:

1. Stressor Sosiokultural

Stressor sosial budaya dapat menyebabkan terjadinya gangguan dalam


membina hubungan dengan orang lain, misalnya menurunnya stabilitas unit keluarga,
berpisah dari orang yang berarti dalam kehidupannya, misalnya karena dirawat dirumah sakit.

2. Stressor Psikologik

Ansietas berat yang berkepanjangan terjadi bersamaan keterbatasan


kemampuan untuk mengatasinya. Tuntutan untuk berpisah dengan orang terdekat atau
kegagalan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya hal ini dapat menimbulkan ansietas
tinggi bahkan dapat menimbulkan sesorang mengalami gangguan hubungan menarik diri.

3. Stressor Intelektual
a. Kurangnya pemahaman diri dalam ketidakmampuan untuk berbagai
pikiran dan perasaan yang menggangu pengembangan hubungan
dengan orang lain.
b. Klien dengan “kegagalan” adalah orang yang kesepian dan kesulitan
dalam menghadapi hidup. Mereka juga akan sulitt berkomunikasi
dengan orang lain.
c. Ketidakmampuan seseorang mambangun kepercayaan dengan orang
lain akan persepsi yang menyimpang dan akan berakibat pada
gangguan berhubungan dengan orang lain.
4. Stressor Fisik
a. Kehidupan bayi atau keguguran dapat menyebabkan seseorang
menarik diri dari orang lain.

8
b. Penyakit kronik dapat menyebabkan seseorang minder atau malu
sehingga mengakibatkan menarik diri dari orang lain.

IV. PENILAIAN STRESSOR

Menurut Purba, dkk. (2008) tanda dan gejala isolasi sosial yang dapat ditemukan
dengan wawancara adalah :

1. Pasien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain


2. Pasien merasa tidak aman berada dengan orang lain.
3. Pasien mengatakan tidak ada hubungan yang berarti dengan orang lain
4. Pasien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu
5. Pasien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan
6. Pasien merasa tidak berguna
7. Pasien tidak yakin dapat melangsungkan hidup

Penilaian terhadap stressor individu sangat penting dalam hal ini. Rasa sedih karena
suatu kehilangan atau beberapa kehilangan dapat sangat besar sehingga individu tidak mau
memnghadapi kehilangan dimasa depan, bukan mengambil resiko mengalami lebih banyak
kesedihan. Respon ini lebih mungkin terjadi jika individu mengalami kesulitan dalam tugas
perkembangan yang berkaitan dengan hubungan (Stuart, 2007:280).

Ds:

1. Klien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain


2. Klien merasa tidak aman berada dengan orang lain
3. Klien merasa bosan
4. Klien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan
5. Klien merasa tidak berguna

Do:

1. Menjawab pertanyaan dengan singkat, yaitu “ya” atau “tidak” dengan pelan
2. Respon verbal kurang dan sangat singkat atau tidak ada
3. Berpikir tentang sesuatu menurut pikirannya sendiri
4. Menyendiri dalam ruangan, sering melamun

9
5. Mondar-mandir atau sikap mematung atau melakukan gerakan secara
berulang- ulang
6. Apatis (kurang acuh terhadap lingkungan)
7. Ekspresi wajah tidak berseri
8. Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri
9. Kontak mata kurang atau tidak ada dan sering menunduk
10. Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitarnya (Trimelia, 2011: 15)

V. SUMBER KOPING

Menurut Stuart (2007:281) individu yang mengalami respon social maladaftif


menggunakan berbagai mekanisme dalam upaya mengatasi ansietas. Mekanisme tersebut
berkaitan dengan dua jenis masalah hubungan yang spesifik yaitu sebagai berikut:

1. Proyeksi merupakan keinginan yang tidak dapat di toleransi, mencurahkan


emosi kepada orang lain karena kesalahan sendiri (Rasmun, 2004:35)
2. Isolasi merupakan rilaku yang menunjukan pengasingan diri dari lingkungan
dan orang lain (Rasmun, 2004:32)
3. Spiliting atau memisah merupakan kegagalan individu dalam
menginterpretasikan dirinya dalam menilai baik buruk (Rasmun, 2001:36)

VI. MEKANISME KOPING

Mekanisme yang digunakan klien sebagai usaha mengatasi kecemasan yang


merupakan suatu kesepian nyata yang mengancam dirinya. Mekanisme yang sering
digunakan pada isolasi sosial adalah regresi, represi, isolasi. (Damaiyanti, 2012: 84)

1. Regresi adalah mundur ke masa perkembangan yang telah lain.


2. Represi adalah perasaan-perasaan dan pikiran pikiran yang tidak dapat
diterima secara sadar dibendung supaya jangan tiba di kesadaran.
3. Isolasi adalah mekanisme mental tidak sadar yang mengakibatkan timbulnya
kegagalan defensif dalam menghubungkan perilaku dengan motivasi atau
bertentangan antara sikap dan perilaku.

10
Mekanisme koping yang muncul yaitu:
1. Perilaku curiga : regresi, represi
2. Perilaku dependen: regresi
3. Perilaku manipulatif: regresi, represi
4. Isolasi/menarik diri: regresi, represi, isolasi (Prabowo, 2014:113)

VII. RENTANG RESPON

Berdasarkan buku keperawatan jiwa dari Stuart (2006) menyatakan bahwa manusia
adalah makhluk sosial, untuk mencapai kepuasan dalam kehidupan, mereka harus membina
hubungan interpersonal yang positif. Individu juga harus membina saling tergantung yang
merupakan keseimbangan antara ketergantungan dan kemandirian dalam suatu hubungan.

Respon adaptif adalah respon yang diterima oleh norma-norma sosial dan
kebudayan yang berlaku dimana invidu tersebut mneyelesaikan masalahnya masih dalam
batas normal. Sedangkan respon maladaptif adalah respon yang dilakukan individu dalam
menyelesaikan masalahnya yang sudah menyamping dari normanorma sosial dan
kebudayaan suatu tempat perilaku yang berhubungan dengan respon sosial maladaptif, adalah
manipulasi, impulsive, dan narkisme.

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Menyendiri Kesepian Manipulasi

Otonomi Menarik diri Impulsif

Bekerja sama Ketergantungan Narcisme

Interdependen

Gambar 2.1 Rentang Respon Isolasi Sosial (Stuart, 2006)

11
1. Menyendiri (Solitude)

Merupakan respon yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan apa yang


telah dilakukan dilingkungan sosialnya dan suatu cara mengevaluasi diri untuk menentukan
langkah selanjutnya. Solitude umumnya dilakukan setelah melakukan kegiatan.

2. Otonomi

Merupakan kemampuan individu untuk menentukan dan menyampaikan ide-


ide pikiran, perasaan dalam hubungan sosial.

3. Kebersamaan (Mutualisme)

Mutualisme adalah suatu kondisi dalam hubungan interpersonal dimana


individu tersebut mampu untuk saling memberi dan menerima.

4. Saling Ketergantungan (Intedependen)

Intendependen adalah kondisi saling ketergantungan antara individu dengan


orang lain dalam membina hubungan interpersonal.

5. Kesepian

Merupakan kondisi diman individu merasa sendiri dan teransing dari


lingkungannya.

6. Isolasi Sosial

Merupakan suatu keadaan dimana seseorang menemukan kesulitan dalam


membina hubungan secara terbuka dengan orang lain.

7. Ketergantungan

Dependen terjadi bila seseorang gagal mengembangkan rasa percaya diri atau
kemampuannya untuk berfungsi secara sukses. Pada gangguan hubungan sosial jenis ini
orang lain diperlakukan sebagai objek, hubungan terpusat pada masalah pengendalian orang
lain, dan individu cenderung berorientasi pada diri sendiri atau tujuan, bukan pada orang lain.

8. Manipulasi

12
Merupakan gangguan hubungan sosial yang terdapat pada individu yang
menganggap orang lain sebagai objek. Individu tersebut tidak dapat membina hubungan
sosial secara mendalam.

9. Impulsif

Individu impulsif tidak mampu merencanakan sesuatu, tidak mampu belajar


dari pengalaman, tidak dapat diandalkan, dan penilaian yang buruk.

10. Narkisisme

Pada invididu narsisme terdapat harga diri yang rapuh, secara terus menerus
berusaha mendapatkan penghargaan dan pujian, sikap egosentrik, pencemburu, marah jika
orang lain tidak mendukung.

13
VIII. PERENCANAAN

Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

(SLKI) (SIKI)

Setelah dilakukan tindakan Promosi sosialisasi (SIKI, I.13498)


keperawatan …x... jam maka
Observasi
Keterlibatan sosial (L.13116)
meingkat dengan kriteria hasil:  Identifikasi kemampuan melakukan interaksi
dengan orang lain
Minat interaksi cukup meningkat
 Identifikasi hambatan melakukan interaksi dengan
4, verbalisasi tujuan yang jelas
orang lain
cukup meningkat 4, verbalisasi
Terapeutik
isolasi menurun 5, perilaku
bermusuhan menurun 5, perilaku  Motivasi meningkatkan keterlibatan dalam suatu
hubungan
menarik diri menurun 5, perilaku
 Motivasi kesabaran dalam mengembangkan suatu
sesuai dengan harapan orang lain
hubungan
4 cukup membaik, perilaku
 Motivasi berpartisipasi dalam aktivitas baru dan
bertujuan 4 cukup membaik,
kegiatan kelompok
kontak mata 4 cukup membaik,
 Motivasi berinteraksi di luar lingkungan
tugas perkembangan sesuai usia
 Diskusikan kekuatan dan keterbatasan dalam
4 cukup membaik.
berkomunikasi dengan orang lain
 Diskusikan perencanaan kegiatan diri di masa
depan
 Berikan umpan balik positif dalam perawatan diri
 Berikan umpan balik positif pada setiap
peningkatan kemampuan
Edukasi

 Anjurkan berinteraksi dengan orang lain secara


bertahap

14
 Anjurkan ikut serta kegiatan sosial dan
kemasyarakatan
 Anjurkan berbagi pengalaman dengan orang lain
 Anjurkan meningkatkan kejujuran diri dan
menghormati hak orang lain
 Latih mengekspresikan marah dengan tepat

Terapi aktivitas (I.05186)


Observasi

 Identifikasi deficit tingkat aktivitas


 Identifikasi kemampuan berpartisipasi
dalam aktivotas tertentu
 Identifikasi sumber daya untuk aktivitas
yang diinginkan
 Identifikasi strategi meningkatkan
partisipasi dalam aktivitas
 Identifikasi makna aktivitas rutin (mis.
bekerja) dan waktu luang
 Monitor respon emosional, fisik, social,
dan spiritual terhadap aktivitas

Terapeutik

 Fasilitasi focus pada kemampuan, bukan


deficit yang dialami
 Sepakati komitmen untuk meningkatkan
frekuensi danrentang aktivitas
 Fasilitasi memilih aktivitas dan tetapkan
tujuan aktivitas yang konsisten sesuai
kemampuan fisik, psikologis, dan social
 Koordinasikan pemilihan aktivitas sesuai
usia
 Fasilitasi makna aktivitas yang dipilih
15
16

 Fasilitasi transportasi untuk menghadiri


aktivitas, jika sesuai
 Fasilitasi pasien dan keluarga dalam
menyesuaikan lingkungan untuk
mengakomodasikan aktivitas yang dipilih
 Fasilitasi aktivitas fisik rutin (mis.
ambulansi, mobilisasi, dan perawatan diri),
sesuai kebutuhan
 Fasilitasi aktivitas pengganti saat
mengalami keterbatasan waktu, energy,
atau gerak
 Fasilitasi akvitas motorik kasar untuk
pasien hiperaktif
 Tingkatkan aktivitas fisik untuk
memelihara berat badan, jika sesuai
 Fasilitasi aktivitas motorik untuk
merelaksasi otot
 Fasilitasi aktivitas dengan komponen
memori implicit dan emosional (mis.
kegitan keagamaan khusu) untuk pasien
dimensia, jika sesaui
 Libatkan dalam permaianan kelompok
yang tidak kompetitif, terstruktur, dan aktif
 Tingkatkan keterlibatan dalam
aktivotasrekreasi dan diversifikasi untuk
menurunkan kecemasan ( mis. vocal group,
bola voli, tenis meja, jogging, berenang,
tugas sederhana, permaianan sederhana,
tugas rutin, tugas rumah tangga, perawatan
diri, dan teka-teki dan kart)
 Libatkan kelarga dalam aktivitas, jika perlu
17

 Fasilitasi mengembankan motivasi dan


penguatan diri
 Fasilitasi pasien dan keluarga memantau
kemajuannya sendiri untuk mencapai
tujuan
 Jadwalkan aktivitas dalam rutinitas sehari-
hari
 Berikan penguatan positfi atas partisipasi
dalam aktivitas

Edukasi

 Jelaskan metode aktivitas fisik sehari-hari,


jika perlu
 Ajarkan cara melakukan aktivitas yang
dipilih
 Anjurkan melakukan aktivitas fisik, social,
spiritual, dan kognitif, dalam menjaga
fungsi dan kesehatan
 Anjurka terlibat dalam aktivitas kelompok
atau terapi, jika sesuai
 Anjurkan keluarga untuk member
penguatan positif atas partisipasi dalam
aktivitas

Kolaborasi

 Kolaborasi dengan terapi okupasi dalam


merencanakan dan memonitor program
aktivitas, jika sesuai
 Rujuk pada pusat atau program aktivitas
komunitas, jika perlu
18
DAFTAR PUSTAKA

Siswanto. (2007). Kesehatan Mental (Konsep cakupan dan perkembangannya).


Yogyakarta: ANDI

Stuart and Sundeen, “ Buku Saku Keperawatan Kesehatan Jiwa “, alih bahasa Hapid
AYS, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Stuart. (2006). Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 5. Jakarta: Salemba Medika.

Stuart, G.W. (2007). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Spsychiatric Mental Health
Nursing. 2008. Jakarta: EGC.

Yosep & Sutini (2014). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika Aditama.

Yosep, I. (2007). Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika Aditama

Videbeck, Sheila L. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Spsychiatric Mental Health


Nursing. 2008. Jakarta: EGC

Tim pokja SLKI DPP PPNI (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia
(SDKI). Edisi 1 Jakarta.

Tim pokja SIKI DPP PPNI (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(SDKI). Edisi 1 Jakarta.

. https://www.academia.edu/13410915/LP_ISOLASI_SOSIAL. Di unduh pada


april 2021

https://www.academia.edu/13410915/LP_ISOLASI_SOSIAL#:~:text=LP%20IS
OLASI%20SOSIAL.%20A.%20DEFINISI%20%20%EF%82%B7%20Is
olasi,sekali%20tidak%20mampu%20berinteraksi%20dengan%20orang%
20lain%20disekitarnya. Di unduh pada april 2021

19

Anda mungkin juga menyukai