TUGAS INDIVIDU
DISUSUN OLEH :
NIM. G41202299
JURUSAN KESEHATAN
PENGANTAR
Pelayanan farmasi merupakan wilayah paling berisiko dalam lingkup kegiatan di rumah sakit
yangmenunjang mutu sebuah pelayanan kesehatan.1California Health Care Foundation (CHCF)
padatahun 2001 melaporkan setidaknya ada 7000 kasuskematian tiap tahunnya di Amerika
Serikatdiakibatkan medication error.2 Penelitian yangdilakukan di RS PKU Muhammadiyah
mengenaikejadian yang terkait dengan potensi masalahperesepan dengan menggunakan
pendekatananalisis Drug Related Problem (DRP) ditemukan5,60% atau 435 resep dari 7706
resep yang potensialmengalami kesalahan atau biasa disebut PotentialDrug Related Problem.
Pada tahun 2007 di UnitPelayanan Farmasi Rumah Sakit PKUMuhammadiyah Yogyakarta,
Laporan KejadianTidak Diinginkan (KTD) yang diambil berdasarkanlaporan kegiatan harian
Instalasi Farmasi ditemukandata bahwa selama bulan Oktober–Desember 2007terjadi sejumlah
12 laporan KTD yang merupakankejadian dispensing error seperti kesalahanpengambilan obat,
kesalahan pengetikan, kesalahanpemberian dan kesalahan transkripsi resep.3Salah satu metode
yang telah dikembangkanuntuk mengidentifikasi, mengukur dan mencegahterjadinya medication
error adalah Failure Modes andEffect Analysis (FMEA).4The Institute of Health
CareImprovement mendefinisikan FMEA sebagai metodesistematis dan proaktif untuk
mengevaluasi suatuproses untuk mengidentifikasi di mana danbagaimana suatu proses dapat
gagal danmemperkirakan faktor kegagalan yang lain, sehinggadiketahui bagian mana dari suatu
proses itu yangpaling memerlukan pengembangan.5 Dalampenelitian ini dilakukan
pengembangan penelitiantentang bagaimana membuat desain baru pelayananfarmasi untuk
meminimalkan risiko kejadianmedication error dengan penerapan metode FMEAdi RS PKU
Yogyakarta.
Metode penelitian :
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian action research. Penelitian action research dipilih
untuk lebihmelibatkan secara aktif subyek penelitian dalam melakukandesain ulang pelayanan
farmasi dengan menggunakan metodeFMEA untuk meminimalkan risiko kejadian medication
error.Subyek penelitian adalah semua kejadian medication error padaproses penggunaan obat
termasuk didalamnya tenagakesehatan yang terkait dalam proses penggunaan obat. Dataprimer
diperoleh melalui wawancara mendalam, wawancarakelompok, kelompok diskusi terarah, dan
workshop.
Penelitian action research tentang redesignpelayanan farmasi di RS PKU
MuhammadiyahYogyakarta ini menggunakan metode FMEAdiawalidengan melakukan tahap
diagnosing, dilanjutkandengan tahap planning action, selanjutnya tahaptaking action dan diakhiri
dengan tahap evaluating
1.Tahap Diagnosing
Penelitian ini diawali dengan tahap diagnosingyang menurut Campbell disebut sebagai tahap
untukmemahami perspektif dari para stakeholder. Disamping itu tahap ini bermanfaat untuk
menilaibaseline situation.7 Padatahap diagnosing inidilakukan langkah melakukan redesain
pelayananfarmasi dengan metode FMEA yang diawali denganmenentukan proses yang berisiko
tinggi melaluiworkshop. Secara umum hasil kesepakatanworkshop menunjukkan bahwa
pelayanan farmasirawat jalan merupakan faktor yang berisiko tinggidikarenakan pelayanan yang
termasuk menimbulkankomplain yang lebih besar , pelayanannya komplekskarena terkait satu
dengan yang lain, apabila adakesalahan tidak dapat langsung tertangani karenakontrol yang
rendah,dan bergantung pada faktorpetugas farmasi. Hasil kesepakatan workshop inisejalan
dengan karakteristik proses berisiko tinggiyang dikeluarkan oleh JCAHO yaitu memiliki
inputyang bervariasi, pelayanan kesehatan cenderungmemiliki tahap yang banyak dan
kompleksitas yangtinggi, kurang standar, prosesnya berkaitan erat,bergantung campur tangan
manusia, dan memiliki jumlah obat yang lebih atau kurang. Melalui curahpendapat tersebut
dapat disimpulkan bahwa padasetiap proses ternyata memiliki failure mode lebihdari satu dan
setiap failure mode memiliki satu ataulebih efek yang akan didapatkan oleh pasien.Pada proses
penentuan tingkat keparahan danefek kegagalan kepada pasien, hasil darikesepakatan yang
dibuat oleh tim FMEA adalahbahwa kegagalan dalam komunikasi ke doktermemiliki tingkat
Risk Priority Number (RPN) tertinggiyaitu sebesar 294 dengan nilai occurance (seringtidak
terjadi) sebesar 6 yaitu menurut Tim FMEApada satu tahun kejadian untuk kegagalan
dalamkomunikasi ke dokter terjadi, namun jarang,sedangkan untuk tingkat kefatalan
dankeparahan,tim FMEA memberikan skor 7 dan untuknilai detectable (mudah dideteksi) tim
memutuskanmemberikan skor 6 yaitu kemungkinan terdeteksisedang karena langsung bisa
dilihat pada lembaranresep. Untuk nilai RPN pada proses validasi resepyaitu dalam proses
kegagalan dalam mendeteksi/membaca nama obat yang berakibat salahpengambilan obat adalah
sebesar 216, dengan nilaioccurance adalah 6, saverity sebesar 6 dandetectable sebesar 6. Hal ini
senada denganpenelitian yang mengatakan bahwa 88% dari totalkejadian error berupa
penyerahan obat yang salah,kesalahan kekuatan obat sebagai akibat dari salahambil.9 Pada tahap
melakukan penggalian penyebabdengan metode diagram fish bone, tim menyepakatibahwa
faktor penyebab dari setiap kegagalan adabeberapa faktor yaitu petugas atau SDM, metode(work
method), sarana dan prasarana, material,lingkungan. Dari tahap diagnosis ini secara mengerucut
pada intinya adalah mendorong untukdibuatnya sistem yang baik dalam mendeteksitimbulnya
medication error dengan menggali lebihdalam penyebab terjadinya kegagalan sehinggadapat
meminimalkan dan mencegah risikokesalahan- kesalahan dalam pelayanan pemberianobat di
unit farmasi rawat jalan RS PKUMuhammadiyah Yogyakarta.
Adapun hasil yang didapatkan untuk failuremode kegagalan dalam berkomunikasi dengandokter
RPN awal memiliki nilai 294, setelah adanyaintervensi desain nilai RPN menjadi 196.
Kegagalandalam mendeteksi nama obat RPN awal memilikinilai 216, setelah adanya intervensi
desain nilai RPNmenjadi 144. Kesepakatan tim FMEA dalamworkshop, evaluasi terakhir
menyepakati bahwa nilaioccurance belum bisa diturunkan dikarenakan belummemberikan
penurunan yang signifikan dan hanyadilakukan selama 1 pekan pengukuran dengan 50sampel
resep. Namun, beberapa tim mengatakanoccurance sudah dapat diturunkan menjadi 6
untukkegagalan dalam komunikasi ke dokter yang padaawalnya nilai occurance 7, dengan
pertimbangandengan 50 sampel resep, 5 kali resep dikonfirmasike dokter karena tidak terbaca,
dan dokter langsungbisa di hubungi. Jadi sebenarnya tidak terjadikegagalan konfirmasi. Pada
akhir kesepakatan timmemutuskan tidak dapat diturunkan. Untuk nilaidetecteble dapat dinaikkan
dari 7 menjadi 4.Kesimpulannya tim menyepakati dengan desain barumempermudah melakukan
deteksi dengan cepatdan baik. Hal ini senada untuk kegagalan dalammendeteksi nama obat, tim
menyepakati untukoccurance tidak dapat diturunkan tetap pada nilai 6,detectabele dari 6 menjadi
4. Untuk saverity timmemberikan nilai yang tetap dengan alasan saveritytidak dapat turun karena
yang diintervensi adalahsistem pelayanan pemberian obatnya. Jika terjadikesalahan akan tetap
berefek sama kefatalannyakepada pasien. Untuk nilai saverity pendapat tim tidaksenada dengan
literatur mengatakan bahwa nilaisaverity dapat turun atau berubah sesuai denganskenario desain
yang akan diintervensi.Menurut peneliti desain yang lebih efektif untukmeningkatkan detectable
adalah denganmenambahkan pelabelan warna yang berbedadengan membuat koding pada setiap
jenis obat. Jadidapat dicontohkan untuk antibiotik menggunakanwarna merah (A) dengan
amoxixilin codingnya (A.1),amoxan codingnya (A.2) dan seterusnya. Hal inisesuai dengan
Institute for Healthcare Improvement(IHI) dalam Institute forSafe Medication
Practices12mengenai Color Coding: Best Practices for Labelingof Intravenous Lines for Patients
with MultipleSimultaneous Infusions. Selain itu perlu dilakukanperbaikan penggunaan warna.
Obat-obat yangberlawanan efek farmakologinya memiliki warna yangsama tetapi dibedakan
dengan strip pada efekantagonisnya. Misalkan sedatif (midazolam)berwarna oranye, antagonis
sedatif (flumazenil) berwarna oranye dengan strip putih, opioid (morphine)berwarna dasar biru,
dan antagonis opioid (naloxone)berwarna biru dengan strip putih. Prinsip inimengadopsi
pewarnaan yang digunakan pada obat-obat injeksi anaestasi yang telah terstandarinternasional
dan telah diterapkan di Amerika serikat,Canada, New Zealand, dan Australia.
Referensi :
file:///C:/Users/Acer/AppData/Local/Temp/2590-4471-1-SM.pdf