Anda di halaman 1dari 16

DULU AKU BERBEDA

Terkadang aku harus menangis meninggalkan apa yang harus kutinggal. Namun aku tak
menyalahkan siapapun, apalagi tuhan. Suatu kehormatan bagiku untuk mengatasi hidup sendiri
di rantau orang. Ahh tak asik rasanya harus mengadu sepanjang waktu kepada kedua orangtua
yang sudah hampir menua. Sudah cukup kasih sayang dan pengorbanannya selama ini, jangan
sampai ia harus mengurusi kesedihaanku juga. Tak adil rasanya jika aku harus menuangkan
keluh kesahku kepada mereka, maka demi itu aku harus melewati semuanya sendiri di rantau.
Tak jarang aku merasa letih jika mengerjakan pekerjaan rumah yang biasanya dikerjakan olehku
dan ibu. Namun jika letih itu mulai menjalar, cepat-cepat kutepis agar pergi dan tak kan muncul
lagi.
Dulu, ya dulu sebelum aku dan keluargaku merasakan sukses. Kami bergrilya di tengah hutan
yang lebat, seakan tak pernah tahu jalan pulang ke kota. Menghabiskan waktu demi waktu dalam
perjuangan yang akan mengantarkan kepada kesuksesan. Jejak kaki ibu dan ayahku seperti
bercak-bercak indah di tanah yang masih subur dipenuhi pepohonan rindang. sungai yang
mengalir deras selalu membuatku segar ketika sudah bermain panas di siang hari. Alam selalu
bersama denganku dan dua malaikatku itu. bentangan kebun karet yang luas selalu memberikan
getah-getahnya untuk kami hingga bisa dijual ke kota dan mendapatkan hasilnya. Orangtuaku
cukup banyak mempunyai tanah-tanah kosong yang belum terisi oleh apapun yang akan
menghasilkan uang, kecuali semak-semak belukar yang akan menumbuhkan duri. begitu sulit
rasanya menjadi seseorang yang tidak memiliki harta. “namun apapun yang akan terjadi pasti
sudah ditakdirkan tuhan”. itu kata ibu.
Sepeda melaju dengan kencang di antara tebing yang sedikit curam, aku terpingkau-pingkau
girang seolah lagi bermain ayunan mewah. Tidak ada sedikitpun rasa takut pada hati, tak seperti
anak kota yang selalu takut dengan sesuatu yang akan membahayakan diri mereka.
Hari silih berganti, hingga datanglah kabar gembira bahwa akan datang suatu perusahaan ke
kampung kami. Perusahaan PT Agrowiyana, sebuah perusahaan yang menumbuhkan bibit-bibit
sawit di atas tanah-tanah kosong para penduduk, dengan hasil dibagi 3. dua bagian untuk mereka
dan satu bagian untuk para tuan tanah, hingga hutang habis, Lalu tanah dan sawit dikembalikan
lagi kepada yang punya.
Hati kedua orangtuaku amat gembira, seakan tuhan mengabulkan semua doa-doa mereka. Ansur
demi ansur pun berlalu, membuatku meninggalkan semua kehidupanku dulu. dan pindah ke kota
kecil yang mungkin tidak pernah kuinginkan. Pendidikan mulai kutempuh, hari demi hari
berubah drastis, berbanding terbalik dengan apa yang kurasakan dulu.
Ketika bangun tak ada lagi kudengar riuhan burung yang berkicau atau aliran sungai yang deras
serta jernih. Tak ada lagi sinar mentari yang menyeludup di antara pepohonan kayu. Sinar senja
yang slalu kulihat di antara pepohonan tebing juga tak lagi bisa kujumpai, semua itu seakan
mimpi yang tidak mungkin kembali.
17 tahun telah berlalu, semuanya sudah begitu maju. Berbagai kehidupan aku lalui. pertualangan
ku mulai merambah ke kota-kota besar, mencari pendidikan dan ilmu yang tidak akan mungkin
kujumpai di kota kecilku dulu. Tak jarang ayah ibu memanggilku pulang untuk menikmati
semua penghasilan atau sekedar ingin berjumpa denganku. namun aku selalu mengatakan bahwa
aku akan pulang nanti. ya nanti, ketika aku benar-benar telah merindukan mereka, atau aku tak
mampu lagi untuk berdiri sendiri.
Kehidupan kami sudah lebih dari cukup. Dengan ayah yang menjadi UMAS di perusahaan abu
rizal bakri itu. karet kami yang lebih dari 3 hetar juga sawit yang mencapai belasan. Aku rasa
penghasilan ayah sudah mampu membeli apapun yang ia mau. Tapi aku salut dengannya, ia
selalu bertingkah sederhana dan memandang hidup apa adanya, seakan kesederhanaan
membuatnya jauh lebih merdeka dari seseorang yang sudah merdeka. Ibu, ia seseorang yang
selalu membuatku semangat merintis ilmu pengetahuan di rantau, karna ia seseorang yang amat
mencintai sekolah, hanya saja perjuangannya untuk sekolah terputus oleh biaya dan adik-
adiknya.
Pernah aku pulang dan mendatangi kediamanku dulu, air yang mengalir deras, pohon yang
rindang dan karet yang berjajar rapi. Namun semua itu tidak kutemui lagi. Air yang mengalir
sudah menjadi bendungan kecil yang tidak bisa kunikmati, pohon–pohon rindang sudah
menjelma menjadi jejeran sawit yang akan menghasilkan uang. Serta pohon karet dulu sudah
disulap menjadi rumah–rumah para buruh. Semua sudah berubah, sama berubahnya dengan
kehidupanku, jika ada jalur waktu ingin rasanya aku kembali kekehidupan yang lampau, dimana
aku tidak takut akan apapun, dimana aku selalu menikmati jernihnya air, dimana aku akan selalu
melihat cahaya senja di lereng tebing. dimana ayah selalu merakit kayu menjadi sebuah pistol
yang keren, atau menipuku soal kacang tanah. Ya, sebuah tumbuhan yang tidak pernah kujumpai
dimana buahnya, dan ayah selalu berkata bahwa buahnya berada di dalam bunga, padahal buah-
buah kacang itu berada di dalam tanah yang subur. Dulu aku tak mengerti mengapa ayah
membohongiku, namun kini aku paham. mungkin karena ayah takut aku akan mencabut semua
tumbuhan itu jika aku tahu buahnya ada di antara akar. Ayah memang selalu bisa membuatku
berhenti bertingkah konyol, atau bisa membuat tanganku tak bisa menghancurkan sesuatu yang
akan kuhancurkan.
Angin meniup pelan rambutku yang mulai jarang, siang sudah hampir 10 jam yang lalu berganti
malam, namun aku masih setia berdiri di balkon kost menghadap langit berawan kelam. Mataku
berkedip pelan tak sanggup menahan air di antara kelopak mata hingga terjatuh dan bergerai di
kedua pipi. Lonceng malam selalu membangunkanku dari lelap hingga beranjak ke balkon ini.
ingin rasanya aku berontak kepada tuhan, mengapa aku harus ditakdirkan menjadi seseorang
yang pengecut seperti sekarang, yang tidak bisa menahan beban sedikitpun. Dulu aku terjatuh di
lereng lereng tebing namun tak menangis, dulu aku demam panas dan menggigil namun tetap
bermain hujan, dulu aku terjungkir di antara semak-semak berduri namun tetap tertawa riang.
Namun mana mungkin aku harus takut dengan penyakit yang belum tentu benar. Mana mungkin
aku harus menangis setiap malam karna rambutku yang selalu berjatuhan. Mana mungkin
seseorang yang dianggap tangguh terjatuh di antara terangnya dunia. Bukankah dunia telah
canggih? bukankah obat-obatan penyembuh sudah ditemukan? lalu apa yang harus aku takuti?
Entahlah, aku takut tak bisa melihat ibu dan ayahku dengan jelas, aku takut tak bisa merangkul
mereka dihari tua, aku takut tak bisa berdiri untuk sholat mendoakan mereka, dan juga takut
membuat mereka menangis menatapku yang mungkin akan terbaring di rumah sakit suatu hari.
Ya, suatu hari yang tidak ingin kujumpai.
Mimpi, aku selalu bermimpi bahwa aku kembali kecil dan menikmati semuanya bersama dengan
ayah dan ibu, namun ketika ku bangun, semua itu menjadi mimpi buruk yang tidak bisa
kujelaskan. Mulut ini bungkam, tak ada kata yang bisa kuucap atau kuceritakan kepada siapapun,
aku harus siap menjalankan 2 peran. Menjadi seorang tangguh di siang hari dan menjadi
pecundang di gelap malam.

*** TAMAT ***


BERPERILAKU SOPAN HIDUP PUN TENTRAM

Di suatu sekolah yaitu “SMPN insan cendekia”, terdapat 3 orang sahabat yang bernama Robin,
Rozi dan Farhan mereka sekarang duduk di kelas 9 yaitu, kelas 9I. Masing masing mempunyai
sifat dan karakter yang berbeda-beda. Robin anaknya baik, ramah, cerdas dan kreatif. Rozi
anaknya setia kawan, ramah, humoris dan sopan sedangkan Farhan dia mempunyai sifat agak
berbeda dengan kedua sahabatnya yaitu bandel, sedikit ceroboh, terkadang cuek tetapi juga
humoris dan cerdas. Meskipun ketiganya mempunyai sifat yang berbeda tetapi mereka
menjadikan perbedaan mereka sebagai suatu hal yang saling melengkapi dalam menjalin
persahabatan.
Seperti biasa, pagi itu Farhan sudah bangun dari tidurnya lalu sholat subuh, mandi lalu sarapan
kemudian bersiap siap berangkat sekolah, Farhan hendak menggambil sepeda onthelnya yang
masih berada dalam rumah dan akan berpamitan pada ibunya. “Bu, farhan mau berangkat
sekolah dulu ya” teriak Farhan sambil menaiki sepedanya. “Tunggu sebentar nak” jawab ibu
Farhan yang datang menghampiri anaknya. “Ada apa bu?” tanya Farhan heran. “Kamu pamitan
sama ibu dengan menaiki sepeda yang masih di dalam rumah? Sungguh itu perbuatan yang tidak
sopan han. Ayo turun dan keluarkan sepedamu!” perintah Ibu Farhan. “Maaf bu” sahut Farhan
sambil turun dari sepedanya dan menuntunnnya keluar. “Nah seperti itu baru namanya sopan dan
baik” ucap Ibu Farhan. “Iya bu. Farhan minta maaf” ucap Farhan merasa bersalah. “Ya sudah
sekarang kamu berangkat nanti terlambat lho. Ingat jangan diulangi lagi ya” pesan Ibu Farhan.
“Baik bu Farhan berangkat dulu, Assalamualaikum” pamit Farhan dan mencium punggung
tangan ibunya. “Wa’alaikumussalam, hati-hati ya” jawab Ibu Farhan. Farhan pun segera melaju
kencang menuju sekolah yang jaraknya agak jauh dari rumahnya.
Ternyata setelah sampai di sekolah Farhan terlambat masuk kelas, dengan tergesa-gesa ia pun
masuk kelas, tanpa berpikir panjang Farhan langsung masuk begitu saja, melihat itu Pak Kris
yang sedang menerangkan pelajaran marah sekaligus heran. “Farhan apa kamu tidak tau sopan
santun?” tanya Pak Kris dengan tegas. Lama Farhan terdiam lalu menjawab “Tahu Pak”. “Kalau
tahu kenapa kamu masuk tanpa salam atau ketuk pintu terlebih dahulu?” tanya Pak Kris lagi.
“Maafkan saya pak” jawab Farhan takut-takut. “Sebagai hukuman kamu berdiri di depan kelas
dan bacakan pembukaan UUD 1945” perintah Pak Kris dengan tegas dan galak. Tanpa banyak
bicara Farhan pun langsung ke depan melakukan apa yang diperintahkan oleh Pak Kris, dengan
lancar ia membacakan pembukaan UUD 1945.
Tak terasa waktu cepat berlalu bel tanda istirahat pertama pun berbunyi dengan nyaringnya.
Semua anak bersorak gembira. “Baiklah anak-anak bapak sudahi pertemuan kali ini terimakasih.
Assalammualaikum” ucap Pak Kris mengakhiri pelajaran.
“Wa’alaikumussalam” jawab anak-anak serempak. Mereka pun berhamburan ke luar kelas, ada
yang ke kantin, kamar mandi ataupun perpustakaan. Begitupun dengan Farhan, Rozi dan Robin.
“Robin, Farhan ke kantin yuk! aku lapar nih” ajak Rozi yang sudah kelaparan. Robin & Farhan
mengganguk. Mereka segera menuju kantin yang jaraknya agak jauh dari kelas mereka.
Sesampainya di kantin mereka duduk dan memesan makanan.
Beberapa menit kemudian pesanan datang. Farhan langsung menyambar bakso yang masih panas
itu. “Hati hati han nanti tersedak lho” ucap Rozi mengingatkan. “Iya, itu nggak sopan tau, kamu
belum baca basmalah trus makan pakai tangan kiri lagi” sambung Robin. “Iya iya maaf habisnya
lapar banget sih” kata Farhan sambil memegang sendoknya dengan tangan kanan. “Nah gitu
dong kan lebih enak dipandang” ujar Rozi gembira.
“Aku heran ya, hari ini aku banyak mendengar orang-orang berbicara tentang sopan, sopan dan
sopan” keluh Farhan sedikit kesal. “Kamu juga sih, belakangan ini perilaku kamu kurang sopan”
jelas Rozi.. “Iya, sopan itu kan penting” tambah Robin. Farhan hanya diam saja dan melanjutkan
makan.
Setelah mereka selesai makan dan membayar, mereka lalu kembali ke kelas, ketika di perjalanan
mereka berpapasan dengan Bu Rara. “Mari bu” sapa Robin dengan sopan. “Selamat siang bu”
ucap Rozi memberi salam. Bu Rara hanya membalas dengan anggukan dan senyuman kemudian
berlalu.. “Eh Farhan, kenapa kamu nggak menyapa Bu Rara tadi?” tanya Rozi heran. “Aku lagi
kesal dan malas menyapa, dulu aku pernah menyapa bu guru lain tapi, tak dihiraukan dan beliau
berlalu begitu saja” jawab Farhan jujur. “Nggak boleh gitu han, walau mereka tidak membalas
sapaan kita, setidaknya kita sudah menyapa dan berperilaku baik” kata Rozi menasehati. “Betul
itu, budayakan 5S Senyum, Salam, Sapa, Sopan Dan Santun” tambah Robin. “Iya deh dari tadi
aku terus yang disalahkan” ujar Farhan memasang muka cemberut. Robin dan Rozi hanya bisa
tertawa dan menggelengkan kepala. Mereka lalu bergegas menuju kelas untuk mengikuti
pelajaran selanjutnya.
Lima hari pun berlalu begitu cepat tapi, sifat Farhan yang buruk masih belum hilang, sering ia
ceroboh dan tidak berperilaku sopan. Pada suatu hari 3 sahabat itu berbincang-bincang di
perpustakaan tentang sopan santun. “Eh, teman teman kalian tau nggak manfaat dari perilaku
sopan?” tanya Rozi memulai perbincangan. “Manfaat sopan santun adalah disenangi banyak
orang, menciptakan karakter yang mulia, mencerminkan sifat yang luhur, membuat kita lebih
ramah pada sesama” ujar Robin penuh semangat. “Dan menjadikan kita pribadi yang baik serta
mengerti adat istiadat” tambah Rozi. “Tapi teman teman bersikap sopan itu terasa sulit
dilakukan, akhir-akhir ini aku selalu bertindak tidak sopan tanpa aku sadari. Aku ingin berubah,
bagaimana kalian punya saran tidak?” keluh Farhan. Ia ingin jadi lebih baik lagi. “Memang han
kalo kita belum terbiasa berprilaku sopan memang terasa sulit, tapi jika sudah terbiasa akan
terasa mudah dan menyenangkan apalagi dapat banyak pahala” kata Rozi menjelaskan. “Aku
tahu bagaimana mengubah sikap burukmu itu” ujar Robin sambil tersenyum. “Aku sudah
membuatkanmu gelang sopan santun” ucap Robin lalu mengeluarkan sebuah gelang dan
memberikannya pada Farhan. “Gelang apa ini?” tanya Farhan sambil melihat gelang yang
bertuliskan ‘sopan itu perlu’ tersebut. “Gelang itu bisa menjadi pengingat kalau kita tidak
berperilaku sopan caranya sederhana kok, ketika kita ingat bahwa kita telah melakukan hal yang
tidak sopan, tarik saja gelangnya kuat-kuat lalu lepaskan dan otomatis akan mengenai tanganmu
dan teras sakit jadi, gelang ini seakan-akan menghukum kita” ujar Robin menjelaskan panjang
lebar. “Oh seperti itu jadi kesimpulannya jika tidak ingin sakit maka bersikaplah dengan sopan”
ujar Rozi menarik kesimpulan. Robin mengganguk. “Oh begitu ya, terimakasih Robin atas
pemberianmu ini, mulai besok akan kupraktikan” ucap Farhan gembira kini ia dapat melatih
sikap sopan santunnya.
Sejak ada gelang itu kini Farhan lebih berhati-hati dalam bertindak. Kemarin ketika ia
berpapasan dengan Bu Della Farhan malah memalingkan wajah dan tidak menyapa beliau,
beberapa menit kemudian ia sadar bahwa itu adalah perbuatan yang tidak sopan, lalu ia menarik
gelang pemberian Robin kuat-kuat dan melepaskannya, ia agak kesakitan. “Jika tak ingin sakit,
bersikaplah sopan” ucapnya dalam hati sambil tersenyum malu. Hal tersebut Farhan lakukan
berulang-ulang ketika ia berperilaku tidak baik dan sopan.
2 minggu pun berlalu, sekarang sifat buruk Farhan perlahan mulai hilang dan dia menjadi lebih
ramah, tidak ceroboh dan sopan santun. Setiap bertemu siapapun ia selalu tersenyum dan
menyapa, selalu hati-hati dalam bertindak, dan perubahan lain yang membuat Farhan lebih baik.
“Wah han sekarang kamu berubah jadi semakin baik lho” puji Rozi. “Hehehe. Allhamdulillah ini
semua juga berkat kalian dan gelang itu” jawab Farhan tersipu malu. “Berarti gelang buatanku
itu manjur dong” kata Robin penuh percaya diri. “Iya, sejak ada gelang itu aku jadi lebih berhati
hati dalam bertindak” ujar Farhan. “Aku juga mau, Robin masih punya gelang seperti itu?” tanya
Rozi penuh harap. “Kebetulan aku bawa 2. Aku juga mau pakai, ini untukmu” ucap Robin
sambil menyodorkan gelang pada Rozi. “Wah, sekarang kita seperti trio sopan santun saja” ujar
Farhan gembira. “Hahaha. Ayo berperilaku sopan. Karena sopan santun mencerminkan budi
luhur” teriak Robin penuh semangat. “Ya, karena berperilaku sopan hidup pun nyaman dan
tentram!” ujar Rozi percaya diri. Ketiga sahabat itu pun tos bersama-sama, dan berjanji akan
membudidayakan sikap sopan santun.
*** SELESAI ***
KECIL NAMUN TETAP BERARTI

Siang itu tidak seperti biasanya. Awan hitam menyelimuti langit biru, tetesan air hujan pun mulai

menetes, membasahi jalanan berdebu. Semakin cepat saja kutarik gas sepada motor ini, yang

tidak muda lagi umurnya. Rencana untuk menjemput Lidia teman saya itu, tidaklah boleh gagal

karena hujan. Dikarenakan saya telah berjanji untuk mengantar dia ke pesta ulang tahun

temannya. Alam pun tidak bersahabat lagi, yang semulanya hujan rintik-rintik kini berubah

menjadi hujan yang teramat deras. kemeja kotak-kotak yang saya kenakan pun mulai basah, jadi

saya putuskan untuk menghentikan sejenak perjalanan ini, untuk berteduh.

Lewat pesan singkat, saya tinggalkan pesan untuk Lidia. “sorry ya gua agak ngaret ke rumah lu

nya, soalnya gua berteduh dulu nih, gua lupa bawa jas hujan, jadi berteduh bentar, tunggu

sebentar ya Lid”. Lidia adalah teman pas waktu sma dulu, saya teramat dekat dengan dia,

sehingga kedekatan kami berdua, sering sekali dianggap pacaran oleh teman-teman kami. “Tapi

jangan lama-lama yah, soalnya gua udah ditunggu sama temen gua nih”. Balasan pesan singkat

yang saya terima, setelah menunggu 30 menit itu, diiringi hujan yang mulai reda, sehingga saya

bergegas untuk melanjutkan perjalanan ke rumah Lidia.

Sekitar 25 menit sampailah saya di kediaman Lidia. “assalamualikum, Lidia gua udah nyampe

nih”, sambil tidak hentinya tangan ini mengetuk pintu yang terdapat ukiran khas jepara itu.

“wa’alaikum salam, bentar gua lagi di kamar”. Tidak lama kemudian, pintu itu dibukakan oleh

ibunya Lidia. “eh, Rian ke mana saja, setelah lulus sma kamu jarang lagi main ke sini”. Memang

setelah lulus sma saya jarang main ke rumah Lidia, dikarenakan sibuk bekerja dan Lidia pun
sibuk dengan aktivitas kuliahnya, sehingga kami jarang bertemu. “iya bu saya sibuk kerja, jadi

susah untuk meluangkan waktu main ke sini”.

Ditengah perbincangan kecil kami, keluarlah sosok yang tidak asing lagi bagi saya, wanita

keturunan jawa dan sunda, berpostur tinggi langsing, memakai kerudung hitam berpola bunga

biru. Benar dia adalah Lidia, yang begitu cantik di siang itu. “Elu baru nyampai Yan? dikira gua,

elu gak jadi nganterin gua, sorry juga ya gua ngeburu-buru, soalnya takut ketinggalan acaranya

hehe”. Tanpa obrol lama, kami langsung berpamitan kepada ibunya Lidia, untuk pergi ke pesta

ulang tahun temannya itu. Lalu kami bergegas berangkat meninggalkan kediaman Lidia pada

pukul 1:30.

Di perjalanan tak hentinya Lidia membicarakan kenangan ketika jaman sma 2 tahun yang lalu.

Memang sangat manis kenangan itu. Terlebih percakapan kami berdua, diiringi harum tanah

setelah hujan, sehingga kami berdua semakin dalam saja membongkar kenangan manis

persahabatan yang jujur dan indah serta sedikit haru itu. Di persimpangan kiri jalan, yang

terdapat toko buku, Lidia sedikit mengingatkan saya terhadap kenangan yang menyentuh hati.

“inget gak Yan, waktu pertama kita bertemu, pas elu beli buku tentang sosialis yang hanya ada

satu-satunya lagi, dan gua pengen juga buku itu, sampai-sampai kita cekcok ngerebutin buku itu

hahaha”. Sembari tangan Lidia menepuk-nepuk pundak saya, dibarengi ketawa khasnya dia.

“hahaha gua inget banget Lid, sampai-sampai kita diusir sama penjaga tokonya, dan anehnya lagi

pas kita pulang, kita ketemu lagi di bus kota, tapi kita malah menyesali perbuatan kita dan

perkenalan pun dimulai hehe, dan yang anehnya lagi, kita enggak tau kalau kita satu sekolahan,

dan sialnya lagi, gua kecopetan di dalem bus, sehingga elu yang nalangin ongkos gua, seterusnya

kita semakin akrab danmenjadi sahabat sejati hehehe”. Memang pertemuan kita berawal dari

toko buku tersebut. Pertemuan yang agak aneh, mengharukan sekaligus lucu serta romantis.
Kurang lebih 35 menit di perjalan. lalu kami sampai di tempat tujuan. Di sebuah rumah megah

dan mewah, yang terparkir rapih motor sport dan mobil mahal, seakan pesta tersebut adalah pesta

mewah, yang tidak akan kesampaian oleh kaum proletar seperti saya, begitulah fikir yang ada di

benakku saat ini. Lalu saya parkirkan motor tua, kelahiran tahun 1982 itu, di antara motor dan

mobil mewah tersebut. Mungkin di antara kendaraan yang terparkir, hanya kendaraan sayalah

yang jelek dan butut, namun bagaimana pun juga, saya bangga dengan si “jaguar”, begitulah

sebutan saya terhadap motor veteran tua tersebut.

Lidia pun mengajak saya ke dalam tempat acara itu, Meski saya tidak terbiasa dengan keadaan

yang glamour, saya terpaksa mengamini ajakan Lidia, karena Lidia pun tidak malu dibonceng

oleh saya, meski teman-temannya yang berada di luar ruangan, agak mentertawakan pas

kedatangan kami tadi, Entah dandanan saya yang kurang formal, dengan hanya menggunakan

kemeja kotak-kotak usang dan sepatu sneaker yang ketinggalan jaman, atau motor saya yang

terlalu tua untuk pemuda 21 tahun, tapi entahlah, yang penting Lidia tidak sama dengan mereka.

yang begitu mendiskriminasikan sesama manusia.

*** SELESAI ***


SAMPAI AKHIR MENUTUP MATA

“Ben, kamu udah bersyukur belum hari ini?”, pertanyaan yang sering dilontarkan kawanku Andi

setiap harinya yang membuatku tersadar betapa pentingnya bersyukur atas kehidupan yang telah

Tuhan berikan kepada kita. Alasan Andi bertanya seperti itu kepadaku tak lain ia hanya ingin

membuatku ingat akan perjuangan para pahlawan yang rela mati demi mengibarkan bendera

merah putih yang menjadi kebanggaan bangsa Indonesia. Sikap ramahnya membuatku semakin

beruntung memiliki sahabat seperti Andi, mungkin tak banyak orang yang seperti Andi di dunia

ini.

“Andi, kamu gak latihan hari ini?”, tanyaku kepada Andi yang sedang memainkan game di

ponselnya. “Kayaknya hari ini aku gak bisa latihan, soalnya badanku kurang fit, Ben”, jawab

Andi sambil menoleh ke arahku. Tidak biasanya Andi seperti itu, mungkin ia terlalu lelah karena

kemarin telah berlatih renang dengan keras. Aku pun terpaksa harus berlatih renang tanpa Andi

hari ini.

Aku dan Andi adalah atlet renang nasional yang tahun lalu ikut kejuaraan renang di Thailand,

namun hasilnya kurang memuaskan. Kami gagal mempersembahkan medali emas bagi

Indonesia. Dan tahun ini kami berharap bisa mengumandangkan lagu Indonesia Raya di negeri

orang. Bulan depan aku dan Andi akan melewati masa karantina, maka dari itu kami harus

mempersiapkannya dari sekarang untuk mengikuti kejuaraan renang di Singapura.


Masa karantina pun telah dimulai, semua atlet renang termasuk aku dan Andi sangat berlatih

keras demi menampilkan yang terbaik di Singapura nanti. Semangat begitu terpancar di wajah

Andi yang selalu melontarkan pertanyaan sakral kepadaku setiap harinya itu. “Ben, tahun ini kita

harus bisa kibarkan bendera Indonesia dan kumandangkan Indonesia Raya di Singapura, bawa

medali emas!”, ucap Andi kepadaku ketika sedang latihan.

Tak terasa, kami pun sudah berada di Singapura dengan semangat 45 yang berkobar. Kebetulan

kejuaraan ini bertepatan dengan bulan Agustus, bulan dimmana Bung Karno memproklamirkan

kemerdekaan Indonesia. Andi sangat berantusias untuk memberikan kado terindah bagi ulang

tahun Indonesia yang hanya beberapa hari lagi.

Dua hari lagi aku akan bertanding melawan negara-negara lainnya yang akan memperebutkan

medali lewat cabang renang gaya punggung putra. Sementara sehari setelahnya Andi akan

berlaga di gaya bebas putra. Meskipun Andi adalah seorang kristiani, tetapi ia sering

menngingatkanku akan berdoa atau solat terlebih dahulu sebelum bertanding.

Hari ini aku gagal mengumandangkan Indonesia Raya di Singapura walaupun pencapaianku hari

ini lebih baik ketimbang tahun lalu karena di kejuaraan tahun ini aku berhasil mempersembahkan

medali perak bagi Indonesia.

Keesokan harinya giliran Andi sahabat terbaikku yang akan berjuang di medan perang. Ketika

bertanding Andi selalu menganggap semua lawannya seperti para penjajah di masa lampau yang

banyak menyengsarakan rakyat Indonesia. Dengan begitu, Andi bisa lebih bersemangat dalam

bertanding. Tahun lalu Andi hanya mendapatkan medali perak dan tahun ini ia menargetkan

emas untuk dibawa pulang ke Indonesia.

Semalam sebelum bertanding, Andi menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan sangat lantang.

Katanya, ia harus berlatih mengumandangkan lagu Indonesia Raya untuk besok karena ia sangat
yakin besok bisa menjadi juara pertama di renang gaya bebas putra sehingga bisa

mengumandangkan lagu ciptaan W.R Soepratman itu.

Hari yang ditunggu Andi pun telah tiba, ia sudah mempersiapkan segala-galanya. Dan tak lupa

Andi kembali mengingatkanku lagi dengan pertanyaan sakralnya. Semua perlengkapan telah

melekat di badan atletisnya itu. Tak lama setelah bel berbunyi tanda dimulainya lomba, Andi pun

meluncur deras ke dalam kolam bak laut biru itu dan menyerahkan semua hasilnya pada Sang

Maha Kuasa.

Andi harus menyelesaikan lomba ini dengan dua putaran. Pada putaran pertama Andi berhasil

memimpin, namun ketika berputar balik kecepatannya terlihat menurun dan setelah itu tubuh

Andi sekan tak terlihat lagi. Andi tak berhasil menyelesaikan perjuangannya, ia tak sadarkan diri

ketika akan mendekati garis finish.

Andi telah berpulang di Singapura, semua rombongan timnas renang Indonesia termasuk aku

sangat terpukul dengan kepergiannya terlebih Andi adalah sahabat terbaikku selama ini. Namun

perjuangannya tidaklah sia-sia, impiannya untuk mengumandangkan lagu Indonesia Raya

tidaklah sepenuhnya gagal. Untuk menghormati dan memberikan selamat jalan kepada Andi,

lagu Indonesia Raya pun berkumandang di Singapura. Dan aku yakin, Andi pun pasti ikut

bernyanyi bersama kami.

Aku bangga memiliki sahabat seperti Andi yang berjuang habis-habisan di medan perang

walaupun kondisinya tidak begitu baik hanya untuk bisa kibarkan merah putih dan

kumandangkan Indonesia Raya sampai akhir hayatnya, sampai matanya benar-benar takkan

pernah terbuka lagi.

*** SELESAI ***


EKSPERIMEN SAAT LIBUR SEKOLAH

Waktu yang ditunggu-tunggu pun datang. Yap libur telah tiba. Libur kali ini Sari dan teman-
teman dekatnya tak pergi kemana-mana. Libur dua minggu untuk porsi liburan di rumah saja
sangatlah membosankan, apa lagi bagi anak remaja seperti Sari.
“Teman-teman liburan pada kemana nih?” tanya Sari
“Halah… enggak kemana-mana. Di rumah aja.” jawab Vino
“Apa lagi aku. Liburan dua minggu enaknya ya bengong di rumah.” balas Dana
“Halah dari pada diem di rumah gak ada kerjaan, mendingan kita main bareng! Sekalian kumpul-
kumpul.” ajak Aliya
“Beh benar kali kau. Gimana kalau kita kumpulnya besok kamis aja? Sekalian gitu PU (Pajak
Ultah) nya Rahma. Iya kan?” balas Sari
“Wah, bisa sih. Tapi mau di traktir apa nih..? Yang penting jangan yang mahal-mahal ya..” sahut
Rahma
“Sip deh..” ujar mereka, kompak
Hari kamis tiba. Seperti perkataan mereka beberapa hari yang lalu, bahwa Rahma ingin
mentraktir teman-temannya. Karena mencari yang murah meriah dan pastinya enak, Rahma
memutuskan untuk mentraktir temannya segelas es buble. Dan anak-anak juga sepakat, kalau
kumpulnya di rumah Aliya. Seperti biasa, di antara teman-teman yang lain, Sari lah yang datang
terlambat.
“Hy..teman-teman sebangsa dan setanah air.” ucap Sari dengan lantang.
Sedangkan teman-temannya tertawa bahkan ada yang menahan tawa dengan tampang tak
bersalah. Bagaimana tidak? Mereka merasa ada yang baru dari Sari. Setiap harinya Sari terlihat
biasa, dewasa, dan natural. Tapi kali ini terlihat berbeda dengan dandanan Sari, yaitu memakai
celana jeans pendek, baju kaos oblong, berkaca mata dengan frame ungu, rambut di poni, dan di
ikat 2.
“Kenapa sih pada ngelihatin gitu? Maaf ya aku telat. Oh ya, sekarang siapa nih yang belum
dateng..?” tanya Sari
“Enggak apa-apa. Ngerasa beda aja gitu! Yang belum dateng sih cuma Widi. Tau deh itu anak ke
mana?” jawab Allebrin
“Tadi sih aku sms katanya dateng.” tambah Sari. Sedangkan Allebrin hanya menggelengkan
kepala.
Vino pun mencoba menelepon Widi. Karena enggak afdol rasanya kalau kumpul bareng, tapi
orangnya kurang satu.
“Gimana, bisa…?” tanya Sari.
“Enggak di angkat. Ya udahlah tunggu aja 5 menit lagi. Kalau enggak dateng ya udah, tinggal
aja.” jawab Vino
Sambil menunggu Widi datang, Sari dan kawan-kawannya asyik bersenda gurau. Namun, ada
yang aneh dengan tingkah Aliya dan Dana. Ya memang mereka itu punya hubungan deket
(pacaran), tapi yang ini terlihat berbeda. Dana tiba-tiba berkata
“Eh ya, jangan lupa rencana A ya?”
“Oke… oke…!” jawab Aliya
Mulai dari situ Sari merasa ada yang enggak beres. Di antara yang lain, yang paling enggak beres
adalah Dana dan Aliya. Karena mereka selalu mempunyai rencana sendiri. Sedangkan Sari dan
Putri hanya saling berpandangan, mengerutkan dahi, dan mengangkat bahu, tanda tak mengerti.
Tak terasa 10 menit berlalu, akhirnya Sari dan kawan-kawan memutuskan untuk pergi membeli
es buble. Kebetulan tempat membeli es nya berada di belakang rumah Aliya, jadi Sari dan yang
lainnya hanya perlu berjalan kaki.
Sayang, setibanya di sana, ternyata tempatnya sedang tutup. Alhasil Sari dan yang lainnya harus
kembali ke rumah Aliya. Di perjalanan mereka berpikir, jadinya mau di traktir apa. Lalu Rahma
berkata, “Gimana kalau beli mie ayam aja.”
“Terserah sih. Tapi belinya di mana?” tanya Allebrin
“Ada kok. Warung mie ayam di deket gerbang perumahan ini. Aku tau tempatnya kok. Tapi ya
itu, ke sananya harus naik sepeda.”
“Ya udah terserah. Terus yang beli siapa?” tanya Putri
“Hehehe… Alleb kamu temenin aku beli mie ya?” ajak Rahma
“He aku? Ya udah. Vino aku pinjem sepeda ya?”
“Yao..!” jawab Vino
“Oh iya, aku juga pinjem sepeda ya Aliya?” tanya Rahma
“Oke..oke…!”
Setelah sampai di rumah Aliya, Rahma dan Allebrin langsung bergegas pergi membeli mie
ayam. Sedangkan yang lainnya sedang asyik berbincang-bincang dan duduk di ayunan taman
depan rumah Aliya. Setelah beberapa menit berlalu, Rahma dan Allebrin datang. Sari dan yang
lain langsung bergegas masuk ke rumah Aliya dan menyiapkan mangkuk. Seperti yang sudah di
susun tadi, Dana mengajak ngobrol Vino. Sedangkan yang perempuan menutupi Sari dan
Allebrin. Mereka semua berniat untuk mengerjai Vino. Yaitu dengan menambahkan kacap saus
tiram dan sambal satu plastik ke dalam mie kepunyaan Vino. Setelah selesai mencampurnya dan
menyiapkan yang lain, mereka makan bersama-sama sambil melihat ekspresi wajah dan
tanggapan dari Vino.
“Kok mie ayamku pedes? Terus agak asin gini?” tanya Vino. Sedangkan yang lain hanya
mengangkat bahu.
Penjebakan kedua mulai di susun. Aliya membisikan suatu ide pada Dana yang berada di sebelah
kirinya dan sebaliknya. Lalu Aliya membisikan ke telinga Sari dan menjalar secara estafet
sampai pada Rahma yang berada di sebelah kiri Vino. Sedangkan Vino yang tak diberi tau
merasa santai-santai saja. Bahkan ia terus melahap mie ayam yang berada di depannya.
Setelah selesai makan rencana ke dua di mulai. Dana mengajak Vino keluar dengan alasan ingin
curhat. Dan dengan merasa tak curiga sedikit pun Vino langsung menuruti apa kata Dana.
Sedangkan yang perempuan tetap berada di dalam rumah. Di atas meja terdapat sebotol air putih
yang tadi bekas di minum Vino. Lalu air putih tersebut di campur oleh setengah sendok makan
garam dan setengah sendok teh campuran bumbu dapur instan. Lalu di kocok hingga tercampur
rata.
Dana pun mengajak Vino berjalan-jalan sebentar. Dan kembali duduk untuk bercerita. Hingga
akhirnya Vino berkata bahwa “Haus nih. Masuk yuk…”
“Nanti aja. Aku masih mau cerita nih. Masih panjang.” Jawab Dana
Dana dan anak-anak perempuan yang lain saling kerja sama lewat sms. Setelah semua beres,
Dana dan Vino masuk ke dalam rumah. Dan tanpa basa-basi lagi, sesuai dengan yang diduga.
Vino langsung mengambil botol air putih tersebut. Sedangkan yang lain hanya bisa menahan
tawa agar tidak ketahuan. Vino langsung meminumnya. Saat akan di telan, Vino terdiam.
Spontan la langsung berlari ke kamar mandi dan memuntahkannya. Anak-anak peremuan dan
Dana pun langsung tertawa terbahak-bahak.
“Ini apa sih? Rasanya kok enggak enak banget?” tanya Vino
“Itu tadi air campuran garam dan bumbu dapur instan.” jawab Putri
“Ha? Bumbu dapur instan. Kalau garam doang sih masih enggak apa-apa, ini campuran bumbu
dapur segala. Tapi enak sih. Aku coba lagi ya? Terus aku telan?”
“Oke silahkan.. silahkan.. tapi beneran di telan ya…?” ujar anak-anak perempuan dan Dana,
kompak.
Lalu Vino meminum kembali. Tapi masih belum tertelan. Ia masih merasakan bagaimana
rasanya, bahkan ia berniat untuk mengeluarkannya lagi.
“Eits enggak boleh di buang. Janjinya di telan loh!” kata Sari
“Telan… telan.. telan…!” seru yang lain
Akhirnya Vino mampu menelannya. Dan langsung di imbangi dengan meminum segelas air
putih.

*** SELESAI ***

Anda mungkin juga menyukai