Nilai Nilai Filosofis Tabu Dalam Masyarakat
Nilai Nilai Filosofis Tabu Dalam Masyarakat
DALAM MASYARAKAT
DISUSUN OLEH :
NAMA : ARIF HIDAYATULLAH
NIM : 180103052
Tidak pula termasuk adat istiadat di Aceh, seorang gadis atau pemuda mengurus
sendiri perkawinannya tanpa melalui seulangkee atau penghubung yang diatur orang
tua si pemuda itu untuk menghubungi pihak si gadis. Tegasnya, tidaklah biasa
seorang gadis memulai menyatakan kehendaknya untuk kawin. Hal ini tercermin
dalam ungkapan Aceh: hana mon mita tima. Artinya: “Tidak ada sumur yang
mencari timba.”
Ada hal tabu dan pantang bagi seorang menantu, baik laki-laki maupun
perempuan, bergaul dengan mertuanya seperti ia bergaul sesama kawannya tanpa
megindahkan tata cara sewajarnya dengan orang tua yang patut dihormatinya. Hal ini
tidak pantas karena dianggap bertentangan dengan perasaan malu. Dalam kehidupan
Islam, malu adalah sebagian dari iman.
Tangan kiri atau kaki: Seorang Aceh tidak menyerahkan, menerima sesuatu
atau mengimbau seseorang dengan tangan kirinya, baik berkelakar apalagi
bersungguh-sungguh. Tangan kiri dianggap tidak sopan karena kegunaannya
membersihkan bahagian tubuh setelah membuang hajat besar. Demikian juga dengan
memegang kepala. Kepala merupakan bagian tubuh ditakdirkan Tuhan berada di
posisi paling atas. Di situ dipusatkan indera-indera terpenting seperti otak, mata,
telinga, mulut dan lidah untuk berhubungan dengan organ-organ tubuh penting
lainnya ke bawah. Dalam pandangan orang Aceh, memegang atau mengambil
penutup kepala yang sedang dikenakan, baik disengaja atau berkelakar, adalah hal
terlarang.
Jiran atau tetangga juga mendapatkan tempat khusus dalam kehidupan sosial
masyarakat Aceh. Bahkan jika mereka berbeda keyakinan beragama. Karena itu,
orang Aceh tidak merasakan asing jika ia berdiam dekat seseorang berlainan suku
bangsa atau agama dianutnya. Dia dapat merasakan hubungan kekeluargaan mesra
dengan jiran dalam batas pandangan-pandangan hidupnya. Orang Aceh merasa
rendah hidupnya apabila dia berseteru dengan jiran atau tetangganya.
Karena cara hidup orang Aceh terjalin unsur-unsur agama Islam, maka pada
prinsipnya, orang Aceh menaruh rasa damai hati siapapun, sejauh dia tidak
dipandang remeh atau dihina oleh golongan lain. Makna salam diucapkan setiap
bertamu dan berpisah, di mana pun tempatnya, merupakan ajaran seorang Aceh
untuk hidup damai dengan segala makhluk Allah di muka bumi ini.
Prinsip hidup ini berlaku sejak perang Belanda. Aceh diperangi Belanda
walaupun Belanda boleh saja mengemukakan beragam alasan mengapa ia memerangi
Aceh. Tetapi, jelas sikap Belanda tidak dapat ditolerir karena merusak sikap hidup
orang Aceh yang selalu ingin hidup damai. Karena sikap itu, akhirnya orang Aceh
menyebut orang Belanda dengan istilah khape atau kafir karena memerangi Aceh.
Orang memerangi orang lain yang beragama Islam, oleh orang Aceh pada
masa itu di anggap kafir. Orang seagama sajalah yang tidak mau memerangi
sesamanya. Karena itu, melawan orang semacam ini merupakan prinsip hidup utama
orang Aceh. Mereka akan melawan sekuat tenaga tanpa memperhitungkan untung
ruginya demi tercapai batas waktu memungkinkan bagi mereka damai kembali.
Kendati peperangan Belanda di Aceh berakhir, pendudukan oleh Belanda usai,
orang-orang tua Aceh tidak merasa mereka kalah dari lawannya.
Dalam pandangan orang Aceh, taloe atau kalah merupakan hal negatif. Jika
dia merasa taloe atau tersisih dari suatu pergaulan masyarakat, maka dia ke luar dari
kampungnya dan pergi berdiam di tempat lain—tempat orang belum mengenal
dirinya—agar dia dapat hidup terhormat kembali. Karena itu, prinsip hidup berdamai
sangat penting bagi seorang Aceh, suatu sikap yang dipertahankan secara sungguh-
sungguh. Setiap sengketa di kampung Aceh selalu dibawa kepada titik perdamaian
dilakukan kepala kampung bersama anggota-anggota pemerintah kampung itu.
Sehubungan prinsip hidup damai itu, dalam penghidupan orang Aceh dikenal
ucapan berbunyi; sihet bek rho bah habeh maksudnya; miring jangan tumpah biarlah.
Artinya daripada miring-miring atau tanggung-tanggung, biarlah tumpah atau
sungguh-sungguh sekali asal tidak sampai malu. Prinsip hidup ini mengartikan orang
Aceh hanya mengenal sahabat setia, sahabat benar-benar seperasaan dan
sependeritaan dengannya. Untuk sahabat sedemikian ia rela mengorbankan apa saja,
jika perlu nyawapun dikorbankan.
Menuntut bela menurut Islam adalah wajib. Tetapi, karena prinsip hidup orang Aceh
lebih menyukai damai, menjadi tugas bagi eumbah dan ma di kampung sebagai
tokoh-tokoh berwibawa untuk betindak. Tujuannya agar semua persoalan sengketa
dinetralkan kembali di dalam pergaulan masyarakat di kampung itu.
Dalam bahasa Aceh ada perkataan dendam di sebut dam. Tetapi,
penggunaannya sangat negatif. Jadi, jika dalam praktik terjadi penyimpangan
daripada yang disebut di atas, berarti orang itu tidak memahami prinsip hidupnya
sebagai seorang Aceh. Dalam urusan pergaulan, orang-orang Aceh juga mendapatkan
tempat tersendiri dalam komunitas yang berada di luar Aceh. Jika menilik dari sikap
yang yang dijelaskan di bagian awal, jelas bahwa orang Aceh tidak memiliki masalah
dan bukan menjadi masalah saat berasimilasi dengan orang di luar sukunya.
Demikian juga di daerah sendiri. Sikap hidup ini sudah ada dalam darah setiap orang
Aceh jika diingat orang Aceh merupakan percampuran darah bangsa-bangsa besar
dunia.