Anda di halaman 1dari 5

NILAI-NILAI FILOSOFIS BUDAYA TABU

DALAM MASYARAKAT

DISUSUN OLEH :
NAMA : ARIF HIDAYATULLAH
NIM : 180103052

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY FAKULTAS


SYARI’AH DAN HUKUM
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
2020
JIKA ORANG ACEH TERSINGGUNG, NASI TINGGAL (SISA MAKAN)
PUN TAK DITAWARI. TAPI BILA TAK TERSINGGUNG,
BUAH ZAKAR MEREKA PUN BOLEH DIPEGANG.

Menurut Rusdi Sufi, masyarakat Aceh memiliki beberapa karakteristik khas


yaitu, gemar memberi salam. Salah satu ciri khas etnis Aceh, mungkin juga suku
bangsa lain di Indonesia, memberi salam ketika bertamu ke tempat seseorang belum
dikenalnya. Sebelum dia memasuki rumah orang lain, terlebih dahulu menyapa
penghuninya dengan ucapan assalamualaikum. Ini adalah sikap hidup yang diajarkan
Nabi Muhammad saw kepada umatnya.

Karena Islam itu damai, setiap pemeluknya dianjurkan hidup berdamai


sesamanya. Menjawab salam ini wajib hukumnya. Jika ucapan salam tidak dijawab
karena penghuni tidak ada di rumah, misalnya, untuk menghindari fitnah tamu tadi
tidak masuk ke rumah dan segera beranjak. Dan lagi, tidak menjadi kebiasaan tamu
atau pemuda di Aceh bertamu kepada seorang gadis di rumahnya, baik ada atau pun
tidak ada orang tua si gadis di rumah.

Tidak pula termasuk adat istiadat di Aceh, seorang gadis atau pemuda mengurus
sendiri perkawinannya tanpa melalui seulangkee atau penghubung yang diatur orang
tua si pemuda itu untuk menghubungi pihak si gadis. Tegasnya, tidaklah biasa
seorang gadis memulai menyatakan kehendaknya untuk kawin. Hal ini tercermin
dalam ungkapan Aceh: hana mon mita tima. Artinya: “Tidak ada sumur yang
mencari timba.”

Ada hal tabu dan pantang bagi seorang menantu, baik laki-laki maupun
perempuan, bergaul dengan mertuanya seperti ia bergaul sesama kawannya tanpa
megindahkan tata cara sewajarnya dengan orang tua yang patut dihormatinya. Hal ini
tidak pantas karena dianggap bertentangan dengan perasaan malu. Dalam kehidupan
Islam, malu adalah sebagian dari iman.

Tangan kiri atau kaki: Seorang Aceh tidak menyerahkan, menerima sesuatu
atau mengimbau seseorang dengan tangan kirinya, baik berkelakar apalagi
bersungguh-sungguh. Tangan kiri dianggap tidak sopan karena kegunaannya
membersihkan bahagian tubuh setelah membuang hajat besar. Demikian juga dengan
memegang kepala. Kepala merupakan bagian tubuh ditakdirkan Tuhan berada di
posisi paling atas. Di situ dipusatkan indera-indera terpenting seperti otak, mata,
telinga, mulut dan lidah untuk berhubungan dengan organ-organ tubuh penting
lainnya ke bawah. Dalam pandangan orang Aceh, memegang atau mengambil
penutup kepala yang sedang dikenakan, baik disengaja atau berkelakar, adalah hal
terlarang.

Masyarakat Aceh juga, sebagaimana ajaran Islam, menaruh rasa hormat


tinggi kepada mereka yang memiliki usia lebih tua. Tua di sini dimaksudkan
seseorang lebih lama hidup dan berpengalaman, lebih bijaksana dalam tindak-
tanduknya dibandingkan seseorang berusia muda. Hal ini tidak berarti pemuda
bergelar sarjana dipandang tidak terhormat. Semua bisa dilihat dan dirasakan dalam
pergaulan sehari-hari.

Jiran atau tetangga juga mendapatkan tempat khusus dalam kehidupan sosial
masyarakat Aceh. Bahkan jika mereka berbeda keyakinan beragama. Karena itu,
orang Aceh tidak merasakan asing jika ia berdiam dekat seseorang berlainan suku
bangsa atau agama dianutnya. Dia dapat merasakan hubungan kekeluargaan mesra
dengan jiran dalam batas pandangan-pandangan hidupnya. Orang Aceh merasa
rendah hidupnya apabila dia berseteru dengan jiran atau tetangganya.

Karena cara hidup orang Aceh terjalin unsur-unsur agama Islam, maka pada
prinsipnya, orang Aceh menaruh rasa damai hati siapapun, sejauh dia tidak
dipandang remeh atau dihina oleh golongan lain. Makna salam diucapkan setiap
bertamu dan berpisah, di mana pun tempatnya, merupakan ajaran seorang Aceh
untuk hidup damai dengan segala makhluk Allah di muka bumi ini.

Prinsip hidup ini berlaku sejak perang Belanda. Aceh diperangi Belanda
walaupun Belanda boleh saja mengemukakan beragam alasan mengapa ia memerangi
Aceh. Tetapi, jelas sikap Belanda tidak dapat ditolerir karena merusak sikap hidup
orang Aceh yang selalu ingin hidup damai. Karena sikap itu, akhirnya orang Aceh
menyebut orang Belanda dengan istilah khape atau kafir karena memerangi Aceh.

Orang memerangi orang lain yang beragama Islam, oleh orang Aceh pada
masa itu di anggap kafir. Orang seagama sajalah yang tidak mau memerangi
sesamanya. Karena itu, melawan orang semacam ini merupakan prinsip hidup utama
orang Aceh. Mereka akan melawan sekuat tenaga tanpa memperhitungkan untung
ruginya demi tercapai batas waktu memungkinkan bagi mereka damai kembali.
Kendati peperangan Belanda di Aceh berakhir, pendudukan oleh Belanda usai,
orang-orang tua Aceh tidak merasa mereka kalah dari lawannya.
Dalam pandangan orang Aceh, taloe atau kalah merupakan hal negatif. Jika
dia merasa taloe atau tersisih dari suatu pergaulan masyarakat, maka dia ke luar dari
kampungnya dan pergi berdiam di tempat lain—tempat orang belum mengenal
dirinya—agar dia dapat hidup terhormat kembali. Karena itu, prinsip hidup berdamai
sangat penting bagi seorang Aceh, suatu sikap yang dipertahankan secara sungguh-
sungguh. Setiap sengketa di kampung Aceh selalu dibawa kepada titik perdamaian
dilakukan kepala kampung bersama anggota-anggota pemerintah kampung itu.

Sejak lama pula kehidupan sosial di Aceh memiliki hirarki tersendiri. Di


Aceh, kepala kampung dinamakan keuchik. Maksudnya, seseorang dituakan
memimpin kampung kendati usianya muda, tetap disebut lebih tua daripada
orangtuanya sendiri (keuchik=ku-chik=leubeh chik nibak ku) dan disebut eumbah
artinya ayah, sedangkan teungku gampong atau pengawas agama di kampung disebut
ma atau ibu kampung. Tegasnya keuchik atau teungku merupakan dwitunggal
kampung yang bersama-sama penasihatnya disebut tuha peut atau tetua empat
mengatur keamanan, ketentraman, dan kebaikan di kampung.

Sehubungan prinsip hidup damai itu, dalam penghidupan orang Aceh dikenal
ucapan berbunyi; sihet bek rho bah habeh maksudnya; miring jangan tumpah biarlah.
Artinya daripada miring-miring atau tanggung-tanggung, biarlah tumpah atau
sungguh-sungguh sekali asal tidak sampai malu. Prinsip hidup ini mengartikan orang
Aceh hanya mengenal sahabat setia, sahabat benar-benar seperasaan dan
sependeritaan dengannya. Untuk sahabat sedemikian ia rela mengorbankan apa saja,
jika perlu nyawapun dikorbankan.

Namun Aceh juga menyimpan cerita dendam. Dalam buku-buku karangan


Belanda masa lalu, tercatat cerita tentang sifat mendendam orang Aceh . Gambaran
ini sebenarnya keliru. Orang Aceh sesuai ajaran agama dianutnya, sesungguhnya,
hanya mengenal kata tueng bila, maksudnya menuntut bela. Seorang Aceh menuntut
bela atas setiap kerugian dideritanya.

Menuntut bela menurut Islam adalah wajib. Tetapi, karena prinsip hidup orang Aceh
lebih menyukai damai, menjadi tugas bagi eumbah dan ma di kampung sebagai
tokoh-tokoh berwibawa untuk betindak. Tujuannya agar semua persoalan sengketa
dinetralkan kembali di dalam pergaulan masyarakat di kampung itu.
Dalam bahasa Aceh ada perkataan dendam di sebut dam. Tetapi,
penggunaannya sangat negatif. Jadi, jika dalam praktik terjadi penyimpangan
daripada yang disebut di atas, berarti orang itu tidak memahami prinsip hidupnya
sebagai seorang Aceh. Dalam urusan pergaulan, orang-orang Aceh juga mendapatkan
tempat tersendiri dalam komunitas yang berada di luar Aceh. Jika menilik dari sikap
yang yang dijelaskan di bagian awal, jelas bahwa orang Aceh tidak memiliki masalah
dan bukan menjadi masalah saat berasimilasi dengan orang di luar sukunya.
Demikian juga di daerah sendiri. Sikap hidup ini sudah ada dalam darah setiap orang
Aceh jika diingat orang Aceh merupakan percampuran darah bangsa-bangsa besar
dunia.

Karena dalam pergaulan masyarakat Aceh, nilai-nilai kekeluargaan adalah


sebuah keutamaan. Ketika sebuah kaum mempertahankan kelangsungan hidupnya,
keluarga mempunyai arti sangat penting. Peperangan antara satu daerah dengan
daerah lain membuat setiap keluarga amat menonjol dan bertanggung-jawab antara
satu dengan lain. Menurut asal-usulnya bangsa Aceh itu terdiri atas empat kaum atau
suku. Prinsip hidup mencintai keluarga seperti pada masa dahulu sampai sekarang
masih dipegang kuat di manapun orang Aceh berada. Karena itu, apabila seseorang
yang lama berada di luar daerahnya pulang kampung dan mendapat undangan
jamuan makan seadanya dari sanak keluarga di sekitar kampung, tak elok rasanya
menolak tawaran tersebut. Menolak jamuan itu berarti melanggar adat. Penolakan
membuat orang yang mengundang merasa rendah dalam pandangan umum. 

Anda mungkin juga menyukai