SEPENUHNYA KARENA IA ANAKKU
Oleh: Darmanto Jatman
Saya memang sudah tidak bisa percaya pada laki-laki yang tampan, naik
skuter, dan bertitel sarjana. Sebagian besar di antara mereka tidak punya
hati yang tulus. Dan saya pasti benar akan hal ini. Buktinya si Nana anak
Tuan Misbach yang kaya raya itu, telah ditinggal hamil oleh pacarnya.
Juga anak Pak Arja, anak dusun yang baik hati itu, akhirnya tidak dikawin
secara resmi, sekalipun masih selalu dijenguk oleh suaminya. Bukti
lain, si Ida yang cantik, akhirnya toh hanya jadi istri kedua. Malahan
anak tetangga kami di kampung dulu, telah menjadi pelacur setelah
dipermainkan pacarnya.
Semua karena satu sebab saja. Mereka percaya pada laki-laki yang
tempan, naik skuter dan lebih-lebih bertitel sarjana.
Hal ini sama sekali lain dari kami, orang-orang tua yang sederhana.
Sekalipun mungkin kami kaya, Mungkin kami naik mobil, mungkin kami
juga bankan profesor-namun setidak-tidaknya karena ketuaan kami,
maka semuanya jadi berubah. Saya bisa melihat gadis-gadis yang sintal
memelukkan tangannya ke pinggang pacarnya tatkala naik skuter, tanpa
perasaan ini. Saya bisa melihat perbuatan Tuan Mirsa pada babunya yang
amat cantik itu tanpa keinginan untuk berbuat serupa. Karena itu saya
lebih percaya pada seorang tua yang sederhana.
Itulah sebabnya kenapa saya merasa sangat marah dan ngeri melihat
anak perempuan saya berpacaran dengan Ernest, apa Zitjes, saya kurangtenang. Namanya saja sudah kebarat-baratan, belum lagi mobilnya, belum
lagi titel sarjananya. Orang bilang ia insinyur bangunan air.
Setiap kali laki-laki itu datang dan mengajak Nini naik mobilnya, Setiap
kali terbayang pada saya perbuatan semena-mena yang telah berlaky
pada anak-anak perempuan tetangga itu. Saya bayangkan bagaimana
mobil itu nanti akan berhenti di tepi jalan yang sunyi, dan Nini diremas.
remas dalam pelukan yang kotor dan mesum. Dan saya tidak pernah
membayangkan bisa tentram setiap kali mereka pergi.
Saya sungguh-sungguh tidak bisa mengerti kalau ada saja tetangga
yang memuji-muji saya, karena saya pintar cari menantu. Malahan Pak
Irman bilang, insinyur itu sesungguhnya mau dijadikan menantunya.
Tapi saya sama sekali tidak bisa bangga dengan itu. Hati saya semakin
Was-was dan gelisah saja setiap kali mereka bepergian. Apalagi sesudah
kedatangan Pak Irman. Sedangkan Ririk, anak Pak Irman yang cantik itu,
tak dia gubris apalagi anak saya besok. Saya sungguh-sungguh prihatin
akan nasib anak kami. Anak istriku, Milla, yang tercinta.
Sampai kemudian, ketika saya pulang dari dinas pagi hari, saya
Mendapati mobil insinyur itu di luar. Marah saya kalap meluap-luap.
Rasanya saya ingin sekali menendang keluar maling itu. Tapi kemudian
rasa ingin tahu saya menang. Sebab Saya mengendap-endap masuk
lewat pintu samping rumah.
Pintu muka memang terbuka, tapi pintu samping dan jendela-jendela
ditutupi. Kecurigaan saya menyala-nyala dengan hebat. Rasanya ingin
Saya mendobrak pintu itu keras-keras. Tapi saya toh tetap seorang tua
yang sabar dan bisa memperhitungkan untung tugi. Sebab itu, pelan-
pelan saya mendekati pintu, Saya dengar si insinyur mengobrol panjang
lebar. Saya coba untuk mendengarkan obrolan itu. Dan saya sungguh-
sungguh terkejut dan merasa Sangat terhina, mendengar obrolan yang
tak keruan, yang cabul, dan menjijikkan itu. la Mengobrol bagaimana ia
dulu berdansa dengan Nyonya Rani di sebuah teras.
“Perempuan itu memang tidak tahu malu,”" obrolan si insinyur,
(2 “la mendekapku erat-erat,”
40 | Membaca Sastra dengan Ancangan Litewsi Ki
us |fe Saya bayangkan bagaimana anakku. Saya ingin ia marah dan)
menampar lakiaki itu. Tapi saya tidak mendengar apa-apa. Hanya suara
ular laki-laki itu membujuk. Tapi tidak terdengar apa-apa. “Bajingan!
Bukan kau yang didekap. Tapi kaulah yang mendekap!" batin saya.
“Nini. Kau ingat, gadis yang memanggil-manggil aku waktu kita
duduk-duduk di teras rumahku itu?”
Saya makin terkejut. Nini sudah diajaknya pula ke rumah si ular
itu.
“Kami pernah jalan-jalan, nonton bioskop, dan sebagainya. Tapi saya
tidak pernah mau diajaknya ke Kaliurang, coba kau pikir. Sepi, apalagi
kedinginan. Saya tidak mau dikalahkan hanya karena kesempatan.”
Saya kepingin menampar mulut laki-laki yang menghina derajat
wanita itu. Yang menghina derajat istri saya, anak perempuan saya. Tapi
saya diam saja. Beberapa saat sunyi. Saya gemetar. Saya mengintip
lewat lubang pintu. Dan saya lihat Nini memijati laki-laki itu.
“Kaki saya yang kiri, Nini. Lelah sekali.”
Saya melihat Nini menurut, memijati kaki-kaki kotor itu. Saya muak
melihat kelemahan anak saya. Tapi saya tidak bisa apa-apa. Di zaman
dulu Milla juga selalu memijiti kaki saya, kalau saya lelah.
“Sudah!” Kata laki-laki itu. Dan saya lihat Nini tersenyum sambil
berkata:
“Upahnya?”
Laki-laki itu berdiri lalu memeluk dan mencium Nini. Anakku Nini
membiarkan tangan laki-laki yang panas itu merabai tubuhnya.
Amarah saya tidak bisa saya tahan lagi. Saya dobrak pintu kuat-
kuat. Sebelum saya sempat memukul laki-laki itu dia telah lari dengan
celana yang tidak karuan. Saya coba mengejarnya, tapi Nini menangis
dan memegangi tangan saya. Laki-laki itu sudah kabur.
a inilah, yang telah mengusik tidurku setiap malam. Saya
Peristiwé
tidak rela lagi membiarkan anak saya tinggal sendiri di rumah kalau saya
pergi ke kantor.an diri saya tertidur pulas malam-malam,
i i ibiark
Saya tidak rela lagi mem! .takut kalau-kalau ular
Saya tidak rela lagi membiarkan anak saya...
itu datang lagi.
Akhirnya, pada suatu sore,
saya pun memanggil anak saya itu.
“Nini selama ini kita saling mengerti dan saling percaya-
Kami berpandangan. Sementara saya lihat ia mulai siap
setelah kegelisahan itu tak tertahankan
mempercayai.”
untuk menangis.
“Dulu, ibumu selalu berpesan, supaya Bapak bisa menjagaimu
baik-baik. Sebab itu baiklah kita lebih berterus-terang dengan tindakan-
tindakan kita. Bagaimana sebenamnya yang kau kehendaki, Nini?”
“Tentang apa Pak?”
Saya terkejut. Meskinya ia telah tahu semua ini berkisar tentang
apa, tapi agaknya bisa ular itu telah meracuni dia
“Tentang ular itu!”
Kami bertatapan pandang dan sama-sama terkejut. Dan saya pun
tiba-tiba menyesal.
“Kau tahu kan, maksud saya, Nak?”
Nini mengangguk.
“Nah, Semua terserah pada kebijaksanaanmu. Saya memang pingin
kau segera kawin. Saya pingin, segera setelah saya begitu tua, saya bisa
menimang cucu-cucu saya. Dan kau mengerti,
beet Nak, siapa yang saya
pingin menjadi bapak dari cucu-cucu saya?”
Dan... Ya! Semua berjalan biasa Saja. Hari-hari makin menjadi jernih.
Ular itu sudah tidak datang lagi. Dan Nini sudah banyak mencurahkan
perhatiannya pada sahabat-sahabat sa
ya, yang tua-tua dan bijak-bijak.
Dan saya sangat bahagia dengan kehi
idupan ini.
Namun demikian, laporan demi laporan masuk tentang insinyur itu.
Pak Karpo cerita bahwa siinsinyur makin ngawur kalau bekerja. la sering
menjaci kebingungan justru pada saat yang paling kritis, Dan saya merasa
ada suatu penyesalan dalam batin saya,
{ary Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritisrc
Kemudian laporan lain masuk dari Pak Dipo. Katanya si Insinyur itu
suka ngebut di jalan-jalan di kompleks pembangunan waduk itu. Bahkan
sekali mobilnya terperosok ke jurang kecil. Saya merasa makin menyesal.
Namun toh sempat berkata,
“Untung tidak sekalian mampus.”
Kemudian laporan dari Pak Pardjo mengatakan bahwa Tuan Insinyur
sekarang suka mabuk-mabukan. Dan berteriak sepanjang jalanan, kalau
malam. Dan saya bilang pada Nini,
"Kau dengar, untung, belum lagi terlanjur kau.”
.... Sekalipun dalam batin saya muncul kecemasan-kecemasan yang
asing.
Dan kemudian datang laporan dari Bu Sriti bahwa Tuan Insinyur
sekarang suka main-main sama wanita-wanita pelacur. Kadang-kadang
bahkan semalam saja dengan dua perempuan. Kejijikan saya muncul.
Sebab itu saya panggil Nini,
“Dengar. Kelihatan ularnya, kan, sekarang!”
Tapi terasa ada suatu kegetiran yang sangat pahit dalam batin
saya. Serta kemudian ketika Nini mengatakan bahwa ia kan kawin
dengan Padri, sahabat saya yang tua dan baik itu, sebuah laporan yang
mengejutkan datang dari Pak Diedjo:
“Ernest telah bunuh diri!”
pusing. Dan tiba-tiba saya jatuh
Saya merasa sangat pusing. Dan
‘a mata saya, saya melihat Nini
tak sadarkan diri Ketika saya membuki
tiba-tiba saya melihat betapa kurusnya,dia!
menangis di muka saya. Dan
Jalu banyak menderita karena tingkah
Milla, Milla kecilku! Yang sudah ter!
laku saya.
Tak ada lagi v
tidak bijak sama sekali.
ang bisa saya kata-kata kecuali ini: Bahwa saya merasa
Maafkan kiranya saya ini.
(Yogyakarta, 1967)
(Dalam Semi, 1988: 200-203)