Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pernikahan muda merupakan perkawinan di bawah umur yang target

persiapannya belum dikatakan maksimal baik dari segi persiapan fisik, persiapan

mental juga persiapan materi. Terdapat berbagai fakor yang melatar belakangi

terjadinya pernikahan yang dilakukan, dan menjadi permasalahan yang besar

ketika tidak ada pencarian analisa masalah yang tepat yang didasarioleh data yang

akurat dan terpercaya serta solusi yang alternatif untuk memecahkan masalah ini.

Penangganan adanya dampak buruk pernikahan dini, yaitu dengan pendewasaan

usia kawin, keluarga sejahtera dan pemerintah peduli remaja berupa solusi baru

yang lebih objektif yang dapat dijadikan sebagai langkah awal untuk mengatasi

maraknya pernikahandini (Sasmita, 2015).

Idealnya usia pernikahan untuk perempuan adalah minimal 20 tahun.

Secara psikologis, sudah stabil dalam menyikapi banyak hal, dan ini berpengaruh

dalam perkawinan. Wanita yang masih berumur kurang dari 20 tahun cenderung

belum siap karena kebanyakan diantara mereka lebih memikirkan bagaimana

mendapatkan pendidikan yang baik dan bersenang-senang. Laki-laki minimal 25

tahun, karena laki-laki pada usia tersebut kondisi psikis dan fisiknya sangat kuat,

sehingga mampu menopang kehidupan keluarga untuk melindungi baik secara

psikis emosional, ekonomi dan sosial (BKKBN, 2010).

1
2

Dalam rangka mengatur dan memberi rambu-rambu tentang pernikahan,

Pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Pernikahan. Bab I Dasar Pernikahan, Pasal 1 menyebutkan bahwa:

“Definisi pernikahan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa”.
Pasal tersebut secara jelas mengungkapkan nilai-nilai luhur sebuah

pernikahan karena menyangkut hak yang paling dalam yaitu ikatan lahir batin.

Pernikahan, berdasarkan Undang-Undang tersebut mengandung nilai-nilai

spiritual karena mengacu kepada Sang Pencipta Tuhan Yang Maha Esa. Namun

demikian, dalam Administrasi Tata Pemerintahan Republik Indonesia, ikatan lahir

batin saja tidak cukup untuk mengekalkan pernikahan dan menjamin hak-hak

suami istri untuk terpenuhi. Sebagai implementasi dari Undang-Undang

pernikahan, Pemerintah telah menyediakan berbagai peraturan lainnya khususnya

terkait dengan pencatatan nikah maupun biaya pencatatannya. Hal lain yang diatur

dalam Undang-Undang Pernikahan adalah persoalan usia pernikahan, khususnya

batas usia minimal bagi perempuan dan laki-laki untuk dapat memenuhi syarat

melakukan pernikahan.

Setiap individua tau makhluk yang dilahirkan ke bumi pasti di ciptakan

berpasang-pasangan oleh Allah Subhanahuwata’ala untuk saling mangasihi.

Hubungan pernikahan antara laki-laki dan perempuan merupakan hal yang

penting bagi pemenuhan kebutuhan biologis manusia, hal ini dikarenakan manusia

dalam proses kehidupannya pasti membutuhkan pasangan hidup untuk mendapat

keturunan sesuai dengan apa yang diinginkan. Perkawinan bisa menjadi jalan
3

untuk mewujudkan sebuah keluarga dan rumah tangga yang bahagia, sehingga

pernikahan sangat dianjurkan dan diharuskan hanya berlangsung satu kali seumur

hidup bagi setiap manusia yang melakukannya. Pada dasarnya, keluarga dibentuk

guna menciptakan kehidupan yang bahagia agar dapat menampung rasa kasih

sayang dan cinta kepada satu sama lain. Untuk membentuk suatu keluarga,

dibutuhkan proses pernikahan yang menyatukan mereka. Perkawinan/Pernikahan

merupakan sebuah kegiatan yang cukup sakral, sehingga dibutuhkan persiapan

yang cukup matang dari pasangan yang akan menjalaninya. Persiapan yang

dilakukan mulai dari mental, fisik, ekonomi dan kebutuhan lain yang akan

mencukupi kehidupannya setelah menikah nanti. Namun, yang menjadi faktor

utama dari persiapan-persiapan tersebut adalah usia perkawinan itu sendiri.

Namun, pernikahan dini saat ini menjadi perhatian seluruh kalangan di

negara negara berkembang, Indonesia salah satunya. Hal ini juga menjadi penentu

bagi kebijakan serta perencanaan program yang dilakukan oleh pemerintah karena

pernikahan dini dapat menimbulkan beberapa resiko seperti kematian, tidak siap

mental, serta kegagalan perkawinan pada mereka yang melakukannya. Dilihat dari

umur wanita yang melakukan perkawinan dini umumnya kurang dari 17 tahun

sehingga turut mendorong laju pertumbuhan penduduk, karena pada masa tersebut

wanita sedang mangalami masa subur sehingga memungkinkan untuk mempunyai

anak lebih banyak. Rata-rata usia kawin bisa menjadi penentu atau mencerminkan

keadaan sosial ekonomi di daerah itu sendiri. Jika semakin banyak usia muda

yang melangsungkan pernikahan maka dapat dinilai keadaan sosial ekonomi

dilingkungan tersebut tidak begitu baik. Banyak jumlah perempuan dan laki-laki
4

yang tidak memiliki pekerjaan memilih untuk menikah alih-alih mengisi waktu

luang mereka dan kepercayaan bahwa rezeki akan datang dengan sendirinya jika

sudah membangun hubungan rumah tangga.

Ketetapan Pernikahan dan Pernikahan Tidak Tercatat: minimal yang

termaktub dalam pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No 1/1974 adalah 16 tahun

untuk perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki. Penetapan usia minimal ini diyakini

dapat menjadi salah satu faktor ketahanan rumah tangga, karena semakin dewasa

calon pengantin maka semakin matang kondisi fisik dan mental seseorang dalam

menghadapi tantangan-tantangan kehidupan.

Pernikahan kadang tidak sesuai dengan tujuan yang diharapkan, ketidak

mengertian dan kesalahpahaman masing-masing pihak tentang peran, hak dan

kewajibannya membuat perkawinan tidak harmonis dan rukun. Hal ini dapat

memicu pertengkaran yang terus menerus dan akhirnya salah satu pihak

melakukan tindakan kekerasan, melukai fisik maupun psikis. Jika semua harapan

dan kasih sayang telah musnah dan perkawinan menjadi sesuatu yang

membahayakan maka akan terjadi perceraian.

Hukum perceraian adalah bagian dari hukum perkawinan. Dalam arti luas,

hukum perceraian merupakan bidang hukum keperdataan karena hukum

perceraian adalah bagian dari hukum perkawinan yang merupakan bagian dari

hukum perdata. Perceraian hanya dapat dilakukan dihadapan sidang pengadilan,

juga harus disertai alasan-alasan tertentu untuk melakukan perceraian. Putusnya

perkawinan dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian maka
5

dari berbagai peraturan tersebut dapat diketahui ada dua macam perceraian yaitu

cerai gugat dan cerai talak.

Cerai talak adalah istilah yang hanya digunakan di lingkungan Peradilan

Agama untuk membedakan para pihak yang mengajukan cerai. Dalam perkara

talak pihak yang mengajukan adalah suami, sedangkan cerai gugat pihak yang

mengajukan adalah istri. Sebagaimana disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam

Pasal 114 bahwa “Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat

terjadi karena talak ataupun berdasarkan gugatan perceraian”.

Berdasarkan fenomena yang terjadi saat ini diketahui bahwa sepanjang

tahun 2020 pihak perempuan atau istri yang banyak mengajukan perceraian,

angka perceraian di seluruh wilayah Provinsi Aceh mencapai 6.090 perkara

sepanjang 2020. Gugatan cerai paling banyak dilakukan oleh istri terhadap

suami. Dari 6.090 perkara perceraian di antaranya 4.532 perkara cerai gugat atau

cara istri mengajukan cerai terhadap suaminya, kemudian 1.558 perkara cerai

talak yang dilakukan suami ke istri. Sedangkan pada 2019, lanjut dia, angka

perceraian di Tanah Rencong itu sebanyak 6.048 perkara, meliputi cerai talak

1.555 perkara dan cerai gugat 4.493 perkara. Hanya terjadi peningkatan beberapa

perkara di 2020 yang masih normal, sama seperti di tahun-tahun sebelumnya.

daerah yang paling tinggi angka perceraian sepanjang tahun lalu seperti

Kabupaten Aceh Utara 553 perkara gugat cerai dan 156 cerai talak, kemudian

Aceh Tamiang 386 perkara gugat cerai dan 105 cerai talak (Fernandes, 2021)

Angka perceraian di Kabupaten Aceh Utara tergolong tinggi, terhitung

sejak Januari hingga Juli 2020, kasus perceraian yang terjadi di Kabupaten Aceh
6

Utara di dominasi oleh faktor perekonomian. Dari 426 perkara perceraian

tersebut, 334 perkara merupakan cerai gugatan, yaitu diajukan oleh istri,

sementara 92 perkara cerai talak, suami yang mengajukan perceraian tersebut.

Salah satu penyebab terbesar terjadinya perceraian yaitu menikah di usia muda,

tingkat emosional dari kedua pasangan masih belum stabil, dalam menghadapi

masalah sulit mengontrol diri dan emosi pikiran bercerai akan selalu terlintas

(Anthony, 2020)

Berdasarkan permasalahan di atas, maka peneliti tertarik melakukan

penelitian dengan judul “Pengaruh Pernikahan Usia Muda terhadap Angka

Perceraian di Kabupaten Aceh Utara (Studi Kasus pada Lembaga

Mahkamah Syari’ah di Kabupaten Aceh Utara)”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang diambil

dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pengaruh pernikahan muda terhadap angka perceraian di

Kabupaten Aceh Utara?

2. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi pernikahan usia muda di

Kabupaten Aceh Utara?

3. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi perceraian di Kabupaten Aceh

Utara?
7

1.3 Fokus Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka yang

menjadi fokus dalam penelitian ini adalah:

1. Pengaruh pernikahan muda terhadap angka perceraian di Kabupaten Aceh

Utara yaitu dengan melakukan analisa berdasarkan perhitungan statistik dari

hasil penyebaran kuesioner.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi pernikahan usia muda di Kabupaten Aceh

Utara, aspek yang akan dikaji berdasarkan dari faktor sosial budaya, Desakan

ekonomi, tingkat pendidikan, sulit mendapatkan pekerjaan, media massa,

agama dan pandangan dan kepercayaan

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi perceraian di Kabupaten Aceh Utara, aspek

yang akan dikaji berdasarkan dari ketidakharmonisan dalam berumah tangga,

krisis moral dan akhlak, perzinahan dan pernikahan tanpa cinta.

1.4 Tujuan Penelitian

Berdasarkan fokus dalam penelitian ini, maka tujuan dalam penelitian ini

adalah:

1. Untuk mengetahui pengaruh pernikahan muda terhadap angka perceraian di

Kabupaten Aceh Utara.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan perceraian di kalangan

pasangan usia muda di Kabupaten Aceh Utara.


8

1.5 Manfaat Penelitian

Adapaun manfaat yang diambil dalam penelitian ini berdasarkan praktis

dan teoritis, yaitu:

1. Manfaat Praktis

Manfaat praktis yang diambil dalam penelitian adalah hasil penelitian ini

diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah dalam memberikan

pembinaan pernikahan bagi remaja serta memberikan pencerahan dan masukan

bagi pihak-pihak terkait dan berwenanang terutama pemerintah Kabupaten

Aceh Utara.

2. Manfaat Teoritis

Adapun manfaat teoritis yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah:

a. Bagi Pemerintah Kabupaten Aceh Utara

1) Memberikan sumbangan pikiran atau wawasan informasi dalam

perkembangan Ilmu Pengetahuan dibidang Ilmu Administrasi Negara.

2) Memberikan wawasan peneliti tentang pengaruh pernikahan usia muda

terhadp angka perceraian di Kabupaten Aceh Utara

b. Bagi peneliti

Sebagai tambahan pengetahuan dalam memperluas wawasan khususnya

tentang pengaruh pernikahan usia muda terhadp angka perceraian di

Kabupaten Aceh Utara dalam Membina Pernikahan Berdasarkan

Perspektif Undang-Undang Perlindungan Anak di Kabupaten Aceh Utara.


9

c. Bagi universitas

Sebagai tambahan literatur kepustakaan universitas dibidang penelitian

tentang pengaruh pernikahan usia muda terhadp angka perceraian di

Kabupaten Aceh Utara.

Anda mungkin juga menyukai