Anda di halaman 1dari 24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

Penelitian yang dilakukan oleh Dede (2014) yang berjudul “Peranan KUA

dalam Menanggulangi Pernikahan Dini di Desa Pasarean Kecamatan Pamijahan

Kabupaten Bogor”. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui langkah apa yang

harus dilakukan oleh KUA dalam menanggulangi pernikahan dini. Adapun dalam

hal ini penelitian yang digunakan oleh Dede Ahmad menggunakan metode

kualitaif dengan menggunakan studi lapangan yang mana dalam penelitiannya

didapat bahwasanya dari 33 jumlah pelaku pernikahan dini yang ada dalam 33 RT

desa Pasarean ini. Mereka masing-masing berpendidikan SD berjumlah 3

pasangan, SD/MI berjumlah 13 pasangan dan SMP/MTS berjumlah 17. Tentu hal

ini menjadi hal yang sangat disayangkan jika melihat dari kejadian yang ada.

Mereka melakukan pernikahan dini dengan alasan ada yang dijodohkan, dan yang

lainnya karena alasan ekonomi.

Adapun perbandingan yang dilakukan peneliti dengan penelitian

sebelumnya adalah, penelitian sebelumnya melakukan penelitian dengan

menganalisis penanggulangan yang di lakukan KUA di Desa Pasarean Kecamatan

Pamijahan Kabupaten Bogor, sedangkan penelitian ini pengaruh pernikahan usia

muda terhadp angka perceraian di Kabupaten Aceh Utara.

Noor (2014) melakukan penelitian dengan judul “Implikasi Pernikahan

Dini terhadap Keharmonisan Rumah Tangga di Dusun Kadisobo Desa Girimulyo

Kecamatan Panggang Kabupaten Gunungkidul”. Penelitian ini bertujuan untuk

10
11

mengetahui implikasi pernikahan dini terhadap kehidupan rumah tangga. Selain

itu, penyusun juga ingin mengetahui faktor penyebab pernikahan usia dini

dikalangan anak dini Dusun Kadisobo, dampak apa yang mereka rasakan serta

usaha-usaha apa yang mereka lakukan untuk tetap bertahan hidup dan berumah

tangga. Adapun masalah yang diteliti menggunakan penelitian lapangan yaitu

mengambil data primer dari lapangan yang kemudian dikaji secara intensif yang

disertai analisa dan pengujian kembali pada semua data atau informasi yang

dikumpulkan. Berdasarkan penelitian di atas, terungkap bahwa faktor-faktor yang

menjadi penyebab pernikahan dini di Dusun Kadisobo pada tahun 2012-2014

adalah karena tingkat pendidikan yang rendah, hamil diluar nikah dan faktor

ekonomi. Dari beberapa faktor tersebut, faktor hamil diluar nikah dan rendahnya

pendidikan menjadi penyebab yang paling mendominasi terjadinya pernikahan

dini. Dalam kurun waktu tersebut terdapat 8 orang yang menikah dini, satu

diantaranya bercerai dikarenakan hamil diluar nikah dengan suami orang.

Perbandingan yang dilakukan peneliti dengan penelitian yang dilakukan

Noor (2014) adalah penelitian sebelumnya menganalisis implikasi pernikahan dini

dalam keharmonisan rumah tangga yang dilakukan di desa Girimulyo Kecamatan

Panggang Kabupaten Gunungkidul, sedangkan peneliti ini menganalisis tingkat

pengaruh pernikahan usia muda terhadp angka perceraian di Kabupaten Aceh

Utara.

Sedangkan Diska (2016) dengan judul “efektivitas program bina keluarga

remaja dalam Upaya pendewasaan usia pernikahan”. Penelitian ini bertujuan

untuk mengetahui efektivitas program Bina Keluarga Remaja dalam Upaya


12

Pendewasaan Usia Pernikahan di Desa Karang Anyar. Pendekatan dalam

penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif, pendekatan ini secara primer

menggunakan strategi penelitian survei yang menggunakan kuesioner sebagai

pengumpulan datanya. Responden pada penelitian ini berjumlah 57 orang,

penentuan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling.

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teknik persentase

dan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode statistik

sederhana.

Hasil penelitian menunjukkan: (1) Secara keseluruhan efektivitas program

Bina Keluarga Remaja dalam Upaya Pendewasaan Usia Dini di Desa Karang

Anyar dapat disimpulkan cukup efektif. Hal itu dilihat dari hasil perhitungan

efektivitas sebesar 70,4%. Sesuai dengan tabel Litbang Depdagri nilai persentase

tersebut masuk dalam kategori cukup efektif. (2) Pada indikator ketepatan sasaran

program Bina Keluarga Remaja, sosialisasi program Bina Keluarga Remaja,

media sosialisasi, tujuan program Bina Keluarga Remaja diperoleh hasil sangat

efektif. Sedangkan pada indikator tingkat partisipasi keluarga pada sosialisasi

program Bina Keluarga Remaja, intensitas sosialisasi program Bina Keluarga

Remaja, dan pemantauan program Bina Keluarga Remaja diperoleh hasil sangat

tidak efektif.

Perbandingan yang dilakukan Diska (2016) dengan penelitian ini adalah

penelitian sebelumnya melakukan efektivitas program bina keluarga remaja dalam

upaya pendewasaan usia pernikahan agar lebih memahami usia ideal dalam

berumah tangga, sedangkan penelitian ini hanya menganalisis bagaimana peran


13

pemerintah dalam meminimalisir pernikahan dini agar terhindar dari angka

perceraian di Kabupaten Aceh Utara.

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Pengertian Kebijakan Publik

Istilah kebijakan memang sering dipergunakan dalam konteks tindakan-

tindakan atau kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para aktor dan institusi

-institusi pemerintah, serta perilaku negara pada umumnya. Makna kebijakan akan

semakin jelas bila dilihat pada pandangan dari bebarapa ahli mengenai kebijakan.

Menurut Pasolong (2013:39) menyatakan bahwa kebijakan publik yaitu :

“Suatu rangkaian pilihan-pilihan yang saling berhubungan yang dibuat


oleh lembaga atau pejabat pemerintah pada bidang -bidang yang
menyangkut tugas pemerintahan, seperti pertahanan keamanan, energi,
kesehatan, pendidikan, kesejahteraan masyarakat, kriminalitas, perkotaan
dan lain-lain”.

Seorang pakar ilmu politik, Richard Rose (Winarno, 2014:20)

menyarankan kebijakan hendaknya dipahami sebagai “serangkaian kegiatan yang

sedikit banyak berhubungan beserta konsekuensi-konsekuensi bagi mereka yang

bersangkutan daripada sebagai suatu keputusan tersendiri” definisi ini berguna

karena kebijakan dipahami sebagai arah atau pola kegiatan dan bukan sekedar

suatu keputusan untuk melakukan sesuatu.

Kebijakan Publik secara konseptual dapat dilihat dari Kamus Administrasi

Publik Chandler dan Plano dalam Pasolong (2013:38) mengatakan bahwa

kebijakam publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumber-sumber

daya yang ada untuk memecahakan masalah publik atau pemerintah.


14

Kebijakan publik memiliki definisi yang beragam, Agustino (2014:7)

mengatakan bahwa : “kebijakan publik adalah apa yang dipilih oleh pemerintah

untuk dikerjakan atau tidak dikerjakan”. Definisi kebijakan publik selanjutnya

dikemukakan oleh Wahab (2014:13) yaitu:

“The actions, objectives, and pronouncements of governments on


particular matters, the steps they take (or fail to take) to implement them,
and the explanations they give for what happens (or does not happen).
Tindakan-tindakan, tujuan-tujuan, dan pernyataan-pernyataan pemerintah
mengenai masalah-masalah tertentu, langkah-langkah yang telah/ sedang
diambil (atau gagal diambil) untuk di implementasikan, dan penjelasan-
penjelasan yang diberikan oleh mereka mengenai apa yang telah terjadi
(atau tidak terjadi)”.

Winarno (2014:21) menyatakan bahwa kebijakan merupakan arah

tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau

sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan. Konsep

kebijakan ini memusatkan perhatian pada apa yang sebenarnya dilakukan dan

bukan pada apa yang diusulkan atau dimaksudkan. Selain itu, konsep ini juga

membedakan kebijakan dari keputusan yang merupakan pilihan di antara berbagai

alternatif yang ada.

Winarno (2014:23) mengungkapkan bahwa kebijakan publik mempunyai

beberapa implikasi yaitu sebagai berikut :

1. Titik perhatian dalam membicarakan kebijakan publik berorientasi pada


maksud dan tujuan dan bukan perilaku secara serampangan.
2. Kebijakan merupakan arah atau pola tindakan yang dilakukan oleh
pejabat-pejabat pemerintah dan bukan merupakan keputusan-keputusan
yang tersendiri.
3. Kebijakan adalah apa yang sebenarnya dilakukan oleh pemerintah
dalam mengatur politik, ekonomi, sosial dan budaya dan bukan apa
yang diinginkan oleh pemerintah.
4. Kebijakan publik mungkin dalam bentuknya bersifat positif dan negatif.
Secara positif kebijakan mungkin mencakup bentuk tindakan
pemerintah yang jelas untuk memengaruhi suatu masalah tertentu.
15

Secara negatif, kebijakan mungkin mencakup keputuan oleh pejabat-


pejabat pemerintah, tetapi tidak untuk mengambil tindakan dan tidak
untuk melakukan sesuatu mengenai suatu persoalan yang memerlukan
keterlibatan pemerintah.

Jenis-jenis kebijakan publik menurut Nugroho dalam Pasolong

menyatakan kebijakan publik dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu : (1) Kebijakan

yang bersifat makro, kebijakan atau peraturan yang bersifat umum, (2) Kebijakan

yang bersifat meso, yaitu kebijakan yang bersifat menengah atau memperjelas

pelaksanaan, seperti kebijakan Mentri, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati dan

Peraturan Wali Kota. (3) Kebijakan yang bersifat mikro, yaitu kebijakan yang

diatasnya, mengatur pelaksanaan atau implementasi dari kebijakan diatasnya,

seperti kebijakan yang dikeluarkan oleh aparat publik di bawah Mentri, Gubernur,

Bupati dan Wali Kota.

Kebijakan publik tidak dapat disebut kebijakan publik apabila tidak

berorientasi pada kepentingan publik dan sekalipun yang membuat kebijakan itu

pemerintah/ negara, tetapi ia harus selalu diwarnai dengan kepentingan publik.

Hal ini disebabkan karena menurut konsep demokrasi modern, kebijakan publik

tidaklah berisi cetusan pikiran atau pendapat para pejabat yang mewakili rakyat,

tetapi opini publik juga mempunyai posisi yang sama besarnya dengan opini

pejabat untuk diisikan (memberikan warna) dalam kebijakan-kebijakan publik.

Berkaitan dengan definisi -definisi di atas, dapat diartikan bahwa

kebijakan pemerintah memuat adanya organisasi atau pelaku organisasi

pemerintah yang berusaha melakukan tindakan nyata untuk mencapai tujuan

pemerintah dalam memecahkan suatu persoalan. Kehidupan bersama dalam suatu

negara tentu saja dapat menimbulkan suatu persoalan, oleh karena itu harus diatur.
16

Tetapi bukan sekedar diatur, melainkan diatur oleh peraturan yang berlaku untuk

semua warga negara dan berlaku mengikat semua warga negara dengan tujuan

agar satu sama lain berlaku tertib dan tidak saling merugikan. Aturan tersebut

secara sederhana disebut dengan kebijakan publik.

2.2.1.1 Pengertian Implementasi

Terdapat beberapa pengertian implementasi. Menurut Usman (2011:70)

dalam bukunya yang berjudul Konteks Implementasi Berbasis Kurikulum

mengemukakan pendapatnya mengenai implementasi atau pelaksanaan sebagai

berikut:

“Implementasi adalah bermuara pada aktivitas aksi, tindakan, atau adanya


mekanisme suatu sistem Implementasi bukan sekedar aktivitas, tetapi
suatu kegiatan yang terencana dan untuk mencapai tujuan kegiatan”.

Pengertian implementasi yang dikemukan diatas, dapat dikatakan bahwa

implementasi adalah bukan sekedar aktivitas, tetapi suatu kegiatan yang terencana

dan dilakukan secara sungguh-sungguh berdasarkan acuan norma tertentu untuk

mencapai tujuan kegiatan. Oleh karena itu implementasi tidak berdiri sendiri

tetapi dipengaruhi oleh objek berikutnya.

Menurut Setiawan (2014:39) dalam bukunya yang berjudul Implementasi

Dalam Birokrasi Pembangunan mengemukakan pendapatnya mengenai

implementasi atau pelaksanaan sebagai berikut:

“Implementasi adalah perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan proses


interaksi antara tujuan dan tindakan untuk mencapainya serta memerlukan
jaringan pelaksanaan, birokrasi yang efektif”.
17

Menurut Wibawa (2013:67) dalam bukunya yang berjudul Implementasi

Kebijakan dan Politik mengemukan pendapatnya mengenai implementasi atau

pelaksanaan sebagai berikut:

“Implementasi adalah suatu proses untuk melaksanakan kebijakan menjadi


tindakan kebijakan dari politik kedalam administrasi. Pengembangan
kebijakan dalam rangka penyempurnaan suatu program”.

Pengertian implementasi yang dikemukakan di atas, dapat dikatakan

bahwa implementasi yaitu merupakan proses untuk pelaksanaan ide, prose atau

seperangkat aktivitas baru dengan harapan orang lain dapat menerima dan

melakukan penyesuaian dalam tubuh birokrasi demi terciptanya suatu tujuan yang

bisa tercapai dengan jaringan pelaksana yang bisa di percaya.

2.2.1.2 Pengertian Implementasi Kebijakan

Salah satu tahapan penting dalam siklus kebijakan publik adalah

implementasi kebijakan. Implemetasi sering dianggap hanya merupakan

pelaksanaan dari apa yang telah diputuskan oleh legislatif atau para pengambilan

keputusan, seolah-olah tahapan ini kurang berpengaruh. Akan tetapi dalam

kenyataannya, tahapan implementasi menjadi begitu penting karena suatu kebijakan

tidak akan berarti apa-apa jika tidak dapat dilaksanakan dengan baik dan benar.

Dengan kata lain implementasi merupakan tahap dimana suatu kebijakan

dilaksanakan secara maksimaldan dapat mencapai tujuan kebijakan itu sendiri.

Konsep “implementasi berasal dari bahasa inggris yaitu to implement.

Dalam kamus besar Webster, to implement (mengimplementasikan) berarti to

provide the means for carrying out (menyediakan saran untuk melaksanakan
18

sesuatu); dan to give practical effect to (untuk menimbulkan dampak/akibat

terhadap sesuatu” (Wahab, 2014:64).

Implementasi merupakan salah satu tahap dalam proses kebijakan publik.

Biasanya implementasi dilaksanakan setelah sebuah kebijakandirumuskan dengan

tujuan yang jelas. Implementasi adalah suatu rangkaian aktifitas dalam rangka

menghantarkan kebijakan kepadamasyarakat sehingga kebijakan tersebut dapat

membawa hasilsebagaimana yang diharapkan (Affan, 2009:295). Rangkaian

kegiatan tersebut mencakup persiapan seperangkat peraturan lanjutan yang

merupakan interpretasi dari kebijakan tersebut. Misalnya dari sebuah undang-

undang muncul sejumlah Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, maupun

Peraturan Daerah, menyiapkan sumber daya guna menggerakkan implementasi

termasuk di dalamnya sarana dan prasarana,sumber daya keuangan, dan tentu saja

siapa yang bertanggung jawab melaksanakan kebijakan tersebut, dan bagaimana

mengantarkan kebijakan secara konkrit ke masyarakat.

Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan

dapat mencapai tujuannya, tidak lebih dan kurang. Untuk mengimplementasikan

kebijakan publik, maka ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung

mengimplementasikan dalam bentuk program-program atau melalui formulasi

kebijakan derivate atau turunan dari kebijakan tersebut. Kebijakan publik dalam

bentuk undang-undang atau Peraturan Daerah adalah jenis kebijakan yang

memerlukan kebijakanpublik penjelas atau sering diistilahkan sebagai peraturan

pelaksanaan. Kebijakan publik yang bisa langsung dioperasionalkan antara lain


19

Keputusan Presiden, Instruksi Presiden, Keputusan Menteri, KeputusanKepala

Daerah, Keptusan Kepala Dinas, dll (Dwijowijoto, 2010:160).

Dengan bertumpu pada pendapat tersebut, maka dapat diambil suatu

kesimpulan pengertian bahwa implementasi adalah suatu proses yang melibatkan

sejumlah sumber yang termasuk manusia, dana dan kemampuan organisasional

yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta. Proses tersebut dilakukan untuk

merealisasikan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh pembuat kebijakan.

Semantara dalam pelaksanaan kebijakan merupakan suatu proses untuk

mewujudkan kebijakan “yang masih abstrak” ke dalam realita (Wahab, 2011:54).

Memperhatikan uraian di atas, dapat dipahami bahwa implementasi

memiliki makna penting, implementasi bersifat sangat interaktif dengan kegiatan-

kegiatan kebijakan yang mendahuluinya. Melalui proses implementasi dapat

diketahui sejauh mana suatu kebijakan dapat mengadopsi aspirasi sekaligus

menyentuh masyarakat untuk secara sukarela melakukannya sebagai perwujudan

rasa tanggung jawabnya terhadap bangsa dan negara. Dengan kata lain, melalui

implementasi akan dapat diketahui apakah suatu kebijakan telah menjawab suatu

persoalan atau justru sebaliknya.

2.2.1.3 Proses Implementasi Kebijakan

Proses analisa kebijakan adalah serangkaian aktivitas intelektual yang

dilakukan dalam proses kegiatan yang bersifat politis. “Aktivitas politis tersebut

nampak dalam serangkaian kegiatan yang mencakup punyusunan agenda,

formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian

kebijakan. Sedangkan aktivitas perumusan masalah, forecasting, rekomendasi


20

kebijakan, monitoring, dan evaluasi kebijakan adalah aktivitas yang lebih bersifat

intelektual” (Subarsono, 2012:8).

Anderson dalam Subarsono (2012:12) menetapkan proses kebijakan publik

sebagai berikut:

1. “Formulasi masalah (problem formulation); Apa masalahnya? Apa yang

membuat hal tersebut menjadi masalah kebijakan? Bagaimana masalah tersebut

dapat masuk dalam agenda pemerintah?”

2. Formulasi kebijakan (formulation); Bagaimana mengembangkan pilihan-

pilihan atau alternatif-alternatif untuk memecahkan masalah tersebut? Siapa

saja yang berpartisipasi dalam formulasi kebijakan?

3. Penentuan kebijakan (adoption); Bagaimana alternatif ditetapkan? Persyaratan

atau kreteria seperti apa yang harus dipenuhi? Siapa yang akan melaksanakan

kebijakan? Apa isi kebijakan yang telah ditetapkan?

4. Implementasi (implementation); Siapa yang terlibat dalam implementasi

kebijakan? Apa yang merekan kerjakan? Ada dampak dari isi kebijakan?”

5. Evaluasi (evaluation); Bagaimana tingkat keberhasilan kebijakan atau

dampakkebijakan diukur? Siapa yang mengevaluasi kebijakan? Apa

konsekwensi dari adanya evaluasi kebijakan? Adakah tuntutan untuk

melakukan perubahan atau pembatalan?”

2.2.1.4 Tahap-Tahap Implementasi Kebijakan

Kebijakan suatu keputusan yang diambil berdasarkan tahapan-tahapan

yang dikemukan Menurut Winarno (2008:9) secara umum, tahap-tahap kebijakan

terdiri dari:
21

1. “Perumusan masalah yaitu tahap awal dalam proses kebijakan yakni


pendefesian masalah, suatu kebijakan pada dasrnya ditujukan untuk
memecahkan persoalan-persoalan yang ada dalam masyarakat. Pendefinisian
dilakukan untuk mengetahui siapa yang terlibat dalam perumusan masalah
kebijakan”.
2. “Agenda kebijakan, setelah masalah-masalah didefinisikan, maka tahap
selanjutnya adalah membuat agenda kebijakan. Agenda kebijakan ini
didasarkan pada masalah yang dirumuskan sebelumnya. Berdasarkan rumusan
masalah-masalah inilah kebijakan kemudian disusun”.
3. “Pemilihan alternatif untuk menyelesaikan masalah, model analisis kebijakan.
Beberapa model perumusan kebijakan, yakni model sistem, model
komprehensif, model kepuasan, model inpremental, model mixed scanning,
dan model kualiti optimal”.
4. “Penetapan kebijakan, suatu penetapan kebijakan dianggap apabila disepakati
oleh segenap pihak yang berkepentingan dan bukan sekedar dikatakan oleh
pihak tertentu sebagai kebijakan paling baik untuk dapat menyelesaikan
masalah”.

Jadi tahap-tahap kebijakan terdiri dari merumuskan suatu permasalahan

untuk diagendakan, yang kemudian akan disusun untuk menyelesaikan suatu

permasalahan, sehingga bisa ditetapkan suatu kebijakan yang akan diambil.

Tahap-tahap untuk menetapkan suatu kebijakan yang tepat maka diperlukan untuk

melakukan penyusunan agenda, formulasi kebijakan sampai kepada penilaian

suatu kebijakan yang telah di putuskan oleh pemerintah.

2.2.1.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Implemetasi Kebijakan

Terdapat banyak model yang dikemukan oleh para pakar dan tidak ada

satu model pun yang paling cocok untuk implementasi kebijakan; dan bukan pula

kompetisi atau konstelasi di antara model implementasi kebijakan karena isu yang

lebih relevan adalah kesesuaian implementasi kebijakan itu sendiri. Sekurang-

kurangnya Nugroho (2009;627) mengidentifikasikan adanya 9 model


22

implementasi kebijakan, termasuk diantaranya yang dikembangkan oleh George

C. Edwads III.

Berdasarkan pada model tersebut, secara ringkas, George C. Edwads III

dalam Agustino (2008;149), aspek-aspek tersebut akan dijelaskan sebagai berikut

ini.

(a) Komunikasi, Komunikasi sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan


dari implementasi kebijakan publik. Terdapat tiga indikator yang dapat
digunakan dalam mengukur keberhasilan variabel komunikasi tersebut yaitu:
1. Transmisi; penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan
suatu implementasi yang baik pula.
2. Kejelasan; komunikasi yang diterima oleh para pelaksana kebijakan
(street-level-bereuacrast) haruslah jelas dan tidak membingungkan.
3. Konsistensi; perintah yang diberikan dalam pelaksanaan suatu komunikasi
hasuslah konsisten dan jelas ( untuk diterapkan atau dijalankan). Karena
jika perintah yang diberikan sering berubah-ubah, maka dapat
menimbulkan kebingungan bagi pelaksana di lapangan.
(b) Sumber daya, yaitu menunjuk setiap kebijakan harus didukung oleh sumber
daya yang memadai, baik sumberdaya manusia maupun sumberdaya
finansial. Keduanya harus diperhatikan dalam implementasi program/
kebijakan pemerintah. Sebab tanpa kehandalan implementator kebijakan
menjadi kurang enerjik dan berjalan lambat dan seadanya. Sedangkan,
sumber daya finansial menjamin keberlangsungan program/kebijakan. Tanpa
ada dukungan finansial yang memadai, program tidak dapat berjalan efektif
dan cepat dalam mencapai tujuan sasaran.
(c) Disposisi, adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor
seperti komitmen, kejujuran dan sifat demokratis. Apabila implementor
memiliki disposisi yang baik, dia kan dapat menjalankan kebijakan dengan
baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika
implementor memiliki sifat atau perspektif yang berbeda dengan pembuat
kebijkan, maka proses implemetasi kebijakan juga menjadi tidak effektif.
(d) Struktur Birokrasi, yang mempengaruhi tingkat keberhasilan implementasi
kebijakan publik adalah struktur birokrasi. Walaupun sumber-sumber untuk
melaksanakan suatu kebijakan tersedia, atau para pelaksana kebijakan
mengetahui apa yang seharusnya dilakukan, dan mempunyai keinginan untuk
melaksanakan suatu kebijakan, kemungkinan kebijakan tersebut tidak dapat
dilaksanakan atau terealisasikan karena terdapatnya kelemahan dalam struktur
birokrasi. Kebijakan yang begitu kompleks menurut adanya kerjasama
banyak orang, ketika struktur birokrasi tidak kondusif pada kebijakan yang
tersedia, maka hal ini akan menyebabkan sumberdaya-sumberdaya menjadi
tidak efektif dan menghambat jalannya kebijakan.
23

Keempat variabel diatas dalam model yang dibangun oleh George C.

Edwads III memiliki keterkaitan satu dengan yang lain dalam mencapai tujuan

dan sasaran program/kebijakan. Semuanya saling bersenergi dalam mencapai

tujuan dan satu variabel akan sangat mempengaruhi variabel yang lain.

2.2.1.6 Faktor Pendukung Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan bila dipandang dalam pengertian yang luas,

merupakan “alat administrasi hukum dimana  berbagai aktor, organisasi,  prosedur,

dan teknik yang bekerja bersama-sama untuk  menjalankan kebijakan guna meraih

dampak atau tujuan yang diinginkan” (Winarno, 2008:102).

Adapun syarat-syarat untuk dapat mengimplementasikan kebijakan Negara

secara sempurna  menurut teori implementasi Brian W. Hogwood dan Lewis A.

Gun yang dikutip Solichin Abdul Wahab, yaitu:

1. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan atau instansi pelaksana tidak akan
mengalami gangguan atau kendala yang serius. Hambatan-hambatan tersebut
mungkin sifatnya fisik, politis dan sebagainya.
2. Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber-sumber yang cukup
memadai.
3. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia
4. Kebijaksanaan yang akan diimplementasikan didasarkan oleh suatu hubungan
5. Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai
penghubungnnya.
6. Hubungan saling ketergantungan kecil
7. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan
8. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat
9. Komunikasi dan koordinasi yang sempurna
10. Pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan
mendapatkan kepatuhan yang sempurna”. (Wahab, 2011)
24

Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tidak hanya ditujukan dan

dilaksanakan untuk intern pemerintah saja, akan tetapi ditujukan dan harus

dilaksanakan pula oleh seluruh masyarakat yang berada di lingkungannya.

2.2.1.7 Faktor-Faktor Penghambat Implementasi Kebijakan

Suatu kebijakan publik akan menjadi efektif apabila dilaksanakan

danmempunyai manfaat positif bagi anggota-anggota masyarakat. Dengan kata

lain, tindakan atau perbuatan manusia sebagai anggota masyarakat harus sesuai

denganapa yang diinginkan oleh pemerintah atau negara. Sehingga apabila

perilaku atauperbuatan mereka tidak sesuai dengan keinginan pemerintah atau

negara, makasuatu kebijakan publik tidaklah efektif.“Caiden dalam Islamy

(2013:27) menyebutkan adanya beberapa faktor, yaitu:

1. Sulitnya memperoleh informasi yang cukup, kesulitan memperoleh informasi


yang benar tentang persoalan yang dihadapi membuat pimpinan sulit untuk
menentukan kebijakan yang sesuai dengan persolan yang sedang dihadapi.
2. Bukti yang sulit disimpulkan, persoalan yang kompleks dihadapi menimbulkan
kesulitan bagi pengambilan kebijakan untuk menentukan sikap terhadap
masalah.
3. Adanya berbagai macam kepentingan yang berbeda pula, kepentingan yang
beragam membuat pimpinan sulit mengambil keputusan yang bisa membuat
semua terwakilkan dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.
4. Dampak kebijakan sulit dikenali, kebijakan yang telah ditetapkan tidak
semuanya memberikan dampak seperti yang diharapkan, perubahan
lingkungansangat memberi imbas atas keberhasilan pada implementasi
kebijakan.
5. Umpan balik keputusan bersifat sporadis dan proses perumusan kebijakan tidak
dimengerti dengan benar”.

Kebijakan menjadi hal yang sulit ditentukan oleh seseorang pimpinan,

sehingga keahlian dalam melihat situasi dan kondisi perlu dimiliki seorang

pimpinan, yang membuat pimpinan bisa mengambil kebijakan yang memberi


25

kemajuan bagi organisasi , walau kebijakan yang ditempuh memiliki dampak

negatif dalam implementasinya.

2.2.2 Pernikahan Dini

2.2.2.1 Pengertian Pernikahan Dini

Pernikahan dini atau kawin dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh

pasangan atau salah satu pasangannya masih dikategorikan remaja yang masih

berusia dibawah 19 tahun (WHO, 2006). Menurut BKKBN (2012) Pernikahan

dini secara umum memiliki definisi umum yaitu perjodohan atau pernikahan yang

melibatkan satu atau kedua pihak, sebelum pihak wanita mampu secara fisik,

fisiologi, dan psikologi untuk menanggung beban pernikahan dan memiliki anak,

dengan batasan umur umum adalah di bawah 18 tahun. Pernikahan usia dini

adalah pernikahan yang dilakukan pada wanita dengan usia kurang dari 16 tahun

dan pada pria usia kurang dari 19 tahun (Romauli, 2009).

Pernikahan usia dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh sepasang laki-

laki dan perempuan remaja (Kumalasari, 2012). Pernikahan usia dini yaitu

merupakan intitusi agung untuk mengikat dua insan lawan jenis yang masih

remaja dalam satu ikatan keluarga (Lutfiati, 2008). Didalam Undang-Undang

Perkawinan terdapat beberapa pasal diantaranya pada pasal 1 menyatakan bahwa

perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita

sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada pasal 2

menyatakan bahwa Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum


26

masing-masing agama dan kepercayaannya itu, dan tiap-tiap perkawinan dicatat

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (YPAN, 2008).

2.2.2.2 Faktor-faktor Pendorong Perkawinan Usia Dini

Menurut Muhammad (2011) faktor-faktor yang mendorong untuk

melangsungkan perkawinan usia dini adalah:

1. Faktor ekonomi
Orang tua mengawinkan anaknya karena keadaan ekonomi keluarga yang
kurang, sehingga untuk meringankan beban orang tua, mereka dikawinkan
dengan orang yang dianggap mampu.
2. Faktor kemauan sendiri
Pasangan usia dini merasa sudah saling mencintai dan adanya pengaruh media,
sehingga mereka terpengaruh untuk melakukan pernikahan usia muda.
3. Faktor pendidikan
Rendahnya tingkat pendidikan dan kurangnya pengetahuan orang tua, anak,
dan masyarakat akan pentingnya pendidikan, makna serta tujuan perkawinan
sehingga menyebabkan terjadinya perkawinan usia muda.
4. Faktor keluarga
Kekhawatiran orang tua akan anaknya yang sudah mempunyai pacar yang
sudah sangat dekat, membuat orang tua ingin segera mengawinkan anaknya
meskipun masih dibawah umur. Hal ini merupakan hal yang sudah turun-
temurun. Sebuah keluarga tidak akan merasa tenang sebelum anak gadisnya
menikah.

2.2.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Perkawinan Usia Dini

Menurut Romauli (2009), faktor yang mempengaruhi terjadinya

perkawinan usia dini adalah:

1. Tingkat pendidikan, makin rendah tingkat pendidikan, makin mendorong


cepatnya perkawinan usia muda
2. Sikap dan hubungan dengan orang tua, perkawinan ini dapat berlangsung
karena adanya kepatuhan atau menentang dari remaja terhadap orang tuanya.
3. Sebagai jalan keluar dari berbagai kesulitan misalnya kesulitan ekonomi
4. Pandangan dan kepercayaan, banyak di daerah ditemukan pandangan dan
kepercayaan yang salah. Misalnya kedewasaan seseorang dinilai dari status
perkawinan, status janda lebih baik dari pada perawan tua.
5. Faktor masyarakat, lingkungan dan adat istiadat adanya anggapan jika anak
gadis belum menikah dianggap sebagai aib keluarga.
27

2.2.2.4 Faktor-faktor yang Menyebabkan terjadinya Perkawinan Usia Dini di


Indonesia

Menurut Noorkasiani (2009) faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya

perkawinan usia dini di Indonesia adalah:

1. Faktor individu
a. Perkembangan fisik, mental, dan sosial yang dialami seseorang. Makin
cepat perkembangan tersebut dialami, makin cepat pula berlangsungnya
perkawinan sehingga mendorong terjadinya perkawinan pada usia muda.
b. Tingkat pendidikan yang dimiliki oleh remaja. Makin rendah tingkat
pendidikan, makin mendorong berlangsungnya perkawinan usia muda.
c. Sikap dan hubungan dengan orang tua. Perkawinan usia dini dapat
berlangsung karena adanya sikap patuh dan atau menentang yang dilakukan
remaja terhadap perintah orang tua. Hubungan dengan orang tua
menentukan terjadinya perkawinan usia muda. Dalam kehidupan sehari-hari
sering ditemukan perkawinan remaja karena ingin melepaskan diri dari
pengaruh lingkungan orang tua.
d. Sebagai jalan keluar untuk lari dari berbagai kesulitan yang dihadapi,
termasuk kesulitan ekonomi. Tidak jarang ditemukan perkawinan yang
berlangsung dalam usia sangat muda, diantaranya disebabkan karena remaja
menginginkan status ekonomi yang lebih tinggi.
2. Faktor keluarga
Peran orang tua dalam menentukan perkawinan anak-anak mereka dipengaruhi
oleh faktor-faktor berikut :
a. Sosial ekonomi keluarga
Akibat beban ekonomi yang dialami, orang tua mempunyai keinginan untuk
mengawinkan anak gadisnya. Perkawinan tersebut akan memperoleh dua
keuntungan, yaitu tanggung jawab terhadap anak gadisnya menjadi
tanggung jawab suami atau keluarga suami dan adanya tambahan tenaga
kerja di keluarga, yaitu menantu yang dengan sukarela membantu keluarga
istrinya.
b. Tingkat pendidikan keluarga
Makin rendah tingkat pendidikan keluarga, makin sering ditemukan
perkawinan diusia muda. Peran tingkat pendidikan berhubungan erat dengan
pemahaman keluarga tentang kehidupan berkeluarga.
c. Kepercayaan dan atau adat istiadat yang berlaku dalam keluarga
Kepercayaan dan adat istiadat yang berlaku dalam keluarga juga
menentukan terjadinya perkawinan diusia muda. Sering ditemukan orang
tua mengawinkan anak mereka dalam usia yang sangat dini karena
keinginan untuk meningkatkan status sosial keluarga, mempererat hubungan
antar keluarga, dan atau untuk menjaga garis keturunan keluarga.
d. Kemampuan yang dimiliki keluarga dalam menghadapi masalah remaja
Jika keluarga kurang memiliki pilihan dalam menghadapi atau mengatasi
masalah remaja, (misal:anak gadisnya melakukan perbuatan zina), anak
28

gadis tersebut dinikahkan sebagai jalan keluarnya. Tindakan ini dilakukan


untuk menghadapi rasa malu atau rasa bersalah.
3. Faktor masyarakat lingkungan
a. Adat istiadat
Terdapat anggapan di berbagai daerah di Indonesia bahwa anak gadis yang
telah dewasa, tetapi belum berkeluarga, akan dipandang “aib” bagi
keluarganya. Upaya orang tua untuk mengatasi hal tersebut ialah
menikahkan anak gadis yang dimilikinya secepat mungkin sehingga
mendorong terjadinya perkawinan usia muda.
b. Pandangan dan kepercayaan
Pandangan dan kepercayaan yang salah pada masyarakat dapat pula
mendorong terjadinya perkawinan di usia muda. Contoh pandangan yang
salah dan dipercayai oleh masyarakat, yaitu anggapan bahwa kedewasaan
seseorang dinilai dari status perkawinan, status janda lebih baik daripada
perawan tua dan kejantanan seseorang dinilai dari seringnya melakukan
perkawinan. Interpretasi yang salah terhadap ajaran agama juga dapat
menyebabkan terjadinya perkawinan usia muda, misalnya sebagian besar
masyarakat juga pemuka agama menganggap bahwa akil baliq ialah ketika
seorang anak mendapatkan haid pertama, berarti anak wanita tersebut dapat
dinikahkan, padahal akil baliq sesungguhnya terjadi setelah seorang anak
wanita melampaui masa remaja.
c. Penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan
Sering ditemukan perkawinan usia dini karena beberapa pemuka masyarakat
tertentu menyalahgunakan wewenang atau kekuasaan yang dimilikinya,
yaitu dengan mempergunakan kedudukannya untuk kawin lagi dan lebih
memilih menikahi wanita yang masih muda, bukan dengan wanita yang
telah berusia lanjut.
d. Tingkat pendidikan masyarakat
Perkawinan usia dini dipengaruhi pula oleh tingkat pendidikan masyarakat
secara keseluruhan. Masyarakat yang tingkat pendidikannya amat rendah
cenderung mengawinkan anaknya dalam usia yang masih muda.
e. Tingkat ekonomi masyarakat
Masyarakat yang tingkat ekonominya kurang memuaskan, sering memilih
perkawinan sebagai jalan keluar dalam mengatasi kesulitan ekonomi.
f. Tingkat kesehatan penduduk
Jika suatu daerah memiliki tingkat kesehatan yang belum memuaskan
dengan masih tingginya angka kematian, sering pula ditemukan perkawinan
usia dini di daerah tersebut.
g. Perubahan nilai
Akibat pengaruh modernisasi, terjadi perubahan nilai, yaitu semakin
bebasnya hubungan antara pria dan wanita.
h. Peraturan perundang-undangan
Peran peraturan perundang-undangan dalam perkawinan usia dini cukup
besar. Jika peraturan perundang-undangan masih membenarkan perkawinan
usia muda, akan terus ditemukan perkawinan usia muda.
29

Menurut Kumalasari (2012) ada beberapa alasan pernikahan usia dini

diantaranya:

1. Faktor sosial budaya


Beberapa daerah di Indonesia masih menerapkan praktik kawin muda, karena
mereka menganggap anak perempuan yang terlambat menikah merupakan aib
bagi keluarga.
2. Desakan ekonomi
Pernikahan usia dini terjadi karena keadaan keluarga yang hidup di garis
kemiskinan, untuk meringankan beban orang tuanya, maka anak perempuannya
dikawinkan dengan orang yang dianggap mampu.
3. Tingkat pendidikan
Pendidikan yang rendah makin mendorong cepatnya pernikahan usia muda.
4. Sulit mendapatkan pekerjaan
Banyak dari remaja yang menganggap kalau mereka menikah muda, tidak
perlu lagi mencari pekerjaan atau mengalami kesulitan lagi dalam hal keuangan
karena keuangan sudah ditanggung suaminya.
5. Media massa
Gencarnya ekspos seks di media massa menyebabkan remaja modern kian
permisif terhadap seks.
6. Agama
Dari sudut pandang agama menikah di usia dini tidak ada pelarangan bahkan
dianggap lebih baik daripada melakukan perzinaan.
7. Pandangan dan kepercayaan
Banyak di daerah ditemukan pandangan dan kepercayaan yang salah misalnya
kedewasaan dinilai dari status pernikahan, status janda dianggap lebih baik
daripada perawan tua.

2.2.3 Perceraian

2.2.3.1 Pengertian Perceraian

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia cerai adalah pisah, putus

hubungan sebagai suami isteri (talak), perpisahan antara suami isteri selagi

keduanya masih hidup. Perceraian menurut Pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974 adalah

putusnya perkawinan. Jadi perceraian adalah putusnya ikatan lahir batin antara

suami dan isteri yang mengakibatkan berakhirnya hubungan keluarga (rumah

tangga) antara suami dan isteri tersebut.


30

Setiap perkawinan yang dilakukan pasti semua ingin membina rumah

tangga dengan baik dan bahagia dan ingin bertahan lama, namun dalam proses

kehidupan sering kali tidak sesuai dengan apa yang kita rencanakan.

Masalahmasalah yang hadir dalam membina keluarga dan bermacam-macam

sering menjadi hambatan dan ketika keluarga tersebut tidak bisa melewati atau

menyelesaikan masalah yang ada biasanya jalan keluarnya adalah dengan

perceraian. Perceraian yang terjadi atau dapat diterima jika sesuai denga prosedur

yang sudah ada dan memenuhi syarat mengenai perceraian Alasan-alasan

mengapa mengajukan perceraian juga harus jelas dan memenuhi syarat yang

sudah ditentukan negara. Karena hal itu sangat penting, perceraian atau cerai yang

tidak seharusnya di ucapkan ketika ingin membina sebuah keluarga ingin

bagaiaman bisa bertahan lama ketika kata carai diucapakan kemungkian akan

berakhir hubungan suami istri (Fahrezi dan Nurwati, 2020).

Hurlock (2011:54), perceraian merupakan penyelesaian perkawinan

apabila pihak suami dan istri sudah tidak menemukan jalan keluar atas

permasalahannya yang tidak membuahkan kebahagiaan atas perkawinannya.

Perceraian dapat dilakukan secara hukum maupun diluar hokum.

Sudarsono (2010:163), perceraian adalah peristiwa yang traumatis bagi

semua pihak yang terlibat bagi pasangan yang tak lagi dapat hidup bersama dan

juga bagi anak-anak, mertua / ipar, sahabat, Perceraian dalam keluarga merupakan

perubahan besar, bagi anak-anak akan mengalami reaksi emosi dan perilaku

karena kehilangan satu orang tua.


31

Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa perceraian

merupakan berakhirnya ikatan pernikahan antara suami dan istri karena tidak

terpenuhi kebutuhannya atau tidak dapat lagi hidup bersama dimana perceraian ini

dapat dilakukan secara hukum maupun diluar hukum.

2.2.3.2 Jenis-Jenis Perceraian

Menurut Emy (2015:32) ada dua jenis perceraian yaitu cerai hidup dan

cerai mati, berikut adalah penjelasannya :

1. Cerai Hidup

Cerai hidup merupakan perpisahan antara suami dan istri atau berakhirnya

hubungan yang disebabkan oleh adanya ketidakbahagiaan antara kedua belah

pihak dan perceraian ini diakui secara legal atau hukum.

2. Cerai Mati

Cerai mati merupakan perceraian yang disebabkan oleh meninggalnya salah

satu pasangan baik suami maupun istri, dimana pihak yang ditinggalkan harus

menjalani kehidupannya sendiri.

Terdapat pendapat lain yang dikemukakan Benaim (dalam Ulifiah,

2016:23), yang menjelaskan bahwa ketika pasangan hidup dari seorang istri

meninggal akan terasa lebih menyakitkan dibanding pihak laki-laki yang

kehilangan. Kebanyakan laki-laki yang ditinggal istrinya cenderung lebih cepat

menikah kembali, begitu sebaliknya wanita yang harus memikirkan masalah

keuangan, masalah lain dalam kehidupannya.


32

Menurut Undang-Undang Perkawinan no.1/1974 pasal 39-41 (dalam

Soemiyati, 2007:32), yang menjelaskan ada dua jenis perceraian, yaitu:

1. Cerai Gugat

Cerai gugat merupakan berpisahnya hubungan suami dan istri dimana pihak

istri yang lebih dulu mengajukan gugatan cerai kepada suami.

2. Cerai Talak

Cerai talak merupakan berpisahnya hubungan suami dan istri dimana pihak

suami yang memberikan talak kepada istri.

2.2.3.3 Penyebab Terjadinya Perceraian

Menurut Ulifiah (2016:14), menjelaskan bahwa ada beberapa penyebab

terjadinya perceraian, diantaranya:

1. Kurangnya Komunikasi

Tidak ada hubungan harmonis tanpa komunikasi yang baik. Misalnya karena

secara intelektual tak seimbang, pribadi terbuka yang beradapan dengan pribadi

yang tertutup, dan lain-lain.

2. Kurang Komitmen

Kurang komitmen biasanya ini terjadi salah satu pasangan atau bahkan

keduanya tidak siap dengan kenyataan yang diperoleh ketika sudah menikah.

Dari mulai kebiasaan, sifat asli, hingga tanggung jawab yang membesar. Jika

salah satu dewasa, bukan tidak mungkin perselingkuhan terjadi.


33

3. Uang Yang Timpang

Uang memang masalah sensitif tapi tidak membicarakannya hanya

memperburuk keadaan. Jika suami tidak memberi nafkah atau istri hidup tidak

seimbang dengan penghasilan, sering juga memicu perceraian. Akibatnya,

kedua merasa tidak nyaman dan tidak adil membagi kewajiban, dan juga hak.

Fauzi (2016:43) mempunyai pendapat lain yaitu ada 4 faktor penyebab

terjadinya perceraian:

1. Ketidakharmonisan dalam berumah tangga. Ini merupakan alasan yang sering

didengar ketika pasangan suami istri memutuskan untuk berpisah.

Ketidakharmonisan ini dapat disebabkan oleh adanya perbedaan, akhlak,

pandangan, keyakinan, dan lain-lain.

2. Krisis moral dan akhlak. Perceraian juga dapat disebabkan oleh krisis moral

dan akhlak contohnya seperti kelalaian tanggung jawab sebagai seorang suami

atau istri, poligami yang tidak sehat, penganiayaan dan keburukan perilaku

lainnya.

3. Perzinahan. Perzinahan yang menyebabkan perceraian adalah hubungan

seksual diluar nikah yang dilakukan oleh suami maupun istri.

4. Pernikahan tanpa cinta. Alasan ini juga kerap kali didengar yang menjadi

penyebab perceraian, dilakukan oleh suami maupun istri dengan alasan

pernikahan yang tidak dilandasi cinta.

Anda mungkin juga menyukai