Anda di halaman 1dari 19

Makalah

Dosen

: Psikologi dan Perilaku Kesehatan Reproduksi


: Dr. A. Ummu Salmah, SKM.,M.Sc

PSIKOANALISIS PERILAKU SEKS


PRANIKAH PADA REMAJA
BERDASARKAN TEORI PLANNED
BEHAVIOUR (TPB)

WA ODE DITA ARLIANA


P1807214003

KONSENTRASI KESEHATAN REPRODUKSI DAN KELUARGA


PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
PASCASARJANA UNIVERITAS HASANUDDIN

MAKASSAR
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penduduk remaja adalah bagian dari penduduk dunia dan memiliki
sumbangan teramat besar bagi perkembangan dunia. Remaja dan berbagai
permasalahannya menjadi perhatian dunia dan dijadikan isu utama dalam
Peringatan Hari Kependudukan Dunia yang jatuh pada 11 Juli 2013.
Berdasarkan data BkkbN tahun 2013, di Indonesia jumlah remaja berusia 10 24 tahun sudah mencapai sekitar 64 juta atau 27,6 persen dari total penduduk
Indonesia. Jumlah remaja yang besar merupakan potensi yang besar bagi
kemajuan bangsa, namun jika tidak dibina dengan baik atau dibiarkan saja
berkembang ke arah yang negatif dan akan menjadi beban bagi negara.
Remaja adalah masa dimana pencarian jati diri merupakan hal yang
penting sehingga menimbulkan rasa ingin tahu yang tinggi, ingin tampil
menonjol, dan diakui eksistensinya. Namun disisi lain, remaja mengalami
ketidakstabilan emosi sehingga mudah untuk dipengaruhi dan lebih
mengutamakan solidaritas kelompoknya. Banyak remaja yang terjebak dalam
pergaulan bebas dan seks pranikah karena ajakan teman-temannya dan
pengaruh lingkungan secara umum. Bahkan remaja yang mulanya tidak
tergoda dengan pergaulan bebas apabila terus menerus dipengaruhi oleh
lingkungannya, maka suatu saat akan tergoda untuk ikut ke dalam pergaulan
bebas juga (Hertanti, 2013). Adanya perilaku seks pra nikah yang dilakukan
oleh sebagian mahasiswa berdampak pada terjadinya kehamilan yang tidak
diinginkan. Pada saat terjadi kehamilan yang tidak diinginkan,beberapa dari
mahasiswa mengambil keputusan untuk melakukan aborsi (Suratno, 2009).
Perilaku seksual yang tidak sehat di kalangan remaja khususnya
remaja yang belum menikah cenderung meningkat. Hal ini terbukti dari

beberapa hasil penelitian bahwa yang menunjukkan usia remaja ketika


pertama kali mengadakan hubungan seksual aktif bervariasi antara usia 14
23 tahun dan usia terbanyak adalah antara 17 18 tahun (Fuad, et al. 2003).
Berdasarkan hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia 2012 komponen
Kesehatan Reproduksi Remaja (SDKI 2012 KRR), bahwa secara nasional
terjadi peningkatan angka remaja yang pernah melakukan hubungan seksual
pranikah dibandingkan dengan data hasil Survei Kesehatan Reproduksi
Remaja Indonesia (SKRRI) 2007. Hasil survei SDKI 2012 KRR menunjukkan
bahwa sekitar 9,3% atau sekitar 3,7 juta remaja menyatakan pernah
melakukan hubungan seksual pranikah, sedangkan hasil SKRRI 2007 hanya
sekitar 7% atau sekitar 3 juta remaja. Sehingga selama periode tahun 2007
sampai 2012 terjadi peningkatan kasus remaja yang pernah melakukan
hubungan seksual pranikah sebanyak 2,3%.
Pernyataan Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan
Reproduksi BkkbN Julianto Witjaksono yang dirilis pada tanggal 12 Agustus
2014 yang mengatakan jumlah remaja yang melakukan hubungan seks di luar
nikah mengalami tren peningkatan. Berdasarkan catatan lembaganya, Julianto
mengatakan 46 persen remaja indonesia berusia 15-19 tahun sudah
berhubungan seks. Data Sensus Nasional bahkan menunjukkan 48-51 persen
perempuan hamil adalah remaja (BkkbN,2014).

BAB II
PEMBAHASAN
A. Teori Perilaku
1. Teori Reasoned Action (TRA)
Teori Reasoned Action (TRA) adalah model yang menemukan asalusul dalam bidang psikologi sosial. Model ini dikembangkan oleh Fishbein
dan Ajzen (1975) mendefinisikan hubungan antara keyakinan, sikap, norma,
niat, dan perilaku individu. Menurut model ini, perilaku seseorang ditentukan
oleh niat perilaku untuk melakukan itu. Niat ini sendiri ditentukan oleh sikap
orang tersebut dan norma subjektif ke arah perilaku. Fishbein dan Ajzen
(1975, p. 302) mendefinisikan norma subjektif sebagai "persepsi seseorang
bahwa kebanyakan orang-orang yang penting baginya pikir dia harus atau
tidak harus melakukan perilaku yang bersangkutan" (Fishbein dan Ajzen 1975,
p.302 dalam Anonim, 2006)
Teori ini dapat diringkas dengan persamaan berikut:
Niat Perilaku = Sikap + norma subyektif
Menurut TRA, sikap seseorang terhadap perilaku ditentukan oleh
keyakinannya pada konsekuensi dari perilaku ini, dikalikan dengan
evaluasi

tentang

konsekuensi

ini.

Keyakinan

didefinisikan

oleh

probabilitas subjektif seseorang yang melakukan perilaku tertentu akan


menghasilkan hasil tertentu. Oleh karena itu model ini menunjukkan
bahwa rangsangan eksternal mempengaruhi sikap dengan memodifikasi
struktur keyakinan seseorang. Selain itu, niat perilaku juga ditentukan oleh
norma-norma subjektif yang sendiri ditentukan oleh keyakinan normatif
individu dan dengan motivasi untuk mematuhi norma-norma.

TRA juga mengklaim bahwa semua faktor-faktor lain yang


mempengaruhi perilaku hanya melakukannya dengan cara yang tidak
langsung dengan mempengaruhi sikap atau norma subjektif. Fishbein dan
Ajzen (1975) menyebut faktor ini sebagai variabel eksternal. Variabelvariabel ini dapat misalnya, karakteristik tugas, antarmuka atau pengguna,
jenis pelaksanaan pembangunan, pengaruh politik, struktur organisasi, dll
(Davis, Bagozzi dan Warshaw, pada 1989). Sebuah meta-analisis tentang
penerapan teori tindakan beralasan menunjukkan bahwa model dapat
menghasilkan prediksi yang baik dari pilihan yang dibuat oleh seorang
individu ketika menghadapi beberapa alternatif (Sheppard, Hartwick, dan
Warshaw, pada 1988 dalam Anonim, 2006).

2. Teori of Planned Behaviour (TPB)


Teori Planned Behavior (TPB) dimulai sebagai Teori Reasoned Action
pada tahun 1980 untuk memprediksi niat individu untuk terlibat dalam
perilaku pada waktu dan tempat tertentu. Teori ini dimaksudkan untuk
menjelaskan semua perilaku di mana orang memiliki kemampuan untuk
mengerahkan pengendalian diri. Komponen kunci untuk model ini adalah niat
perilaku; niat perilaku dipengaruhi oleh sikap tentang kemungkinan bahwa
perilaku akan memiliki hasil yang diharapkan dan evaluasi subjektif dari
risiko dan manfaat dari hasil tersebut (Boston University School of Public
Health, 2013).

TPB telah berhasil digunakan untuk memprediksi dan menjelaskan


berbagai perilaku kesehatan dan niat termasuk merokok, minum, pemanfaatan
pelayanan kesehatan, menyusui, dan penggunaan narkoba, antara lain. TPB
menyatakan bahwa pencapaian perilaku tergantung pada kedua motivasi (niat)
dan kemampuan (kontrol perilaku). Ini membedakan antara tiga jenis
keyakinan - perilaku, normatif, dan kontrol. TPB terdiri dari enam konstruksi
yang secara kolektif mewakili kontrol sebenarnya seseorang atas perilaku
tersebut (Boston University School of Public Health, 2013). Enam kontruksi
tersebut yaitu:
1. Sikap, ini mengacu pada sejauh mana seseorang memiliki evaluasi
menguntungkan atau tidak menguntungkan dari perilaku. Ini
memerlukan pertimbangan hasil dari melakukan perilaku.
2. Niat perilaku, ini mengacu pada faktor-faktor motivasi yang
mempengaruhi perilaku tertentu di mana kuat niat untuk melakukan
perilaku, semakin besar kemungkinan perilaku akan dilakukan.
3. Norma subyektif, ini mengacu pada keyakinan tentang apakah
kebanyakan orang menyetujui atau menolak perilaku. Hal ini terkait
dengan keyakinan seseorang tentang apakah rekan-rekan dan orangorang yang penting bagi orang tersebut berpikir dia harus terlibat
dalam perilaku.
4. Norma-norma sosial, ini mengacu pada kode adat perilaku dalam suatu
kelompok atau orang atau konteks budaya yang lebih besar. Normanorma sosial dianggap normatif, atau standar, dalam kelompok orang.
5. Dirasakan kekuatan, ini mengacu pada adanya dirasakan dari faktorfaktor yang dapat memfasilitasi atau menghambat kinerja perilaku.
Dirasakan kekuatan memberikan kontribusi untuk dirasakan kontrol
perilaku seseorang lebih masing-masing faktor tersebut.
6. Dirasakan kontrol perilaku, ini mengacu pada persepsi seseorang
tentang kemudahan atau kesulitan melakukan perilaku yang menarik.

Dirasakan kontrol perilaku bervariasi di seluruh situasi dan tindakan,


yang menghasilkan orang yang memiliki berbagai persepsi kontrol
perilaku tergantung pada situasi. Ini gagasan teori ditambahkan
kemudian, dan menciptakan pergeseran dari Theory of Reasoned
Action ke Teori Planned Behavior.

Ada beberapa keterbatasan TPB, yang meliputi berikut ini (Boston


University School of Public Health, 2013):
1. Ini mengasumsikan orang telah memperoleh kesempatan dan sumber
daya untuk menjadi sukses dalam melakukan perilaku yang
diinginkan, terlepas dari niat.
2. Ini tidak memperhitungkan variabel lain yang menjadi faktor niat
perilaku dan motivasi, seperti rasa takut, ancaman, suasana hati, atau
pengalaman masa lalu.
3. Sementara itu mempertimbangkan pengaruh normatif, masih tidak
memperhitungkan faktor lingkungan atau ekonomi akun yang dapat
mempengaruhi niat seseorang untuk melakukan suatu perilaku.

4. Ini mengasumsikan bahwa perilaku merupakan hasil dari proses


pengambilan keputusan linear, dan tidak menganggap bahwa hal itu
dapat berubah dari waktu ke waktu.
5. Sementara tambahan gagasan dirasakan kontrol perilaku adalah
tambahan penting untuk teori, itu tidak mengatakan apa-apa tentang
kontrol sebenarnya atas perilaku.
6. Kerangka waktu antara "niat" dan "tindakan perilaku" tidak ditangani
oleh teori.
TPB telah menunjukkan kegunaan lebih dalam kesehatan
masyarakat dari Model Kepercayaan Kesehatan, tetapi masih membatasi
ketidakmampuan untuk mempertimbangkan pengaruh lingkungan dan
ekonomi.

Selama

beberapa

tahun

terakhir,

para

peneliti

telah

menggunakan beberapa konstruksi dari TPB dan menambahkan komponen


lain dari teori perilaku untuk membuat model yang lebih terintegrasi. Ini
telah dalam menanggapi beberapa keterbatasan TPB dalam mengatasi
masalah kesehatan masyarakat.
B. Pengertian Remaja
Menurut Depkes tahun 2005, masa remaja merupakan suatu proses
tumbuh kembang yang berkesinambungan, yang merupakan masa peralihan
dari kanak-kanak ke dewasa muda (Amelia, 2010).
Masa remaja merupakan suatu periode transisi antara ma sa kanakkanak dan masa dewasa, merupakan waktu kematangan fisik, kognitif, sosial
dan emosional yang cepat pada anak laki- laki untuk mempersiapkan diri
menjadi laki- laki dewasa dan anak perempuan untuk mempersiapkan diri
menjadi wanita dewasa. Batasan yang tegas pada remaja sulit ditetapkan,
tetapi periode ini biasanya digambarkan pertama kali dengan penampakan
karakteristik seks sekunder pada sekitar usia 11 sampai 12 tahun dan berakhir

dengan berhentinya pertumbuhan tubuh pada usia 18 sampai 20 tahun (Wong


dkk, 2009 dalam Dewi, 2013).
Menurut Monks (1998) dalam Dewi (2013) membagi perkembangan
remaja menjadi 3 tahap, yaitu :
1. Tahap Remaja Awal
Usia 12 15 tahun sebagai tahap remaja awal. Remaja yang berada pada tahap
ini masih menyesuaikan diri terhadap perubahan yang terjadi. Kepekaan yang
berlebihan dan kurangnya pengendalian ego menyebabkan ia sulit mengerti
dan dimengerti oleh orang dewasa.
2. Tahap Remaja Madya
Usia remaja madya berkisar antara 15-18 tahun. Pada tahap ini remaja senang
bila memiliki banyak teman dan berada dalam kelompoknya terdapat
kecenderungan

memiliki

kesamaan

sifat

dan

penampilan

dan

kelompoknya.karena itu tidak heran kalau remaja sering mengikuti kegiatan


yang sedang trend agar tidak dikatakan ketinggalan jaman.
3. Tahap Remaja Akhir
Menetapkan usia remaja akhir 18-21 tahun. Pada tahap ini remaja mulai
menuju masa dewasa dan memiliki minat yang semakin dalam
fungsi intelektual.
C. Pengertian Perilaku Seks Pranikah
Perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat
seksual, baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis. Bentuk-bentuk tingkah
laku ini bisa bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah
laku berkencan, bercumbu dan bersenggama. Objek seksualnya bisa berupa
orang lain, orang dalam hayalan atau diri sendiri (Sarwono, 2008 dalam
Saragih, 2015).
Perilaku seks pranikah adalah hubungan seks yang dilakukan oleh
remaja

sebelum

menikah,

yang

dapat

berakibat

kehilangan

keperawanan/keperjakaan, tertular dan menularkan penyakit Infeksi Menular


Seksual (IMS), Kehamilan yang Tidak Diinginkan (KTD), aborsi atau terpaksa
dikawinkan (Depkes, 2007).

Menurut Masland (2004) dalam Saragih (2015), bentuk tingkah laku


seks bermacam-macam mulai dari perasaan tertarik, pacaran, kissing,
kemudian sampai intercourse. Tahap perilaku seks ini meliputi :
a. Kissing
Ciuman yang dilakukan untuk menimbulkan rangsangan seksual,
seperti dibibir disertai dengan rabaan pada bagian-bagian sensitif yang
dapat menimbulkan rangsangan seksual. Berciuman dengan bibir
tertutup merupakan ciuman yang umum dilakukan. Berciuman dengan
mulut dan bibir terbuka.
b. Necking
Berciuman di sekitar leher bawah. Necking merupakan istilah yang
digunakan untuk menggambarkan ciuman disekitar leher dan pelukan
yang lebih mendalam.
c. Petting
Perilaku menggesek-gesekkan bagian tubuh yang sensitif, seperti
payudara dan organ kelamin. Merupakan langkah yang lebih
mendalam dari necking. Ini termasuk merasakan dan mengusap-usap
tubuh pasangan, dada, buah dada, kaki, dan kadang-kadang daerah
kemaluan, baik dari dalam atau di luar pakaian.
d. Intercourse
Bersatunya dua orang secara seksual yang dilakukan oleh pasangan
pria
D. Psikoanalisis Perilaku Seks Pranikah pada Remaja Berdasarkan
Teori of Planned Behaviour
1. Sikap
Sikap tentang perilaku mencakup semua keyakinan dan
pengetahuan bahwa orang yang memegang sekitar perilaku tertentu
(Ajzen, 1991). Dalam studi seks pranikah, salah satu aspek dari sikap
yang baik diteliti adalah tentang sikap permisif seks pranikah. Di AS,
tahun 1960 menandai periode peningkatan pandangan liberal tentang
seks pranikah. Pada tahun 1969, sekitar 75% orang Amerika melihat
PMS sebagai sesuatu yang salah sedangkan pada tahun 1980 hanya 3337% setuju bahwa itu adalah salah. Sejak saat itu, pandangan tentang
PMS tetap sama, mendukung sikap yang lebih permisif terhadap seks
pranikah (Harding & Jencks, 2003).

Kebebasan seksual tampaknya dipengaruhi oleh faktor-faktor


sosiologis juga. Hal itu tnggi dri segi gender di beberapa bagian dunia.
Misalnya, matriarchies cenderung memiliki lebih banyak anak
perempuan yang permisif terhadap seks pranikah. Meskipun hal ini
terjadi, tidak ada perbedaan antara perilaku seksual dibandingkan
dengan patriarkis (Roebuck & McGee, 1977). Juga, laki-laki yang
memiliki perilaku lebih berisiko (yaitu minum, merokok, paparan
erotis tinggi) yang lebih liberal dalam pandangan mereka. Ada
perbedaan antara budaya juga, mulai dari pandangan liberal sampai
konservatif. Sebuah survei 1500 mahasiswa di India mengungkapkan
tampilan yang lebih konservatif pada seks pranikah (Ghule, Balaiah, &
Joshi, 2007). Ini juga terjadi di Korea Selatan, Thailand, dan Turki
(Cha, Doswell, Kim, Charron-Prochownik, & Patrick, 2007; SakalliUgurlu & Glick, 2003; Sridawruang, tongkat uskup, & Pfeil, 2010).
Dari ini kita dapat melihat bahwa sikap tentang seks pranikah
sangat bervariasi meskipun dominan sugesti media bahwa orang yang
mengalami terlalu liberal. Ini adalah titik fokus dari penelitian untuk
perbandingan lintas budaya dalam memvalidasi teori perilaku yang
direncanakan dalam memprediksi perilaku seks pranikah. Jika sikap
memiliki variabilitas yang tinggi dalam model TPB, perbedaan dalam
perilaku akan mencerminkan dalam sampel dimana sikap berbeda
misalnya karena pandangan budaya atau agama.
2. Norma Subjektif
Jika sikap berkaitan dengan keyakinan pribadi, norma subjektif
mencerminkan kepercayaan dari orang lain tentang perilaku (Ajzen,
1991). Norma subyektif telah ditunjukkan untuk mempengaruhi niat
untuk memiliki seks yang lebih aman lebih dari sikap atau dirasakan
kontrol perilaku (Armitage & Talibudeen, 2010).
Norma subjektif dan penerimaan pribadi kita tentang sikap
permisif sangat terkait. Orang tua, teman sebaya, dan lembagalembaga lain seperti sekolah dan urusan agama dapat mempengaruhi
dinamika ini. Dalam satu survei itu telah diamati bahwa paparan erotis

dan interaksi teman sebaya memiliki pengaruh yang maksimal pada


sikap permisif terhadap seks pranikah (Ghule, Balaiah, & Joshi, 2007).
Pandangan agama dan perkumpulan juga dapat secara
signifikan mempengaruhi sikap dan kebebasan pada seks pranikah
(Ghule, Balaiah, & Joshi, 2007; Petersen, 1997). Mereka yang
memiliki aturan ketat tentang seks pranikah cenderung memiliki
permisif rendah. Namun, temuan Roebuck & McGee (1977) tidak
melihat perbedaan yang signifikan antara orang dengan agama yang
taat dan tidak taat. Hal ini menunjukkan bahwa pandangan agama
tidak cukup untuk memprediksi sikap atau niat terhadap seks pranikah
dan yang bersama-sama dengan variabel sosial lainnya secara dinamis
mempengaruhi sikap kita.
Di negara-negara dengan posisi yang lebih konservatif seperti
Turki, pandangan seksis pada seks pranikah yang kuat diadakan. Ada
tekanan bagi perempuan untuk tetap perawan sampai mereka menikah
karena pandangan terhadap perempuan yang melakukan seks pranikah.
Secara signifikan, pria juga lebih suka menikahi seorang wanita
perawan (Sakalli-Ugurlu & Glick, 2003). Pandangan ini sama di
negara-negara Asia lainnya seperti Thailand (Sridawruang, tongkat
uskup, & Pfeil, 2010). Seks pranikah tidak dapat diterima untuk gadis
baik Thai dan bahwa mereka akan dinilai oleh warga jika mereka
melakukannya.
3. Dirasakan Adanya Kontrol Perilaku
Dirasakan kontrol perilaku adalah sejauh mana orang percaya
bahwa mereka dapat melakukan (atau kontrol) perilaku tertentu jika
mereka cenderung untuk melakukannya (Ajzen, 2012). Hal ini
berkaitan erat dengan pengendalian diri Albert Bandura dan validasi
bersamaan menunjukkan bahwa konstruksi dapat digunakan secara
bergantian. Bahkan, TPB sangat terinspirasi oleh teori sosial kognitif
Bandura.
Dalam konteks penelitian seks pranikah dan perilaku berisiko,
self-efficacy diarahkan menghindari perilaku dan kontrol atas niat

perilaku. Ada kebutuhan bagi remaja untuk mencapai rasa penguasaan


dan harga diri dalam domain seksual (Rosenthal, Moore, & Flynn,
1991).
Ada relatif sedikit penelitian yang secara khusus mengukur
dirasakan kontrol perilaku pada seks pranikah. Dalam beberapa
temuan, yang dirasakan kontrol perilaku mungkin menjelaskan
mengapa meskipun sikap permisif meningkat dari kelompok tertentu,
masih ada perbedaan dalam ekspresi perilaku (Ghule, Balaiah, & Joshi,
2007; Roebuck & McGee, 1977). Perlu dicatat bahwa minat yang
dirasakan kontrol perilaku sebagai ekstensi untuk teori perilaku
beralasan yang didasarkan pada nilai prediktif rendah sikap seperti
permisif seks pranikah. Ajzen (1991) menyatakan bahwa untuk lebih
memahami pemikiran rasional orang, kita perlu melihat kemampuan
mereka dirasakan untuk mengontrol atau melakukan perilaku tertentu.
Dalam evaluasi TPB dilakukan oleh Cha, Doswell, Kim, CharronProchownik, & Patrick (2007), tidak adanya self-efficacy adalah
prediktor negatif yang signifikan dari niat seks pranikah. Menariknya
dalam beberapa kasus, self-efficacy berfungsi sebagai satu-satunya
prediktor untuk perilaku seks yang lebih aman, rendering sikap dan
norma subjektif yang tidak signifikan (Rosenthal, Moore, & Flynn,
1991).
Sebuah topik yang terkait dalam perilaku seksual dan selfefficacy adalah tentang bagaimana pendidikan seks dapat menunda
seks pranikah. Tidak seperti di dekade sebelumnya, hari ini sudah ada
pendidikan tentang seks. Sebagai contoh, sekitar dua-pertiga dari
mahasiswa India yang disurvei oleh Ghule dkk (2007)

menyukai

memiliki pendidikan seks di sekolah. Sebagian besar negara telah


memiliki ketentuan dalam hukum mereka mengenai pendidikan seks.
Hal ini tidak mengherankan karena remaja yang menerima pendidikan
seks yang komprehensif kurang mungkin untuk hamil dibandingkan
dengan mereka yang tidak menerima pendidikan formal atau mereka

dengan tidak memiliki-hanya pendidikan (Kohler, Manhart, &


Lafferty, 2008). Dalam sebuah survei besar 24.000 siswa Amerika,
siswa lebih memilih untuk menunda pertemuan seks pertama setelah
menghadiri program pendidikan seks (Sulak, Herbelin, Perbaiki, &
Kuehl, 2006). Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan seks dapat
mengubah sikap serta kontrol perilaku yang dirasakan remaja berkaitan
dengan seks pranikah. Perlu dicatat kemudian menjelajahi dasar
kognitif yang dirasakan kontrol perilaku dan melihat pada area untuk
intervensi. Dalam kasus pendidikan seks, hal ini menunjukkan bahwa
belajar dapat mempengaruhi dirasakan kontrol perilaku.
E. Dampak Perilaku Seks Pranikah
Sofiyan (2012) dalam Minarlin (2015), dampak seks pra nikah
terhadap kesehatan fisik dan psikologi, disini di jelaskan ada lima dampak
antara lain:
1. Hilangnya Keperwanan dan Keperjakaan
Indikasi fisik yang paling jelas terjadi pada perempuan yakni sobeknya
selaput darah.
2. Kehamilan
Perilaku seks pra nikah dapat mengakibatkan kehamilan padahal
pasangan tersebut belum terikat perkawinan, biasanya kehamilan yang
tidak diinginkan.
3. Aborsi dengan Segala Risikonya
Jika hubungan intim sudah

berbuah

kehamilan

maka

biasanyapasangan tersebut akan melakukan pengguguran kandungan


(aborsi). Mereka menganggap aborsi adalah jalan terbaik untuk
menutupi aib dan rasa malu terhadap masyrakat sekitar, mereka juga
belum siap untuk hidup berumah tangga, risiko dari aborsi antara lain
yaitu pendarahan, infeksi, kemandulan, bahkan kematian.
4. Penularan Penyakit Kelamin
Penyakit kelamin ditularkan melalui hubungan seksual,resiko tertular
penyakit kelamin semakin besar ketika sering melakukan hubungan
seksual secara berganti ganti pasangan. Beberapa penyakit kelamin
yang dapat tersebar melalui hubungan seks pra nikah antar lain:

a) Gonore adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri neisseria


gonorrheae, dengan masa inkubasi (masa tunas ) 2 10 hari
sesudah masuk ketubuh melalui hubungan seks.
b) Sifilis adalah penyakit yang disebabkan oleh treponema pallidum,
dengan masa inkubasi 2 6 minggu, kadang kadang sampai tiga
bulan sesudah kuman masuk ke dalam tubuh melalui hubungan
seks.
c) Human

Immunodeficiency Virus

(HIV)

yaitu

virus

yang

melemahkan sistem ketebalan tubuh . sedangkan Acquired Immune


Deficiency Syndrome (AIDS) yang berarti kumpulan gejalah
penyakit akibat menurunnya kekebalan tubuh yang sifatnya
diperoleh (bukan bawaan) (Kusmiran,2012).
5. Infeksi Saluran Reproduksi
Remaja perempuan yang sudah aktif secara seksual dibawah usia 20
tahun serta berganti ganti pasangan cenderung mudah terkena kanker
mulut rahim.
6. Perasaan Malu Bersalah Berdosa dan Tidak Berharga
Mereka yang sudah terjerumus pada perilaku seks pra nikah biasanya
selalu dirundung bersalah. Perasaan malu dan bersalah semakin
muncul ketika dirinya atau pasangannya diketahui hamil padahal
secara resmi belum menjadi suami istri.
Sedangkan menurut PILAR PKBI, 2010 (Pusat informasi dan
layanan remaja, dan perkumpulan keluarga berencana indonesia) dalam
Minarlin (2015) menjelaskan dampak dari seks pranikah terjadi secara
psikologis dan sosial dan penyesalan berkepanjangan antra lain:
1. Tertekan dan muncul perasaan bersalah karena pelanggaran moral,
yang juga berakibat pada saat setelah menikah.
2. Rasa takut akan adanya sanksi hukum jika hubungan tersebut di
ketahui masyarakat.
3. Adanya kecenderungan

perilaku

seksual

sebelum

menikah

akanmengarah pada perselingkuhan dan hubungan seks ekstra marital.


4. Kehamilan sehingga harus menikah dengan terpaksa.
5. Rasa takut karena hilang keperawanan yang mungkin berpengaruh
pada pernikahannya nanti.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perilaku seks pranikah adalah hubungan seks yang dilakukan oleh remaja
sebelum menikah, yang dapat berakibat kehilangan keperawanan/keperjakaan,
tertular dan menularkan penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS), Kehamilan
yang Tidak Diinginkan (KTD), aborsi atau terpaksa dikawinkan. Berdasarkan
teori of Planned Behaviour kita dapat mengetahui bahwa tiga faktor penting
yang berkontribusi dalam perilaku seks pranikah yaitu sikap (sikap permisif
atau kebebsan terhadap seks pranikah), norma subjektif (orang tua, teman,
lembaga-lembaga, pengaruh agama dan perkumpulan) dan dirasakannya
kontrol (Self-efficacy dan pendidikan seks di sekolah).

B. Saran
-

DAFTAR PUSTAKA
Ajzen, I. (1991). The theory of planned behavior. Organizational Behavior and
Human
Decision
Processes, 50(2),
179211.
doi:10.1016/07495978(91)90020-T
Ajzen, I. (2012). The theory of planned behavior. In P. A. M. V. Lange, A. W.
Kruglanski, & E. T. Higgins (Eds.), Handbook of theories of social
psychology. Los Angeles: SAGE.
Anonim.
2006.
Theory
of
Resoned
Action.
http://edutechwiki.unige.ch/en/Theory_of_reasoned_action. Diakses Tanggal
23 November 2015
Armitage, C. J., & Talibudeen, L. (2010). Test of a brief theory of planned
behaviour-based intervention to promote adolescent safe sex
intentions. British Journal of Psychology, 101(1), 155172.

BKKBN,
2014.
Remaja
Pelaku
Seks
Bebas
Meningkat.
http://www.bkkbn.go.id/ViewBerita.aspx?BeritaID=1761. Diakses tanggal 23
November 2015.
BKKBN. 2013. Remaja dan Permasalahannya Jadi Perhatian Dunia.
http://www.bkkbn.go.id/ViewBerita.aspx?BeritaID=840. Diakses tanggal 23
November 2015
Boston University School of Public Health. 2013. Behavioral Change Models.
http://sphweb.bumc.bu.edu/otlt/MPH-Modules/SB/SB721-Models/SB721Models3.html. Diakses Tanggal 23 November 2013
BPS., BkkbN., Kemenkes., 2013. Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia
2012. Jakarta. http://www.bkkbn.go.id/litbang/pusdu. Diakses Tanggal 23
November 2015
Cha, E. S., Doswell, W. M., Kim, K. H., Charron-Prochownik, D., & Patrick, T. E.
(2007). Evaluating the Theory of Planned Behavior to explain intention to
engage in premarital sex amongst Korean college students: A questionnaire
survey. International Journal of Nursing Studies,44(7), 11471157.
doi:10.1016/j.ijnurstu.2006.04.015
Depkes RI. 2007. Modul Pelatihan Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR).
Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat: Depkes RI: Jakarta.
Dewi. E.S. (2013). Hubungan antara persepsi tentang seks dan perilaku seksual
remaja di SMA Negeri 3 Medan. Skripsi Universitas Sumatera Utara
Ghule, M., Balaiah, D., & Joshi, B. (2007). Attitude Towards Premarital Sex
among Rural College Youth in Maharashtra, India. Sexuality &
Culture, 11(4), 117. doi:10.1007/s12119-007-9006-6
Harding, D. J., & Jencks, C. (2003). Changing attitudes toward premarital
sex. Public Opinion Quarterly, 67(2), 211226. doi:Article
Kohler, P. K., Manhart, L. E., & Lafferty, W. E. (2008). Abstinence-only and
comprehensive sex education and the initiation of sexual activity and teen
pregnancy. The Journal of adolescent health: official publication of the Society
for
Adolescent
Medicine, 42(4),
344351.
doi:10.1016/j.jadohealth.2007.08.026
Minarlin. 2015. Hubungan Komunikasi Orangtua dan Anak Serta Kontrol Diri
Siswa dengan Perilaku Seks Pranikah di SMA Prayatna Medan. Skripsi
Universitas Sumatera Utara

Roebuck, J., & McGee, M. G. (1977). Attitudes toward Premarital Sex and Sexual
Behavior Among Black High School Girls. Journal of Sex Research, 13(2),
104. doi:Article
Rosenthal, D., Moore, S., & Flynn, I. (1991). Adolescent self-efficacy, self-esteem
and sexual risk-taking. Journal of Community & Applied Social
Psychology, 1(2), 7788. doi:10.1002/casp.2450010203
Sakalli-Uurlu, N., & Glick, P. (2003). Ambivalent Sexism and Attitudes Toward
Women Who Engage in Premarital Sex in Turkey. Journal of Sex
Research, 40(3), 296302. doi:Article
Saragih, DO. 2015. Faktor- faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Seks
Pranikah Remaja di SMA Negeri 5 Pematangsiantar Tahun 2015 . Skripsi
Universitas Sumatera Utara
Sridawruang, C., Crozier, K., & Pfeil, M. (2010). Attitudes of adolescents and
parents towards premarital sex in rural Thailand: A qualitative
exploration. Sexual
&
Reproductive
Healthcare, 1(4),
181187.
doi:10.1016/j.srhc.2010.06.003
Sulak, P. J., Herbelin, S. J., Fix, D. D. A., & Kuehl, T. J. (2006). Impact of an
adolescent sex education program that was implemented by an academic
medical center. American Journal of Obstetrics and Gynecology, 195(1), 78
84. doi:10.1016/j.ajog.2005.12.011

Anda mungkin juga menyukai