Anda di halaman 1dari 4

Nama : Muhammad Ridha Naufal

NIM : 52192153

Fakultas : KIP Pend. Biologi

Tugas Mereview Buku Soekarno Indonesia Menggugat

Di bulan April 1955, saat membuka Konferensi Asia-Afrika, Bung Karno


sempat berkisah tentang seseorang yang mengendarai kuda tengah malam. Lelaki
pemberani itu, Paul Renes England, “tepat 118 tahun yang lalu” melalui distrik New
England untuk memberitahukan tentang kedatangan pasukan-pasukan Inggris. Yang
terjadi setelah itu: “Perang Kemerdekaan Amerika, perang anti-kolonial yang untuk
pertama kali dalam sejarah mencapai kemenangan.”

Ada kutipan puisi Longfellow yang dibacakan Bung Karno untuk kisah ini:

a cry of defiance and not of fear

a voice of darkness

a knock at the door

and a word that shall echo for evermore…

10 tahun setelah proklamasi, cerita itu bagus buat mengenang perjuangan—


kemerdekaan yang telah lama diteriakkan di zaman kolonial Hindia-Belanda. Tapi
sebelum merdeka ramalan tentang tentang Indonesia tidak melulu optimisme berapi-
api.
Dalam buku cetak Indonesia Menggugat halaman 28 kita bisa mengetahui
ramalan sejarah—dan memahami mengapa pertanyaan di awal karangan ini mungkin
ada jawabnya, mungkin penting dijawab. Sebab, seperti kita baca, pada Desember
1929 Bung Karno meramal akan adanya Perang Pasifik. Ramalan itu menentang
ilusi-ilusi pemimpin Indonesia saat itu yang menganggap Jepang akan jadi hero:
“suatu barang bohong, suatu barang justa, suatu impian kosong, bagi nasionalis-
nasionalis kolot, yang mengira Jepang lah yang akan membentak imperialisme Barat
dengan dengungan suara: “Berhenti!” Bukan membentak berhenti, tetapi dia
sendirilah yang akan menjadi belorong imperialisme yang angkara murka. Dia
sendirilah yang ikut menjadi hantu yang mengancam keselamatan negeri Tiongkok.”

Memang ramalan itu terbukti. Bertahun-tahun kemudian Jepang, “belorong


imperialisme” yang disebut Bung Karno itu, melakukan “perang tanding di dalam
perang Pasifik”, bertempur “maha hebat dengan belorong-belorong Amerika Serikat
dan Inggris”.

Tapi sebenarnya tak hanya itu.

Pada tahun 1931, Bung Karno meramal pula tentang kekayaan tambang
Indonesia yang akan musnah dirampok pengusaha-pengusaha tambang swasta,
“mijnberdrijven partikelir”. Kekayaan itu “musnah”—selalu ada penekanan dalam
kata “musnah” di sana, di mana Bung Karno mengatakannnya berulang-ulang—dan
“masuk ke dalam kantong beberapa pemegang andil belaka”. Orang-orang Indonesia
hanya dimanfaatkan oleh kaum modal partikelir. Sebab, ada pandangan bahwa tenaga
produksi dan rendahnya tingkat pergaulan bangsa Indonesia hanya cakap buat
menjadikannya buruh-buruh.

Barangkali yang menarik bagi kita di zaman ini adalah pertanyaan Bung
Karno setelah itu, “Siapakah nanti yang bisa mengembalikan lagi kekayaan-kekayaan
tambang itu?” Bung Karno terasa pesimis: dua kali kita membaca kalimat berturut-
turut yang mirip-mirip untuk penegasan bahwa “musnahlah kekayaan itu buat
selama-lamanya”. Dan terasa pula dalam kalimatnya itu suatu tantangan bagi kita
yang masih hidup dalam sejarah dan masih membacanya dengan tekun: apakah kita?
Kekhawatirannya itu kini tak selesai. Kata-kata “buat selama-lamanya”
rasanya kekal. Dan orang-orang Indonesia yang disebut banyak menjadi buruh itu,
seperti di Mesuji, setelah bertahun-tahun lamanya agaknya lelah. Tapi bukan hanya
buruh di Mesuji, melainkan rakyat, semua yang terbiasa tertindas, kini waswas—dan
mencoba berontak.

Di Indonesia pandangan analitis diperkenalkan Profesor Wertheim dalam


Elite Perception and The Masses dengan konsep “sosiologi ketidaktahuan” (sociology
of ignorance). Pengabaian elit atas buruh sebagai massa rakyat bisa jadi berawal dari
“ketidakingintahuan” elit dan karakterisasi dari dua kelompok yang hidup terpisah.
Contoh ekstrim diambil Wertheim dari buku Deep South yang terbit pada tahun 1941:
para penduduk urban berkulit putih “Old City” melakukan karakterisasi, yang pada
akhirnya nanti disebut “represi terhadap suatu realitas sosial”, tentang massa sebagai
no count lot atau “tidak perlu dihitung”. Ia juga mencoba mengutip Brecht dalam
Opera Pengemis:

beberapa orang ada di dalam kegelapan

sementara beberapa lainnya di tempat yang terang

orang tentu melihat mereka yang ada di tempat terang

sedangkan mereka yang di kegelapan tetap tak terlihat

Orang di tempat yang terang, para elit, tak bisa atau tak mau melihat mereka
yang ada di kegelapan. Akibat dari sosiologi ketidaktahuan itu adalah terlantarnya
para buruh, sementara para elit sibuk memikirkan perut sendiri. Barangkali kita bisa
merunutnya dari cara-cara Orde Baru. Wilbert Moore dan Melvin Tumin dalam Some
Social Functions of Ignorance menyebutkan, sebagaimana dikutip Wertheim, ada
ketidaktahuan yang disengaja dan diciptakan untuk fungsi positif: mempertahankan
suatu masyarakat yang stabil dengan cara “perahasiaan” atau “monopoli
pengetahuan”.
Saya teringat pemberontakan buruh tenun di Provinsi Silesia, di Prusia tahun
1844. Waktu itu buruh-buruh Eropa gelisah, salah satunya disebabkan penemuan
teknologi baru di bidang tekstil yang membuat pekerja tradisional terancam
menganggur. Para buruh di daerah pegunungan itu mengobrak-abrik pabrik, merusak
peralatan, menyerang rumah para pemilik. Segera Raja Frederick Wilhelm IV
memerintahkan tentara menindak. Dua belas pekerja tewas tertembak.

Marx pada Agustus tahun yang sama menulis sebuah artikel di Vörwarts
mengomentari tragedi Siselia. Menurutnya Negara, sebagaimana yang diyakini Hegel
merupakan pengejawantahan rasionalitas dan kebebasan, tak mampu menjadi
pengayom yang rasional dan menjaga kebebasan. Emansipasi politik ternyata tak
cukup. Apa yang dilihat Marx adalah sebuah pertentangan antara kebebasan dan
keadilan untuk semua orang—suatu posisi filsafat Hegel yang dominan di Prusia
masa itu—melawan kebutuhan ekonomi yang mementingkan diri sendiri.

Di Mesuji dengan pedih kita seperti menyaksikan kembali dunia yang, tulis
Marx, ”terpecah belah berhadapan dengan sebuah filsafat total”.

Note : Jujur ketika saya mengerjakan tugas ini sedikit bingung, karena mulai dari
mana saya akan mereviewnya dan juga menurut saya buku ini memiliki terlalu
banyak halaman. Sehingga kesannya membosankan ketika dibaca dan juga saya tipe
orang yang tidak suka membaca sejarah atau politik. Meskipun saya memiliki hobi
membaca tapi saya tidak membacanya hingga selesai dikarenakan jumlah halaman
yang banyak. Selain itu topik yang dibahas bukan topik saya sukai sehingga saya
kurang berminat untuk membacanya. Hanya buku tertentu saja yang saya suka baca,
dan jika ada buku yang memiliki cover atau judul menarik biasanya saya sangat
tertarik untuk membeli dan membacanya hingga selesai. Dan satu lagi ketika
menyelesaikan tugas ini, jujur saya mencoba untuk browsing di internet terkait
pendapat orang lain terhadap buku ini, sehingga mempermudah dan sedikit
membantu saya menyelesaikannya.

Anda mungkin juga menyukai