NIM : 52192153
Ada kutipan puisi Longfellow yang dibacakan Bung Karno untuk kisah ini:
a voice of darkness
Pada tahun 1931, Bung Karno meramal pula tentang kekayaan tambang
Indonesia yang akan musnah dirampok pengusaha-pengusaha tambang swasta,
“mijnberdrijven partikelir”. Kekayaan itu “musnah”—selalu ada penekanan dalam
kata “musnah” di sana, di mana Bung Karno mengatakannnya berulang-ulang—dan
“masuk ke dalam kantong beberapa pemegang andil belaka”. Orang-orang Indonesia
hanya dimanfaatkan oleh kaum modal partikelir. Sebab, ada pandangan bahwa tenaga
produksi dan rendahnya tingkat pergaulan bangsa Indonesia hanya cakap buat
menjadikannya buruh-buruh.
Barangkali yang menarik bagi kita di zaman ini adalah pertanyaan Bung
Karno setelah itu, “Siapakah nanti yang bisa mengembalikan lagi kekayaan-kekayaan
tambang itu?” Bung Karno terasa pesimis: dua kali kita membaca kalimat berturut-
turut yang mirip-mirip untuk penegasan bahwa “musnahlah kekayaan itu buat
selama-lamanya”. Dan terasa pula dalam kalimatnya itu suatu tantangan bagi kita
yang masih hidup dalam sejarah dan masih membacanya dengan tekun: apakah kita?
Kekhawatirannya itu kini tak selesai. Kata-kata “buat selama-lamanya”
rasanya kekal. Dan orang-orang Indonesia yang disebut banyak menjadi buruh itu,
seperti di Mesuji, setelah bertahun-tahun lamanya agaknya lelah. Tapi bukan hanya
buruh di Mesuji, melainkan rakyat, semua yang terbiasa tertindas, kini waswas—dan
mencoba berontak.
Orang di tempat yang terang, para elit, tak bisa atau tak mau melihat mereka
yang ada di kegelapan. Akibat dari sosiologi ketidaktahuan itu adalah terlantarnya
para buruh, sementara para elit sibuk memikirkan perut sendiri. Barangkali kita bisa
merunutnya dari cara-cara Orde Baru. Wilbert Moore dan Melvin Tumin dalam Some
Social Functions of Ignorance menyebutkan, sebagaimana dikutip Wertheim, ada
ketidaktahuan yang disengaja dan diciptakan untuk fungsi positif: mempertahankan
suatu masyarakat yang stabil dengan cara “perahasiaan” atau “monopoli
pengetahuan”.
Saya teringat pemberontakan buruh tenun di Provinsi Silesia, di Prusia tahun
1844. Waktu itu buruh-buruh Eropa gelisah, salah satunya disebabkan penemuan
teknologi baru di bidang tekstil yang membuat pekerja tradisional terancam
menganggur. Para buruh di daerah pegunungan itu mengobrak-abrik pabrik, merusak
peralatan, menyerang rumah para pemilik. Segera Raja Frederick Wilhelm IV
memerintahkan tentara menindak. Dua belas pekerja tewas tertembak.
Marx pada Agustus tahun yang sama menulis sebuah artikel di Vörwarts
mengomentari tragedi Siselia. Menurutnya Negara, sebagaimana yang diyakini Hegel
merupakan pengejawantahan rasionalitas dan kebebasan, tak mampu menjadi
pengayom yang rasional dan menjaga kebebasan. Emansipasi politik ternyata tak
cukup. Apa yang dilihat Marx adalah sebuah pertentangan antara kebebasan dan
keadilan untuk semua orang—suatu posisi filsafat Hegel yang dominan di Prusia
masa itu—melawan kebutuhan ekonomi yang mementingkan diri sendiri.
Di Mesuji dengan pedih kita seperti menyaksikan kembali dunia yang, tulis
Marx, ”terpecah belah berhadapan dengan sebuah filsafat total”.
Note : Jujur ketika saya mengerjakan tugas ini sedikit bingung, karena mulai dari
mana saya akan mereviewnya dan juga menurut saya buku ini memiliki terlalu
banyak halaman. Sehingga kesannya membosankan ketika dibaca dan juga saya tipe
orang yang tidak suka membaca sejarah atau politik. Meskipun saya memiliki hobi
membaca tapi saya tidak membacanya hingga selesai dikarenakan jumlah halaman
yang banyak. Selain itu topik yang dibahas bukan topik saya sukai sehingga saya
kurang berminat untuk membacanya. Hanya buku tertentu saja yang saya suka baca,
dan jika ada buku yang memiliki cover atau judul menarik biasanya saya sangat
tertarik untuk membeli dan membacanya hingga selesai. Dan satu lagi ketika
menyelesaikan tugas ini, jujur saya mencoba untuk browsing di internet terkait
pendapat orang lain terhadap buku ini, sehingga mempermudah dan sedikit
membantu saya menyelesaikannya.