Anda di halaman 1dari 15

Translate Jurnal

Manajemen Medis Pada Blefaritis

DiajukanSebagai Salah Satu TugasDalamMenjalaniKepaniteraanKlinik Senior pada


Bagian/SMF IlmuKesehatan Mata FakultasKedokteranUniversitasSyiah Kuala
RumahSakitUmum Daerah Zainal Abidin/RSUDZA Banda Aceh

Disusun oleh :

VerdyPrananda
Devi Safrina
Lia Utari
FerlijanAbdima

Pembimbing :
dr. Sri Marlina, M.Ked (Oph), Sp.M

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RSUD DR. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH

2021
MANAJEMEN MEDIS PADA BLEFARITIS
Katherine Duncan and Bennie H. Jeng

Tujuan Peninjauan
Blefaritis adalah salah satu patologi mata yang paling umum dijumpai dalam masalah
klinis. Meskipun prevalensinya begitu umum, namun pengobatan yang berhasil masih
sulit ditemukan. Tujuan dari tinjauan ini adalah untuk memberikan pembaruan
tentang manajement dari blefaritis.

Temuan Terbaru
Pilihan pengobatan yang tersedia untuk blefaritis telah berkembang pesat dalam
beberapa tahun terkahir. Kebersihan kelopak mata menjadi dasar dari berbagai
pengobatan, namun penambahan antibiotik topikal, oral steroid, dan inhibitor
kalsineurin menunjukkan hasil yang menjanjikan. Pertimbangan diet dan intervensi
prosedur juga dapat berperan dalam manajemen blefaritis di kemudian hari.

Ringkasan
Meskipun terapi kuratif untuk blefaritis tidak mungkin dilakukan dalam waktu dekat,
beberapa pilihan pengobatan baru dapat mengontrol kondisi kronis ini dengan lebih
baik.

Kata Kunci
Blefaritis anterior, disfungsi kelenjar meibom, blefaritis posterior.
PENGANTAR
Blefaritis adalah peradangan kronis kelopak mata dan biasanya diklasifikasikan
menjadi blefaritis anterior dan blefaritis posterior. Penyakit ini merupakan salah satu
penyakit mata yang umum terjadi yaitu sebanyak 47% pasien ditemukan dalam
masalah klinis. Meskipun biasanya ringan dan jinak, namun dapat menyebabkan
kasus yang parah seperti kelainan bentuk kelopak mata yang permanen dan
kehilangan penglihatan akibat keratopathy. Disamping angka kejadiannya yang
umum, pengobatan masih sulit dan belum ada jenis terapi yang berhasil secara
seragam, sehingga blefaritis yang merupakan kondisi kronik dapat menjadi
eksaserbasi dan remisi pada kebanyakan pasien.

ETIOLOGI
Etiologi dan patofisiologi blefaritis sangat kompleks dan masih kurang
dipahami. Kemungkinan multifaktorial tetapi telah dikaitkan dengan penyakit infeksi
menular, penyakit sistemik, dan faktor lingkungan. Berbagai jenis blefaritis
(tercantum di bawah) memiliki etiologi yang berbeda.

Blefaritis Anterior
Blefaritis anterior menggambarkan peradangan pada kulit kelopak mata dan
folikel bulu mata dan dapat disertai debris epitel skuamosa. Blefaritis anterior secara
klasik disebabkan oleh infeksi Staphylococcus dan dermatitis seboroik. Kultur
kelopak mata dari pasien blefaritis secara signifikan lebih banyak tumbuh kuman
Staphylococcus aureus dibandingkan dengan kontrol, sedangkan tingkat
Staphylococcus epidermidis serupa pada kedua populasi. Meskipun ada perbedaan,
kurang dari setengah jumlah total pasien positif terdiagnosis dengan blefaritis
stafilokokus. Mekanisme yang tepat dari blefaritis stafilokokus belum ditentukan dan
kemungkinan ada faktor lain berkontribusi yang belum teridentifikasi. Sekitar 95%
pasien dengan dermatitis seboroik juga terdiagnosis dengan blefaritis seboroik.
Blefaritis seboroik sering terjadi karena disfungsi kelenjar meibom di selain blefaritis
anterior.
Blefaritis Posterior
Blefaritis posterior menggaambarkan peradangan pada kelenjar meibom dan
salurannya atau dapat juga di sebabkan oleh disfungsi kelenjar meibom (MGD).
MGD dan blefaritis posterior sering salah digunakan. MGD mengacu pada kelainan
difus dari kelenjar meibom yang mengakibatkan obstruksi saluran, perubahan
robekan film dan uap mata kering. MGD adalah salah satu penyebab dari blefaritis
posterior selain itu juga termasuk konjungtivitis infeksi atau konjungtivitis alergi, dan
rosacea. Prevalensi rosacea di antara pasien blefaritis setinggi 44%.

Marginal Blefaritis
Marjinal blefaritis adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kedu a
penyakit tersebut bersamaan antara blefaritis anterior dan posterior. Karena sering
terjadi tumpang tindih yang signifikan antara blefaritis anterior dan posterior, banyak
etiologi blefaritis yang tidak spesifik hanya untuk satu jenis blefaritis. Tungau
demodex adalah parasit intrakutan yang menghambat folikel rambut dan kelenjar
sebaceous. Kumpulan demodex telah dikaitkan dengan blefaritis anterior maupun
posterior. Phthirus pubis (kutu kepiting) adalah infeksi parasit lain yang kurang
umum pada kelopak mata yang juga dikaitkan dengan blefaritis. Pasien yang
menggunakan Isotretinoin, obat yang biasa digunakan untuk mengobati akne vulgaris
yang parah, juga telah terbukti menderita blefaritis dengan angka tinggi.

DIAGNOSIS

Penampilan klinis
Diagnosis blefaritis hampir selalu berdasarkan dari riwayat dan pemeriksaan
klinis. Blefaritis anterior paling sering ditemukan dengan kelopak mata berminyak,
bulu mata kusut, debris, eritema, edema pada batas kelopak mata, poliosis, dan bulu
mata rontok dan salah arah. Pada kasus yang lebih parah, dapat terjadi ulserasi
kelopak mata dan jaringan parut. Pada Blefaritis posterior biasanya bermanifestasi
sebagai penyempitan atau penyumbatan saluran meibom, air mata berbusa, ekskresi
meibom berkurang dan menebal, serta penebalan dari tepi kelopak mata (Gambar 1).
Rosacea sering ditandai dengan telangiektasis pembuluh darah di tepi kelopak mata
dan eritema, serta papula dan pustula pada kulit wajah (Gambar 2). Ketombe
berbentuk silinder sering terlihat pada blefaritis akbat demodex. Tungau pada bulu
mata yang dicukur dapat dilihat di bawah mikroskop. Phthirus pubis dapat di
identifikasi pada pemeriksaan yang cermat berupa kutu dan telur kutu tranparan yang
menempel pada bulu mata (Gambar 3).
Diagnosis lain harus dipertimbangkan pada pasien dengan pemeriksaan klinis
yang menunjukkan blefaritis yang tidak respon terhadap terapi. Karsinoma pada
kelopak mata dan lupus eritematosus discoid dapat muncul secara klinis mirip dengan
blefaritis dalam beberapa kasus. Crohn’s disease ini juga dapat muncul seperti
blefaritis ulserativa.

GAMBAR 1. Foto berwarna yang menunjukkan penyumbatan kelenjar meibom (a) dan
sekresi meibom yang menebal (b), karakteristik blefaritis posterior. (Direproduksi atas izin
Todd P. Margolis, MD, PhD.)
GAMBAR 2. Foto berwarna yang menunjukkan telangiektasis di tepi kelopak mata sugestif
rosacea. (Direproduksi oleh atas kebaikan Todd P. Margolis, MD, PhD.)

GAMBAR 3. Foto berwarna yang menunjukkan satu kutu di batas tepi tengah (a) dan banyak
telur kutu bening yang menempel kebulu mata (b)

Pemeriksaan penunjang
Tidak ada tes diagnostik yang digunakan secara rutin untuk blefaritis, karena
kebanyakan diagnosis dibuat berdasarkan dari penampilan klinis. Kultur tepi kelopak
mata bias dipertimbangkan pada kasus blefaritis yang berat dan sulit disembuhkan.
Mikroskopi confocal adalah sebuah teknik non-invasif yang sedang berkembang yang
digunakan untuk mengevaluasi penyakit mata pada tingkat seluler. Dalam studi
terbaru, teknik ini benar telah berhasil digunakan untuk menilai dan mengikuti
perubahan patologis yang terjadi di tepi kelopak mata pada pasien blefaritis.
Mikroskopi confocal dapat mengidentifikasi sel inflamasi periglandular, yang 10-30
kali lebih tinggi pada pasien blefaritis.

PENGOBATAN
Blefaritis adalah kondisi kronis yang tidak mempunyai penyembuhan yang
adekuat. Terapat kekurangan dukungan bukti yang konsisten dalam literature untuk
salah satu dari sekian banyak terapi yang mengarah pada blefaritis. Pengobatan
mungkin berbeda tergantung jenis blefaritis, namun juga sering terdapat tumpang
tindih dalam presentasi, dan dalam pengobatan.

Kebersihan kelopak mata


Kebersihan kelopak mata telah dianggap sebagaian dalam pengobatan blefaritis
selama bertahun-tahun. Kompres hangat biasanya direkomendasikan sebagai alat
melelehkan lipid meibom untuk meningkatkan sekresi. Olson dan sejenisnya mampu
secara obyektif menunjukkan 80% meningkatkan ketebalan lapisan lipid film air mata
setelah menerapkan kompres hangat kekelopak mata selama 5 menit pada pasien
dengan MGD. Studi objektif telah menentukan regimen kompres yang paling manjur
untuk melibatkan penerapan kompres yaitu dipanaskan sampai 45oC selama minimal
4 menit dengan penggantian kompres setiap 2 menit untuk mencapai suhu yang
disarankan.
Selain kompres hangat, membersihkan kelopak mata secara mekanis seperti
scrub kelopak mata dan massage kelopak mata biasanya direkomendasikan untuk
langkah awal penanganan blefaritis. Scrub kelopak mata mingguan dengan minyak
pohon teh dan scrub kelopak mata setiap hari dengan sampo pohon the telah terbukti
memperbaiki pasien blefaritis akibat Demodex. Sejumlah pilihan pengobatan telah
dilaporkan berhasil untuk Phthiriasi spalpebrarum, termasuk gel pilocarpine 4%dan
ivermectin oral. Selain itu, pengangkatan secara mekanik kutu dan telur kutu dengan
forceps juga menunjukkan keberhasilan serupa tanpa perlu terapi medis. Setelah
meninjau 34 studi tentang penanganan blefaritis kronis, Lindsley et al. menentukan
bahwa kompres hangat dan membersihkan kelopak mata secara mekanis dapat
menghilangkan gejala pada kebanyakan pasien, tapi seperti yang diharapkan, ini tidak
menyembuhkan blefaritis.

Pengobatan farmakologis

Antibiotik
Meskipun patogenesisnya tidak diketahui secara pasti, ketidakseimbangan
bakteri di tepi kelopak mata dianggap berperan dalam perkembangan blefaritis, oleh
karena itu antibiotic telah banyak dievaluasi dan digunakan dalam pengobatannya.
Formulasi topikal antibiotik sudah sering digunakan untuk memberikan terapi lokal
dengan risiko efek samping yang sedikit. Salep bacitracin dan eritromisin paling
sering digunakan. Agen topikal lainnya termasuk asam fusidic, metronidazole, dan
fluoroquinolones telah menunjukkan beberapa kemanjuran dalam pengobatan
blefaritis. Makrolida memiliki keuntungan dalam menunjukkan aktivitas anti-
inflamasi dan antibakteri, menjadikannya pilihan pengobatan yang ideal. Eritromisin
adalah antibiotik makrolida pertama yang ditemukan tetapi karena penggunaan
ekstensif, resistensi mikroba dapat membatasi kemanjurannya. Dari 16 pasien kultur
positif dengan blefaritis anterior, satu studi menemukan bahwa enam dari pasien ini
menunjukkan resistensi antibiotik terhadap eritromisin dan ciprofloxacin.
Azitromisin, makrolida generasi kedua, baru-baru ini mendapatkan
popularitas karena aktivitas spektrumnya yang luas, potensi (hingga empat kali lipat
dari eritromisin), sifat anti-inflamasi, penetrasi jaringan mata yang sangat baik, dan
durasi aktivitasnya yang lama. Kadar azitromisin ditemukan bertahan dalam air mata
dan konjungtiva selama 6 hari setelah pemberian satu tetes azitromisin topikal 1%.
Luchs dkk telah menemukan bahwa pada pasien yang secara acak mendapat
azitromisin 1% topikal dan kompres hangat menunjukkan lebih sedikit penyumbatan
kelenjar meibom, lebih sedikit eritema kelopak mata, peningkatan sekresi kelenjar
meibom, dan pasien melaporkan pengurangan gejala yang lebih besar dibandingkan
dengan mereka yang menggunakan kompres hangat saja. Studi lain mengevaluasi
durasi pengobatan 1 bulan versus 3 hari terhadap topikal azitromisin 1,5% dan
menemukan bahwa pasien yang dirawat selama 1 bulan memiliki edema kelopak
mata / eritema dan MGD yang jauh lebih sedikit ketika dievaluasi selama 3 bulan
pasca perawatan.
Antibiotik oral dengan sifat antimikroba dan antiinflamasi telah dianjurkan
untuk kasus blefaritis refrakter. Tetrasiklin telah digunakan secara luas dalam
pengobatan rosacea karena sifat antiinflamasinya. Pada dosis rendah, tetrasiklin
menghambat proses inflamasi dengan mengurangi pelepasan sitokin pro-inflamasi
dan aktivitas matriks metaloprotein. Pengobatan dengan minocycline oral 100 mg
setiap hari selama 3 bulan telah terbukti secara signifikan menurunkan flora kelopak
mata, terutama S. aureus, pada pasien blefaritis. Yoo dkk menemukan bahwa
doksisiklin 20 mg dua kali sehari, dosis sub-antimikroba, sama efektifnya dengan
doksisiklin 200 mg dua kali sehari untuk mengobati MGD. Ini kemungkinan
merupakan kombinasi dari sifat antimikroba dan anti-inflamasi tetrasiklin yang
membuatnya efektif dalam kasus blefaritis refrakter.
Studi terbaru telah berusaha untuk mengevaluasi peran azitromisin oral
dalam pengobatan blefaritis, mengingat profil farmakokinetik yang ideal dan
kemanjuran dalam bentuk topikal. Dosis tunggal azithromycin oral 1 g
mempertahankan tingkat antimikroba selama 14 hari dalam konjungtiva. Studi awal
azitromisin oral untuk blefaritis posterior menunjukkan perbaikan yang signifikan
pada semua gejala dan temuan pemeriksaan yang dievaluasi, dengan pengecualian
terhadap sensasi benda asing dan pembengkakan kelopak mata. Khasiat azitromisin
oral didukung oleh studi kedua di mana 75% pasien dengan meibomitis yang diobati
dengan 1 g azitromisin oral / minggu melaporkan perbaikan gejala. Meskipun laporan
awal menjanjikan, azitromisin harus digunakan dengan hati-hati dan dibatasi untuk
kasus blefaritis yang refrakter, mengingat peningkatan kecil namun signifikan dari
kematian akibat kardiovaskular, yang telah dikaitkan dengan penggunaannya.
Percobaan acak yang lebih besar diperlukan untuk mengevaluasi lebih lanjut peran
azitromisin dalam pengelolaan blefaritis.

Steroid
Sebagai hasil dari sifat infeksi dan inflamasi dari blefaritis, penggunaan
steroid topikal dapat membantu untuk mengontrol eksaserbasi akut, meskipun
penggunaan jangka panjang dikaitkan dengan risiko peningkatan tekanan intraokular
dan pembentukan katarak. Hosseini dkk melakukan penelitian pada 417 pasien
dengan blepharoconjunctivitis, terhadap pengobatan dengan kombinasi 1%
azitromisin topikal dan 0,1% deksametason topikal, azitromisin topikal saja, atau
deksametason topikal saja. Studi menyimpulkan bahwa terapi kombinasi lebih efektif
daripada azithromycin saja dalam memperbaiki tanda dan gejala blepharoconjunctivi-
tis, dan lebih efektif daripada deksametason saja dalam pemberantasan bakteri. Studi
lain membandingkan suspensi oftalmik loteprednol etabonat 0,5% / tobramisin 0,3%
dengan suspensi oftalmik deksametason 0,1% / tobramisin 0,3% dan menemukan
bahwa obat-obatan tersebut memiliki khasiat yang sebanding, tetapi suspensi oftalmik
dexamethasone 0,1% / tobramycin 0,3% dikaitkan dengan tekanan intraokular dua
kali lebih banyak, peningkatan 5 mmHg atau lebih. Penggunaan steroid untuk
blefaritis harus dibatasi pada penggunaan jangka pendek untuk eksaserbasi akut dan
dengan potensi rendah jika memungkinkan.

Penghambat kalsineurin
Penghambat kalsineurin adalah agen imunomodulator, yang telah digunakan
dalam pengobatan blefaritis karena kemampuannya untuk mengurangi peradangan
tanpa efek samping seperti pada penggunaan steroid topikal. Siklosporin telah
digunakan untuk mengobati berbagai kondisi mata, termasuk penyakit mata kering.
Penelitian pada pasien acak untuk pengobatan dengan siklosporin topikal versus
plasebo ditemukan penurunan signifikan secara statistik pada eritema tepi kelopak
mata, inklusi kelenjar meibom, telangiectasis, dan pewarnaan kornea. Dalam studi
lain, pasien dengan blefaritis posterior yang diacak untuk pengobatan dengan topikal
siklosporin mengalami peningkatan yang lebih besar pada skor Schirmer, waktu henti
air mata, kualitas sekresi kelenjar meibom, dan gejala pasien ketika dibandingkan
dengan tobramycin/deksametason topikal.
Krim pimekrolimus dan salep tacrolimus pada kelopak mata juga telah
dilaporkan efektif dalam pengobatan blefaroconjungtivitis, tetapi 6-12% pasien
mengalami reaktivasi virus herpes simpleks saat menjalani pengobatan.

Suplemen Diet
Suplementasi makanan baru-baru ini muncul sebagai pertimbangan dalam
rencana pengobatan pasien blefaritis. Suplementasi diet dengan asam lemak omega-3
selama 1 tahun telah terbukti memperbaiki gejala dan temuan pemeriksaan objektif
pada pasien dengan MGD dan blefaritis.

Pengobatan Intervensi

Berbagai terapi intervensi baru untuk blefaritis sedang dalam pengembangan.


Maskin dkk. telah mengembangkan metode untuk membuka dan melebarkan lubang
kelenjar meibom yang terhalang secara mekanis menggunakan probe baja tahan karat
kecil. Studi awal melaporkan bahwa semua 25 pasien yang menjalani prosedur ini
mengalami pengurangan gejala dalam waktu 4 minggu.
GAMBAR 4. Algoritma yang diusulkan untuk manajemen medis blefaritis.

Prosedur intervensi lainnya termasuk pulsasi termal dan cahaya berdenyut


intens yang memanfaatkan panas untuk meningkatkan mobilisasi lipid. Pulsasi termal
melibatkan alat yang mengalirkan panas selama 12 menit dan tekanan pulsatil ke
kelenjar meibom dalam upaya untuk mengurangi penyumbatan. Terapi cahaya
berdenyut intens telah digunakan untuk mengobati banyak kondisi dermatologi dan
telah terbukti meningkatkan sekresi kelenjar meibom. Meskipun data awal cukup
menggembirakan, prosedur saat ini berada dalam tahap awal pengembangan dan
peralatan yang diperlukan untuk terapi ini mahal pada saat penulisan ini.

KESIMPULAN

Blefaritis adalah salah satu patologi mata yang paling sering ditemui dalam
masalah klinis. Namun sampai saat ini tidak ada obat yang disetujui oleh
Administrasi Makanan dan Obat Amerika Serikat untuk indikasi blefaritis. Beberapa
modalitas pengobatan yang berbeda telah diusulkan dan dievaluasi, banyak yang
menunjukkan perbaikan yang signifikan pada tanda dan gejala pasien. Algoritme
pengobatan bertahap adalah pendekatan ideal untuk blefaritis yang dimulai dengan
kebersihan kelopak mata, diikuti dengan obat topikal dan kemudian oral (Gambar. 4).
Baik pasien maupun dokter perlu memahami kompleksitas dan kronik dari kondisi
tersebut dan pendekatan multifaset yang sering diperlukan untuk mengendalikannya.
Meskipun saat ini belum ada obat yang mapan untuk blefaritis, pemahaman kita
tentang kondisi ini dan pengobatannya telah berkembang pesat dalam beberapa tahun
terakhir dan akan terus berlanjut dalam waktu dekat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Nelson JD, Shimazaki J, Benitez-del-Castillo JM, et al. The international work-shop on


meibomian gland dysfunction: report of the definition and classification subcommittee.
Invest Ophthalmol Vis Sci 2011; 52:1930–1937.
2. Pflugfelder SC, Karpecki PM, Perez VL. Treatment of blepharitis: recent clinical trials.
Ocular Surf 2014; 12:273–284.
3. Lemp MA, Nichols KK. Blepharitis in the United States 2009: a survey-based
perspective on prevalence and treatment. Ocul Surf 2009; 7:S1–S14.
4. American Academy of Ophthalmology. Preferred Practice Pattern: Blepharitis.
September 2013 revision. http://one.aao.org/preferred-practice-pattern/blepharitis-ppp-
2013. [Accessed 17 January 2015]
5. Dougherty JM, McCulley JP. Comparative bacteriology of chronic blepharitis.Br J
Ophthalmol 1984; 68:524–528.
6. Lindsley K, Matsumura S, Hatef E, Akpek EK. Interventions for chronic blepharitis.
Cochrane Database of Systematic Reviews 2012, Issue 5. Art. No.: CD005556. DOI:
10.1002/14651858.CD005556.pub2
7. McCulley JP, Dougherty JM, Deneau DG. Classification of chronic blepharitis.
Ophthalmology 1982; 89:1173–1180.
8. Groden LR, Murphy B, Rodnite J, Genvert GI. Lid fora in blepharitis. Cornea 1991;
10:50–53.
9. Zhao Y, Wu L, Hu L, Xu J. Association of blepharitis with Demodex: a meta- analysis.
Ophthalmic Epidemiol 2012; 19:95–102.
10. Turgut B, Kurt J, Catak O, Demir T. Phthiriasis palpebrarum mimicking lideczema and
blepharitis. J Ophthalmol 2009; 1–3.
11. Neudorfer M, Goldshtein I, Shamai-Lubovitz O, et al. Ocular adverse effects of
systemic treatment with Isotretinoin. Arch Dermatol 2012; 148:803–808.
12. Matsumoto Y, Shigeno Y, Sato EA, et al. The evaluation of the treatment response in
obstructive meibomian gland disease by in vivo laser confocal microscopy. Graefes
Arch Clin Exp Ophthalmol 2009; 247:821–829.
13. Olson MC, Korb DR, Greiner JV. Increase in tear film layer thickness following
treatment with warm compresses in patients with meibomian gland dysfunction. Eye
Contact Lens 2003; 29:96–99.
14. Blackie CA, Solomon JD, Greiner JV, et al. Inner eyelid surface temperature as a
function of warm compress methodology. Optom Vis Sci 2008; 85:675–683.
15. Kheirkhah A, Blanco G, Li W, et al. Corneal manifestations of ocular Demodex
infestation. Am J Ophthalmol 2007; 143:743–749.
16. Dagdelen S, Aykan U, Cetinkaya K. Phthiriasis palpebrarum can resemble tick larva
infestation in an eyelid. J AAPOS 2013; 17:440–442.
17. Geerling G, Tauber J, Baudouin C, et al. The international workshop on meibomian
gland dysfunction: report of the subcommittee on management and treatment of
meibomian gland dysfunction. Invest Ophthalmol Vis Sci 2011; 52:2050–2064.
18. John G. A comparative study in the clinical and microbial efficacy of topical
besifloxacin ophthalmic suspension 0.6% with erythromycin ophthalmic ointment
0.5% for the management of acute blepharitis (poster). In: Presented at the Annual
Meeting of the Association for Research in Vision and Ophthalmology; 6–9 May 2012;
Fort Lauderdale, FL.
19. Akpek EK, Vittitow J, Verhoeven RS, et al. Ocular surface distribution and
pharmacokinetics of a novel ophthalmic 1% azithromycin formulation. J Ocul
Pharmacol Ther 2009; 25:433–439.
20. Luchs J. Efficacy of topical azithromycin ophthalmic solution 1% in the treatment of
posterior blepharitis. Adv Ther 2008; 25:858–870.
21. Fadlallah A, Rami HE, Fahd D, et al. Azithromycin 1.5% ophthalmic solution: efficacy
and treatment modalities in chronic blepharitis. Arq Bras Oftalmol 2012; 75:178–182.
22. Ta CN, Shine WE, McCulley JP, et al. Effects of Minocycline on the ocular flora of
patients with acne rosacea or seborrheic blepharitis. Cornea 2003; 22:545–548.
23. Yoo SE, Lee DC, Chang MH. The effect of low-dose doxycycline therapy in chronic
meibomian gland dysfunction. Korean J Ophthalmol 2005; 19:258–263.
24. Tabbara KF, al-Kharashi SA, al-Mansouri SM, et al. Ocular levels of azithromycin.
Arch Ophthalmol 1998; 116:1625–1628.
25. Igami TZ, Holzchuh R, Osaki TH, et al. Oral azithromycin for treatment of posterior
blepharitis. Cornea 2011; 30:1145–1149.
26. Greene JB, Jeng BH, Fintelmann RE, Margolis TP. Oral azithromycin for the treatment
of meibomitis. JAMA Ophthalmol 2014; 132:121–122.
Data to support the efficacy of oral azithromycin in patients who have failed topical
therapies.
27. Ray WA, Murray KT, Hall K, et al. Azithromycin and the risk of cardiovascular death.
N Engl J Med 2012; 366:1881–1890.
28. Hosseini K, Hutcheson J, Lindstrom RL. A phase III clinical study to evaluate the
efficacy of combined azithromycin and dexamethasone in the treatment of
blepharoconjunctivitis. Clin Ophthalmol 2013; 7:2225–2234.
29. Chen M, Gong L, Sun X, et al. A multicenter, randomized, parallel-group, clinical trial
comparing the safety and efficacy of loteprednol etabonate 0.5%/ tobramycin 0.3%
with dexamethasone 0.1%/tobramycin 0.3% in the treatment of Chinese patients with
blepharokeratoconjunctivitis. Curr Med Res Opin 2012; 28:385–394.
30. Perry HD, Doshi-Carnevale S, Donnenfeld ED, et al. Efficacy of commercially
available topical cyclosporine A 0.05% in the treatment of meibomian gland
dysfunction. Cornea 2006; 25:171–175.
31. Rubin M, Rao SN. Efficacy of topical cyclosporine 0.05% in the treatment of posterior
blepharitis. J Ocul Pharmacol Ther 2006; 22:47–53.
32. Kiiski V, Remitz A, Reitamo S, et al. Long-term safety of topical pimecrolimus and
topical tacrolimus in atopic blepharoconjunctivitis. JAMA Dermatol 2014; 150:571–
573.
Data on the efficacy and adverse effects of pimecrolimus and tacrolimus used to treat
atopic keratoconjunctivitis.
33. Macsai MS. The role of omega-3 dietary supplementation in blepharitis and
meibomian gland dysfunction (an AOS thesis). Trans Am Ophthalmol Soc 2008;
106:336–356.
34. Maskin SL. Intraductal meibomian gland probing relieves symptoms of obstructive
meibomian gland dysfunction. Cornea 2010; 29:1145–1152.
35. Grenier JV. A single LipiFlow Thermal Pulsation System treatment improves
meibomian gland function and reduces dry eye symptoms for 9 months. Curr Eye Res
2012; 37:272–278.
36. Toyos R, McGill W, Briscoe D. Intense pulsed light treatment for dry eye disease due
to meibomian gland dysfunction; a 3-year retrospective study. Photomed Laser Surg
2015; 33:41–46.
Report on the improvement in tear break-up time and patient symptoms after monthly
treatments with intense pulsed light.

Anda mungkin juga menyukai