Anda di halaman 1dari 19

SYARAT DAN RUKUN HUKUM KEWARISAN

ISLAM

Dosen Pengampu: IIN MUTAMINNAH, M.HI

Oleh

MUSLIADI 19.2200.004

NUR RAHMAH 19.2200.011

SELVIANA 19.2200.012

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI PAREPARE
(IAIN)
2020/2021

II
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim
Assalamualaikum Wr.Wb.
Segala puji bagi Allah atas setiap kenikmatan yang Dia berikan tanpa
terkecuali bagi setiap mahluk di muka bumi ini baik bagi mereka yang dengan
teguh menjalankan perintah-Nya dan dengan hidayah serta kasih sayang-Nya
juga tidak lupa dibarengi dengan usaha dan doa. Salawat dan salam kami
sampaikan untuk Rasulullah Muhammad SAW, sang pembawa kebenaran serta
suri tauladan bagi seluruh umat manusia untuk berhijrah dari zaman kegelapan
menuju zaman yang terang benderang yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga makalah ini yang berjudu “SYARAT DAN RUKUN
HUKUM KEWARISAN ISLAM “ dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan bagi para mahasiswa


maupun para pembaca lain. Karena keterbatasan pengetahuan maupun
pengalaman kami, kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini.
Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari para mahasiswa, dosen atau pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

BARRU 15 MARET 2021

I
DAFTAR IS
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................I

DAFTAR ISI....................................................................................................II

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG.................................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH........................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Kewarisan Islam............................................................4

B. Dasar hukum kewarisan dalam islam...........................................................4

C. Rukun dan Syarat Mewarisi.........................................................................9

1. Rukun-Rukun waris Rukun-rukun waris.......................................9


2. Syarat-syarat mewarisi...................................................................10

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN............................................................................................12
B. DAFTAR PUSTAKA...................................................................................15

II
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum kewarisan Islam merupakan satu dari sekian banyak hukum Islam yang
terpenting. Hukum warisan adalah hukum yang mengatur siapa-siapa saja orang
yang bisa mewarisi dan tidak bisa mewarisi dan tidak bisa mewarisi bagian-
bagian yang diterima setiap ahli waris dan cara-cara pembagiannya. Dalam
hukum kewarisan Islam penerima harta warisan di dasarkan pada asas Ijbari,
yaitu harta warisan pindah dengan sendirinya menurut ketentuan Allah SWT
Tanpa digantungkan pada kehendak pewaris atau ahli waris. 1
Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah sekumpulan materi Hukum Islam yang
ditulis pasal demi pasal, berjumlah 229 pasal, terdiri atas tiga kelompok materi
hukum yaitu hukum kewarisan (70 pasal), hukum kewarisan termasuk wasiat dan
hibab (44
pasal) dan hukum perwakafan (14 pasal) , ditambah satu pasal ketentuan penutup
yang berlaku untuk ketiga kelompok hukum tersebut KHI disusun melalui jalan
yang sangat panjang dan melelahkan karena pengaruh perubahan sosial politik
terjadi di negeri ini pada masa ke masa.2
Akan tetapi dalam pelaksananya hukum kewarisan Islam perlu mendapatkan
perhatian yang besar, karena dalam pembagian warisan antara hak waris yang
satu dengan yang lain saling berkaitan. Pembagian warisan sering menimbulkan
akibat-akibat yang tidak jarang menimbulkan perselisihan di antara anggota
keluarga yang berkepanjangan karena secara naluriah manusia sangat mencintai
harta yang dijelaskan dalam surat (QS. A l-Imran ayat 14) yang berbunyi:

‫ض ِة َو ۡال َخ ۡـي ِل ۡال ُم َس َّو َم ِة‬


َّ ِ‫ب َو ۡالف‬
ِ َ‫ت ِمنَ النِّ َسٓا ِء َو ۡالبَـنِ ۡينَ َو ۡالقَنَا ِط ۡي ِر ۡال ُمقَ ۡنطَ َر ِة ِمنَ ال َّذه‬ ِ ‫اس حُبُّ ال َّشهَ ٰو‬ ِ َّ‫ُزيِّنَ لِلن‬
‫هّٰللا‬
ِ ‫ع ۡال َح ٰيو ِة ال ُّد ۡنيَا ‌ۚ َو ُ ِع ۡند َٗه ح ُۡسنُ ۡال َم ٰا‬
‫ب‬ ُ ‫ك َمتَا‬ ِ ‫َوااۡل َ ۡن َع ِام َو ۡال َح ۡـر‬
َ ِ‫ث‌ؕ ٰذ ل‬

1 Ah. Rofiq, hukum Islam di Indonesia , jakarta : PT. Raja grafindo persada , 200 hl
356
2 Muhammad Daud Ali, Asas Hukum Islam , jakarta : rajawali prese 1990 hl. 129

1
Artinya : “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-
apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anakanak, harta yang banyak dari
jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak [186] dan sawah
ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat
kembali yang baik (surga).”

Yang tidak jarang memotivasi seseorang untuk menghalalkan segala cara untuk
mendapatkan harta benda termasuk harta pewaris itu sendiri.Berkaitan masalah
diatas, maka dibuatlah ketentuan ketentuan yang mengatur tentang hal-hal yang
berkaitan dengan meninggalnya seseorang. Proses pindahnya harta dari orang
meninggal dunia kepada pihak yang masih hidup yang beralih kepada orang
orang yang ditetapkan sebagai ahli waris dalam hukum waris. Dalam ajaran
agama Islam ketentuan ini disebut faraid. hal ini sesuai dengan hadist.

‫الحقىا الفرائض با هلها فما بقي فهى الولى رجل ذ كرز‬

Artinya : berikanlah bagian fara’idh (warisan yang telah ditetapkan) kepada


yang berhak. Maka bagian yang tersisa bagi pewaris lelaki yang paling dekat
(nasabnya). ( HR.Bukhori Muslim).

Hadist diatas menyatakan sisa harta sudah diambil oleh ashabul furud atau
diberikan kepada waris laki-laki yang paling dekat dengan si mati yang
dinamakan ashabah. Namun demikian, untuk terjadinya saling waris mewaris i
tersebut diperlu kan syarat-syarat, baik itu syarat yang berkaitan dengan pewaris
atau syarat yang berkaitan dengan ahli warisnya.
Menurut hukum kewarisan Islam, secara singkat syarat-syarat tersebut
antara lain bagi pewaris adalah pewaris telah meninggal dunia. Menurut ulama,
kematian pewaris itu dibedakan menjadi 3(tiga) macam :haqiqi,hukmi, taqdiry,
Kemudian syarat-syarat bagi ahli adalah hidupnya ahli waris disaat
kematian pewaris, baik itu sudah nyata maupun hidup secara hukmi walaupun ia
tidak diketahui secara kenyataan masih hidup, seperti ahli waris yang mafqud.
Dan pusaka anak yang masih dalam kandungan. Masalah ini memang
menimbulkan problem tersendiri, di samping itu menurut hukum Islam terdapat

2
beberapa sebab seorang itu menerima waris adalah karena hubungan darah, atau
karena hubungan perkawinan dan karena memerdekakan budak (wala)3

B. Rumusan masalah
Dengan melihat latar belakang di atas makan kita dapat mengambil beberapa
rumusan masalah
1. Apa pengertian Warisan
2. Apa saja dasar hukum kewarisan
3. Bagaimana rukun hukum kewarisan

C. Tujuan penulis
Sesuai dengan permasalahan, penulis bertujuan untuk menjawab rumusan
masalah:
1. Untuk mengetahui apa pengertian kewarisan
2. Untuk mengetahui dasar hukum kewarisan
3. Untuk mengetahui bagaimana rukun hukum kewarisan

3 .M Faud Abdul Baqi , bukhari muslim ,cetakan pertama, Sya’ban , semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra , 2012, hlm- 325

3
BAB II PEMBAHASAN

1. Pengertian Hukum Kewarisan Islam

Hukum kewarisan Islam dalam bahasa Arab disebut Al-mi>ras|, yaitu


bentuk mas}dar (infinitif) dari kata waris|a – yaris|u – mi>ra>s|an. Maknanya
menurut bahasa ialah berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain.4
Secara terminologi, Mi>ra>s| berarti warisan harta kekayaan yang dibagi dari
orang yang sudah meninggal dunia kepada ahli warisnya. Mi>ra>s| menurut
syariah adalah memberi undang-undang sebagai pedoman antara orang yang
sudah meninggal dunia dan ahli waris, dan apa saja yang berkaitan dengan ahli
waris tersebut. Jadi hukum waris adalah salah hukum kekeluargaan Islam yang
paling penting berkaitan dengan kewarisan. Kematian seseorang itu membawa
dampak kepada berpindahnya hak dan kewajiban kepada beberapa orang lain
yang ditinggalkannya, yang disebut dengan warasah, | yakni ahli waris dan wali.5
Dalam beberapa literatur hukum Islam, ditemui beberapa istilah untuk
menamakan Hukum Kewarisan Islam, seperti fiqih mawaris, ilmu faraid}, dan
hukum kewarisan. Perbedaan dalam penamaan ini terjadi karena perbedaan arah
yang dijadikan titik utama dalam pembahasan.6

2. Dasar Hukum Kewarisan Islam


Dasar dan sumber utama dari hukum Islam sebagai hukum agama (Islam)
adalah nash atau teks yang terdapat dalam Al-Qur’an dan sunnah Nabi. Ayat-ayat
Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang secara langsung mengatur kewarisan tersebut
antara lain sebagai berikut:
a. Ayat-ayat Al-Qur’an
QS. An-Nisa’ ayat 7

4 Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, (Jakarta: Gema Insani: 1995),
hlm 33
5 Rahman I, Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah (Syariah), (Jakarta: Raja
Grafindo Persada: 2002), hlm 352
6 Mohammad Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam (Sebagai Prmbaharuan
Hukum Positif di Indonesia), (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 5

4
‫ان و ا أْل َ ْق ر ب َ مِم‬ ‫مِم‬ ‫مِم‬
َّ‫ون َّ ا قَ ل‬ َُ َ ‫يب َّ ا َت َر َك الْ َو ال‬
َ ِ ‫ِد‬ ٌ ‫ص‬
ِ َ‫ون َو لِلنِّ َس اءِ ن‬
َ ُ‫ان َو ا أْل َ ْق َر ب‬ َ ‫يب َّ ا َت َر َك الْ َو ال‬
ِ ‫ِد‬ ٌ ‫ص‬
ِ َ‫ال ن‬
ِ ‫ِلر َج‬
ِّ ‫ل‬

‫وض ا‬
ً ‫ص يبً ا َم ْف ُر‬
ِ َ‫مِ ْن هُ أ َْو َك ثُ َر ۚـ ن‬

Artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-
bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut
bahagian yang telah ditetapkan”

Ketentuan dalam ayat diatas merupakan merupakan landasan utama yang


menunjukkan, bahwa dalam Islam baik laki-laki maupun perempuan sama-sama
mempunyai hak waris, dan sekaligus merupakan pengakuan Islam, bahwa
perempuan merupakan subjek hukum yang mempunyai hak dan kewajiban. Tidak
demikian halnya pada masa jahiliyah, dimanah wanita dipandang sebagai objek
bagaikan benda biasa yang dapat diwariskan.7
Sebagai pertanda yang lebih nyata, bahwa Islam mengakui wanita sebagai subjek
hukum, dalam keadaan tertentu mempunyai hak waris, sedikit ataupun banyak
yang telah dijelaskan dalam beberapa ayat Alquran. Diantara nya terdapat dalam
surah An-Nisa’ ayat 11:
َّ ‫ِك م ۖـ ل‬
‫ِس اءً َف ْو َق ا ْث نَ َت نْي ِ َف لَ ُه َّن ثُ لُ ثَ ا َم ا‬
َ ‫ِن ُك َّن ن‬
ِّ ‫ِلذ َك رِ مِ ثْ ل َح‬
ْ ‫ظ ا أْل ُ ْن َث َي نْي ِ ۚـ فَ إ‬ ُ ْ ُ ‫يك ُم اللَّ هُ يِف أ َْو اَل د‬
ُ ‫وص‬ ِ ُ‫ي‬

ُ‫ان لَ ه‬
َ ‫ِن َك‬ ْ ‫س مِم َّ ا َت َر َك إ‬ ُّ ‫اح ٍد مِ ْن ُه َم ا‬
ُ ‫الس ُد‬ ِ ‫ِك ِّل َو‬ ُ ‫ف ۚـ َو أِل َ َب َو يْ هِ ل‬
ُ ‫ص‬
ْ ِّ‫اح َد ًة َف لَ َه ا الن‬
ِ ‫ت َو‬ ْ َ‫ِن َك ان‬ ْ ‫َت َر َك ۖـ َو إ‬

ِ‫س ۚـ مِ ْن َب ْع د‬ ُّ ِ‫ِخ َو ةٌ فَ أِل ُ ِّم ه‬


ُ ‫الس ُد‬ ْ ‫ان لَ هُ إ‬
َ ‫ِن َك‬
ْ ‫ث ۚـ فَ إ‬ ُّ ِ‫َب َو اهُ فَ أِل ُ ِّم ه‬
ُ ُ‫الث ل‬ َ ‫ِن مَلْ يَ ُك ْن لَ هُ َو لَ ٌد َو َو رِثَ هُ أ‬
ْ ‫َو لَ ٌد ۚـ فَ إ‬

‫ِيض ةً مِ َن اللَّ هِ ۗـ‬ ُ ‫ون أَ يُّ ُه ْم أَ ْق َر‬


َ ‫ب لَ ُك ْم نَ ْف ًع ا ۚـ فَ ر‬ َ ‫اؤ ُك ْم اَل تَ ْد ُر‬ ُ َ‫وص ي هِبَ ا أ َْو َد يْ ٍن ۗـ آب‬
ُ َ‫اؤ ُك ْم َو أ َْب ن‬ ِ ُ‫ص يَّ ٍة ي‬
ِ ‫َو‬

‫ِيم ا‬
ً ‫ِيم ا َح ك‬ َ ‫ِن اللَّ هَ َك‬
ً ‫ان َع ل‬ َّ ‫إ‬

“Allah mensyari'atkan bagi kalian tentang (pembagian pusaka untuk) anak-


anak kalian. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua
orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua,
Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak
perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk
dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang
7 Mohammad Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam (Sebagai Prmbaharuan
Hukum Positif di Indonesia), (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 12

5
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja),
Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian
tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah
dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak
mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya
bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha
Bijaksana”.89

Firman-Nya, ‚bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang
anak perempuan‛. Maksudnya ketika ada anak laki-laki dan anak wanita. Tapi
jika yang ada hanya anak laki-laki ,maka dia mendapatkan semua warisan, jika
yang ada hanya anak perempuan, maka dia mendapatkan separohnya. Jika ada
dua anak perempuan maka mereka mendapat dua pertiga bagian.10
 Al-Hadis
Hadis Nabi Muhammad yang secara langsung mengatur tentang kewarisan adalah
sebagai berikut.
Hadis| Nabi dari Abdullah ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Sunan Tirmidzi:
ِ ِّ‫رض َي هللاُ ع َْن هُ َما َع ْ ِن النب‬
ِ ‫س‬ٍ ‫س ع َْن أبِي ِه ع َْن اب ِن ََِـِعبا‬ َ ‫ث نا وهَيْبٌ َح َّد‬
ٍ ‫ث نا ابنُ طا ُو‬ ِ ‫ث نا ُمو َسى بنُ إ َْْس‬
َ ‫اعي َل َح َّد‬ َ ‫َح َّد‬
‫ي َ ه َُو ََْـْو َُر ٍل َذ‬ َ ‫ب‬َ ‫ب ْهلهَا َما‬ ِ َ ِ‫ِصلى هللاُ عَل ْي ِه َو َس ََّل ااَ أَ ْ ُ وا ا ََْـْل اا‬
‫ٍ ََِـ‬

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il telah


menceritakan kepada kami Wuhaib telah menceritakan kepada kami Ibnu
Thawus dari ayahnya dari Ibnu 'Abbas dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Berikanlah bagian fara`idh (warisan yang telah ditetapkan)
kepada yang berhak, maka bagian yang tersisa bagi pewaris lelaki yang paling
dekat
(nasabnya)."11

a) Hadis| Nabi dari Usamah bin Zaid menurut riwayat Imam Muslim:

8 Departemen Agama RI, Al-Hikmah Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Diponegoro:


9 ), hlm. 116
10 As-Sayyid Muhammad Shiddiq Khan, Al-Qu’an dan As-Sunnah Bicara Wanita, (Jakarta:
Darul Falah: 2001), hlm 50
11 Sunan Tirmidzi, Sunan Tirmidz jilid 4i, (Beirut: Dar al-Fiqri: 2005), hal 31

6
َ ‫الْ َ ا ِن َح َّد‬
ُ‫ث نا ابن‬ ْ َ‫ب ا و اا‬ َ َ‫ق بنُ إبْ ا ِهي َوال َّْل لِيحْ َي ااَ ََْْيَـ َي أ‬
ُ ‫ب َشيْبةَ َوإ ْس َح‬ ‫ث نا ََْْيَـ َي بنُ ََْْيَـ َي َوأبو ب ِِْـ‬
ِ ‫ْك بنُ أ‬ َ ‫َح َّد‬
َ ‫صلى هللاُ عَل ْي ِه َو َس ََّل ااَ َل‬
‫ي‬ َِِّ ‫أن َّـ‬
َ ‫النِب‬ ٍْْ ‫بن ُْح َس‬
َّ ‫َي ع َْن َع ْم و ب ِن عث َمانَ ع َْن أ َسا َمةَ ب ِن زي ٍد‬ ِّ ‫ي ع َْن ع‬
ِ ‫َلي‬ ِّ ‫عي يْ نةَ ع َْن الز ْه‬ َ
ُ
‫َ ث ال ُم ْس ُُِـِل الكَا‬

Artinya: “ Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya dan ُ ‫ي‬
ُ ‫ث الكَا‬ َ ‫و َل‬
ْ ‫ا ْل ُم‬
‫س ِل‬
Abu Bakar bin Abu Syaibah dan Ishaq bin Ibrahim, dan ini adalah lafadz
Yahya, Yahya berkata; telah mengabarkan kepada kami, sedangkan yang dua
mengatakan; telah menceritakan kepada kami Ibnu 'Uyainah dari Az Zuhri
dari Ali bin Husain dari Amru bin Utsman dari Usamah bin Zaid, bahwa Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Seorang Muslim tidak boleh mewarisi
dari orang kafir dan orang kafir tidak dapat mewarisi dari orang Muslim.
(1614) 1213“

b) Ijtihad Para Ulama


Meskipun Al-Qur’an dan Al-Hadis| sudah memberikan ketentuan terperinci
mengenai pembagian harta warisan, dalam beberapa hal masih diperlukan adanya
ijtuhad, yaitu terhadap hal-hal yang tidak ditentukan dalam al-Qur’an maupun al-
Hadis|. Misalnya, mengenai waris banci (waria), diberikan kepada siapa harta
warisan yang tidak habis terbagi, bagian ibu apabila hanya bersama-sama dengan
ayah dan suami atau istri dan sebagainya.14
 Contoh lain adalah:
Status saudara yang mewarisi bersama-sama dengan kakek, didalam al-Qur’an
hal ini tidak dijelaskan, yang dijelaskan hanyalah status saudara-saudara bersama
dengan ayah atau bersama-sama dengan anak laki-laki yang dalam kedua
keadaan ini mereka tidak mendapatkan apa-apa lantaran terhijab, kecuali dalam
masalah kalalah maka mereka mendapat bagian. Menurut pendapat kebanyakan
sahabat dan imam-imam madzh| ab yang mengutip pendapat Zaid bin s|abit,
saudara-saudara tersebut mendapatkan pusaka secara muqasamah dengan kakek.15

12 Muhammad Fuadi Abdul Baqi, Shohih Muslim jilid 6, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah:
hal 44)
1313 ibid
14 Ahmad Azar Basyir, Hukum Waris Islam, (Yogyakarta: UII Press: 2004), hlm. 9
15 Mohammad Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam (Sebagai Prmbaharuan
Hukum Positif di Indonesia), (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 22

7
Staus cucu yang ayahnya lebih dahulu meninggal daripada kakek yang bakal
diwarisi yang mewarisi bersama dengan saudarasaudara ayahnya. Menurut
ketentuan, mereka tidak mendapatkan apa-apa lantaran diijab oleh saudara
ayahnya, tetapi menurut Kitab Undang-Undang Hukum Wasiat Mesir mereka
diberi bagian berdasarkan atas wasiat wajibah.16
Para fuqaha tabi’in dan imam-imam fiqih, di antaranya Said
Ibnu Musayyab, Ad-Dahak, Thaus, Al hasnul Bisri, Ahmad Ibnu Hambal, Daud
ibnu Ali, Ishak Ibnu Ruhawaih, Ibnu Jarir, dan Ibnu Hazm berpendapat bahwa
wasiat itu wajib untuk kerabat-kerabat terdekat yang tidak mendapat harta
pusaka. Hal ini ditetapkan berdasarkan firman Allah SWT. Dalam surat Al-
Baqarah ayat 180:
‫وف ۖـ‬
ِ ‫ِني بِالْ َم ْع ُر‬
َ ‫ِد يْ نِ َو ا أْل َ ْق َر ب‬
َ ‫ص يَّ ةُ ل ِْل َو ال‬
ِ ‫ِن َت َر َك َخ ْي ًر ا الْ َو‬
ْ‫ت إ‬
ُ ‫َح َد ُك ُم الْ َم ْو‬
َ ‫ض َر أ‬
َ ‫ِب َع لَ ْي ُك ْم إِذَ ا َح‬
َ ‫ُك ت‬
‫ِني‬
َ ‫ِد يْ نِ َو ا أْل َ ْق َر ب‬
َ ‫ص يَّ ةُ ل ِْل َو ال‬
ِ ‫ِن َت َر َك َخ ْي ًر ا الْ َو‬
ْ‫ت إ‬
ُ ‫َح َد ُك ُم الْ َم ْو‬
َ ‫ض َر أ‬ َ ‫َح ًّق ا َع لَ ى الْ ُم تَّ ق‬
َ ‫ِني َع لَ ْي ُك ْم إِذَ ا َح‬

َ ‫وف ۖـ َح ًّق ا َع لَ ى الْ ُم تَّ ق‬


‫ِني‬ ِ ‫بِالْ َم ْع ُر‬

Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan


(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk
ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas
orangorang yang bertakwa.‛1718

Kata kutiba dalam ayat tersebut artinya furida, yaitu difardukan, sedangkan
perkataan bil ma’rufi haqqan ‘alal muttaqin artinya menurut ma’ruf sebagai suatu
hak (kewajiban) atas setip orang yang bertaqwa, merupakan suatu lafal yang
sangat kuat menunjuk kepada kewajiban wasiat.
Dalam hal tersebut, ulama berselisih pendapat tentang masih berlakunya hukum
yang telah di-nash-kan oleh ayat tersebut, yaitu tentang wajibnya wasiat untuk
bapak dan kerabat-kerabat terdekat atau tidak berlaku lagi.
Kebanyakan ahli tafsir jumhur fiqih berpendapat bahwa wajibnya wasiat itu
sudah mansukh, baik terhadap yang menerima wasiat maupun tidak. Karena ayat

16 Mohammad Muhibbin dan Abdul Wahid, Ibid


17 Departemen Agama RI, Al-Hikmah Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Diponegoro)
18 Ibid...hal 44

8
wasiat itu telah dimansukh oleh ayat-ayat mawaris dan oleh sabda Nabi SAW
yang artinya, ‚tidak ada wasiat untuk para ahli waris‛.
Abu Muslim Al-Ashbahani mengemukakan bahwa ayat wasiat itu sama sekali
tidak mansukh, karena tidak ada pertentangan antara ayat wasiat dan ayat
mawaris.19
Golongan yang diwajibkan wasiat untuk kerabat-kerabat yang tidak mendapat
waris berpendapat bahwa ayat wasiat tidak mansukh dan tetap berlaku sampai
sekarang untuk kerabat-kerabat yang tidak mendapat warisan, karena ada
penghalang atau ada orang yang lebih utama daripada mereka. Oleh karena itu,
wajiblah dibuat wasiat untuk mereka. Terhadap kerabat-kerabat yang mendapat
warisan,
dipergunakan ayat-ayat mawaris.20
Atas dasar inilah cucu yang ayahnya lebih dahulu meninggal daripada kakek
yang bakal diwarisi dan mewarisi bersama dengan saudara-saudara ayahnya,
untuk diberikan wasiat wajibah karena cucu terhijab oleh saudara-saudara
ayahnya.

3. Rukun dan Syarat Mewarisi


1. Rukun-Rukun waris Rukun-rukun waris yaitu:
 Muwarris|, yaitu orang yang mewariskan dan meninggal dunia. Baik
meninggal dunia secara hakiki, atau karena keputusab hakim dinyatakan
mati berdasarkan beberapa sebab.
 Maurus|, yaitu harta peninggalan simati yang akan dipusakai setelah
dikurangi biaya perawatan, hutang-hutang, zakat dan setelah digunakan
untuk melaksanakan wasiat. Harta pusaka disebut juga
 miros,| irs|, turos | dan tarikah.
 Waris|, yaitu orang yang akan mewarisi, yang mempunyai hubugan
dengan si muwarris|, baik hubungan itu karena hubungan kekeluargaan
atau perkawinan.

19 Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, (Bandung: Pustaka Setia: 2000), hlm 243
20 Ibid

9
2. Syarat-syarat mewarisi
Waris-mewarisi itu menyangkut harta benda dan sebagaimana kita ketahui, harta
benda itu mempunyai pemilik. Jadi terdapat hak pemilikan yang penuh.
Sekarang, dengan jalan waris mewarisi itu akan terjadi peralihan, perpindahan
hak pemilikan, atau hak milik. Oleh karena itu untuk terjadi waris mewarisi disini
menurut hukum Islam terdapat syarat syarat sebagagai berikut:
 Muwarris| atau orang yang meninggal dunia
 Ahli waris yang masih hidup
 Hubungan kewarisan yang sah

 Muwarris
artinya orang yang mewariskan. Dalam hal ini pewarisan baru terjadi apabila
simuwarris| sudah meninggal dunia. Artinya selagi simuwarris masih hidup,
menurut hukum Islam tidak ada proses memproses pewarisan. Artinya, apabila
simuwarris masih hidup dan pada saat itu terjadi pemberian harta kepada ahli
waris, pemberian ketika itu simuwarris masih hidup ini tidak termasuk didalam
kategori waris mewaris kelak harta benda yang sudah diberikan ini tidak
termasuk diperhitungkan. Mati disini, baik hakiki maupun hukmi (artinya
berdasarkan keputusan hakim).
Tanggal kematian itu dihitung sebagai yang dinyatakan oleh keputusan
hakim itu. Bukan tanggal ketika keputusan itu dikeluarkan. Ini apabila
menyangkut mati yang hukum atau ada keraguan kapan matinya
seseorang.21
 Ahli waris yang masih hidup
hidup dalam hal ini harus dibuktikan bahwa ahli waris benar-benar masih hidup
pada saat kematian (prepositus) sebelum mereka dibolehkan mewarisi harta
peninggalan tersebut. Dalam kasus janin dalam kandungan, tidak mendapat
warisan kecuali janin itu lahir hidup, hubungannya harus ditangguhkan untuk
menunggu penyerahan harta. Akan tetapi hubungan yang harus dijaga adalah
hubungan anak laki-laki. Tetapi menurut madzhab Maliki, semua hak milik harus

21 Ibid,........

10
ditangguhkan penyerahannya kepada anak kecil tersebut sebelum harta pusaka itu
dibagikan. Dalam kasus dimana orang-orang mati dalam waktu yang sama dan
tidak ada jalan untuk menentukan siapa yang mati terlebih dahulu dan siapa yang
mati terkemudian, sementara harta mereka harus diwariskan kepada kerabat yang
masih hidup. Otoritas aturan ini terjadi setelah terjadi perang yamamah dimana
umat Islam banyak yang mati syahid. Sayyidina Abu Bakar memerintahkan Zaid
bin s|abit untuk membagikan harta mereka, dimana Zaid membagikan kepada
keluarga yang masih hidup sebagaimana yang diriwayatkannya:

ِ ‫رث ُ ا ََْـْحيااُ ِمنَ ا ْم َوا‬


‫ت َو‬ ْ ‫س هَا َ َو‬
ِ ْ ُ‫وت ب ا‬
ُ َ ُ‫ب َوريْ ِ أ ْه ِل طاعونَ ًَو ا ِ ا َل بيلة‬ ‫ْ ا اَ ز ٌٌْـ‬
ِ ِ ‫ْي د أ َم‬
‫ب‬َ ‫ب ْ هُ ْ ِم ْن‬
َ ‫ات‬ ْ
ُ ‫ْ اورث ا َم َو‬
Artinya: “Zaid berkata: ‚Umar memerintahkan kepadaku untuk membagikan
warisan kepada orang-orang yang terserang penyakit menular. Ada kabilah
yang anggota keluarganya meninggal. Aku membagikan harta waris dari
harta orang yang mati kepada orang yang masih hidup. Maka orang yang
masih hidup itu mewarisi harta orang-orang yang mati. Orang-orang yang
mati itu tidak mewarisi harta orang-orang yang mati.‛22

Kehidupan manusia dimuka bumi ini dibatasi oleh waktu, sampai datang waktu
yang telah dijanjikan tanpa dikurangi sedetikpun sebelum dan sesudah kematian
itu akan menjemputnya. Selama masa hidupnya yang sebentar itu apapun yang
dikumpulkan olehnya didunia ini harus ditinggalkan kecuali amal baiknya. Harta
kekayaan dan semua miliknya yang ditinggalkan didunia akan diserahkan kepada
ahli warisnya. Islam adalah jalan hidup yang sempurna mengandung aturan-
aturan untuk pembagian harta warisan.

22 Rahman I, Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah (Syariah), (Jakarta: Raja


Grafindo Persada: 2002), hlm 354

11
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
 Pengertian
Hukum kewarisan Islam dalam bahasa Arab disebut Al-mi>ras|,
yaitu bentuk mas}dar (infinitif) dari kata waris|a – yaris|u –
mi>ra>s|an. Maknanya menurut bahasa ialah berpindahnya sesuatu
dari seseorang kepada orang lain.
Secara terminologi, Mi>ra>s| berarti warisan harta kekayaan yang
dibagi dari orang yang sudah meninggal dunia kepada ahli
warisnya. Mi>ra>s| menurut syariah adalah memberi undang-
undang sebagai pedoman antara orang yang sudah meninggal
dunia dan ahli waris, dan apa saja yang berkaitan dengan ahli
waris tersebut.
 Dasar hukum kewarisan
a. Ayat-ayat al-qur’an
b. Al-hadist
 Rukun dan syarat mewaris
a. Rukun-Rukun waris Rukun-rukun waris yaitu:
 Muwarris, yaitu orang yang mewariskan dan meninggal
dunia. Baik meninggal dunia secara hakiki, atau karena
keputusan hakim dinyatakan mati berdasarkan beberapa
sebab.
 Maurus, yaitu harta peninggalan si mati yang akan
dipusakai setelah dikurangi biaya perawatan, hutang-
hutang, zakat dan setelah digunakan untuk
melaksanakan wasiat. Harta pusaka disebut juga
 miros,| irs|, turos | dan tarikah.

12
 Waris|, yaitu orang yang akan mewarisi, yang
mempunyai hubugan dengan si muwarris|, baik
hubungan itu karena hubungan kekeluargaan atau
perkawinan.
b. Syarat-syarat mewarisi
menurut hukum Islam terdapat syarat syarat sebagagai berikut:
 Muwarris| atau orang yang meninggal dunia
artinya orang yang mewariskan. Dalam hal ini
pewarisan baru terjadi apabila simuwarris| sudah
meninggal dunia. Artinya selagi simuwarris masih
hidup, menurut hukum Islam tidak ada proses
memproses pewarisan. Artinya, apabila simuwarris
masih hidup dan pada saat itu terjadi pemberian harta
kepada ahli waris, pemberian ketika itu simuwarris
masih hidup ini tidak termasuk didalam kategori waris
mewaris kelak harta benda yang sudah diberikan ini
tidak termasuk diperhitungkan. Mati disini, baik hakiki
maupun hukmi (artinya berdasarkan keputusan hakim).

 Ahli waris yang masih hidup


Ahli waris yang masih hidup dalam hal ini harus
dibuktikan bahwa ahli waris benar-benar masih hidup
pada saat kematian (prepositus) sebelum mereka
dibolehkan mewarisi harta peninggalan tersebut. Dalam
kasus janin dalam kandungan, tidak mendapat warisan
kecuali janin itu lahir hidup, hubungannya harus
ditangguhkan untuk menunggu penyerahan harta. Akan
tetapi hubungan yang harus dijaga adalah hubungan
anak laki-laki. Tetapi menurut madzhab Maliki, semua
hak milik harus ditangguhkan penyerahannya kepada
anak kecil tersebut sebelum harta pusaka itu dibagikan.

13
 Hubungan kewarisan yang sah

B. Saran
Sebagai penulis kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak
kekurangan dalam pembuatannya. Untuk itu kami memohon maaf apabila
ada kesalahan dan kami sangat mengharap kritik yang membangun dari
pembaca agar kemudian pembuatan makalah kami semakin lebih baik.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca pada umumnya,
dan bagi kita semua pada khususnya.

DAFTAR PUSTAKA

14
I. Hukum Islam di Indonesia , Ah. Rofiq, Jakarta : PT. Raja grafindo
persada , 200
II. Asas Hukum Islam , Muhammad Daud Ali,jakarta : rajawali prese 1990
III. Bukhari muslim cetakan pertama, M Faud Abdul Baqi,semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra , 2012
IV. Pembagian Waris Menurut Islam, Muhammad Ali Ash-Shabuni(Jakarta:
Gema Insani: 1995)
V. Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah (Syariah),Rahman I, Doi,
(Jakarta) Raja Grafindo Persada: 2002),
VI. Hukum Kewarisan Islam (Sebagai Pembaharuan Hukum Positif di
Indonesia), Mohammad Muhibbin dan Abdul Wahid, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2009)
VII. Hukum Kewarisan Islam (Sebagai Pembaharuan Hukum Positif di
Indonesia), Mohammad Muhibbin dan Abdul Wahid,(Jakarta: Sinar
Grafika, 2009)
VIII. Al-Hikmah Al-Qur’an dan Terjemahnya Departemen Agama RI,
(Bandung: Diponegoro)
IX. Al-Qu’an dan As-Sunnah Bicara Wanita, As-Sayyid Muhammad Shiddiq
Khan, (Jakarta:
X. Darul Falah: 2001),
XI. Sunan Tirmidzi jilid 4,(Beirut: Dar al-Fiqri: 2005),

15

Anda mungkin juga menyukai