Anda di halaman 1dari 10

TUGAS PAPER

MATA KULIAH PENDIDIKAN DAN BUDAYA ANTI KORUPSI


TEMA: KORUPSI PERIZINAN DALAM PERJALANAN
OTONOMI DAERAH DI INDONESIA

Disusun oleh:
Nama : Santi Yulian
NIM : KHGC18047
Kelas/Prodi : 3A/S1 Keperawtan

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KARSA


HUSADA GARUT
TAHUN 2021
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Salah satu amanat Undang-Undang Dasar 1945 saat berdirinya Indonesia ada- lah
memberikan kesejahteraan sebesar-besarnya bagi rakyat Indonesia. Hal ini menjadi
tugas penting bagi semua elemen untuk dapat saling bahu-membahu dalam
mensejahterakan rakyat dan memberikan rasa am- an termasuk saat dalam kegiatan
ekonomi dan investasi di Negara ini. Salah satu persoalan yang dihadapi dalam bidang
perekonomian adalah masih rumitnya iklim investasi di Indonesia dan korupsi di
bidang perizinan menjadi masalah serius yang merata dan tersebar di seluruh
pemerintah daerah negeri ini.

Bukankah secara filosofis pemberian izin berfungsi untuk mengawasi dan


mengendalikan aktifitas masyarakat agar tidak timbul kerugian pada pihak lain.
Instrument izin bertujuan untuk melindungi kepentingan umum, bukan sebaliknya
hanya memberikan kemudahan kepada pada segelintir orang yang berdampak luas
dalam menggerus hutan dan lahan di Negara ini. Oleh karena itulah untuk mendapatkan
izin ada syarat dan prosedur yang harus dipatuhi sebab pemerintah harus memastikan
agar izin yang diberikan tidak merugikan masyarakat dan kepentingan umum.

Selain itu efek yang ditimbulkan bagi daerah seperti menghasilkan pandangan
bahwa desentralisasi memiliki konsekuensi yang ambigu : pada satu sisi
memungkinkan daerah untuk lebih memiliki kewenangan sehingga fleksibel dan
responsif dalam melakukan pelayanan publik; tapi pada sisi lain, juga menyebabkan
para pejabatnya lebih memiliki kesempatan untuk korup. Korupsi oleh pejabat terpilih
dan pegawai pu blik dapat menjadi sumber utama ketidak puasan publik terhadap
pemerintah daerah. Ketika pejabat mengkorup uang dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (AP-BD), atau meminta uang dari individu atau perusahaan yang
berbisnis dengan atau diatur oleh pemerintah daerah, maka akan terjadi kenaikan biaya
pemerintah, peraturan yang tak dijalankan, dan secara umum mereduksi kualitas
penyelenggaraan pemerintahan. Akhirnya, korupsi menghancurkan harapan pelayanan
publik yang baik sebagai tujuan desentralisasi itu sendiri. Indonesia Corruption Watch
(ICW) menyebutkan bahwa korupsi di daerah telah menyebabkan buruknya kualitas
pelayanan publik, khususnya di sektor pendidikan, transportasi, kesehatan, investasi
perizinan dan lain sebagainya.

Maraknya korupsi di level lokal ini sejalan dengan kondisi serupa di level nasional.
Indikasi maraknya praktek korupsi di Indonesia dapat dilihat dari angka persepsi
korupsi, misalnya hasil studi yang dilakukan Transparency International. Secara global,
dalam sepuluh tahun terakhir, survei Transparency International (TI) menempatkan
Indonesia masuk dalam kelompok negara-negara dengan tingkat korupsi tinggi. Dari
Corruption Perception Index (CPI) untuk skor 10 (terbersih) hingga skor 0 (ter- korup),
Indonesia sejak tahun 2001 hingga 2010 selalu dibawah skor 3,0 atau masih tergolong
negara sangat korup. Baru pada tahun 2012 tren positif kenaikan skor CPI mulai
terlihat. Terbukti dengan perolehan skor Indonesia naik menjadi 3,2 Persen.
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1. Desentralisasi dan Harapan Majunya Daerah

Otonomi daerah merupakan proses penerapan sistem desentralisasi. Dimana sistem


desentrali sasi diterapkan sebagai tindak lanjut demokratisasi di Indonesia. Proses
sejarah yang memaksa diterapkannya sistem desentralisasi yang bertujuan untuk
mengurangi sentralitas kekuasaan pada pemerintah pusat. Sejarah telah membuktikan
bahwa sentralitas pemerintah pusat menyebabkan sempitnya ruang bagi rakyat untuk
mengembangkan potensi yang sebenarnya bermanfaat untuk keberlangsungan di segala
bidang pemerintahan maupun non-pemerintahan. Hal ini juga berkaitan dengan ha-
kikat sistem demokrasi yang diterapkan di Indonesia, yaitu rakyat mempunyai
kedaulatan tertinggi. Fakta sentralitas pemerintah pusat pada masa Orde Baru (Orba)
terbukti telah menyalahi hakikat dari demokrasi, terlepas dari tidak jelasnya aturan
demokrasi yang diterapkan di Indoneisa apakah langsung atau tidak langsung. Maka
dari itu, sistem desentralisasi ditetapkan untuk membagi kekuasaan antara pemerintah
pusat dengan pemerintah daerah. Pemerintah daerah memiliki wewenang untuk me-
ngatur pemerintahannya sendiri atau sering disebut otonomi daerah.
Negara-negara yang menggunakan sistem demokrasi secara faktanya tidak lepas
dari permasalahan baik yang bersifat lokal maupun non lokal. Justru fakta
menunjukkan bahwa negara demokrasi mengalami permasalahan yang sangat kompleks
dibandingkan dengan negara non demokrasi. Masalah yang sering terjadi berkaitan
dengan kedaulatan tertinggi yang dimiliki oleh rakyat. Era globalisasi menghadapkan
Indonesia pada suatu tuntutan untuk melaksanakan pembangunan di segala bidang
secara merata, termasuk juga menuntut kesiapan setiap daerah untuk mampu
berpengawasan serta di dalamnya. Antisipasi terhadap arus globalisasi ini diperlukan
setiap daerah, terutama berkaitan dengan peluang dan tan tangan penanaman modal
asing di daerah dan persaingan global di daerah.
Pasal 1 Butir 7 UU No. 32 Tahun 2004 menjelaskan asas desentralisasi dalam
pelaksanaan otonomi adalah memberikan keleluasaan organ daerah otonom yang
berhak mengurus rumah tangganya sendiri dalam rangka desentralisasi. Dalam asas
desentralisasi terjadi penyerahan wewenang sepenuhnya dari pemerintah pusat kepada
pemerintahan daerah tentang urusan tertentu, sehingga pemerintahan daerah dapat
mengambil prakarsa sepenuhnya, baik yang menyangkut policy, perencanaan,
pelaksanaan, maupun pembiayaannya. Pemerintahan daerah dalam melaksanakan
urusan pemerintahan yang dilimpahkan agar menjadi urusan rumah tangganya sendiri.
Dari sisi kepentingan pemerintah daerah, tujuan pertama desentralisasi adalah
untuk mewujudkan political equality. Melalui pelaksanaan desentralisasi diharapkan
akan lebih membuka kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai
aktivitas politik di tingkat lokal. Masyarakat di daerah dapat dengan elegan
mempraktikkan bentuk-bentuk partisipasi politik, misalnya menjadi anggota partai
politik dan kelompok kepentingan, mendapatkan kebebasan mengekspresikan
kepentingan, dan aktif dalam proses pengambilan kebijakan. Tujuan kedua
desentralisasi dari sisi kepentingan pemerintah daerah adalah local accountability.
Melalui pelaksanaan desentralisasi diharapkan dapat tercipta peningkatan kemampuan
pemerintah daerah dalam memperhatikan hak-hak komunitasnya, yang meliputi hak
untuk ikut serta dalam proses pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan di
daerah, serta hak untuk mengontrol pelaksanaan pemerintahan daerah. Tujuan ketiga
desentralisasi dari sisi kepentingan pemerintah daerah adalah local responsiveness.
Asumsi dasar dari tujuan desentralisasi yang ketiga ini adalah: karena pemerintah
daerah dianggap lebih mengetahui berbagai masalah yang dihadapi komunitasnya,
pelaksanaan desentralisasi akan menjadi jalan terbaik untuk mengatasi masalah dan
sekaligus meningkatkan akselerasi pembangunan sosial dan ekonomi di daerah.

2.2. Kasus Korupsi Perizinan Kepala Daerah


Beberapa tahun terakhir kasus korupsi yang dihadapi terkait perizinan yang
dilakukan oleh pejabat daerah jumlahnya makin hari makin banyak. Ditahun 2014
Bupati Bogor Rachmat Yasin pada 7 Mei 2014 melakukan praktik korupsi yaitu jual
beli izin alih fungsi hutan untuk perumahan elit yang dikelola PT Bukit Jonggol Asri
sebesar Rp 5 miliar. Pada tahun 2015, Bupati Lombok Barat Zaini Arony dihukum 7 ta-
hun penjara karena memeras pengusaha yang akan mengurus investasi izin wisata di
kabupaten Lombok.
Selanjutnya kasus korupsi yang menyangkut Bupati Buol, Amran Batalipu yang
juga terseret korupsi di kasus perizinan tanah untuk usaha sawit. Kasus ini menyeret
salah satu konglomerat di Indonesia, Hartati Murdaya, dimana perusahannya yang
melakukan penyuapan tersebut. Suap dilakukan agar keluar izin perkebunan di
Kecamatan Bukal Kab. Buol Sulawesi Tengah.
Bupati Karawang nonaktif, Ade Swara dan istrinya yang juga anggota DPRD
setempat, Nurlatifah dihukum 7 tahun dan 6 tahun penjara. Ade memeras Aking
Saputra, CEO PT Tatar Kertabumi dalam rangka penerbitan Surat Persetujuan
Pemanfaatan Ruang (SP-PR). Selain dikenakan tindak pidana korupsi, keduanya juga
dikenakan pasal pencucian uang. Fuad Amin selama menjadi Bupati dan Ketua DPRD
Bangkalan juga bermainmain dalam proses izin tambang. Salah satunya meminta
sejumlah uang dari Direktur PT Media Karya Sentosa Antonius Bambang Djatmiko.
Atas perbuatannya, Fuad dihukum 8 tahun penjara.
Eks Bupati Konawe Utara Aswad Sulaiman, misalnya, dijadikan tersangka karena
terindikasi menyalahgunakan wewenang dalam pemberian izin tambang kepada
pengusaha. Bupati dua periode itu dinilai merugikan keuangan negara sedikitnya 2,7
triliun karena menjual hasil produksi barang tambang secara melawan hukum.
Tindakan serupa dilakukan oleh Bupati Kutai Kartanegara Rita Widya Sari. Ia
dijadikan tersangka pada 28 September 2017 karena diduga menerima suap dan
gratifikasi dalam pemberian perizinan dan pembangunan sejumlah proyek. Demikian
pula halnya yang dilakukan oleh Walikota Cilegon Tubagus Iman Ariyadi. Pada
Septem- ber 2017, Wali Kota Batu Eddy Rum- poko dan Bupati Batubara Orang Kaya
Arya Zulkarnaen juga ditangkap KPK. Eddy menerima fee 10% dari tiap pro- yek
pengadaan barang dan jasa di Kota Batu. Sementara, Arya menerima suap Rp 4,4 miliar
dari tiga proyek senilai Rp 47,2 miliar.
Pada akhir Agustus 2017, Wali Kota Tegal Siti Mashita Soeparno juga ditangkap
KPK. Ia diduga menerima aliran dana senilai total Rp 5,1 miliar yang kemudian
digunakan sebagai mahar politik. Siti bermaksud kembali maju dalam perhelatan
Pilkada 2018. Sementara, pada awal Agustus, KPK terlebih dahulu menciduk Bupati
Pamekasan Achmad Syafii. Ia tersandung kasus dugaan suap dalam pengalokasian dana
desa.
Penyalahgunan Suap /
Korupsi
kekuasaan Gratifikasi

Sejak awal reformasi yang ditandai dengan jatuhnya Soeharto dari kursi
kepresidenan. Korupsi tidak mengenal waktu dan kondisi. Hampir setiap hari kita
disuguhkan dengan berita Operas Tangkap Tangan yang dilakukan oleh KPK dan ini
terus berlangsung hingga hari ini. Lebih jauh lagi para pejabat Negara tidak memiliki
kepekaan Anti korupsi. Bukti ini ditunjukan dengan makin banyaknya kepala daerah
yang memberi tempat terhormat bagi para mantan napi korupsi yang dipromosi- kan
dalam jabatan-jabatan tertentu di lingkungan Pemda di Indonesia. Ini menjadi persoalan
pelik bagi pembe- rantasan korupsi di Indonesia.
Salah satu masalah yang dihadapi terkait korupsi adalah birokrasi pemerintahan.
Secara tidak langsung pemerintah diberi kewenangan yang sangat besar sesuai dengan
fungsinya yang diwujudkan dalam bentuk hak dan kewajiban. Sistem ini mendasarkan
pada aspek hukum guna memberikan arah tuntutan berbagai kehidupan yang berakar
pada keyakinan bangsa Indonesia. Secara tidak langsung birokrasi pemerintahan yang
dalam hal ini adalah ASN (Aparatur Sipil Negara berkedudukan sebagai aparatur
Negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara
professional, jujur, adil dan merata dalam penyelengaraan tugas negara, Pemerintahan
dan pembangunan. Dan secara garis besar objek hukum administrasi negara adalah
kekuasaan pemerintah yang dalam kekuasaan tersebut dilaksanakan oleh ASN.
Dalam konteks birokrasi, pelaksanaan fungsi ASN berkenaan dengan konsep
personal administration yang berarti bahwa administrasi dari suatu Negara adalah hasil
produk dari pengaruh-pengaruh politik dan sosial sepanjang sejarah Negara yang
bersangkutan. Oleh karena itu suatu sistem administrasi tidak akan cukup dipahami
dengan baik tanpa adanya pengetahuan administrasi dalam bentuk lampau.
Perkembangan saat ini adalah Negara akan mengembangkan administrasinya deng an
sistem yang sama satu dengan lainnya.

2.3. Bentuk Korupsi yang Terjadi Secara Umum


Korupsi merupakan tindakan yang sangat tercela. Selain merugikan nega- ra,
tindakan korupsi juga dapat merugikan pelaku korupsi itu sendiri jika terbukti
perbuatannya diketahui oleh badan penindak korupsi yang berwenang. Tindakan
korupsi dapat dibagikan menjadi beberapa jenis, antara lain:
1. Korupsi Kecil-Kecilan (Petty Cor- ruption) dan Korupsi Besar-Besa- ran (grand
corruption).
Korupsi kecil-kecilan merupakan bentuk korupsi sehari-hari dalam pelaksa-
naan suatu kebijakan pemerintah. Korupsi ini biasanya cenderung terjadi saat
petugas bertemu lang- sung dengan masyarakat. Contohnya adalah pungutan untuk
mempercepat proses pencairan dana yang terjadi di KPPN. Sedangkan korupsi
besarbesaran umumnya dijalankan oleh pejabat level tinggi, karena korupsi jenis ini
melibatkan uang dalam jumlah yang sangat besar. Korupsi ini terjadi saat
pembuatan, perubahan, atau pengecualian dari peratu- ran. Contohnya adalah
pemberian pembebasan pajak bagi perusahaan besar.
2. Penyuapan (Bribery)
Bentuk penyuapan yang biasanya dilakukan dalam birokrasi pemerintahan di
Indonesia khususnya di bidang atau instansi yang mengadministrasikan penerimaan
negara (revenue administration) dapat dibagi menjadi empat, antara lain:
a. Pembayaran untuk menunda atau mengurangi kewajiban bayar pajak dan cukai.
b. Pembayaran untuk meyakin- kan petugas agar tutup mata terhadap kegiatan
ilegal.
c. Pembayaran kembali (kick back) setelah mendapatkan pembebasan pajak, agar
di masa mendatang mendapat perlakuan yang lebih ringan daripada administrasi
normal.
d. Pembayaran untuk meyakin- kan atau memperlancar proses penerbitan ijin
(license) dan pembebasan (clearance).
3. Penyalahgunaan/Penyelewengan (Misappropriation)
Penyalahgunaan/penyelewengan dapat terjadi bila pengendalian administrasi
(check and balances) dan pemeriksaan serta supervisi transaksi keuangan tidak
berjalan dengan baik. Contoh dari korupsi jenis ini adalah pemalsuan catatan,
klasifikasi barang yang salah, serta kecurangan (fraud).
4. Penggelapan (embezzlement)
Korupsi ini adalah dengan menggelapkan atau mencuri uang negara yang
dikumpulkan, menyisakan sedikit atau tidak sama sekali.
5. Pemerasan (extortion)
Pemerasan ini terjadi ketika masyarakat tidak mengetahui tentang peraturan
yang berlaku, dan dari celah inilah para petugas melakukan pemerasan dengan
menakut-nakuti masyarakat untuk membayar lebih mahal dari pada yang
semestinya.
6. Perlindungan (patronage)
Perlindungan dilakukan termasuk dalam hal pemilihan, mutasi, atau promosi
staf berdasarkan suku, kedekatan personal, dan hubungan sosial lainnya tanpa
mempertimbangkan prestasi dan kemampuan dari seseorang tersebut.

2.4. Membangun Pelayanan Daerah Yang Bebas Korupsi


Dalam kajian teoretis, kualitas pelayanan perizinan usaha merupakan sa- lah satu
komponen tata kelola ekonomi daerah (local economic governance). Asumsinya, setiap
komponen akan berperan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Termasuk
perbaikan pelayanan perizinan. Karena itu, inisiatif pemerintah untuk mendorong
perbaikan pelayanan perizinan di daerah patut diapresiasi. Pembenahan proses perizinan
tak hanya memperbaiki pelayanan kepada masyarakat, namun juga akan menambah
daya tarik investasi dan memacu pertumbuhan ekonomi daerah.
Reformasi pelayanan publik harus menjangkau perubahan yang mendasar dalam
rutinitas kerja administrasi budaya birokrasi dan prosedur kerja instansi pemerintah
guna memungkinkan dikembangkannya kepemimpinan yang berwatak kerakyatan pada
birokrasi publik. Dengan mempertimbangkan isu-isu, tuntutan, kritik dan keluhan
masyarakat akan buruknya kualitas pelayanan publik, maka diperlukan adanya
reformasi oleh pemerintah dalam mengatur penyediaan jasa pelayanan publik. Beragam
pelayanan publik yang responsif, kompetitif dan berkualitas kepada warga masyarakat,
mutlak harus menjadi mindset bagi setiap penyelenggara pelayanan publik. Dalam hal
ini juga pelu adanya pelayanan bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN),
pelayanan ini dimaksudkan untuk rakyat dan menjadi hak rakyat.
Reformasi birokrasi merupakan salah satu langkah awal untuk melakukan penataan
terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan yang baik, efektif dan efisien, sehingga
dapat melayani masyarakat secara cepat, tepat, dan profesional. Dalam perjalanannya,
terdapat banyak kendala yang dihadapi, diantaranya adalah penyalahgunaan wewenang,
praktek KKN, dan lemahnya pengawasan. Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah telah
menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design
Reformasi Birokrasi yang mengatur tentang pelaksanaan program reformasi birokrasi.
Peraturan tersebut menargetkan terca- painya tiga sasaran hasil utama yaitu peningkatan
kapasitas dan akuntabilitas organisasi, pemerintah yang bersih dan bebas KKN, serta
peningkatan pelayanan publik. Dalam rangka mengakselerasi pencapaian sasaran hasil
tersebut, maka instansi pemerintah perlu untuk membangun pilot project pelaksanaan
reformasi birokrasi yang dapat menjadi percontohan penerapan pada unit-unit kerja
lainnya.
Untuk itu, perlu secara konkret dilaksanakan program reformasi birokrasi pada unit
kerja melalui upaya pembangunan Zona Integritas. Konsep Zona integritas
sebenarnya berasal dari konsep island of integrity atau pulau integritas biasa
digunakan oleh pemerintah maupun NGO untuk menunjukkan semangatnya dalam
pem- berantasan dan pencegahan tindak pidana korupsi. Transparansi Internasional
Indonesia (TII) mendefinisikan Island of integrity sebagai konsep "kepulauan" yang
bisa bermakna institusi pemerintah/badan pemerintahan yang memiliki dan
menerapkan konsepsi Sistem Integritas Nasional (National Integrity System/NIS)
sehingga kewi bawaan dan integritas institusi tersebut mampu mewujudkan
transparansi, aku- ntabilitas dan membuka ruang partisi- pasi masyarakat secara luas
sehingga senantiasa terjaga dari praktek KKN dan praktek tercela lainnya.
BAB 3
PENUTU

3.1. Kesimpulan
Pengungkapan kasus korupsi perizinan di Indonesia memberikan sinyalemen
bahwa semakin hari permasalahan perizinan menjadi persoalan serius yang harus
dibenahi untuk dapat segera diselesaian. Penegakan hukum terhadap pemberantasan
tindak pidana korupsi mutlak harus dilaukan sebagai cara untuk memperbaiki birokrasi
negeri ini. Salah satu kewenangan tersebut adalah dengan cara melakukan pencabutan
terhadap perizinan yang terindiasi koruptif. Halini diatur dalam ketentuan pasal 12 hu-
ruf G Undang-Undang KPK yang menyatakan bahwa KPK berwenang untuk mencabut
sementara perizinan, lisensi, serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka
atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti permulaan yang cukkup ada hubungan
dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa. Pencabutan sementara tersebut
dmaksudkan untuk menghindari kerugian Negara yang lebih besar. Kemudian jika
memang terbukti ada korupsi dalam penerbitan izin adalah tugas pemerintah untuk
membatalkannya. Pemerintah harus berperan aktf untuk mengoreksi keputusan-
keputusan yang koruptif. Ini berangkat dari asas ius contrarius actus yang menyatakan
bahwa badan atau pejabat yang menerbitkan keputusan pemerintah dengan sendirinya
berwenang untuk membatalkan keputusannya tersebut. Hal ini dapat menjadi cara bagi
pemerintah untuk membatalkan izin yang terindikasi korupsi ataupun suap.
Daftar Pustaka

Budi Setiyono, Memahami Korupsi Di Daerah Pasca Desentralisasi: Belajar Dari


Empat Studi Kasus, Politika, Vol. 8, No. 1, April 2017.

Chazawi Adami, Hukum Pidana Materil Dan Formil Korupsi Di Indonesia,


Banyumedia, Malang, 2003.

Muladi dan Barda Nawawi, Teori–Teori Dan Kebijakan Pidana, Cetakan ke 3,


Alumni, Bandung, 2005.

Natal Kristiono, Buku Ajar Otonomi Daerah, Universitas Negeri Searang, 2015.
Oce Madril, Membatalkan perizinan Koruptif, Kompas Kolom Opini.
Sulardi, Menyelamatkan Negara dari Bencana Korupsi, Setara Pers, 2013.

Yusrianto Kadir, Membangun Zona Integritas Dalam Upaya Pencegahan Korupsi


Di Kabupaten Gorontalo, Researchgate.

Andi Saputra, Jejak 5 Bupati yang Terlibat Korupsi di Kasus Pengurusan


Perizinan, dalam : https://news.detik.com, diakses pada tanggal 2 Januari 2018.

Ika Vera Tika, Laporan Akhir Tahun 2017 Hukum dan Kriminalitas: Kepala
Daerah, Korupsi, dan Modus Baru, https://www.pikiran-rakyat.com, diakses pada
tanggal 2 januari 2018.

Anda mungkin juga menyukai