Anda di halaman 1dari 3

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang
beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya berakhir
dengan gagal ginjal. CKD mengacu pada hilangnya fungsi ginjal dalam jangka panjang. Penyakit
CKD biasanya didiagnosis dengan adanya penyakit penyerta lain (terutama hipertensi, diabetes
dan penyakit kardiovaskular).(1) Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan
dan CKD sama atau lebih dari 60 ml/menit/1,73m², tidak termasuk kriteria penyakit ginjal
kronik. Mekanisme dasar terjadinya PGK adalah adanya cedera jaringan. Cedera sebagian
jaringan ginjal tersebut menyebabkan pengurangan massa ginjal, yang kemudian mengakibatkan
terjadinya proses adaptasi berupa hipertrofi pada jaringan ginjal normal yang masih tersisa dan
hiperfiltrasi. Namun proses adaptasi tersebut hanya berlangsung sementara, kemudian akan
berubah menjadi suatu proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Pada
stadium dini PGK, terjadi kehilangan daya cadang ginjal, pada keadaan dimana basal laju filtrasi
glomerulus (LFG) masih normal atau malah meningkat. Secara perlahan tapi pasti akan terjadi
penurunan fungsi nefron yang progresif.8
Menurut Global Burden of Disease (GBD) memperkirakan bahwa pada 2017 ada hampir 700
juta orang menderita CKD dengan jumlah kematian sebesar 1 – 2 Juta Kematian di tahun 2017 di
seluruh dunia. Situasi CKD di Indonesia menurut laporan RISKESDAS 2017 masyarakat
dengan diagnosis CKD adalah sebanyak 0,2% dari jumlah populasi yang berumur ≥ 15 tahun
Indonesia, Hal ini karena penelitian Riskesdas 2013 hanya menangkap data orang yang
terdiagnosis CKD sedangkan sebagian besar PGK di Indonesia baru terdiagnosis pada tahap
lanjut dan akhir.(2) (3)
Berdasarkan Riskesdas 2018, di Indonesia, prevalensi PGK masih tinggi, mencapai 3,8% dari
total penduduk, meningkat 1,8% dari tahun 2013. Penyebab CKD yang paling umum pada tahun
2018 adalah nefropati diabetik sebesar 52%, diikuti oleh hipertensi sebesar 24%. Sedangkan
faktor risiko tersering adalah hipertensi 34,1%, obesitas 21,8% dan diabetes 8,5%. Berdasarkan
laporan RISKESDAS 2018, prevalensi PGK di Indonesia adalah 3,8%, dimana Provinsi
Sulawesi Barat terendah sebesar 1,8% dan Provinsi Kalimantan Utara tertinggi pada 6,4%.
Sementara itu, hingga 2,0% kasus CKD telah tercatat di Kalimantan Tengah.
Penyakit gagal ginjal kronik juga memiliki tanda dan gejala yang bermacam-macam yang
terdapat pada sistem pernapasan adanya pernapasan kussmaul sebagai respon asidosis metabolik,
efusi pleura, edema paru. Sistem kardiovaskular seperti hipertensi gagal jantung. Sistem
neurologi adanya sakit kepela, kesulitan tidur, tremor ditangan. Sistem hematologi adanya
anemia dengan hemoglobin rendah, kerusakan sel darah putih menyebabkan infeksi. Sistem
gastrointestinal seperti mual dan muntah, diare, konstipasi, sariawan. Sistem skeletal adanya
nyeri sendi dan bengkak. Sistem integumen seperti kulit gatal dan kering(pruritus), pucat karena
anemia, dan sistem reproduksi adanya penurunan libido, pada laki-laki terjadi impotensi dan
penurunan jumlah sperma dan pada perempuan terjadi penurunan gairah seksual. Pada gagal
ginjal kronik terjadi penurunan fungsi renal. Produksi akhir metabolisme protein tertimbun
dalam darah dan terjadilah uremia yang mempengaruhi setiap sistem tubuh. Retensi natrium dan
cairan mengakibatkan ginjal tidak mampu dalam mengkonsentrasikan atau mengencerkan urine
secara normal pada penyakit gagal ginjal kronik. Pasien biasanya menahan natrium dan cairan
yang dapat meningkatkan resiko edema, gagal jantung kongesif dan hipertensi. Untuk
menghindari hal-hal tersebut maka dapat dilakukan pencegahan untuk kelebihan volume cairan
dengan berbagai terapi yang dapat diberikan.
Pasien CKD mengalami penurunan kualitas hidup bahkan pada tahap awal penyakit, dan
gejala yang dialami penderita merupakan hal memberikan dampak besar pada kualitas hidup
tersebut. Gejala fisik yang paling sering dilaporkan kelemahan (75%), mobilitas buruk (75%),
nafsu makan buruk (58%), nyeri (56%), pruritus (56%) dan dispnea (49%) dalam satu penelitian
dan kelelahan atau kurang energi (78%), kulit kering (53%), kesulitan tidur (44%), pruritus
(44%), dan nyeri tulang atau sendi (39%).(4)

1. Fraser S, Blakeman T. Chronic kidney disease: identification and management in primary care.
Pragmatic Obs Res. Agustus 2016;Volume 7:21–32.

2. Bikbov B, Purcell CA, Levey AS, Smith M, Abdoli A, Abebe M, dkk. Global, regional, and national
burden of chronic kidney disease, 1990–2017: a systematic analysis for the Global Burden of Disease
Study 2017. The Lancet. Februari 2020;395(10225):709–33.

3. Kementrian Kesehatan RI. Infodatin: Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. Situasi
Penyakit Ginjal Kronis. 2017.
4. Brown SA, Tyrer FC, Clarke AL, Lloyd-Davies LH, Stein AG, Tarrant C, dkk. Symptom burden in
patients with chronic kidney disease not requiring renal replacement therapy. Clin Kidney J. 1
Desember 2017;10(6):788–96.

5. Akmarawita Kadir. Hubungan Patofisiologi Hipertensi dan Hipertensi Renal. Univ Wijaya Kusuma
[Internet]. 2016; Tersedia pada: https://journal.uwks.ac.id/index.php/jikw/article/view/2/2

8. Suwitra K. Penyakit ginjal kronik. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B,
Syam AF (eds). Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid 1. Edisi ke-6. Jakarta: Interna Publishing; 2014.

Anda mungkin juga menyukai