Anda di halaman 1dari 19

KONSELING LINTAS BUDAYA

DALAM SETTING LUAR SEKOLAH

MAKALAH

Disusun guna memenuhi tugas


Mata Kuliah Konseling Lintas Budaya

oleh
Rudianto Jati W 1301414018
Ganjar Suargani 1301414029
Puri Wijayanti 1301414090

Citra Pertiwi 1301414115

JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
nikmat, rahmat dan hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan
baik. Makalah ini berjudul “Konseling Lintas Budaya dalam Setting Luar
Sekolah”. Makalah ini dibuat untuk memperluas pengetahuan mengenai konseling
lintas budaya yang dilakukan di luar setting sekolah dan dibuat dalam rangka
memenuhi tugas Mata KuliahKonseling Lintas Budaya.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Afriyadi Sofyan, dosen pengampu Mata KuliahKonseling Lintas
Budaya yang telah memberi kesempatan untuk menyusun makalah ini.
2. Bapak dan Ibu Dosen Bimbingan dan Konseling yang telah memberikan bekal
pengetahuan.
3. Seluruh pihak yang terkait dalam penyusunan karya ilmiah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna untuk itu
penulis mengharapkan kritik dan saran.

Semarang, 21Mei 2016

Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Di dunia tidak ada suatu negara yang hanya mempunyai satu latar belakang
budaya. Termasuk Indonesia, yang mana mempunyai banyak keberagaman budaya,
seperti budaya orang jawa yang terkesan halus, dan budaya orang batak yang
terkesan kasar atau keras.
Dari keadaan tersebut tentu diperlukan adanya suatu wadah agar dapat
membangun suatu kerukunan atau keselasarasan antara kebudayaan yang berbeda.
Wadah tersebut berupa konseling lintas budaya, dimana antara klient dan konseli
mempunyai latar belakang budaya yang yang berbeda. Sehingga dengan
diadakannya konseling lintas budaya diharapkan dapat menciptakan suatu kerukunan
maupun keselarasan baik di lingkup pendidikan ataupun dilingkungan luar
pendidikan.
Kegunaan konseling lintas budaya dalam menciptakan suatu kerukunan di luar
lingkungan pendidikam sangatlah penting, seperti untuk menjalin hubungan antara
masyarakat yang satu dengan yang lain, agar tercipta masyarakat yang baik. Selain
itu kegunaan konseling lintas budaya juga dapat mengasah toleransi antar budaya
melalui proses konseling, sehingga konflik antar budaya dapat terhindarkan.
Berdasarkan keadaan diatas maka penulis hendak membuat suatu makalah yang
berjudul “ Konseling Lintas Budaya Dalam Setting Luar Sekolah “. Penulis
bereharap agar makalah tersebut dapat bermanfaat bagi pembaca.

1.2. Rumusan Masalah


1.2.1. Bagaimana konseling yang mempunyai kondisi cacat fisik ?
1.2.2. Bagaimana konseling klient seksual minoritas ?
1.2.3. Bagaimana konseling budaya berbeda agama ?
1.2.4. Bagaimana konseling untuk orang tua ?
1.3.Tujuan
1.3.1. Untuk mengetahui bagaimana konseling bagi orang yang mempunyai
kondisi cacat fisik
1.3.2. Untuk mengetahui bagaimana konseling terhadap seksual minoritas
1.3.3. Untuk mengetahui konseling budaya dalam perbedaan agama
1.3.4. Untuk mengetahui konseling untuk orang tua

1.4 Manfaat

BAB 2
PEMBAHASAN

A. Konseling Orang dengan Kondisi Fisik Cacat

Cacat ini terdiri dari berbagai fisik gangguan dalam mobilitas,


ketangkasan, penglihatan, pendengaran, dan sensasi, atau adanya kondisi atau
fungsi yang merugikan, seperti kronis nyeri, kejang, dan kontraktur. Cacat
dapat didefinisikan sebagai gangguan fisik atau mental yang secara substansial
membatasi satu atau lebih kegiatan besar dalam hidup, rekor penurunan nilai
tersebut, atau yang dianggap seperti memiliki penurunan nilai. Kegiatan besar
dalam hidup terdiri dari merawat diri sendiri, melakukan tugas-tugas manual,
berjalan, melihat, mendengar, berbicara, bernapas, dan bekerja.
Poin untuk ingat
a. Penyandang cacat merupakan kelompok minoritas terbesar di negara.
b. Hampir sepertiga dari semua keluarga (29,2%) termasuk anggota dengan
cacat fisik. Kecacatan akhirnya mempengaruhi sebagian besar keluarga.
c. Lebih dari dua-pertiga dari orang-orang cacat di bawah usia enam puluh
lima.
d. Mayoritas orang-orang cacat di bawah usia enam puluh lima melaporkan
kesehatan mereka untuk menjadi lebih baik.
World Health Organisasi (who), mendefinisikan tiga aspek cacat
sebagai penurunan, kecacatan, dan cacat. Penurunan mengidentifikasi aktual
konsekuensi fisik pada tingkat organ (kelumpuhan, gangguan pendengaran,
dll); kecacatan mengidentifikasi kemampuan individu untuk melakukan
aktivitas orang normal (mandi, berpakaian, makan, mengemudi, dll); Dan cacat
mendefinisikan bagaimana berbagai kondisi sosial (sikap, lingkungan fisik, dll)
membatasi atau mencegah pemenuhan peran normal dan tepat sebagai anggota
masyarakat.
Pelemahan dan kecacatan berada dalam diri individu, sedangkan cacat
adalah konstruksi sosial dan fenomena (organisasi kesehatan dunia, 1980).
Studi mengenai dampak negatif dari cacat pada kualitas hidup telah
menunjukkan bahwa hambatan terbesar untuk kesejahteraan subjektif
umumnya terkait dengan aspek cacat; yaitu, menghadapi berbagai prasangka
negatif.
Seperti kelompok multikultural lainnya, orang-orang cacat memiliki
banyak masalah. Sebuah kesalahpahaman yang umum adalah bahwa kecacatan
adalah primer dan mendefinisikan masalah dan menyajikan masalah. Banyak
masalah lain yang sering menemani kecacatan dan menyajikan hambatan yang
jauh lebih besar untuk hidup kepuasan.
Mayoritas orang cacat akan mengalami beberapa keadaan sebagaimana
berikut:
a. Kemiskinan dan pengangguran
Orang-orang cacat sering kali harus tetap menganggur untuk
mempertahankan cakupan. Selanjutnya, kesempatan kerja berhubungan
erat dengan pencapaian pendidikan. Orang dengan cacat cenderung
kesulitan untuk menyelesaikan sekolah tinggi, kuliah, atau melanjutkan
studi pascasarjana (kaye, 1997).
b. Isolasi
Kemiskinan, pengangguran kronis, sikap masyarakat yang
negatif, dan harapan yang kaku mengakibatkan isolasi sosial yang cukup
besar untuk individu yang cacat, terutama dalam persahabatan dan
hubungan.
c. Kemarahan dan depresi
Kemarahan dan depresi sering tidak bisa dihindari. Kemarahan
adalah reaksi umum tak lama setelah timbulnya kecacatan.Pengalaman
depresi (turner &mclean, 1989) baik sebagai kondisi primer atau
sekunder. Depresi dapat mempersulit pemulihan atau rehabilitasi, tetapi
menghubungkan suasana hati yang negatif semata-mata untuk
mendiagnosis.
d. Tarif lebih tinggi dari penyalahgunaan zat
Penyandang cacat mengalami tingkat signifikan lebih tinggi dari
Penyalahgunaan zat. Penggunaan obat lebih tinggi dari pengangguran,
isolasi, rendah diri; tingkat yang lebih tinggi dari kronis asa sakit.
Program rehabilitasi secara tradisional gagal mengidentifikasi
penyalahgunaan zat atau menawarkan pengobatan.
B. Konseling Klien Seksual-Minoritas

Langkah pertama untuk meningkatkan efektivitas profesional


menyelidiki penelitian yang dipublikasikan mengenai populasi klien ini. Upaya
mengubah seksual orientasi tidak berhasil, tidak etis, dan dapat merusak klien
dengan memperburuk depresi, malu, dan kecemasan (presbyterian gereja,
2001, hal. 12). Refleksi diri tentang nilai-nilai pribadi konselor dan keyakinan
diperlukan untuk menghindari masalah kontratransferensi saat bekerja dengan
klien seksual minoritas. Jika konselor merasa bahwa keyakinan pribadi
mencegah penegasan klien lesbian dan gay, kemudian rujukan ke profesional
lain merupakan persyaratan etis.
Mungkin apa yang paling penting dalam menjadi efektif dengan ini
populasi adalah untuk mengetahui dan memiliki pengalaman dengan lesbian
dan gay orang-orang. Kontak langsung menghalau mitos palsu dan
menyakitkan yang ditugaskan untuk orang seksual minoritas dan mendorong
melihat mereka dengan hal positif tanpa syarat dan dukungan bahwa semua
individu layak. Selain peningkatan kesadaran dan sikap menegaskan terhadap
klien seksual minoritas, perubahan operasional praktis bisa positif
mempengaruhi tingkat kenyamanan dan kepercayaan untuk gay, lesbian,
biseksual, dan transgender klien yang mencari atau menerima pelayanan
kesehatan mental. Misalnya, bentuk asupan konselor harus menggunakan
bahasa gay-sensitif seperti pasangan hidup, ditambah,penting lainnya, dan
orientasi seksual. Kesehatan mental profesional mungkin secara terbuka
menampilkan bahan sumber daya gay seperti buku, pamflet, atau daftar rujukan
untuk gay-sensitif medis dan penyedia layanan lainnya. Tunggu bisa tersedia
majalah, seperti advokat, yang fokus pada topik yang menarikuntuk orang
seksual minoritas. Sebuah papan buletin yang mencakup sumber daya
masyarakat dan peristiwa bisa berkomunikasi sensitivitas untuk kekhawatiran
terkait gay. Akhirnya, praktek konseling bisa beriklan di surat kabar gay lokal
atau publikasi lainnya menunjukkan keahlian dalam membantu dengan
masalah seksual minoritas. Dalam studi kasus, misalnya, lokasi ishak praktek
yang secara terbuka dipasarkan sendiri untuk komunitas lesbian dan gay itu
sangat menghilangkan untuk dia.
C. Konseling Budaya Berbeda Agama

Kebudayaan atau budaya menyangkut keseluruhan aspek kehidupan


manusia baik material maupun non material. Kebudayaan juga merupakan
salah satu sisi penting dari kehidupan manusia, dan dalam Islam pun telah
mengatur dan memberikan batasan-batasannya. Adapun pemaparan selanjutnya
mengenai relasi agama dan budaya.
Kebudayaan dikenal karena adanya hasil-hasil atau unsur-unsurnya.
Unsur-unsur kebudayaan terus menerus bertambah seiring dengan
perkembangan hidup dan kehidupan. Manusia mengembangkan kebudayaan;
kebudayaan berkembang karena manusia. Manusia disebut makhluk yang
berbudaya, jika ia mampu hidup dalam atau sesuai budayanya. Sebagian
makhluk berbudaya, bukan saja bermakna mempertahankan nilai-nilai budaya
masa lalu atau warisan nenek moyangnya; melainkan termasuk
mengembangkan (hasil-hasil) kebudayaan.
Di samping kerangka besar kebudayaan, manusia pada komunitasnya,
dalam interaksinya mempunyai norma, nilai, serta kebiasaan turun temurun
yang disebut tradisi. Tradisi biasanya dipertahankan apa adanya; namun
kadangkala mengalami sedikit modifikasi akibat pengaruh luar ke dalam
komunitas yang menjalankan tradisi tersebut. Misalnya pengaruh agama-agama
ke dalam komunitas budaya (dan tradisi) tertentu; banyak unsur-unsur
kebudayaan (misalnya puisi-puisi, bahasa, nyanyian, tarian, seni lukis dan ukir)
di isi formula keagamaan sehingga menghasilkan paduan atau sinkretis antara
agama dan kebudayaan.
Kebudayaan dan berbudaya, sesuai dengan pengertiannya, tidak pernah
berubah; yang mengalami perubahan dan perkembangan adalah hasil-hasil atau
unsur-unsur kebudayaan. Namun, ada kecenderungan dalam masyarakat yang
memahami bahwa hasil-hasil dan unsur-unsur budaya dapat berdampak pada
perubahan kebudayaan.
Perbedaan antara agama dan budaya tersebut menghasilkan hubungan
antara iman-agama dan kebudayaan. Sehingga memunculkan hubungan (bukan
hubungan yang saling mengisi dan membangun) antara agama dan  budaya.
Akibatnya, ada beberapa sikap hubungan antara Agama dan Kebudayaan,
yaitu:
a. Sikap Radikal: Agama menentang Kebudayaan. Ini merupakan sikap radikal
dan ekslusif, menekankan pertantangan antara Agama dan Kebudayaan.
Menurutpandangan ini, semua sikon masyarakat berlawanan dengan keinginan
dan kehendak Agama. Oleh sebab itu, manusia harus memilih Agama  atau
Kebudayaan, karena seseorang tidak dapat mengabdi kepada dua tuan. Dengan
demikian, semua praktek dalam unsur-unsur kebudayaan harus ditolak ketika
menjadi umat beragama.
b. Sikap Akomodasi: Agama Milik Kebudayaan. Sikap ini
menunjukkankeselarasan antaraAgama dan kebudayaan.
c. Sikap Perpaduan: Agama di atas Kebudayaan. Sikap ini menunjukkan adanya
suatu keterikatan antara Agama dan kebudayaan. Hidup dan kehidupan
manusia harus terarah pada tujuan ilahi dan insani; manusia harus mempunyai
dua tujuan sekaligus.
d. Sikap Pambaharuan: Agama Memperbaharui Kebudayaan. Sikap ini
menunjukkan bahwa Agama harus memperbaharui masyarakat dan segala
sesuatu yang bertalian di dalamnya. Hal itu bukan bermakna memperbaiki dan
membuat pengertian kebudayaan yang baru; melainkan memperbaharui hasil
kebudayaan. Oleh sebab itu, jika umat beragama mau mempraktekkan unsur-
unsur budaya, maka perlu memperbaikinya agar tidak bertantangan ajaran-
ajaran Agama. Karena perkembangan dan kemajuan masyarakat, maka setiap
saat muncul hasil-hasil kebudayaan yang baru. Oleh sebab itu, upaya
pembaharuan kebudayaan harus terus menerus. Dalam arti, jika masyarakat
lokal mendapat pengaruh hasil kebudayaan dari luar komunitasnya, maka
mereka wajib melakukan pembaharuan agar dapat diterima, cocok, dan tepat
ketika mengfungsikan atau menggunakannya.
Karena adanya aneka ragam bentuk hubungan agama dan kebudayaan
tersebut, maka solusi terbaik adalah perlu pertimbangan dalam pengambilan
keputusan yang dimana sesuai dengan ajaran agama, dan untuk mencapai hal
tersebut tidaklah mudah. Akibatnya, ada beberapa sikap hubungan antara
agama dan kebudayaan, yaitu: sikap radikal, sikap akomodasi, sikap perpaduan
dan sikap pembaharuan. Maka solusi terbaik adalah perlu pertimbangan-
pengambilan keputusan etis-teologis (sesuai ajaran agama).
Seperti halnya kebudayaan, agama sangat menekankan makna dan
signifikasi sebuah tindakan. Karena itu sesungguhnya terdapat hubungan yang
sangat eratantara kebudayaan dan agama, bahkan sulit dipahami kalau
perkembangan sebuah kebudayaan dilepaskan dari pengaruh agama.
Sesungguhnya tidak ada satupun kebudayaan yang seluruhnya didasarkan pada
agama. Untuk sebagian kebudayaan juga terus ditantang oleh ilmu
pengetahuan, moralitas secular serta pemikiran kritis.
Dengan demikian, agama dan kebudayaan dapat saling mempengaruhi.
Agama mempengaruhi system kepercayaan serta praktik-praktik kehidupan.
Sebaliknya Kebudayaan pun dapat mempengaruhi agama, khususnya dalam hal
bagaimana agama di interpretasikan, atau bagaimana ritual-ritualnya harus
dipraktikkan. Tidak ada agama yang bebas budaya dan apa yang disebut Sang-
Illahi tidak akan mendapatkan makna manusiawi yang tegas tanpa mediasi
budaya, dalam masyarakat Indonesia saling mempengaruhi antara agama dan
kebudayaan sangat terasa. Praktik inkulturasi dalam upacara keagamaan
hampir umum dalam semua agama.
Budaya yang digerakkan agama timbul dari proses interaksi manusia
dengan kitab yang diyakini sebagai hasil daya kreatif pemeluk suatu agama,
tapi dikondisikan oleh konteks hidup pelakunya, yaitu faktor geografis, budaya
dan beberapa kondisi yang objektif. Budaya agama tersebut akan terus tumbuh
dan berkembang sejalan dengan perkembangan kesejahterahan dalam kondisi
objektif dari kehidupan penganutnya.
Hubungan kebudayaan dan agama tidak saling merusak, keduanya
justru saling mendukung dan mempengaruhi. Ada paradigma yang mengatakan
bahwa “manusia yang beragama pasti berbudaya, tetapi manusia yang
berbudaya belum tentu beragama”. Jadi agama dan kebudayaan sebenarnya
tidak pernah bertentangan karena kebudayaan bukanlah sesuatu yang mati,
tetapi terus berkembang mengikuti perkembangan zaman. Demikian pula
agama, selalu bisa berkembang di berbagai kebudayaan dan peradapan dunia.
Dipandang dari segi budaya, semua kelompok agama di Indonesia
khususnya telah mengembangkan budaya agama untuk mensejahterahkan
tanpa memandang perbedaan agama, suku dan ras. Sama halnya dengan tradisi
keagamaan (bagi agama samawi) yang dimana bersumber dari norma-norma
yang termuat dalam kitab suci. Agama menurut Thomas F.O.Dea merupakan
aspek sentral danfundamental dalam kebudayaan (Thomas F.O Dea: 215).
Kenyataan ini barangkali dapat dilihat dalam kaitannya dengan pola kehidupan
masyarakat di Indonesia, khususnya masyarakat Minangkabau yang dengan
tegas mendasarkan kebudayaan berdasarkan pada nilai-nilai dan norma Islam.
Dalam kehidupan masyarakat Minangkabau dikenal pepatah: “Adat bersendi
Syara’, Syara’ bersendi adat. Adat bersendi Syara’, syara’ bersendi
Kitabullah”. (Hamka, 1985: 138).
Bagaimana pengaruh tradisi keagamaan terhadap sikap keagamaan ini
dapat dilihat dari contoh yang paling sederhana. Seorang muslim yang
dibesarkan dilingkungan keluarga yang taat, akan menunjukkan sikap yang
menolak ketika diajak masuk ke Kelenteng, Pure atau Gereja. Sebaliknya,
hatinya akan tentram saat menjejakkan kakinya ke Masjid. Demikian pula
seorang penganut agama Katolik, Budha ataupun Hindu akan mengalami hal
yang serupa, jika masing-masing diajak masuk ke rumah ibadah agama lain
yang bukan agama yang dianutnya. Meskipun yang menjadi arsitek Masjid
Istiqlal adalah seorang Katolik bernama Fredrik Silaban, namun pemeluk
agama Katolik lainnya akan mengalami suatu kondisi yang berbeda saat masuk
ke Istiqlal dibandingkan saat masuk ke Katedal. Agama sebagai sumber moral,
etika dan aturan-aturan formal berfungsi untuk melindungi dan melestarikan
kebenaran dan kesucian hidup manusia.
Kepercayaan telah menjadi bagian yang melekat dalam kehidupan
manusia, bahkan di Era Modern sekarang ini, banyak orang yang beragama
tetapi tetap memegang teguh pada kepercayaan tertentu yang merupakan
bagian dari kebudayaan atau tradisi bangsa.
Munculnya kepercayaan bersifat dari proses pengalaman hidup yang
dialami manusia berkaitan dengan alam lingkungan sekitarnya. Keterbatasan
ilmu pengetahuan yang dikuasai manusia menumbuhkan pola perilaku yang
berlandaskan pada kepasrahan manusia terhadap alam lingkungan tempat
iamenggantungkan hidupnya. Dengan demikian kepercayaan merupakan
bagian dari kebudayaan manusia.
Adapun kebudayaan mengandung makna sebagai bentuk perilaku
manusia yang ditunjukkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Orang
bekerja menanam padi untuk memperoleh makanan, orang melakukan ritual
khusus sebelum bekerja agar diperoleh keselamatan, dan sebagainya. Apapun
yang dilakukan manusia merupakan bentuk kebudayaan. Sesuatu yang
dihasilkan dari perilaku tersebut merupakan wujud atau hasil kebudayaan
manusia.
Sedangkan dalam sistem upacara religius itu melambangkan konsep-
konsep yang terkandung dalam sistem kepercayaan. Sistem upacara merupakan
wujud kelakuan (behavioral manifestation) dari religi. Seluruh sistem upacara
tersebut terdiri atas aneka macam upacara yang bersifat harian, musiman.
Masing-masing upacara religius terdiri atas kombinasi berbagai macam unsur
upacara, dimana antara agama satu dan lainnya belum tentu sama. Unsur-unsur
upacara tersebut antara lain: berdoa, bersujud, berkorban, bersaji, berprosesi,
berseni drama suci, berpuasa, bersemedi dan sebagainya. [5]
Agama sebagai sumber nilai bagi manusia merupakan rujukan dan
arahan, bukan sekedar tempat manusia untuk berkompensasi dari kelelahan
rohaninya dan mencari ketenangan, tetapi lebih jauh memberikan landasan
nilai bagi manusia. Oleh karena itu, agama berkaitan bahkan tidak terpisahkan
dengan masyarakat dan kebudayaan. Masyarakat merupakan sumber
kebudayaan sehingga tidak mungkin ada kebudayaan tanpa adanya masyarakat.
Masyarakat sebagai kumpulan manusia yang ditandai dengan adanya kesamaan
tempat tinggal, harapan, cita-cita yang pada saat terbentuk melahirkan
kebudayaan.
Persoalan utama dalam melihat hubungan agama, masyarakat dan
kebudayaan adalah dalam pengambilan nilai-nilai dasar. Agama sebagai
sumber nilai merupakan rujukan esensial bagi masyarakat. Pada pemikiran
Barat yang berkembang selama ini, nilai dipandang sebagai sesuatu yang
berubah setiap saat tergantung kesepakatan masyarakat, dan agama merupakan
salah satu nilai yang dijadikan rujukan untuk masalah-masalah yang bersifat
ritual, bahkan standar nilai baik dan buruk.
Mengenai hubungan antara agama dan kebudayaa terdapat dua
pandangan di kalangan para ahli, yaitu:
1. Agama merupakan bagian dari kebudayaan, atau kebudayaan itu
mencangkup agama. Dalam pandangan ini agama disamakan dengan
mitos, legenda, atau dongeng yang merupakan bagian dari tradisi
masyarakat. Bagi agama tertentu pandangan ini dapat diterima, karena
agama-agama budaya memang lahir dari pemikiran manusia, tetapi bagi
agama Islam pandangan ini tidak dapat diterima karena Islam bukan hasil
pemikiran manusia.
2. Kebudayaan merupakan bagian dari agama atau agama mencakup
kebudayaan. Dalam pandangan ini, apa saja kebudayaan manusia
merupakan bagian dari agama. Kedua pandangan ini banyak berpengaruh
terhadap cara orang melihat agama dan budaya.
Agama kaitannya dengan kebudayaan dalam proses berarti mengelola
dan mengartikulasikan potensi fitrah manusia. Disini agama berperan
memberikan dorongan-dorongan yang menggerakkan manusia, sehingga
melahirkan kreativitas dalam berbagai aspek kehidupan yang ditata
berdasarkan nilai-nilai, sehingga dapat meningkatkan derajat dan martabat
manusia. Dalam kaitannya dengan budaya dalam arti produk, agama
memberikan kekayaan materil yang menggambarkan hubungan yang tidak
terpisahkan antara kehidupan manusia dan agama. Setiap produk rekayasa
manusia selalu terkait dengan gambaran hubungan spiritual manusia yang pada
akhirnya bermuara pada agama.
Masyarakat dan kebudayaan merupakan dua hal yang tidak dapat
dipisahkan. Sama halnya dengan agama dan kebudayaan. Agama
dankebudayaan adalah dua bidang yang dapat dibedakan tetapi tidak dapat
dipisahkan. Agama bersifat mutlak, tidak berubah karena perubahan waktu dan
tempat. Sedangkan budaya, sekalipun berdasarkan agama, dapat berubah dari
waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Oleh karena itu, agama adalah
primer dan budaya adalah sekunder. Budaya bisa merupakan ekspresi hidup
keagamaan, karena ia subordinat terhadap agama, dan tidak pernah sebaliknya.
D. Konseling Untuk Orang tua

1. Konseling Kebutuhan Lanjut Usia


Kebutuhan konseling bervariasi antara orang-orang yang lebih tua.
kebutuhan ini mungkin situasional atau akut, atau mereka mungkin lama dan
kronis. Mereka mungkin berhubungan dengan individu, pasangan, keluarga,
atau kelompok. Untuk tujuan pemahaman yang lebih baik kebutuhan ini,
Myers (1979) mengembangkan sistem klasifikasi untuk pribadi,
interpersonal, aktivitas, dan kebutuhan lingkungan.
Keprihatinan pribadi. Kesulitan pribadi bagi mereka lebih enam puluh
lima termasuk kekhawatiran psikologis yang berkaitan dengan kematian dan
sekarat, mental kesehatan dan kemandirian, kekhawatiran fisik yang berkaitan
dengan kesehatan, dan kekhawatiran psikologis dan / atau fisik yang
berkaitan dengan penerimaan Proses dan diri sendiri penuaan sebagai orang
tua.
Kekhawatiran interpersonal. Dimensi interpersonalkonseling dewasa
yang lebih tua melibatkan pemahaman nya hubungan dengan orang lain yang
signifikan. dukungan relasional yang kuat jaringan sangat penting untuk
pemeliharaan diri dan moral (Hogan & Eggebeen, 1995).
Aktivitas kekhawatiran. Dalam kategori ketiga kebutuhan yang
kekhawatiran berkaitan dengan pekerjaan, pemanfaatan keterampilan, dan
waktu luang. Banyak Amerika melihat pensiun dari pekerjaan penuh waktu
sebagai awal akhir kehidupan.
Kebutuhan lingkungan. Masalah lingkungan adalah mereka
yangberhubungan dengan kemerdekaan. Untuk hidup mandiri, beberapa
orang tua mungkin perlu bantuan pemerintah atau lembaga swasta,
transportasi, Bantuan belanja, membantu dengan menyiapkan makanan, dan /
atau rumah tangga atau tugas layanan.
Kebutuhan wanita yang lebih tua. Wanita yang lebih tua memiliki
beberapa khususmasalah. Karena mereka hidup lebih lama daripada laki-laki,
45% perempuan enam puluh lima tahun ke atas yang janda (AARP, 2000).
karena masyarakat mengerutkan kening pada kencan mereka dan menikah
dengan pria yang lebih muda dan karena pria yang lebih tua cenderung
memilih istri muda ketika mereka menikah lagi, yang lebih tua perempuan
memiliki akses terbatas ke pasangan pria. Oleh karena itu banyak, jika tidak
kebanyakan, janda tua terus hidup sendiri; 80% hidup mereka sendiri adalah
perempuan dan hampir setengah dari orang yang berusia delapan puluh lima
atau lebih hidup sendiri. Banyak wanita yang lebih tua tidak pernah bekerja
kecuali sebagai ibu rumah tangga; orang-orang yang telah bekerja biasanya
telah menerima rendah upah (Hibbard, 1995).
E. Konseling Untuk Tahanan Penjara

Psikolog penjara melaporkan bahwa depresi, kemarahan, psikotik


gejala, kecemasan, dan masalah penyesuaian adalah yang paling umum
masalah antara narapidana (Boothby & Clements, 2000). tahanan juga
cenderung berjuang dengan penyalahgunaan zat dan kecanduan. Penelitian
survei mengungkapkan bahwa 16% dari narapidana dilaporkan menggunakan
alkohol atau obat-obatan saat melakukan pelanggaran mereka, dan dua-pertiga
narapidana dari terpidana sering digunakan obat sebelum penahanan. Meskipun
statistik ini, hanya 43% dari lembaga pemasyarakatan menawarkan konseling
untuk penyalahgunaan zat (Biro Statistik Keadilan, 2000a).

1. Pendekatan kognitif-perilaku
Sistem peradilan pidana saat ini menekankan hukuman di Penggunaan
kalimat diperpanjang dan penurunan sumber daya yang ditujukan untuk
rehabilitasi meskipun penelitian menunjukkan bahwa berbasis penjara
program kesehatan mental yang efektif dalam mengurangi residivisme. meta
penelitian analitik mengungkapkan bahwa program kesehatan mental secara
signifikan mengurangi tingkat residivisme (Andrews et al, 1990;. Gendreau,
Sedikit, & Goggin, 1995; Gottschalk et al, 1987; Lipsey, 1992).
2. Alamat Personality Disorder Anti-Sosial
Maxmen dan Ward (1995) melaporkan bahwa hingga 75% dari
tahanan mungkin memiliki ASPD. Fitur penting dari gangguan ini adalah "
pola meresap mengabaikan, dan pelanggaran, hak-hak orang lain yang
dimulai pada anak usia dini atau remaja di terus menjadi dewasa "(DSM-IV,
1994, hal. 645). orang tersebut cenderung amoral dan tidak bertanggung
jawab. Tahanan dengan gangguan ini cenderung merasionalisasi kejahatan
mereka berkomitmen dengan menyalahkan orang lain. penyandang ASPD
cenderung memiliki ambang yang rendah untuk kepuasan dan memiliki
kebutuhan tinggi untuk kegembiraan, terlepas dari konsekuensi potensial.
Mereka cenderung sangat curiga dan berpura-pura rasa yang kuat
kemerdekaan, namun mereka sering menderita depresi, kecemasan, dan
gangguan penyalahgunaan zat-(Maxmen & Ward, 1995).
3. Alamat Penyalahgunaan Zat
TC digunakan untuk mengobati pelanggar narkoba, serta narapidana
dengan ASPD. Biasanya TC penjara bertempat jauh dari narkoba merajalela
dan kekerasan yang ditemukan di fasilitas pemasyarakatan utama (Inciardi et
al., 1997). obat-obatan terlarang yang begitu umum dalam penjara biasa
populasi yang 70% fasilitas pemasyarakatan narapidana-tes narkoba, dan
sekitar 10% dari tes narkoba yang dilakukan pada tahun 1998 yang positif
untuk satu atau lebih obat (Biro Statistik Keadilan, 2000a). Perspektif
pengobatan adalah bahwa penyalahgunaan zat adalah "Gangguan dari seluruh
orang; bahwa masalah adalah orang tersebut dan tidak obat, kecanduan yang
merupakan gejala dan bukan esensi gangguan, dan bahwa tujuan utama
adalah untuk mengubah negatif pola perilaku, pemikiran, dan perasaan yang
mempengaruhi obat menggunakan "(Inciardi et al., 1997, hal. 263).
4. Menilai Depresi
Depresi telah diidentifikasi oleh psikolog pemasyarakatan sebagai
yang paling sering masalah di antara tahanan (Boothby & Clements, 2000).
Tahanan dengan kalimat jangka panjang lebih mungkin untuk menderita
depresi, karena mereka melihat sedikit harapan untuk masa depan. Satu
Pendekatan konselor dapat menggunakan untuk menanamkan harapan adalah
Viktor Frankl logotherapy (Frankl, 1984). Frankl menegaskan bahwa
penyakit mental karena kurangnya makna dalam kehidupan seseorang.
5. Intervensi keluarga
Masalah utama dalam tahanan konseling adalah bagaimana
keluarganya adalah menyesuaikan diri dengan dampak negatif dari penahanan
dan gangguan yang dalam fungsi keluarga. kontak narapidana dengan nya
keluarga biasanya cukup sering pada awalnya. penjara mungkin memiliki
fasilitas untuk menampung keluarga, seperti taman bermain, swasta keluarga
mengunjungi daerah, permainan, dan makanan, tetapi banyak penjara tidak
dirancang untuk menjadi keluarga yang ramah dan kekurangan ikatan facili
seperti untuk kunjungan (Bilchik, Seymour, & Kreisher, 2001).
6. Transferensi dan kontratransferensi
Memberikan konseling kepada klien dipenjara membuat unik tuntutan
konselor, baik secara profesional dan pribadi. Secara pribadi, konselor harus
belajar untuk mengidentifikasi dan meminimalkan dampak merusak dari ing
bekerja di lingkungan di mana krisis norma. Keturunan lingkungan penjara
permusuhan, ketidakpercayaan, manipulasi, dan agresi. Konselor
pemasyarakatan selama hari-hari biasa mungkin termasuk intervensi bunuh
diri potensial, mediasi konflik geng, atau menyelidiki serangan fisik brutal.
Konselor mengalami peningkatan sinisme karena mereka menjadi kebal
perilaku agresif dan manipulatif.
BAB 3
PENUTUP

3.1.Simpulan
3.1.1. Konseling

A. Saran
DAFTAR PUSTAKA

Vacc, Nicholas. A., dkk. 2003. Counseling Multicultural and Diverse


Population: Strategies for Practitioners. New York: Burn Rotledge (e-
book)

Anda mungkin juga menyukai